Monday 30 December 2013

#2014Wish

2013 sudah lewat, telah dijalani.
Hasilnya? Banyak belajar dari 2013. Belajar mengenai kegagalan. Kegagalan bermacam-macam. contohnya naskah pertama nggak ada kabar sampe sekarang. Aku pikir sih itu emang salah ku juga, terlalu gegabah untuk terlalu percaya diri mengirimkan padahal tulisan itu masih sangat berantakan. Itu adalah bagian dari pelajaran, untuk sadar diri dan segera diperbaiki. Hasilnya naskah ke dua jadi.

2013. Ikhlas dari kegagalan. menerima lapang dada. susah banget, tetapi kenyataan harus seperti itu. Aku pikir ini bukanlah gegalan tapi proses belajar.

#MakeWish

2014 sebuah harapan baru. Aku berdoa dan berharap naskah ini bisa diterima. dan bisa di baca oleh semua orang. Bisa diambil hikmah yang terkandung dari tulisan itu.
Seomoga bisa menjadi lebih baik. Berharap awal dari sebuah kebangkitan.

Friday 13 December 2013

Cerpen : Mewujudkan Mimpi

Mimpi!! Gara-gara mimpi itu, saya terseret sampai ke Jogja. Sekarang sudah 5 tahun, tetapi mimpi itu masih belum terwujud juga. Saya sudah merasa sangat lelah untuk menggapainya. Rasanya saya ingin tinggalkan mimpi itu. Namun bila diingat lagi, sayang jika ditinggalkan begitu saja. Hanya tinggal selangkah lagi mimpi itu akan terwujud, saya harus semangat, karena mimpi itu ada semangat hidup saya saat ini.

Waktu kecil saya bermimpi untuk menjadi wartawan. Saya melihat sosok wartawan itu sangat keren. Bisa ketemu sama orang-orang hebat, artis, menteri, bahkan presiden. Saya ingin memberikan sebuah inspirasi kepada siapa saja yang mau melihat atau mendengarkan hasil repotase. Motivasi lainnya adalah bia jalan-jalan gratis,hehehehe.

Sejak itulah saya bertekad untuk menjadi wartawan. Langkah pertama saya harus kuliah jurusan ilmu komunikasi kosentrasi jurnalistik. Usaha itu sudah saya lalukan untuk rajin kuliah dan menyimak dosen mengajar (kalu lagi niat). Tetapi itu semua bukan jaminan untuk cepat lulus. Perjalanan saya terhambat pada yang namanya SKRIPSI. Sebenarnya saya sedang mengerjakannya dan hampir saja selesai. Cuma...jika saya mulai mengetik lagi, entah kenapa kepala ini mendadak pusing, perut mual, rasa kantuk mendera.

Tadi pagi, pas ke kampus nggak sengaja ketemu sama Pak Rahmat, dia ini yang jadi dosen pembimbing skripsi saya. Dia menegur untuk segera menyelesaikan skripsi yang hampir rampung. Tak hanya itu saja, dengan terpaksa saya mendengarkan ceramah dan nasehat bijak dari Pak Rahmat. Saya tau maksudnya dia baik, tetapi ditelinga ini membuat panas karena dia menggunakan nada nyinyir. Sudahlah tak usah dipikirkan omoangan dia.


Malam ini saya bertekad untuk segera menyelesaikan skripsi yang sudah tertahan lebih dari sebulan. Nggak boleh ditunda-tunda lagi. Sebenarnya bukan karena teguran Pak Rahmat yang membuat saya sadar sejenak untuk mengerjakan skripsi. Tetapi karena ultimatum ayahlah yang menggerakan jiwa dan raga untuk segera merampungkan skripsi, jika tidak selesai semester depan ayah nggak akan membiayai perpanjangan skiripsi, kost, dan lain sebagainya. Itu tandanya kiamat kecil buat saya.

Sejak pulang dari kampus, saya sudah menyiapkan amunisi, yaitu dengan tidur yang cukup untuk lembur dimalam ini. Tadi sehabis Magrib juga sudah makan banyak.

