Saturday 27 April 2013

Liburan

Awan jingga mewarnai pantai seputaran Kuta. Moment paling indah adalah waktu sunset dimana melihat matahari kembali keperaduannya di cakrawala. Selamat datang kegelapan.

Seperti kehiduan terus silih berganti dalam gelap dan terang, tiap orang relatif memaknai kegelapan. Bagi ku adalah orang gelap orang menutup matanya sendiri dan memandang segala sesuatunya berdasarkan fisik saja. Bisa juga mereka gelap karena tidak mensyukuri kehidupan ini. Mungkin aku bagian dari mereka juga.

Aku duduk dipasir tanpa alas menatap detik-detik matahari tenggelam sambil merenung "hari ini sudah apa saja yang ku perbuat?". Tiba-tiba lamunan ku dibuyarkan oleh seorang yang duduk disebelah ku menanyakan waktu sekarang. Dia yang bertanya padaku seorang remaja tahap akhir, hitam, agak dekil, dan jangkung. Dia memakai t-shirt kumal dan celana jins belel.

"Jam berapa mas?" tanya dia sambil senyum.
"Baru jam 6 lebih 10." jawab ku singkat. "Mas lagi liburan?" Tanyaku basa basi.
"Nggak mas, aku tinggal disini koq." Dia menjelaskan sambil merebahkan ke pasir untuk ikutan duduk. Sepertinya dia tertarik untuk meneruskan perbincangan.
Rasanya kasihan juga bila dia sudah duduk tetapi tak ada perbincangan lebih lanjut.

"Tinggal di daerah mana?" Tanya ku kembali.
"Deket koq, di jalan Dewi Sartika. Mas sendiri tinggal dimana?" dia balik bertanya.
"Aku di Monang Maning, Denpasar."
"Kerja apa mas disini?" Tanya dia padaku.

Aku tak langsung membalasnya, dia sejenak memikirkan untuk jawaban yang tepat.

"Ntah lah mas, aku nggak bekerja, aku hanyalah seorang pemimpi yang ingin menjadi penulis." Jawabku sekenanya.
"Wah bagus donk jadi penulis." Dia menanggapi antusias. "Dari pada aku cuma penjaga vila."
"Belum jadi penulis mas, belum ada yang diterbitin." Aku merendah. "Namanya juga demi hidup mas, penjaga vila sebuah pekerjaan yang mulia. Masih ada orang yang percaya sama mas." Inginnya sih menghibur  dia tapi entah itu bentuk hiburan atau bukan.

"Ada pengalaman seru nggak waktu jaga Vila?" tanya ku mengalihkan pembicaraan dari pada menjadi sesuatu yang menjemukan memikirkan kehidupan.
"Baru kemaren sih....ada tamu yang baiiiiik banget." Dia sangat antusias untuk memulai ceritanya.
"Baik gimana mas?"
"Tamunya ke sini kan buat foto prewedding, aku di ajak ikut jalan-jalan ke tempat fotonya. lumayan 9 bulan disini nggak pernah kemana-mana mas,hehehe"
"Wah baik banget ya, emang kemana saja?" Aku jadi penasaran ceritanya.
"Ke Kintamani di danau Baturnya. Ternyata bagus banget udah gitu dingin banget mana aku nggak bawa jaket. Mungkin aku sendiri belum tentu bisa kesana. Bayar angkotnya pasti mahal belum lagi makannya" Dia memperagakan waktu dia kedinginan sambil menarik jaketnya memeluk sendiri dan senyum lebar mengembang.

Aku hanya senyum kecil menanggapi ceritanya. ekspresinya memang lucu juga, menggambarkan kesenangan.

"Yang lebih hebat lagi mas," dia kembali melanjutkan ceritanya kali ini lebih semangat lagi. "Pemotretan di Hotel Niko, bagus banget hotelnya di daerah uluwatu sana. Pasti itu hotel mahal banget, pokoknya bagus banget lah. Disana juga makan enak banget aku belum pernah makan seenak itu."

Berhubung sudah gelap aku izin pulang, nggak enak juga masa gelap-gelapan di pantai berduaan pula,hehehe.

