Sunday 30 June 2013

Cerbung : Dia (Sahabat Sejati) Part 6

Dia (Sahabat Sejati)

Gelap, malam ini begitu gelap rembulan tak menampakn diri. Hati ku turut gelap dan masih saja berduka memikirkan penolakan itu. Ahhh bodohnnya aku melakukan hal memalukan diriku sendiri. Harapan yang ku tanam buyar seketika. Tetapi aku tidak bisa marah sama dia. Sudah terlalu sayang untuk membencinya. Aku tidak boleh membencinya, bila membencinya aku tidak bisa dekat dengannya. Mungkin saja sekarang dia yang membenci ku?

MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI  http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase

Saturday 29 June 2013

Semalam di Jogja

Malam ini adalah terakhir kalinya Fanya di Jogja namun ada kebencian di raut mukanya. Sebenarnya sudah tiga hari Fanya di Jogja tetapi acara liburan berantakan dan jauh dari harapan. Kegiatan fanya hanya berkliling Malioboro. Fanya jadi menyesal sekali datang ke Jogja padahal Fanya ingin sekali berlibur ke Kamboja tetapi tetapi sudah kadung janji dengan temannya.

Seharusnya Fanya berlibur dengan Rafli tetapi itu hanyalah sekedar rencana nyatanya sampai saat ini Fanya belum bertemu dengannya. Fanya berkenalan dengan Rafli dari chating, dari hari kehari mereka semakin dekat dan menjalin persahabatan. Mereka sepakat akan bertemu di Jogja karena letaknya di tengah Fanya yang tinggal di Jakarta sedangkan Rafli tinggal di Denpasar.

Tragedi itu muncul 3 hari sebelum keberangkatan. Pertengkaran itu terjadi masalahnya cuma sepele. Rafli sangat kesal terhadap sikap Fanya yang heboh sendiri mungkin lebih tepatnya lebay. Bagi Rafli Fanya itu nggak jelas, sedikit-sedikit ngambek semua account yang berhubungan dengan Rafli di hapusnya entah itu Facebook, Twitter, Line, dan nomer handphone dan bila merasa sudah marah di add kembali. Rafli belum lagi Rafli kesal Fanya terlalu cemburu, bila Rafli ngobrol dengan wanita lain di chatroom Fanya langsung ngamuk dan marah membabi buta.

Akibat keributan itu sekarang Fanya jadi sendirian. Fanya juga tidak mau tau kabar Rafli, tidak keberadaan Rafli dimana. Meskipun kangen tetapi terlalu gengsi untuk menghubunginya. Fanya berangggapan bila dia menghubungi Rafli nanti dia jadi besar kepala. Setiap kali ada permasalah Fanya lah yang telebih dahulu untuk mengontaknya kembali, sekarang Fanya sudah enggan melakuannya lagi. Kalau Rafli memang masih cinta harusnya dia donk yang memulai untuk berbaikan dulu. Kali ini Fanya juga ingin mengetes apakah Rafli memang masih membutuhkan dirinya atau tidak.

Jam tanganya Fanya menunjukan jam 11 malam, Fanya merasakan bosan di kamar hotel cuma menonton televisi. Akhirnya Fanya memutuskan untuk pergi ke warnet dekat hotel. Siapa tau Rafli ikutan on line, walau on line juga nggak ngaruh. Apa pedulinya juga kalau Rafli on line paling dia sedang menggoda cewek di chat room dengan rayuan dan tipu muslihatnya. Sesampainya di warnet Fanya langsung membuka chatroom tempat tongkrongannya. Ternyata tidak ada Rafli cuma ada beberapa teman ngobrolnya.

Waktu sedang asik-asik ngobrol di chatroom ada query dari Yana, dia sahabat Fanya dan Rafli di dunia maya.  Yana saat ini tinggal di Manado, dia seorang cowok.
Cin lu dimana?
  Di warnet

Jawab Fanya malas-malasan, sebenernya Fanya lagi pengen ngobrol di room aja lebih enak disitu karena bisa ngobrol rame-rame.

Maksud gwe tuh, lu di Jogja kan?
Abunden.
Isshh, Lu gak ketemuan sama Rafli?
Buat apa?
Lu koq gak semagat gitu sih? Masih berantem sama dia?
ich kepo sih, mau tau banget atau mau tau aja?
Ye…..ni anak. Cus temuin dia donk. Dia lagi di Jogja.
Ogah cong….
Lagian nggak kenal dia siapa
SUMPEH GAK KENAL? AWAS YA LO TELPON GWE SAMBIL MEWEK2 NYESEL GAK KETEMU RAPIAH.
Isshhh koq gitu sih lu kan sahabat gwe satu-satunya.
Tadi tuh Rapiah on line dia banyak curhat. Ya udah sih telpon dia.
Ogah cong……

Fanya agak kesal oleh desakan Yana. Emang segampang itu telpon Rafli, pake nyuruh-nyuruh segala. Dalam benak Fanya, seberapa ngerti sih Yana tentang hubungan aku dengan Rfli seenaknya main perintah.

Kalo dia yang pengen ketemu sms donk, telpon keq atau apalah jangan cuma diem aja.
Dasar ya kalian tuh sama2 gengsinya gede.  Udah sih kalian tuh cuma miss communication aja.
Lo juga gak mau kan liburan lo sia2 gak ketemu dia.
Sebenernya kalian tuh lagi sama2 nungguin kabar tapi berhubung pada gengsi pada gak mau kontak duluan.
aku gak gengsi koq, tapi....
Tapi apa? Kangen juga toh?
Kamu nginepnya dimana?
Deket Tugu Jogja
Jiah….deket banget donk sama dia.
Sabodo teiung. Lagian dia pasti sibuk sama “adek”nya itu lah.
ich sotoy dia lagi nunggu kamu tau.
Kalian tuh sama2 baru kenal so pasti banyak salah paham terjadi. Kalo nggak di komunikasikan bakal ribet sendiri. Yang satu ngambekan yang satu gengsian gimana bisa ketemunya padahal kalian saling sayang.
Kalian tuh masih proses adaptasi saling mengenal lebih jauh. Proses kenalnya perlu ketemu juga kan? Ketemu langsung beda loh dengan chating. Sapa tau bisa mengclearkan masalah.
Lo nggak sayang liburan hangus gitu aja, Cuma gara2 gengsi siapa yang nelpon duluan. Kalo lo itu gue gak perlu gengsi nelpon dia dulu. Toh ketemu manusia juga bukan dedemitt,
Masalahnya gwe gak tau no hp dia berapa!!! Puas!!!

Fanya kesal dengan serentetan postingan Yana yang seakan menyudutkan dirinya lah pihak yang bersalah.

081931000XXX itu no telponnya, cuz sekarang telpon dia. GAK PAKE GENGSI. Dan gak pake TAPI
Thx ya. Nanti ku telpon dia atau sms
Fanya mengatakan seperti itu agar kebawelan Yana cepat berakhir. Fanya mearasa sudah cukup diceramahi Yana.

  Eh cin… kalian sebenernya udah jadian belom sih?
Belom.
Ouhbelom toh, gwe pikir udah jadian. Abis kalian kalau di room udah mesra gitu. Anak-anak yang lain pada ngira udah jadian loh.
Ouh gitu. Tapi gimana ya, aku sebel juga sam dia sih. Liat aja kelakuan dia di room.
Jiah….dia cuma becanda aja kali.
Yan, sebenernya dia sayang gak sih sama aku?
Sory iya kalau itu aku nggak tau, mendingan kamu tanyain langsung aja sama anaknya.
Kamu kan deket sama dia masa gak tau.
Helow buk!! Gwe dimana dia dimana gitu. Kita emang deket cuma di chat room aja kali. Aslinya aja gwe belum pernah liat tampang dia gimana. Kan aku belom opernah ketemuan sama dia.
Iya juga sih….tapi menurut kamu sendiri gimana?
Kagak tau, dari pada kamu penasaran cuzz temuin dia sekarang. Dah ah gwe mo tidur disini udah jam 12. Gak baugus gadis perawan kayak gwe tidur pagi. Gwe bukan kunti.
Ya udah dech thx ya banci.