Ayo semangat kerjakan sekarang!! Saya hanya membatin untuk menyemangati diri sendiri. Laptop yang ada di meja lipat sudah terbuka. Saya bergegas mencari folder yang berisi skripsi di My Document. Disalah satu foldernya terselip bab 3. Sebenarnya bab itu sudah rampung cuma perlu ada revisi dibeberapa bagian. Khususnya yang analisis data. Saya mengklik nama file tersebut, berapa detik kemudian muncul lah tulisan-tulisan yang membuat perut ini mendadak melintir dan mata mendadak ngantuk.

Saya harus lawan itu semua. Pokoknya harus tahan kantuk, ini cobaan pertama kalau udah buka skripsi. Saya memperhatikan deretan tulisan yang ada di layar. Semakin lama mata ini semakin berat. Tak usah hiraukan rasa kantuk itu, tetap fokus dan fokus. Tidak berhasil juga, rasanya semakin lelah mata ini padahal baru berapa menit.

Nyerah.....saya mengalihkan perhatian dengan membuka beberapa blog untuk membaca artikel yang sudah di bookmark. Setelah membuka laman blog itu, mata saya menjadi membaik, tidak selelah tadi, padahal sama-sama membaca deretan tulisan. Saya amati dan terfikir ternyata masalah pencahayaan. Blog yang ku baca backgroundnya gelap.

Saya kembali membuka file yang tadi tertutup. Kecerahan cahaya laptop di atur ulang, di setting menjadi lebih temaram. Barulah saya merasakan melihat tulisan yang ada di layar laptop enak untuk di lihat dan nggak bikin lelah. Masalah mata lelah sudah terselesaikan. Energi untuk mengerjakan skripsi kembali meningkat. Sepuluh jari ini dengan lincah mengetikan huruf sampai pada suatu pembahasan yang mengharuskan saya membuka buku.

Terpaksa saya beranjak dari tempat duduk mencari buku. Tumpukan buku yang ada di meja saya berantakin tetapi tak ditemukan. Beralih ke rak buku gantung yang ada di atas televisi. Setelah diamati, tidak ada juga. Saya mulai frustasi, dimana buku itu? Kenapa disaat yang genting seperti ini malah tidak ada. Segera saya mengecek tas yang biasa dipakai untuk ke kampus, namun hasilnya nihil. Kali ini bukan hanya frustasi tetapi sudah menjadi panik. Itu adalah buku mahal, bukan itu juga masalahnya tetapi materi skirpsi saya ada disitu juga. Tidaaakkk!!! Jerit saya dalam hati. Cobaan apa lagi ini?

Di sudut ruangan kost yang berantakan saya kembali mengingat lagi rentetetan kejadian yang membuat buku itu menjadi hilang. Terakhir saya memegang buku itu tiga hari lalu, Aris datang ke kost mau pinjam buku. Berarti buku itu ada di tangan Aris donk? Saya langsung lemas, udah semangat mau ngerjain skripsi eh malah bukunya nggak ada. Mau ambil buku, males banget ke kost Aris yang jauh. Kenapa jadi saya yang repot? kan dia yang pinjam harusnya dia juga donk yang balikin. Benci dech!!! Pada suka pinjem tapi gak mau dibalikin, saya hanya bisa mengumpat pada udara.

Demi masa depan terpaksa aku menghubungi Aris. “Ris, kamu dimana? Buku “Dasar Jurnalis” di kamu toh? Mau ambil buku nih, atau kamu balikin sekarang juga!!” Saya mencecar beberapa pertanyaan dan di akhiri pemaksaan agar dia mengembalikan.
“Iya di aku koq bukunya. Nih lagi aku tenteng. Ketemu langsung di Kalimilk Seturan ya,” kata Aris di balik telpon. Saya sepakat untuk ketemu disana, padahal tempat ketemuan itu lebih jauh dari pada saya ke kost Aris. Sekalian ngerjain skripsi dan santai, apalagi ada Aris bisa tempat bertukar pikiran.

Perlu 15 menit untuk sampai tujuan, apalagi lagi sekarang sedang jam makan malam pasti tambah ramai khususnya daerah kostan mahasiswa. Meskti agak tersendat di jalan Solo khusunya depan Plaza Ambarukmo tetapi sampai tempat tujuan tepat waktu sesuai dengan perkiraan.