Ada satu pelajaran yang penting, bersyukur banget buat kita yang mampu jalan-jalan dan bisa makan apa lagi yang enak. Sering kita mengeluh terlalu sibuk dan liburan yang menjemukan. Ternyata masih banyak orang yang tidak bisa liburan, liburan adalah sesuatu yang sangat istimewa dan "mahal".



Thursday 18 April 2013

Pelarian 3

Setelah acara makan malam yang menggalau sekarang saatnya Fian dan Lindsay bergalau ria berkeliling Kota Jogja. Awalnya sih mau lanjut minum hot coklat tetapi perut masih kenyang dan Lindsay belum bernafsu untuk duduk di cafe.

Kota Jogja dimalam Minggu macet dimana-mana namun tetap enak untuk diputari. dimulai dari warung makan Kindai Fian menyusuri jalan menuju Selokan Mataram. Setelah menyebrang selokan tersebut rasanya gatel mampir ke distro OB yang di jalan Nologaten  namun Fian kembali mengurungkan karena terlalu ramai didalamnya.

Jalan Nologaten sangat ramai hilir mudik mahasiswa yang sedang cari makan, daerah sini memang banyak sekali warung makan yang harganya terjangkau untuk mahasiwa dan disini pula banyak tempat tongkrongan tentunya sesuai ukuran kantong mahasiswa. akhirnya berhasil menembus jalan Nologaten sekarang masuk Jalan Solo yang lebih ramai lagi dari pada Jalan Solo. Terlihat antrian mobil yang mencoba masuk ke Plaza Ambarukmo. Di depan Hotel Ambarukmo Fian memutar balik ke arah kota. Ternyata lebih ramai lagi jalan yang menuju arah kota. Fian terus mengendarai motornya menelusuri Jalan Solo sampai di perempatan Gramedia belok kiri menuju arah Kota Baru lalu melewati bunderan menuju jalan Abu Bakar Ali setelah melewati jembatan kleringan pilihannya dua lewat Malioboro atau belok kiri menuju Jalan Mataram. Fian lebih memilih pilihan yang kedua.

"Kita mau kemana?" Tanya Lindsay yang akhirny menanyakan arah tujuan menggalaunya.
"Nggak tau mbak, lewat Malioboro pasti macet banget." Ternyata Fian juga masih bingung harus kemana. "Ke TBY ajah ya. barang kali disana ada pertunjukan." Fian mengusulkan tujuan berikutnya.
"Boleh dech kesitu saja. Aku juga suka pertunjukan seni."

Fian segera tancap gas menuju Taman Budaya Yogyakarta. Hampir setiap minggu disini pasti ada seni pertunjukan dan tempat berkumpulnya berbagai komunitas seni. sesamapainya di TBY, Fian memarkirkan motornya di depan gedung. Gedung putih menjulang disampingnya ada bangunan lebih kecil bercirikhas rumah bangunan Belanda.

Ternyata di pelataran gedun ada sebuah pertunjukan seni tari tradisional Dayak. Fian dan Lindsay mengambil tempat duduk paling belakang. Berapa saat keduanya menyimak tarian yang ada sedang dipentasakan, mereka juga saling diam. Namun Fian melihat ada sesuatu yang dipikirkan oleh Lindsay, tatapanya kosong dan mimik wajahnya masih saja terlihat sedih.

"Whats wrong mbak? Koq keliatan sedih lagi?" Fian memberanikan bertanya pada Lindsay.
Lindsay jadi kaget "Eh kenapa?"
"Kenapa Mbak Lind sedih lagi, padahl bagus tuh tariannya keceriaan." Fian mengulangi pertanyaannya.
"Aku inget dia lagi......" Sepertinya Lindsay ingin meceritakan lebih lanjut detail ceritanya.
"Lalu, ayo ceritakan aja" Fian memancing agar Lindsay mau berbagi kisahnya.