Fanya mengakhiri chating dengan Yana. Kata-kata chatingan tadi terngiang di benaknya. Setelah di pikir emang bener Yana juga ya. Hubungan ini masih seumuran jagung pasti masih banyak belum tahu tentang sifatnya dia. Lagian tujuan ke Jogja kan buat ketemu dia masa sia-sia juga.

Perasaan Galau menghampiri Fanya menghubungi Rafli atau membiarkan begitu saja. Fanya yakin pasti Rafli tidak akan menghubunginya karenea sikap Rafli yang keras kepala.  “Tapi kalau aku hubungin dia pasti dia ke GR dan dia pasti jadi sok yang dibutuhin”

Tiba-tiba hp nya berbunyi tanda ada Whatsapp masuk

 From: Yana Bintjung
Mak, cuz udah gak usah di ratapi lagi sms aja or telpon dari pada tar lo nyesel. Positif thiking aja, seenggaknya tau kabarnya dia

Fanya malas membalas Whatsapp dari Yana. Ternyata Yana tau benar apa yang dibenak Fanya, bahwa dirinya masih ragu untuk menghubungi Rafli. Dengan penuh keberanian akhirnya Fanya SMS Rafli

To: Rafli
Hai. Lagi apa? Pa kabar?

Fanya mengirim  sms itu ke Rafli tanpa mengharapkan balasan. Fanya keluar dari warnet dan berjalan tiada arah. Seperti adegan sinetron saja seorang gadis yang di campakan begitu saja oleh pacarnya di tengah jalan.  Perasaan gusar menghinggapi Fanya, dan berfikir betapa bodohnya mengikuti saran dari Yana. Benar juga kan Rafli tidak akan membalasnya. “Ah ya sudah lah dia memang buka jodoh ku,” Fanya membatin.

Tanpa sadar Fanya sudah sampai di Jembatan Sayidan artinya Fanya sudah cukup jauh berjalan tetapi tidak dirasakannya. Rasa kaku menjalari kakinya, capek banget berjalan sendirian kaya orang bego di kota yang tidak dikenalnya. Mungkin inilah perbuatan paling bodoh yang dilakukan Fanya hanya karena cinta.

Saat sedang duduk di bahu jembatan datang seorang pemuda atletis yang menggunakan motor dengan helm menutupi seluruh mukanya. Fanya jadi langsung takut kalau dirinya akan jadi korban perampokan atau apalah. Fanya  langsung berdiri dan bersiap kabur. Tetapi masih penasaran sosok yang didalam helm tersebut. Pemuda tersebut merogohkan tangnnya ke dalam saku dan dalam imajinasi Fanya pemuda tersebut akan mengeluarkan senjata.

Fanya langsung lari tunggang langgang karena ketakutan. Kakinya lemas sekali bukannya lari tetapi malah berjalan pelan karena saking capeknya. Dia mengumpat pada dirinya “Sial giliran genting kayak gini malah gak bisa lari.” Fanya mendengar suara langkah kaki membuntuti di belakangnya belum sampainya melewati jembatan pundak Fanya di tepuk oleh pemuda tersebut.

Perasaan takut menjalar sekujur Fanya. Dirinya sudah pasrah menjadi korban kejahatan di Jogja. Benar-benar liburan paling menjengkelkan. Tetapi kenapa pria tersebut tidak bersuara dia Cuma menepuk. Fanya mematung karena terlalu takut untuk menengok. Berhubung tidak ada respon dari Fanya. Dua tangan mecengkram erat lengan Fanya. Fanya langsung mengejamkan mata sebagai reaksi ketakutan yang berlebihan.

Cengkramann itu semakin kuat ketika membalikan tubuh Fanya. Setelah membalik badan Fanya masih saja merem dan siap akan berteriak.
“Fany…..Fanya…..” Panggil pria tersebut suaranya berat terdengar maskulin.

Perlahan-lahan Fanya membuka matanya. Fanya melihat sosok pria tesebut dengan sedikit jenggot di dagu dan pinggiran pipinya. Fanya merasa belum pernah bertemu dengannya tetapi seperti mengenal pria tersebut. Fanya langsung befikir keras siapa yang ada hadapannya.

“Ini aku Rafli, Fany,” Rafli mengguncangkan badan Fanya untuk menyadarkan dari ketakutannya. “Aku Rafli, katanya dia lagi.

Barulah Fanya memahami perkataan Rafi dan menghela nafas dalam-dalam.
“Kamu koq tau aku disini” Tanya Fanya heran.
“Bodoh,” Rafli menanggapi dengan ketus. “HP kamu kan tersambung GPS. Tadi aku request your location dan kamu menanggapinya jadi kelcaklah.” Rafli masih saja ketus menjawab pertanyaan Fanya.
“Sejak kapan kamu disini?” Tanya Fanya mengintimidasi.
“Aku udah tiga hari disini.”
“Ouh pasti kamu asik masyuk dengan “adek” mu itu.” ucap Fanya nyinyir sambil berusaha melapaskan tangan Rafli yang masih mencengkrap lengannya.
“Koq kamu gitu sih?” Rafli kecewa atas tanggapan dari Fanya.
“Aku benci kamu.” Fanya tampak geram karena seperti tidak ada rasa penyesalan dari Rafli yang tampangnya datar-datar saja.  Air matanya tak kuat lagi bendung, sakinng jengkelnya.

Lalu Rafli memeluknya erat dan tidak peduli mereka berpelukan di tempat umum. Jalanan memag sudah sepi. Karena sekarang sudah tengah malam.
“Jagan marah Fanya……” Rafli mencoba menenangkan Fanya. “Maafkan aku,” pinta Rafli dengan gantleman.
“Aku benci, kenapa kamu tidak menghubungi aku?” Tanya Fanya pelan, sambil menahan tangis. “Aku benci kamu mengabaikan aku disini.”
Masih dalam pelukan Rafli mengucapkan. “Maaf. Aku memang salah seharusnya aku menghubungi kamu karena kita memang sudah janjian bertemu di Jogja.”
“Cuma itu?” Fanya masih ingin jawaban lebih dari Rafli, lalu melepas pelukannya.
“Emang kamu saja yang bisa benci?” Sikap Rafli berubah lagi menjadi jutek. “Aku sebel tau kamu yang suka ngambekan, kamu yang suka delete nomer hp atau semua account.”
“Tapi selalu aku dulu kan yang menghubungi mu. Kamu nggak pernah telpon aku dulu waktu kita marahan.” Fanya tidak mau kalah dengan Rafli.

Rafli segera memeluk Fanya lagi dan berusaha menenangkan. “Maaafff, mungkin dengan sejuta maaf belum pantans untuk di maafkan. Tapi itu biar lah jadi masa lalu cerita kita. Kita bisa memulai dengan yang baru. Jangan marah atau sedih lagi ya”.

Suasana romantic menggelayut di hadapan mereka lampu biru temaram menghias perkampungan disisi sungai Code. Bulan purnama menjadi saksi perdamaian mereka. Meskipun ini adalah pertemuan pertama mereka tetapi seperti sudah sering bertemu mungkin ini akibat dari sudah akrabnya di dunia maya.