Dari parkiran terllihat Aris sedang menyeruput susu. Di depannya ada dia cewek, saya mengenalnya dengan nama Rahmi, anak komunikasi juga seangkatan tetapi dia ambil periklanan. Saya menghampiri mereka yang sepertinya sedang sibuk  diskusi.

“Hai! Lagi ngomongin Pak Abror ya.” Sela saya  diantara obrolan mereka yang tanpa menyadari kedatangan saya.
“Hai.....” sapa mereka kompak meski agak garing. “Tau aja nih lagi ngomongin Pak Abror,” kata Rahmi sambil nyengir.
“Tau lah, itu kebiasaan mahasiswa lagi frustasi dapet pembimbing dia yang super ribet,” balas saya sambil menyeret kursi yang segera di tempati.
“Bukan gue aja yang korban dia, Ndi.” Rahmi menatap saya dengan memelas.
“Aku juga,” timpal Aris matanya berkilat seperti penuh dendam.

“So, sekarang ini sedang ada pertemuan para mahasiswa frustasi sama skripsi?” canda saya untuk mencairkan masalah.

Biar saya jelaskan. Aris adalah sahabat saya, meski baru deket setahun ini, itupun gara-gara kita sering ketemu pas bimbingan skripsi. Dia ini masuk kosentrasi broadcasting. Skripsinya tentang peliputan berita, otomatis dia orang yang sering banget pinjem buku tentang jurnalis pada saya. Sekarang ini Aris sedang bingung dengan kelakukan dosen pembimbingnya yaitu Pak Abror. Kata mahasiswa komunikasi, suatu bencana dapat pembimbing dia. Bisa dibuat mati gaya sama itu dosen. Misalnya, bimbingan hari ini dia nyuruh apa, bimbingan berikutnya disalahkan lagi dan disuruh bikin itu.

Inilah salah satau penghambat lulusnya mahasiswa dari faktor dosen pembimbing. Awalnya saya menyimpulkan itu masalah dari mahasiswa karena faktor malas atau emang nggak bener pas ngerjain skripsi. Baru belakangan asusmi itu terpatahkan karena banyak sekali mahasiswa yang bimbingan sama dia berkeluh kesah. Saya heran, masalah seperti itu koq nggak ada teguran dari fakultas. Dosen yang kayak gini memang perlu dididik ulang biar nggak labil lagi.

Sedangkan Ramhi itu senasib dengan Aris yang mendapat pembimbing skripsinya Pak Abror. Rahmi sedikit beruntung sebab Pak Abror bukanlah pembimbing utama. Saya sih nggak begitu kenal dia karena nggak pernah satu kelas, selain itu jadwal bimbingnya beda.  Jika ketemu di kampus tetap say hai buat keakraban sesama penghuni fakultas komunikasi. Saya pernah dengar, Rahmi salah satu mahasiswi pintar. Dia telat lulus gara-gara semester lalu ikut pertukaran pelajar ke Ausie.

“Sory ya gue nggak bagian dari mahasiswi desperate skripsi.” Rahmi membela diri. Memang benar juga. Rahmi baru saja mengerjakan skripsi, jadi belum mendapatkan dampak dari betapa pusingnya ngerjain skripsi. Dia baru saja akan maju seminar pertanggung jawaban bab 1. “Gue mau tanya-tanya sama Aris gimana mekanisme seminar. Dan selama ini Pak Abror baik tuh sama gue,” kelakar Ramhi dengan senyum menyeringai menyebalkan buat Aris yang merasa terdzolimi oleh Pak Abror.

Saya hanya membatin dalam diri. Wajar saja Rahmi bilang gitu karena belum mendapatkan “tamparan” skripsi. Waktu mengerjakan bab 1 saya lancar saja, optimis dalam satu semester kelar tetapi nyatanya sekarang sudah semester kedua dalam pengerjaan skripsi. Penyebabnya adalah pada bab 3. Bagian penyajian data dan penelitian. Disinilah hampir semua ilmu yang kita pelajari dari awal sampai akhir dituangkan. Sungguh beruntung buat  mahasiswa yang rajin mencatat. Nah buat saya dan Aris suatu bencana karena malas mencatat, hasilnya sekarang keteteran mencari refrensi untuk membahas penelitian.