Lindsay menengok Fian memastikan Fian akan serius mendegarkan ceritanya.
"Kita itu sering ke sini, kita sama-sama suka seni." Lindsay kembali bercerita kali ini mecoba menahan tangisnya.
"Koq nangisnya di tahan? lanjutin aja nangisnya." Kata Fian sambil senyum.
"Gimana mau nangis kalo kamu senyum gitu.hahahaha" Lindsay malah tertawa karena tingkah laku Fian, tetapi air mata Lindsay masih saja menetes.
"Masa aku juga harus ikutan nangis. Nanti yang ada dikarain kita orang gila, nonton pentas tari lucu gitu malah ketawa-tawa. hahahaha." Fian malah mencoba menghibur Lindsay.
"Pindah ajah yuk disini malah gak bisa cerita, terlalu berisik. ke situ aja ada yang jual jagung rebus."

Mereka pindah tempat duduk ke luar pagar dari komplek TBY. Ada penjual jagung rebus yang sedang mangkal. asapnya mengepul banyak tumpukan jagung dan kacang terlihat masih segar. Lindsay menghampiri penjual tersebut lalu mengambil dua tongkol jagung dan dua buah pisang.

Fian sendiri menghampir penjual wedang ronde dan memesan dua mangkuk. Lalu duduk di bangku panjang depan penjua ronde. Lindsay yang membawa makanan menawarkan pada Fian, Fian hanya mengambil jagung.

"Jadi aku kalau ketemu dia itu selalu di warnet, jadi kita pacara di warnet." Lindsay tiba-tiba ngomong membuat buyar kosentrasi Fian yang sedang asik menyingkirkan rambut jagung.
"Ich kayak gak ada romantis-romantisnya. pacaran koq di warnet." Komentar Fian sumbang.
"Halow, kita ini backstreet ya jadi harus cari tempat yang aman biar gak ketemu monyetnya,"
"Emang dia punya monyet po? terus monyetnya jadi mata-mata istrinya?"
"Hadew....monyetnya di baca istri"" Lindsay berkata ketus pada akhir kalimat dan gemes juga sama Fian yang terlalu polos.
"Ouh gitu toh....." Fian mengangguk mengerti. tetapi kali ini Fian benar2 acuh terhadap Lindsay karena asik makan jagung rebus.

Lindsay sendiri malas-malasan makan jagung. Namun Lindsay masih semngat untuk terus bercerita dan sudah tak peduli apakah Fian mendengarkan atau tidak.

"Kita juga sering ketemu di Solo. Dia naik bus, aku sendiri naik kereta nanti ketemu di depan stasiun."
"Ribet amat sih" Kata Fian yang ternyata masih menyimak cerita Lindsay. Kali ini tangannya tidak lagi memegang jagun tetapi sudah tergantikan mangkok wedang ronde.
"Kita selingkuh main cantik donk ah." Balas Lindsay senyum-senyum.
"Ich waria kali cantik,hahahahah" Fian mencoba ngelawak,
"Ya kan biar aman kalau nanti ada yang liat kita pacaran di kereta gimana?"
"Wah bener juga ya. ini bisa jadi pelajaran donk. pertama pacaran di warnet yang nggak ada CCTVnya. Lalu ngdate di Solo."
"Ada satu lagi. Bila perlu kita pergi keluar kota yang jauh jadi tambah amankan. terakhir kita ke Jawa Timur." Lindsay malah ngajarin Fian cara aman untuk selingkuh.

"Tapi sekarang semua sudah berakhir mbak. Sekarag nggak perlu kayak gitu lagi.

Deg. Fian menyadarkan Lindsay lagi kepada dunia nyata bahawa sekarang sudah putus

"Huaaaaaa" Lindsay kembali sadar atas kegalauannya.

Semuanya kembali jadi senyap. Lindsay tidak melanjutkan ceritanya lagi dan Fian masih sibuk dengan wedang rondenya.

Tiba-tiba terdengar bunyi ring tone handphone dari tas Lindsay. Lindsay segera mengambil handphonnya.
"Ini dari dia......di angkat nggak?" Lindsay minta saran sama Fian.
"Angkat saja."

Lindsay segera mengakat telpon dan pelan-pelan menjauh dari Fian. Fian sendiri nggak peduli yang penting bisa ngelanjutin makan jagung dan pisang rebus.

Tak berapa lama kemudia Lindsay muncul lagi di hadapan Fian.

"Aku nggak jadi putus" Mata Lindsay terlihat berbinar-binar bahagia.

-Tamat-