Mereka tidak menyia-nyiakan waktu pertemuan yang tersisa sedikit. Rafli ingin menghabiskan mala mini dengan berdua saja dengan Fanya untuk menebus beberapa hari yang hilang sia-sia karena ke egoisan tidak ada yang mau mengalah untuk memulai berkomunikasi terlebih dahulu.

“Nih helmnya di pake.” Rafli memberikan helm warna pink yang khusus dibawanya untuk Fanya.
“Koq warna pink sih, aku kan gak suka.” Protes Fanya bibirnya manyun, kedua tanganya di umpetin ke balik belakang tanda enggan menerima helm itu.
“Adanya ini,” balas Rafli jutek. “Kalau nggak mau make juga nggak apa berarti nggak bisa jalan-jalan.”

Mau nggak mau dan tanpa memperdebatkan lagi Fanya menerima helm yang telah dibawa oleh Rafli. Senyum manis Rafli mengembang dan dibalas dengan senyuman pula dari Fanya. Tanpa ragu Fanya langsung naik motor. Awalnya sih canggung karena ini pertama kali Fanya bonceng sama orang di sukainya. Di atas motor Fanya masih saja senyum-senyum sendiri karena hatinya girang bisa jalan Rafli. Dari balik kaca spion Rafli melihat Fanya senyum jadi penasaran.

“Senyum-senyum sama siapa?” Tanya Rafli heran.
“Ah… nggak.” Fanya jadi gelagapan, ternyata Rafli dari tadi memperhatikan dirinya. “Badan kamu gede juga ya ternyata.” Fanya sedang mengalihkan pembicaraan.
“Gede atau gemuk?”
“Besar, jadi enak tau di peluk.” Fanya hanya memancing, initnya sih Fanya minta untuk memeluk Rafli. Kalau langsung peluk nggak enak barang kali Raflinya risih.
“Koq ga dipeluk?” Rafli menangkap kode yang di umpankan oleh Fanya. Secara nggak langsung Rafli mengijinkan Fanya untuk memeluk dirinya.

Perjalanan malam ini dimulai dengan keliling Kota Jogja. Tempat pertama yang disinggahi adalah Tugu Jogja. Masih banyak orang yang nongkrong di samping Tugu Jogja kebanyakan sih masih pada seumuran Rafli dan Fanya. Selain tempat nongkrong area ini jadi favorit untuk berfoto-foto. Ada yang menganggap kalau ke Jogja nggak ada bukti foto di tugu ini berarti hoax liburan di Jogja. Rafli memarkirkan motor di samping pos polisi. Disitu sudah banyak motor berjejer.

“Ngapain kita kesini? Bosen ah.” Protes Fanya.
“Tuh mau ngelapin tugu,heheheh.” Rafli becandain Fanya.
“Ihhh ditanya bener koq. Udah tiga hari ini lewat sini terus. Tempat yang lain keq.”
“Udah pernah megang tugu?”

Fanya hanya menggeleng yang tanda belum pernah melakukan itu. Rafli menarik tangan Fanya mengajaknya mendekat Tugu Jogja. Fanya pun pasrah mengikuti Rafli, meski nggak ngerti maksud Rafli untuk memegang tugu. Sisi tugu sebelah barat yang menghadap jalan Dipenogoro terlihat lengang.

Tangan Rafli menuntun tangannya Fanya untuk menyentuh Tugu Jogja. “Kata orang kalau kita nyentuh Tugu Jogja bisa balik lagi kesini.” Rafli menjelaskan arti dari menyentuh Tugu Jogja.
“Ouh gitu….. semoga sih. Tapi nggak seru lah kalau sendirian ke Jogja apa lagi di sampe di cuekin.” Fanya mengungkit kembali kejadian yang lalu.
“Nggak sendirianlah…. Kan kamu masih bisa minta ditemenin aku.”

Fanya merasakan sentuhan yang berbeda dari tangan Rafli. Entah kenapa jantung ini berdebar-debar. Apa mungkin ini yang dinamakan transfer cinta? Dari hati lewat tangan menyambung ke hati lagi. Meskipun telapak tangan Rafli agak kasar tetapi indra perasa meresponnya dengan lembut, ternyata Rafli seorang pria yang lembut dibalik kesangaran tubuhnya. Ada rasa sayang yang terselarukan.

Setelah selesai menyentuh Tugu Jogja, mereka menyempatkan diri untuk foto-foto untu mengabadikan momen menyenangkan tentunya sebagai tanda Fanya nggak boong liburan ke Jogja. Rasanya nggak lengkap kalau foto sendirian. Rafli meminta tolong ke salah satu orang di situ untuk foto berdua dengan Fanya.
Fanya langsung mengirim foto tersebut ke Yana lewat Whatsapp, berapa detik setelah foto terkirim langsung dapet balasan dari Yana.

Dari     : Yana Bintjung
Ke       : Fanya
Pesan   : Cie….yang lagi ngdate. Rafli ganteng dech, jadi naksir,hahaha. Eh itu gimana kalian bisa ketemu? Inget ya pake “helm”

Fanya juga segera membalas Yana.

Ke       : Yana Bintjung
Dari     : Fanya
Pesan   : Besok aja dech ceritanya ok?! Btw makasih banget ya…..tar gwe kirim oleh2 buat kamu.

Rute berikutnya adalah alun-alun selatan.Meskipun sudah tengah malam keramaian masih terlihat jelas disini. Banyak anak muda yang sedang nongkrong menikmati seduhan kopi disertai kehangatan canda kawan. Becak yang di hiasi dengan kerlap kerlip lampu berseliweran di jalan satu arah. Becak ini bukan becak pada umumnya, berisi 4 orang lebih dan semunya ikut menggenjot di sewakan 3 kali putaran. Jangankan 3, 1 putaran aja juga udah lemas. Anggap saja sedang olah raga tengah malam.

Tujuan utama Rafli mengajak Fanya kesini bukanlah untuk naik becak tersebut. Tetapi nyobain masangin. Ritual ini salah satu agenda wisatawan datang ke Jogja. Kita nyoba berjalan menembus diatara dua beringin besar yang ada di tengah alun-alun siapa yang berhasil harapan kita bisa terkabul, katanya gitu sih. Kalau cuma jalan aja sih nggak seru, ada tantangnya yaitu menutup mata.

“Ngapain kita kesini?” Tanya Fanya.
“Tuh cabutin rumput,hahahha.” Rafli malah membalasnya dengan becandaan tetapi dengan nada kesal. “Kenapa sih harusnya tanya ngapain ke sini?”
“Ya kan aku nggak ngerti Jogja jadi wajar donk tanya. Aku juga nggak tau disini ada keisimewaan apa.” Fanya juga ikutan kesal atas tanggapan Rafli yang jutek seperti itu.

Rafli nggak jadi marah melihat Fanya yang manyun kayak anak kecil jadi terlihat lucu. Rafli juga menyadari kesalahannya. Rafli menggandeng tangan Fanya menyebrang jalan yang ramai oleh lalu lelang becak hias. Di tepi lapangan sebelah utara mereka berdua berdiri memandang dua pohon beringin yang besar. Nggak ada kesan angker karena disekitar alun-alun sangat ramai. Masih banyak orang yang nyobain masangin. Hanya segelintir orang yang bisa temubus ketengah sedangkan sisanya meleceng kemana-mana.

“Itu ada ada dua beringin. Kalau kita bisa jalan tembus ke tengahnya, keinginan kita terkabul tapi tutup mata.” Rafli menjelaskan kenapa mengajak Fanya ke sini.
“Ah itu mah gampang, tinggal jalan lurus aja kan?” Fanya meremehkan ritual masangin, yang dipikirnya sangat mudah.
“Kata sapa gampang, tuh liat aja orang yang lagi pada nyasar kemana-mana.” Rafli menujuk beberapa orang yang sedang melakukan masangin tetepi keluar dari jalurnya malah ada yang menyasar jauh sekali dari tempat yang di tuju.
“Hahahaha.” Fanya tertawa melihat orang-orang yang sedang kesasar. “Oke, kamu duluann ya….?” Fanya menantang Rafli yang melakukan terlebih dahulu.
“Boleh dech,” Rafli menyanggupi tantangna dari Fanya.