 Waktu mencari data mahasiswa sering dibuat bingung oleh instansi tempat penelitian. Sering instansi itu melempar mahasiswa. Misalnya begini, kepala cabang bilang perlu di urus oleh bagian perizinan, dari situ di lempar ke tata usaha, nanti dilempar lagi ke entah berantah. Itu baru mau izin penilitan belum lagi pas ambil data pasti nggak kalah ribetnya. Ada yang alasan itu rahasia perusahaan. Terus bilangnya, petugasnya orang baru belum ngerti banyak. Jika mahasiswa ingin pindah penelitian bakal tambah repot lagi. Okay, sekian sesi curhat versi saya tentang penelitian.

“Sebenarnya aku juga nggak ada masalah sama skripsi!” Meskipun Aris berkilah tetapi kentara sekali suara Aris geram, tidak bisa menyembunyikan kebohongannya. “Tetapi aku bermasalah yang namanya Pak Abror. Kalau bukan karena dia mungkin aku sudah wisuda semester lalu. Aku sampai nggak ngerti harus gimana lagi untuk bimbingan sama dia.” Ternyata Aris masih membahas kekesalannya terhadap dosen pembimbingnya yang dianggap terlalu menyusahkan.
“Sabar. Mungkin ini seninya skripsi buat kamu. Jadi nggak cuma merangakai kata-kata ilmiah yang indah. Ada seni yang lebih penting yaitu menaklukan ego orang. Itu penting untuk dunia kerja nanti. Apalagi kamu lebih banyak berhubungan dengan client,” cetus Rahmi untuk menghibur Aris yang sedang gundah dengan tabiat Pak Abror.
“Eh dengar gosip gak? Katanya  Siti pindah kampus, gara-gara sudah nggak tahan bimbimbangan sama Pak Abror.” Saya menyampaikan sebuah berita yang entah kebenarannya.
“Katanya gitu sih, aku denger dari mbak Ayu resepsionis jurusan,” Aris menyahuti omongan saya.
“Kenal Jubedahkan? Anak periklanan angkatan diatas kita. Dia itu kalau mau bimbingan sampai sholat Dhuha dulu, malemnya sholat Tahajud. Katanya biar diberi kelancaran pas bimbingan. Bener loh usahanya nggak sia-sia, Pak Abror langsung jinak,” kata Rahmi menampilkan mimik yang serius.
“Wah mesti ku coba tuh. Sapa tau mujarab, dan semster ini bisa wisuda.” Aris berharap.
 “Lu, sendiri kenapa sampai keteteran ngerjain skripsi?” sebuah pertanyaan menohok dari Rahmi untuk saya. Itu adalah pengalihan topik yang menyebalkan karena saya menjadi obyek yang tersudut.
“Mungkin ini karena masalah konflik batin,” jawab saya dengan kalimat membundel. Saya melanjutkan lagi berbicara, “maksudnya ini karena sifat malas saya,” saya mengaku dengan malu-malu sampai wajah saya merona merah.
“Emang males dalam rangka apa?” Rahmi sekali lagi bertanya dengan wajah tak berdosanya. Saya sendiri bingung, sebenarnya Rahmi emang nggak ngerti atau cuma pura-pura bersikap polos.
 “Males ngetik, males bimbingan sebab kalau udah sampai kampus liat wajah pembimbing udah mules, apalagi pas bimbingan kita kena semprot rasanya tambah kebelet aja. Belum lagi males ke perpus cari refrensi buku.” Penjelasan saya sudah cukup jelas untuk di cerna oleh Rahmi dan semoga tidak ada lagi pertanyaan berikutnya.
“Oh ya nih bukunya. Ntar kapan-kapan ku pinjem lagi kalau perlu.” Aris memberikan sebuah buku yang lumayan besar dan tentunya berat. Berat di pelajari dan dilihat karena menggunakan bahasa Inggris.
“Ok. Kita kan friend harus saling bantu,” kata saya sambil memasukan buku kedalam tas. “Sory nih, saya cabut dulu ya. Mumpung masih ada niat ngerjain skripsi.” Saya berpamitan kepada dua teman ku. Tanpa persetujuan mereka, saya sudah meninggalkan mereka.