Fanya membantu Rafli menutup matanya dengan slayer yang tadi di pakai Rafli sebagai pengganti masker. Setelah dipastikan Rafli tidak bisa melihat, Fanya memutar-mutar badan rafli dan memberhentikannya pada arah lurus ke tengah. Rafli mulai berjalan dengan lambat tetapi penuh percaya diri menganggapnya lurus. Emang sih awalnya berjalan lurus ke tengah tetapi setelah berjalan lima meter arahnya mulai melenceng ke kiri tentunya tanpa disadari oleh Rafli. Rafli terus dan terus berjalan disisinya Fanya menahan tawa. Bukannya berjalan menuju tengah tengah Rafli malah berjalan membentuk huruf U alhasil kembali lagi ke tempat semula. Dirasa sudah cukup lama, akhirnya Rafli menyerah lalu membuka penutup mata. Begitu tau kembali ke tempat semula pecahalah tawanya. Rafli gagal make wish.

Sekarang giliran Fanya mencoba masangin, Fanya merasa percaya diri bahwa dirinya pasti bisa melakukan dengan baik. Mata Fanya sudah tutup dengan slayer. Posisinya juga sudah berada di tengah, Fanya hanya berusaha jalan lurus saja.

“Awas ya jangan tinggalin aku,” ancam Fanya karena khawatir Rafli meninggalkan dirinya.
“Kalo ku tinggal kamu pulangnya ngesot aja,hehehe.” Goda Rafli agar Fanya manyun lagi.
Fanya nggak menghiraukan ocehan Rafli. Dia berjalan meninggalkan Rafli yang sedah terkekeh. Bagi Fanya nggak ada lucunya. Beberapa kali Fanya berhenti berjalan untuk memastian dirinya masih pada jalur yang benar. Dibelakang Fanya ada Rafli yang terus membuntuti untuk menjaga. Meski Fanya bertanya pada Rafli arah mana dia harus berjalan tetapi Rafli tidak menghiraukannya. Fanya pun terus berjalan mengikuti intiusinya.

Dirasa sudah cukup jauh berjalan Fanya tanya pada Rafli. “Fli udah boleh di bukan belum? Udah jauh jalan nih.”
“Ya udah buka ajah.”

Fanya membuka tutup matanya. Betapa terkejutnnya Fanya berhasil menembus diantara kedua pohon beringin. Secara sepontan Fanya melonjak-lonjak kegirangan.

“Selamat ya berhasil. Kamu make wish apa?” Tanya Rafli penasaran.
“Ada dech….tar kalo di omongin nggak jadi kenyataan.” Kata Fanya ketus tanpa memandang Rafli.

Setelah berkeliling Kota Jogja mereka menuju Bukit Bintang yang berada diselatan Kota Jogja. Agak jauh juga dari pusat kota. Perjalanan kesana juga sudah sepi hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. Disana mereka bisa memandang gemerlapnya Kota Jogja sambil bersantai menikmati jagung bakar atau kacang rebus. Ada juga warung yang menjual aneka macam makanan. Tempat tonkrongan ini sebenarnya berada pinggir bukit tepatnya di bibir jurang. Jika siang hari langit cerah dari sini bisa terlihat gunung Merapi. Tetapi sekarang sudah malam yang terlihat hanya kerlip lampu jalanan yang mengarah ke puncak Merapi.

Fanya duduk samping Rafli dan menyandarkan kepala di lengannya. “Teranyata aslinya kamu beda juga ya dari di foto, lebih gateng di foto.” Ledek Fanya bercanda.
“Emang kamu cantik,weee” Rafli tidak mau kalah dengan Fanya.“Kenapa sih kamu suka ngambek gitu?”
“Abisnya kamu selalu nyebelin, nggak mau dengerin pendapat ku.” Bela Fanya. “Terus kamu juga nyebelin nggak ada insiatif untuk memulai menjelaskan duduk perkaranya. Pasti dari Yana yang jadi penengahnya.”
“Gimana mau jelasin tiba-tiba kontak BBM kamu ilang, aku cari di chat room nggak ada.”
“Telpon keq, atau sms gitu lah kan kamu punya nomer ku.” Fanya masih saja protes.
“Terus kenapa kalau kamu marah selalu delete nomer  atau segala bentuk perantara komunikasi.” Nada Rafli agak meninggi sedikit.
“Tadi bilangnya lupakan masa lalu, kenapa di ungkit lagi” Fanya berkilah menghindari perdebatan yang sebenarnya Fanya juga nggak tau alasannya kenapa. Pokoknya pengen delete aja.
“Tapi kamu janji jangan mengulangi lagi.” Pinta Rafli sambil menengok Fanya.

Fanya hanya mengangguk dengan manja.  Lalu megusel di bahu Rafli. Tapi Rafli menampik dan menjauhkan bahunya dari Fanya.
“Aku belum mandi, masih bau kecut.” Rafli memberikan alasan.
“Aku menyukai mu apa adanya, nggak saat kamu sedang keadaan bagus saja.” Fanya berargumen, sambiil memndang lekat-lekat mata Rafli. “Mau kamu sekarang dekil dan bau tetapi aku tetap menyukai. Aku suka hatimu, aku suka sikap gantleman kamu, aku suka becanda kamu, aku suka nasehat kamu, aku suka kedewasaan mu.” Rentetan kata keluar dari mulut Fanya alasan kenapa suka dengan Rafli.

Seketika itu juga Rafli mengecup kening Fanya. Melelehlah air mata kebahagiaan Fanya. Baru kali ini Fanya merasakan kebahagiaan luar biasa, berada dekat sama orang yang disayangnya padahal ini merupakan pertemuan pertama, tapi entah kenapa Fanya nyaman disamping Rafli. Pelukannya Rafli memberinya kehangatan yang berbeda. Ada ketulusan yang terlihat dari mata Rafli.  

Fanya memang mengenalnya dari sebuah chat room. Awalnya sih hanya sekedar mengobrol biasa saja itu pun di room umum ngobrol bersama yang lainnya. Suatu hari Rafli tiba-tiba query. Hanya sekedar perkenalan lebih dalam biasa aja. Lalu dilanjutkan dengan seringnya telpon dan ngobrol lewat whatsapp. Rafli sering member perhatian apalagi kalau Fanya sedang curhat dia bisa setia mendengarkan curhatan Fanya. Dari situlah tumbuh rasa suka.

Tapi ada sedikit ganjalan yang mengglayut di pikiran Fanya yaitu kebiasaan Rafli yang suka godain cewek di chat room apalagi mereka yang baru pertama kali gabung. Dulu pun Fanya kenal Rafli gara-gara itu juga.

“Aku sebel sama kamu.” Tiba-tiba perkataan Fanya menyentak Rafli.
“Ada apa lagi sih?”
“Jangan-jangan kamu mainin aku?”
“Mainin apa? Emang kamu mainan?” Rafli berusaha menahan emosinya. Rafli juga nggak ngerti maksud dari Fanya.
“Kamu sering godain cewek di room.” Fanya mengutarakan kekesalannya.
“Itukan becandaan aja di room.” Rafli membela diri, sambil menatap Fanya.
“Jangan-jangan kamu beccandain aku donk?” Mata Fanya berkilat penuh selidik.
“Nggak lah aku serius sama kamu. Entah kenapa ada rasa sayang muncul. Aku ngerasain kamu beda sama yang lain. Bisa ngobrol sama kamu, aku bisa happy. Kecuali satu yang buat sebel. Kamu suka ngambekan.”
“Liat ntar aja dech.” Fanya mengakhir perdebatan yang nggak ada habisnya.

Selanjutnya Fanya dan Rafli mengobrol ringan saling mengenal lebih dalam tentang kepribadian. Cerita masa lalu waktu masih kecil dan kebiasaan yang sering dilakukan. Setelah obrolan ini Fanya semakin banyak menemukan pribadi Rafli yang mengesankan. Dibalik hobi dia yang suka ngeggombal ternyata Rafli seroang pria yang bertanggung jawab.

Jam menunjukan Jam 03:00 mereka bergegas pulang ke hotel karena pesawat mereka semuanya pagi. Pertama Rafli mengantar Fanya ke hotel lalu Rafli ke hotelnya sendiri lalu menjemput Fanya dengan taxi untuk sama-sama pergi ke bandara.

Di terminal keberangkat Fanya duduk bersebelahan dengan Rafli. Raut kelelahan terpancar dari mereka tetapi hati mereka sedang berbunga-bunga. Mereka hanya bisa diam karena bingung ingin mengucapakan apa lagi semalam suntuk sudah mereka tumpahakan isi hati masing-masing. Fanya merasa berterima kasih pada Yana mengikuti sarannya.

Dari pengeras suara jadwal keberangkatan  Fanya sudah tiba. Sebelum ke apron Rafli sekali lagi mengecup keningnya dan mengataka “Kamu mau jadi pacar ku?,” Rafli memberikan kalung yang sudah dipersiapkannya dari Denpasar.

“Tunggu saja jawabannya, nggak lama koq.”  Jawab Fanya sambil lalu berjalan ke apron.
Di dalam pesawat sebelum take off, Fanya kirim sms ke Rafli. Betapa girangnya hati Fanya mendengar ucapan Rafli. Ah….harapan Fanya terkabul berkat berhasil dalam ritual masangin.

To: Rafli
“I Love You, Aku mau jadi pacar kamu. Terima kasih Jogja untuk sebuah malam seribu bintang.”


Tuesday 25 June 2013

Cerbung: Dia (Ilusi) Part 5

Aku tau dia berlari akan menghampiriku. Aku tetep saja pura-pura cuek dan bermain basket.  Aku tidak ingin terlihat betapa girangnya ketika dia dengan berkeringat menelusuri lapangan mencari pintu masuk ke arena lapangan. Walaupun wajahnya terlihat panic tetapi ku lihat pancaran sumeringah, seperti anak kecil yang berhasil mendapatkan mainan.  Aku harus tenang, dan tampil cool di depannya. 
Dentuman sepatunya menggema dilapangan semakin lama terdengar semakin mendekat. Dia ada dibelakang ku  dengusan nafasnya terdengar ditelinga semakin menggairahkan ketika setiap helaan nafas rasa pengorbanan yang akan dirasakan bersama. Ku mengendus bau parfumnya, dia tepat ada dibelakang ku.  
Aku harus bagaimana? Apa aku membalik dan menatapnya sembari menanti jawaban. Kalau dia menerima sih betapa girangnya aku, tetapi kalau tidak diterima rasanya aku mati? Oh tidak aku belum ingin mati, aku masih ingin terus  dekat dengannya.  Meskipun di tolak? Aku ingin tetap dekat denganya bisa terus memperhatikannya walau dia tidak memperhatikan ku. Ah jangan berfikir seperti itu. aku yakin dia pasti menerimaku. 
Aku melemparkan bola kedalam ring sambil agak loncat. Begitu mendaratkan kaki di lapangan bersemen tiba-tiba tubuh ku terasa hangat. Bau parfum bercampur keringat menusuk hidungku. Ada tangan yang melingkar di badan ku, kaitan tangan itu erat sekali ada di dada. Apa dia sedang memeluku? Aku tidak berani menengok. Aku mersakan beratnya kepala yang bersandar dibahu. Jantungku berdegub kencang. Kejutan apa yang akan ku terima? Semoga aku tidak terkapar terkena serangan jantung.
 “AKU SAYANG KAMU” sebuah bisikan lembut mendarat ditelingaku. 
Bulu kuduk ku berdiri, merinding mendengarkan 3 kata itu. Aku masih belum yakin apakah itu dia? Tetapi dari suaranya sepertinya aku telah mengenalnya selama tiga tahun ini. Bau parfumnya juga selama tiga tahun ini menyeruak di hidung ku. Tangan yang memeluk ku ini seperti cengkraman rantai yang erat seakan tidak tergoyahkan sayangnya  pada ku. Aku tau ini pasti dia.
Perlahan kuberani menengok kepala ini ke belakang, dugaan ku benar ternyata benar dia. Matanya yang sipit mencoba menusuk kan cinta pada mataku. Wajahnya yang bersih tanpa bulu kumis atau jenggot tampak senyum berseri. Nafasnya masih terengah namun sudah teratur, rambutnya basah oleh keringat begitu juga denga leher dahinya. Dia terlihat berbeda, pancaran cinta itu menyeruak diangara kita. 
Aku membalikan badan menghadap dia, tangan kita saling menggandeng dan aku mentapnya tajam mentransferkan cintaku pada dia. Ini memang klise seperti adegan dalam sinetron tapi ini adalah reaksi apa adanya. Betapa senangnya aku sampai bingung untuk mengungkapkan satu patah kata saja. Nampaknya dia sama seperti itu. Bibir kita seperti mau berbicara tapi terkunci, hanya mengatup. Kepala kita semakin medekat, terus mendekat dan menempelah bibir ku degan bibirnya. 
Gila!! Ini masih disekolah kita asik berciuman. Tapi ini aksi sepontan kita sama-sama meluapakan kesenangan. Cinta ku yang terpendam selama tiga tahun ini terbalaskan denga kata “AKU SAYANG KAMU” dari bibirnya. Mungkin dia juga merasakan hal sama betapa bahagianya kode-kode yang dia kirimkan dapat terbaca dan ku membalasnya dengan cara ini. 
Sekolah sudah sangat sepi hanya ada beberapa siswa yang ada di ruangan ekstrakulikuler. Sebagian lagi didepan kelas sambil mengerjakan tugas kelompok. Aku dan dia berjalan masuk ke area dalam sekolah. Kita memilih teras lantai dua untuk mengobrol lebih intim agar tidak ada orang yang mendengar pembicaraan ini. Sekalian untuk terakhir kalinya melihat sekolah beserta isinya. Kita duduk didepan kelas dia.
“Kenapa baru sekarang?” Kata dia memulai pembicaraan, nadanya sedih dan matanya sayu mentap ku. 
“Aku baru berani sekarang.” Aku mengatakan sambil tertunduk malu.
“Sejak kapan?” Dia beratanya lagi nadanya masih sama.
“Pertama kali bertemu di MOS, aku sudah suka senyum kamu. Lalu kita bersahabat aku merasa nyaman. Sejak kelas dua aku suka kamu. Kelas tiga aku tidak bisa melupakan mu dan sekarang aku tidak ingin kehilangan mu.” Semoga penjelasaku ini bisa diterimanya. Aku baru berani menengok ke hadapan dia setelah kalimat selesai. 
“Aku benci kamu.” Dian mendadak menjadi bengis, dahinya juga ikut mengernyit.
Aku tersentak kaget, dan menerka apa yang dipikirkannya. Apa mungkin dia akan mengungkit kejadian kelas dua?. Aku bingunng. Aku hanya bisa diam, menunggu respon lanjutannya dia.
“Aku benci kenapa nggak dari dulu kamu bilang semua ini? Aku benci sekarang kamu baru bilang ketika kita sudah tidak satu sekolah lagi?” Dia menggelontorkan pertanyaan yang sulit ku jelaskan. Mimiknya semakin sedih.
Sekali lagi kudiam aku nggak tau harus mengatakan apa. Aku hanya bisa bergumam.
“Baru sekarang aku berani.” Aku bernani menjelaskannya walaupun tidak yakin dengan jawab ini. “Mungkin ini akhir dari masa sekolah kita. Tapi bisa menjadi awal hubungan yang lebih erat lagi untuk hari ini dan seterusnya. Kita buka lebaran baru bila kemarin bersahabat besok berbeda lagi.” Aku berusaha meyakinkan dia.
Dia menarik nafas seperti ingin menyemburkan rentetan pertanyaan lagi. Lalu jari telunjuk ku ke bibir dia menyuruhnnya diam karena aku belum selesai berbicara. 
“Meskipun kita berbeda kota lagi, tapi cinta kita satu. Sudah terbukti tiga tahun ini walau kita pernah beratem atau kita pernah berpisah lama tapi kita tetap saja menjadi dekat lagi, apa lagi dulu hanya sebatas sahabat. Sekarang kita sudah lebih dari sahabat. Aku percaya kita bisa laluinya.” Kata ku dengan serius dengan menggenggam sebelah tangannya.
Dia menahan tangin, disudut matanya tersempil titik air mata. Taganya memegang erat tangan ku. 
“Aku percaya sama kamu.” Kata dia  tegar. “Kita jalani saja dulu hubungan ini.” Tetapi sedetik kemudia terasa ada keraguan darinya. 
“Kamu masih ragu?” Tanya ku juga ragu keseriusan dia.
“Kalau aku ragu sama kamu, aku nggak nerima kamu jadi pacar ku. Kalau aku ragu dengan mu aku tidak sudi berbaikan lagi dengan mu. Aku sudah terlalu sayang sama kamu.” Di awal nadanya naik karena tidak terima tuduhan ku, namun di akhir kalimat dia melunak dan memberikan senyum pada ku. 
Aku semakin mengencangkan genggaman ini. Yakin dengan perkataannya bahwa dia memang serius bersama ku. 
“Aku tidak ingin menyakitimu yang kedua kali.” Menengok lagi ke dia sambil tersenyum. 
Dia memeluk ku lagi dengan erat. Tetapi kenapa semakin berat badan ini, rasanya tulang ini semakin remuk. Apa ada yang patah tadi main basket atau patah karena dipeluk dia. Ini berat sekali seperti gajah menimpa ku. Nafas ku sesak rasanya sulit menghirup udara, semakin lama tercekik. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuh. Ada apa ini?
Seketika itu juga mata ku terbelalak. Gelap tidak  ada cahaya, pekat apa yang kulihat. Ah ternyata aku masih di kamar dan langit sudah gelap aku terlalu lelah memikirkan sehingga terlelap tidur untuk melupakannya. Jadi semua itu tadi hanyalah mimpi dan ilusi? 