Waktu perjalanan pulang lebih singkat karena saya lebih memilih jalan memutar, menghindari keramaian. Akhirnya sampai kost juga, saya ingin segera mengerjakan skripsi. Tetapi terlihat dikamar dekat dapur sedang ada keramaian. Saya penasaran untuk mampir kamar Pandu, dan terlihat teman-teman kost lain sedang pada asik didalam. Nggak ada salahnya juga untuk mampir ke kamar Pandu. Ternyata setelah di tengok, mereka sedang asik main kartu.

“Eh ada bang Andi. Baru dari mana bang?” Yadi menyadari kedantangan saya dan langsung bertanya seperti itu karena melihat saya mengenakan jaket ditambah menenteng tas.
“Dari ambil buku,” jawab saya singkat.
“Ayo bang ikutan maen kartu.” Ajak Tyan yang sedang sandaran menunggu giliran.

Saya jadi tertarik untuk mengikuti permainan kartu. Buat refreshing sejenak sebelum bertempur melawan skripsi. Kamar yang berukuran 5x5 meter persegi ini terasa sumpek dijejali 10 orang lebih. Nggak semuanya ikut main kartu juga ada yang sedang main Play Station ada juga yang cuma berbaring sambil bercengkrama.

Kostan-kostan yang saya ditempati 24 mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia. Mereka juga nggak semuanya satu kampus. Kenapa saya dipanggil abang? Karena saya salah satu penghuni tertua di kostan ini.  Bisa juga panggilan abang sebuah sindiran sebagai mahasiswa angkatan tua yang belum lulus. Sebenarnya ada dua lagi teman seperjuangan di kostan ini yang sedang bertarung melawan skripsi. Sama seperti saya, dua orang ini dipanggil abang, namanya Ramli dan Fey.

Saya sudah mulai terhanyut permainan kartu poker. Meski bukan yang paling jago tapi tidak pernah kalah satu kalipun. Permainan ini membuat saya lupa kewajiban tentang mengerjakan skripsi. Jangankan memikirkan untuk mengingatnya juga nggak. Permainan kartu ini memang sebagai obat mujarab untuk menyegarkan otak. Sayang amnesiaku terharap skripsi hanya sekejap. Saya kembali terjaga tentang skripsi ketika Ramli masuk ke kamar Pandu untuk ikut  bergabung.

“Woy bang Ramli,” sapa Pandu yang melihat Ramli masuk ke kamarnya. Serentak semua orang melihat kearah dia, termasuk saya.
“Whats app, bro?!! Balas Ramli ramah.
“Tumben bang keluar dari tempat bertapa?” tanya Tyan penasaran. Ramli ini memang jarang gabung sama anak-anak kost lain karena sibuk. Selama ini dia sibuk kuliah yang keteteran akibat waktu “masa mudanya” sering bolos kuliah. Jadi banyak mata kuliah yang harus diulang. Apalagi sekarang sambil ngerjain skripsi.
“Suntuk banget dikamar. Sekali-kali keluarlah cari hiburan. Kelamaan dikamar bisa cepet tua mikirin kuliah,” jawab santai Ramli sambil merebahkan tubuhnya di karpet. “Makanya kalian kuliah yang rajin, biar nggak nyesel kalau udah semester tua.” Ramli memberikan petuah kepada yang lain. Rata-rata penghuni kost ini baru pada semester dua dan empat.
“Terus kalau gitu, kenapa bang Andi nggak lulus-lulus?” pertanyaan dari bibir Pandu meluncur tanpa perasaan pada ku.

Saya hanya bengong mendengar pertanyaan seperti itu. Sebenarnya saya sudah sering mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bahkan mungkin kuping ini terbiasa mendengar pertanyaan nyaring “kapan lulus?”. Namun bibir ini tidak bisa berkompromi. Selalu kelu untuk menjawabnya. Karena saya sendiri kadang masih bingung untuk menjawabnya.

“Gara-gara skripsi aja yang mandek,” jawab saya sekenanya. Sambil berharap tidak ada pertanyaan lagi.
“Koq bisa lama gitu sih mandeknya?” Yadi malah menambah obrolan yang semakin fokus terhadap saya.
“Karena ada berbagai macam hal. Mulai dari penelitian, dosen bawel, sampai rasa males ngetik sambil mikir.” Tiba-tiba saja Fey nongol dan langsung menyambar untuk menjawab. Itu adalah jawaban yang cukup bijak dan dapat menolong saya yang sedang memikirkan jawaban.

Sekarang sudah terkumpul tiga mahasiswa angkatan tua diantara para junior yang masih belum mengerti penderitaan mengerjakan skripsi. Diantara kita bertiga yang paling senior adalah Fey. Dia ambil jurusan teknik industri di universitas swasta daerah timur Jogja. Penyebabnya telat lulus karena dia kuliah sambil bekerja. Memang Fey cukup mandiri, sejak kuliah sudah bekerja, dampaknya kuliah menjadi keteteran. Sekarang dia sedang fokus untuk skripsi, maka dari itu dia keluar dari kerjaannya.

“Wih para senior pada berkumpul,” celetuk Pandu. Aku hanya senyum tipis karena bagiku ini bukanlah suatu pujian tetapi sindiran. Saya memang sedang sensitif, jadi yang berbau kata senior, tua, lama adalah suatu penghinaan keberadaan saya yang belum lulus kuliah.
“Skripsi mu sampai mana Ram?” tanya Fey pada Ramli yang sedang baca tabloid Bola.
Ramli merubah posisinya yang tadi senderan sekarang duduk tegak. “Baru kelar bab pendahuluan.”
“Hah!! Selama itu kah? Lah kamu mengurung dikamar ngapain aja?” saya kaget mendengar jawaban Ramli.
“Emang skripsi anak teknologi pertanian gampang?” Ramli tidak terima atas pernyataan sekaligus pertanyaan dari saya. “Pusing juga tau, mana disini tuh jarang ada jurusan teknologi pertanian. Cari refrensi susah, terpaksa browsing di internet. Belum lagi bolak balik ke lab. Ini baru awal, nanti pas bikin alat pertanian juga makin ribet. Jadi masih panjanglah,” Ramli malah berkeluh kesah mengenai skripsinya. “Kamu sendiri sampe mana skripsinya?”
“Bab penelitian sama pembahasan sudah kelar tinggal revisi tapi belum di ACC juga untuk lanjut bab selanjutnya,” saya penjelaskan perihal skirpsi. “Buat kalian yang baru semester dua nanti pas semester empat harus sudah siap-siap cari bahan skripsi yang mau diambil. Jadi pas udah waktunya skripsi nggak bingung dan keteteran.” Sepertinya saya benar-benar menjadi yang “tua”, telah memberikan wejangan pada junior.

Saya baru menyadari kesalahan besar itu. Kenapa nggak dari pas dulu aja ya pas semester empat untuk memulai ancang-ancang ambil skirpsi. Dulu saya malah sibuk pada organisasi dan kegiatan jurnalis diluar kampus. Saya memang tepat waktu untuk menyelesaikan semua mata kuliah bahkan tidak ada yang perlu diulang. Meski nilai-nilai yang tercetak di kartu hasil studi tidak semuanya baik. Hanya saja saya telat pada skripsi karena kurang persiapan. Ketika sudah masuk masa skripsi saya bingung sendiri, sampai perlu tiga bulan untuk memilih judul yang tepat.

Andai saja waktu bisa diputar. Saya akan melakukan apa yang dikerjakan teman-teman. Menjelang skripsi sibuk mencari judul lalu dikonsultasikan secara informal pada dosen terdekat. Tetapi sudahlah, saya juga tidak menyesali semua. Saya juga bangga bisa belajar menulis berita yang baik. Dari sinilah saya merasakan suatu kejanggalan. Bila saya repotase selalu menuliskan hasilnya dengan baik dan saya cukup senang mengerjakannya. Lain lagi dalam mengerjakan skripsi, rasanya sungkan banget duduk berlama-lama di depan laptop sambil mengetik karya ilmiah.