Sunday 23 June 2013

Cerbung : Dia (Pencampakan) Part 4

Dia (mencapakan aku)
Hati ku terhunus oleh belati perkataaan. Aku mematung mendengarkan bisikan itu. Beribu perasaan penghancuran yang ada disanubari ku. Perkataan itu terus terngiang di telinga dan di otak ku. Ungkapan dia  itu melengkapi  nestapa hidup ini. Aku sakit, aku malu dan aku hina.
Kemarin hari terakhir sekolah. Aku sedih karena masa indah bersamanya akan berakhir di sekolah itu. Andai aku bisa terus dan terus memutar waktu untuk mengulang kembali masa indah MOS, bercengkrama denganya, membuat PR bareng. Ah……sayang itu hanyalah ilusi semata. Aku berharap kemarin menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidup ku. Aku memberikan sesuatu yang selama ini kupendam.
MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI  http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase

Perpisahan 3 (Nestapa)

Setelah makan usai Risma mengikuti kakaknya masuk kamar. Hans sendiri masih membereskan meja makan dan akan mencuci piring.
Di dalam kamar, Afan tiduran di kasurna sedangkann Risma duduk di meja belajar memandang gelapnya malam yang terlihat dari jendela. Akan tetapi pikiran Risma masih melayang pada percaraian orang tuanya. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin disamapaikan tetapi bingung untuk mengucapkan.
“Kak, kenapa sih mama papah cerai?” Risma menengok abangnya yang sedang asik membaca komik dengan nada sedih.
“Kan tadi papah dah jelasin.” Jawab Afan singkat matanya masih tertuju pada komik.
“Maksud adek itu emang masalahnya rumit banget ya?” Risma membalikan bada ke arah Afan agar kakaknya lebih peduli pada obrolan ini.
Afan menaruh komiknya di samping, sekarang Afan merubah posisinya duduk menghadap Risma. “Adek Risma sayang……” Afan sengaja belum menuntaskan kalimatnya karena masih bingung harus menjawab bagaimana. “Kakak juga nggak tau dek masalah mereka pa.  Kan kakak belum dewasa jadi belum tau maslah orang dewasa seperti apa.” Jawab Afan polos.
Sepertinya Risma masih belum puas dengan jawaban kakaknya. Risma kembali memutar memusatkan pikirannya untuk berfikir lebih spesifik. “Kan kalau orang nikah itu pakai cinta dan sayang. Tadi kata papah masih saling sayang, berarti mereka udah nggak cinta donk?” Pikiran Risma semakin njlimet di luar kapasitas anak umur 5 tahun.
“Mungkin” Jawab Afan singkat sambil menggerakan bahunya ke atas tanda ragu dan tidak mengerti.
Risma mendekati Afan dan duduk di sebelahnya.”Kakak masih sayang nggak sama adek?” Suara tertahan menangis keluar dari bibir Risma.
“Kakak sayang…….banget sama adek.” Afan jadi merasa iba kepada adeknya yang masih kecil yang belum begitu mengenal dunia orang dewasa. Sebenarnya Afan juga takut dengan perubahan ini. Tetapi dihadapan adiknya Afan berusaha tegar. “Adek juga sayang kan sama kakak?”
Risma mengangguk pelan dan tumpah sudah derai air mata.
“Adek jangan cengeng donk. Adek harus kuat kayak kakak. Kalau adek sedih cerita aja sama kakak. Pokoknya kita jangan terlihat sedih di depan mamah papah. Nanti kalau keliatan sedih mamah papah ikutan sedih, lalu kita jadi keluarga galau.” Afak menjadi sok dewasa demi adiknya untuk terus berusaha kuat.
“Iya adek janji nggak cengeng lagi. Adek harus kuat seperti kakak.” Ucap Risma sambil menyeka air matanya yang mengalir dipipi. “Mamah kangen kita nggak ya kak?” Risma kembali melanjutkan pertanyaann.
Afan yang sudah memegang komik dan melanjutkan membaca, membatalkan niatnya. Afan tidak mau meliahat adeknya dirundung kesedihan hanya karena orang tuanya bercerai.
 “Pasti kangen lah dek. Mamah juga kan gak ninggalin kita selamanya. Nanti kalau udah beres semua pasti kita bisa ketemu mamah bisa jalan-jalan, makan masakan mamah.” Afan mencoba menghibur adiknya yang masih saja galau.
“Kakak janji ya jangan tinggalin adek. Pokoknya adek ikut sama kakak terus.” Risma kembali meneteskan air mata, meminta Afan agar terus menjaganya.
Afan mengangguk tanda sanggup.
@@@
Di balik pintu kamar Afan, Hans menempelkan kupingnya di pintu untuk mencuri dengar pembicaraan kedua buah hatinya. Mendengar itu semua hati Hans hancur tidak karuan. Dirinya telah merasa gagal membangun sebuah keluarga yang harmonis dan jauh dari kata perceraian. Hans juga merasa berdosa telah membuat menderita Afan dan Risma karena ke egoisan dirinya dan Dania. Di depan pintu itu juga Hans menangis tersedu, berbagai macam perasaan berkecambuk dihatinya. 

Friday 21 June 2013

Perpisahan 2 (Penjelasan)

“Papah cerai?” Kata itu meluncur dari Afan langsung menuju sasaran dengan tatapan menusuk pandangan Hans.
Pertanyaan itu begitu telak dan menohok hati Hans. Kagetnya luar biasa, sampai jari Hans teriris pisau. Hans tidak menyangka Afan yang berusia 7 tahun telah mengerti arti kata cerai. Entah dari mana belajar kata seperti  itu. Risma yang asik mengupas menjadi mematung tampaknya Risma juga telah mamahami arti kata cerai.
Hans tak berkutik lagi tetapi bagaimanapun juga masalah ini harus diselesaikan. Otak Hans mulai berputar mencai istilah yang tepat untuk menjelaskan perpisahan ini kepada anak yang masih berumur 5 dan 7 tahun. Darah juga masih keluar dari jarinya, tetapi Hans tidak memperdulikannya. Suasana hening menyelimuti rumah, Risma hanya bisa tertunduk, Afan terus menatap tajam Hans berusaha bertahan meminta jawaban dari papahnya. Sedangan Hans, berusaha tegar untuk menjelaskan semuanya.
“Sebentar, nanti papah jelaskan. Papah mau ambil bersihin luka ini dulu sama ambil plester.” Hans segera beranjak dari tempat duduknya sambil mengulur waktu agar bisa berfikir lebih jernih lagi.
“Papah nggak berusaha untuk kabur kan?” celetuk Risma, yang ternyata diam-diam ikut mengintimidasi Hans.
Hampir saja Hans terjatuh karena kaget. Ternyata Risma pun sudah dewasa karena bisa membaca pikiran papahya. Sebenarnya Hans punya fikiran untuk menyudahi pembicaraan ini sepihak karena suasanya sudah tidak nyaman lagi diluar dari rencana Hans.
Beberapa saat kemudian Hans kembali duduk jari telunjuknya sudah dipleseter dan Hans sudah siap menghadapi kedua hakim yang gregetan untuk mencecar Hans yang seakan-akan jadi terdakwa.
“Ok, papah jelasakan. Papah sama Mamah sudah tidak ada kecocokan lagi.” Hans mencoba menjawab pertanyaan Afan dengan lugas.
“Ich emang Papah itu artis??” Tanya Afan yang matanya masih menghunus Hans. Hans pun tak memahami maksud perkataan Afan. “Kan artis kalo ditanya cerai jawabannya seperti itu.” Afan menlanjtukan perkataanya agar Hans mengerti apa yang di maksudnya.
“Ouhh ya ya ya sekarang papah tau. Pasti kalian “belajar” dari infotaiment ya? hahahaha” Hans tertawa karena lucu melihat polah tingkah anaknya bukan seperti hakim yang ada di benaknya melainkan jadi wartawan infotaiment.
Afan hanya bisa mengangguk, tetapi dia masih antusias untuk mendengarkan penjelasan dari Hans menganai perceraian.
“Papah sama mamah sudah berbeda misi dan visi dalam membangun rumah tangga ini, hhmm,” Hans tidak yakin penjelasannya bisa di pahami anaknya dan segera meralatnya. “Begini, papah ingin A tetapi mamah ingin B jadi kita berbeda pedapat.”
“Ouh gitu….tapikan kenapa papah sama mamah nggak tanya pendapat kita?” Tanya Risma polos, mungkin dipikirnya ini masalah tersebut hanya memilih baju mana yang bagus.
“Ayo lanjutin lagi Risma ngupas wortel, Afan motong brokoli.” Hans menyuruh kedua anaknya untuk membantu masak agar suasana kembali cair.
“Afan sama Risma lebih senang papah mamah bertengkar terus tapi satu rumah atau lebih suka kita akur tetapi beda rumah?” Hans kembali mendiskusikan perceraian ini.
“Lebih suka akur.” Jawab Risma ragu “Tapi…..” Risma enggan menyelesaikan masalahnya karena masih berfikir.
“Nggak dua-duanya.” Jawab Afan ketus.
“Afan dan Risma, mamah Dania dan Papah Hans kita semua masih keluarga walau nanti mamah sama papah nggak serumah.” Hans mencoba menjelas dengan hati-hati. Hans menghentikan kegiatanya. “Risma tetap jadi adeknya Afan, Afan juga tetap jadi adeknya Risma. Dan kalian tetap jadi anak mamah papah.”
Hans beranjak dari tempat duduknya lalu bernjalan mengitari meja makan menuju Risma da Afan yang duduk bersebelahan. Lalu di peluknya Afan dan Risma sembagai tanda kita semua masih keluarga sampai kapan pun.
“Pah nanti adek sama kakak tinggal sama siapa dan dimana?” Tanya Risma memelas.
Masih memeluk, Hans menjawab pertanyaan. “Kalian bebas mau tinggal sama siapa, bisa seminggu sama papah lalu gentian sama mamah. Terserah kalian juga.” Hans berhati-hati barang kali salah ucap. Hans juga bersikap netral tidak membujuk anaknya untuk tinggal bersama. Hans yakin Dania juga akan bersikap sama, karena tidak ingin semakin mengoyak perasaan anaknya yang menjadi rebutan.
“Pah kenapa sih berpisah?” Ternyata Afan masih belum puas jawaban dari Hans.
“Tadi kan papah udah jelasin.” Hans melepas pelukan dan beralih jongkok di sebelah Afan. “Afan, kalau diterusin lagi nanti kan menyakiti hati kita semua.  Afan nggak mau juga kan liat mamah papah berantem terus?” Hans berusaha memberi pengertian kepada Afan.
“Lalu yang salah siapa?”  Tanya Risma ikutan menjadi wartawan infotaiment.
Hans mengernyitkan dahi, pikirannya kembali melayang mencari jawaban yang tepat. “Nggak ada yang salah dan nggak ada yang benar. Papah sama mamah punya pendapat sendiri-sendiri dan semuanya ada kekurangannya dan kelebihan.”  Hans berharap semoga cepat berakhir diskusi ini.
“Papah sama mamah nggak ada yang selingkuh kan?” Hans teperanjat mendapat pertanyaan dari Afan. Ternyata Afan lebih dewasa dari dugaannya.
“Kenapa Afan menduga seperti itu?” Hans masih meredam emosinya menanggapi Afan tetapi sudah ada rasa gregetan.
“Kan biasanya artis-artis gitu pah, alasan cerai karena ketidak cocokan eh tau-tau dia selingkuh.”  Jawab Risma polos.
“hahahahaha” Hans sekali lagi tertawa karena kepolosan anaknya yang tadinya sudah geram menjadi rileks lagi. “Nggak lah dek, gak ada orang ketiga atau orang ke empat atau orang-orang lain yang ikut nimbrung.”
“Terus kalau kita pengen jalan-jalan gimana?” Risma melanjutkan lagi pertanyaan yang ada dibenaknya,
“Kita masih bisa jalan berempat, yang bedakan papah sama mamah nggak serumah lagi.” Hans mulai bosan dengan diskusi ini. Pasti akan ada banyak pertanyaan kritis dari Afan dan pertanyaan polos dari Risma.
“Papah masih sayang sama mamah?” Afan bertanya dengan raut memelas.
“Pastinyalah sayan sama mamah.”
“Tapi kenapa kalian berpisah? Katanya tadi saling menyakiti? Berartikan nggak sayang.” Afan menembekan serentetan kata yang sekali lagi membuat Hans tidak berkutik.
“Kakak sayang adek nggak?” Tanya Hans pada Afan.
Afan hanya bisa menganggukan kepala tetapi masih tidak paham maksud dari Hans.
Hans bersiap melanjutkan penejelsannya. Dia berpindah posisi kini kembali ketempat duduknya semula. Hans juga menyadari cara menjelaskan sambil memask ternyata tidak efektif karena jadi terbengkalai.
“Kakak sama Adek saling sayang kenapa sering berantem?” Hans mencoba memancing pendapat dari Afan.
Afan diam sejenak, memikirkan jawabannya. “Hhmmm abisnya adek nyebelin sih, kakak minta apa adek gak kasih atau adek juga suka ngerebut mainan kakak.” Afan menjawab dengan semangat.
“Ye…. Nggak ya….Kak Afan juga nyebelin suka nyuruh-nyuruh adek padahal kakak kan bisa sendiri.” Risma nggak mau kalah dari Afan dan membuat tuduhan lain tetang tabiat kakaknya.
“Tuh kan baru sebentar kalian sudah berantem. Iya begitulah mamah sama papah saling sayang tapi suka berantem juga. Tetapi masalah mamah sama papah sudah berbeda sama kalian.
“Tapi pah…….” Afan ingin melanjutkan pertanyaan lainnya tetapi telunjuk Hans mengarahkanke bibir Afan tanda agar diam.
“Papah mau lanjutin masak lagi, kalian laparkan? Nanti kalian pas kalian dewasa akan mengerti tentang perceran dan papah sangat mengharapkan jangan sampai terjadi.” Hans mengakhiri pembicaraan ini sebelum semakin panjang dan pertanyaan menyodok keluar dari Afan.

Bersambung

Thursday 20 June 2013

Peripisahan (Penghakiman)

Perpisahan
Langit jinngga menggantung di Kota Tegal. Afan yang mengenakan terlihat mencincing sarungnya dan Risma yang memakai mukena pun sama terlihat menyincing mukenahnya. Mereka berlari sambil dengan raut muka ketakutan. Mushola yang dituju sudah didepan mata namun mereka mengurungkan niatnya malah berbalik arah menuju rumah.  Semakin medekat rumah semakin kencan larinya, wajah mereka juga panic.
Kedubrag…. Bunyi pintu yang di bating oleh Risma karena dia yang terakhir berlarinya. “Papa………pa……..” Teriak Risma memanggil papanya. Sedangkan Afan lebih meringkuk di atas sofa ruang keluarga.
Hans segera keluar dari kamarnya baju kantor juga masih melekat di badannya. Secara sigap Hans menangkap putrinya dan langsung di gendongnya. “Ada apa Ris? Koq kamu ketakutan gitu sih? Sini papa peluk.” Hans mendekap Risma memberikan rasa aman, sambil berjalan ke Afan.
Afan masih saja meringkuk sambil menutup matanya.  Hans duduk di sebelah Afan sambil salah satu tangannya mencoba menggapai tangan afan yang menutupi wajah. “Ada Fan? Kenapa kalaian berdua panik seperti itu?” Hans semakin khawatir karena belum memperoleh jawaban dari kedua anaknya.
“Tadi kita lihat pocong, di pekaragan sebelah Mushola pah.” Risma yang berumur 5 tahun menjelaskan ketakutannya pada Hans.
“Masa sih ada pocong?” Hans tidak mempercayai begitu saja ucapan dari Risma.
“Beneran pah….. tadi Afan juga lihat, pocongnya keluar dari pekarangan sebelah rumah Mbah Eni.” Afan jagoan kecil berusia 7 tahun bersemangat menceritakannya.
“Itu mungkin mbah Eni kali Fan. Mbah Eni kan sering sholat di Mushola dia keluar lewat pekarangannya.” Hans menjelaskan sesuai dengan terkaannya.
Afan dan Risma bernafas lega. Risma segera turun dari pangkuan Hans dan dudu sebelah kanannya. Afan juga juga tidak menutupi wajahnya dengan tangan, tetapi berganti memeluk guling. Hans beranjak dari sofa.
“Ayo kita sholat bareng, tapi nanti setelah papah mandi ya. Jangan takut ini kan rumah kalian sendiri.” Hans memastikan dirumahnya tidak ada setan.
@@@
Setelah sholat.
Hans masih duduk bersila di ruang sholat. Setelah berdoa Afan  beralaman kepada Hans. Saat giliran Risma, dia berkata “Pah kapan mamah pulang?”
Pertanyaa tersebut mengagetkan Hans. Memang Dania, istri Hans yang sudah dinikahi 10 tahun tak kunjung pulang. Pernikahan mereka sedang ada di ujung perjalanan. Ada berbagai masalah pelik yang tidak bisa selesaikan. Dania lebih memilih meninggalka anaknya sementara waktu untuk menenangkan pikiran. Dania pikir Hans cukup mampu untuk merawat anaknya dalam beberapa bulan sambil menunggu keputusan dari Hakim, barulah nanti bagaimana mendidik Afan dan Risma.
Hans tidak menjawab langsung pertanyaan Risma karena masih bingung harus memulainya dari mana. Sebenarnya Hans mau tidak mau harus siap dengan pertanyaan itu. Sambil memikirkan jawaban, Hans mengalihakan perhatian.  “Risma berdoa aja sama Allah, minta biar mamah cepet pulang.”
Keluarga kecil tersebut bergegas merapihkan sarung dan mukenah. Mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton telivisi. Biasanya saat seperti ini suasana riuh bercanda memenuhi ruangan. Namun sekarang hanya suara televisi yang bergema. Afan dan Risma asik menonton DVD film kartun kebetulan besok sekolah sudah libur jadi Hans memperbolehkan anaknya mentonton DVD.
“Pah, Risma kangen mamah.” Tiba-tiba Risma mengatakan hal tersebut membuat hati Hans melengos.
“Papah juga kangen, kak Afan kangen. Tapi mamah kan belum bisa pulang masih ada hal yang dikerjakan.” Jawab Hans sekenanya berharap Risma tidak melanjutkan pertanyaan lagi.
“Tapi sampai kapan mamah pulang?” Tanya Risma lagi.
Hans bingung harus menjawab apa. “Ayo kita masak yuk, kalian sudah laparkan. Kita masak bareng-bareng seperti dulu.” Hans segera ambil tindakan untuk menjauhi pertanyaan lebih menelisik.
Hans segera beranjak ke dapur di ikuti keuda anaknya. Lalu hans mengambil sayuran segar di kulkas dan menaruhnya di meja. Afan dan Risma duduk di meja makan tempat Hans menaruh sayuran. Hans duduk disebrang anak-anak. Hans mengambil sawi lalu mulai di irisnya.
Hans sudah mengambil ancang-ancang untuk menjelaskan tentang perpisahannya dengan Dania.
“Adek bantu papah mengupas  wortel ya ini.” Hans memberikan beberapa wortel kepada Risma, Hans memang sengaja memberikannya agar perhatian Risma tidak terpusat pada pembicaraan yang nanti akan berlangsung.
Risma mengambil satu wortel dengan wajah ceria dan mulai mengupasya.
“Adek sama kakak kangen ya sama mamah?” Tanya Hans lembut kepada Risma yang biasa dipanggil adek dan Afan yang lebih tua dipanggil kakak.
“Kangen…..” jawab mereka kompak.
“Sekarang papah sama mamah udah nggak bisa tinggal bersama lagi,” Hans menjelaskan dengan hati.
“Papah cerai?” Kata Afan langsung menuju sasaran.