“Kamu skripsinya sampai mana?” tanya saya pada Fey.
“Udah tinggal kesimpulan. Satu atau tiga kali bimbingan kelar. Tetapi saya belum bisa wisuda semester ini karena masih ada kuliah yang perlu diulang.” Diakhir kalimat nada Fey terdengar lesu, mendapati kenyataan tragis ini. Saya terperanjat mendapat informasi Fey segera merampungkan skripsinya. Itu adalah suatu kekalahan telak buat saya. Meski Fey tidak bisa wisuda semester ini tetapi skripsinya telah melampaui saya. Dia sudah berhasil menyelesaikan 4 bab dari 5 bab. Artinya bila dia kuliah dijurusan saya mestinya sudah rampung mengerjakan skripsi.
“Berarti kalau skripsi itu harus siap mental ya?” tanya Tyo polos.
“Ya!!” jawab saya, Fey dan Ramli kompak. Lalu meluncurlah kata-kata curhatan dari Ramli. “Siapin mental buat ngadepin dosen menyebalkan. Selain itu siapin duit yang banyak buat bayar skripsi dan tetek bengek uang administrasi, belum lagi duit buat transport dan beli kertas. Tapi yang utama adalah mental sih. Melawan diri sendiri menghadapi iblis rasa malas.” Ramli mengucapkan itu dengan semangat berkobar.
“Kalau gitu kenapa nggak beli skripsi aja dari pada repot-repot?” sebuah pertanyaan yang bagus dari Yadi.
Dengan segera Fey langsung menjawab pertanyaan dari Yadi dengan tegas. “Sesuatu yang tolol aja sampai beli skripsi gitu. Ngapain kita capek-capek berangkat kuliah kepanasan, ngabisin duit jutaan cuma buat beli skripsi? Kalau gitu kenapa nggak sekalian beli ijazah aja tapi kita nggak kuliah?”  
“Lebih tepatnya sih, skripsi itu mahakarya dari seorang sarjana. Ada kepuasaan tersendiri kala kita berhasil menyelesaikan skripsi. Kita merasa menang, dari mengalahkan ego dirikita sendiri, rasa malas yang menghampiri, ego dosen yang menyebalkan. Tentunya kita pasti akan bangga pada hasil cipta karya sendiri. Ada pembuktian bahwa kita mampu dan memang pantas menjadi sarjana,” kata-kata saya menambahkan pendapat Fey. Saya melihat para junior hanya mengangguk entah itu menyetujui pendapat saya atau hanya asal mengangguk saja. Saya yakin otak mereka belum sampai pada memikirkan skripsi.

Seharusnya sejak dini mereka diajarkan untuk tidak membeli skripsi. Membeli skripsi sama saja kita belajar menjadi koruptor. Caranya memang mudah hanya menyetorkan uang berapa juta rupiah, masalah selesai, mahasiswa jadi sarjana. Akan tetapi dampaknya akan pada masa depan mereka ketika dihadapkan pada dunia nyata. Mereka akan melakukan segala cara untuk membereskan kepentingannya. Generasi bobrok negeri ini tidak akan berubah kalau begitu.

“Banyak hal positif kita dapetin ketika mengerjakan skripsi.” Ramli ikut berpendapat. “Paling penting adalah kita semakin memahami ilmu yang dipelajari selama beberapa semester ini. Ilmu yang kita dapat dituangkan dalam karya ilmiah. Disamping itu, bikin skripsi melatih kesabaran tingkat tinggi. Sabar nunggu dosen, ngadepin dosen, penelitian, dan masih banyak lagi. Skripsi juga mempertajam otak kita dalam dalam sisi ilmiah”
“Resiko ketahuannya juga besar,” Fey memotong omongan Ramli. “Kalau ketahuannya pas masih dalam pengerjaan skripsi sih cuma menanggung malu dan ngulang dari awal. Mampus aja kalau ketahuannya pas udah lulus bertahun-tahun. Gelar sarjana kita bisa dicabut. Bisa juga turun jabatan. Belum lagi dipenjara karena mencuri hak cipta orang lain,” Fey membeberkan resiko jika mencontek skripsi.
“Ada tuh temen seangkatan yang ketahuan nyontek. Sampai sekarang belum lulus, dia ngulang dari awal dan tentunya dengan bimbingan lebih ketat. Udah gitu menanggung malu. Gimana nggak malu, dia di sidang istimewa tempatnya di amphiteather. Semua mahasiswa fakultas ngumpul,” kata saya sambil bergindik membayangkan betapa malunya itu mahasiswa. Para junior hanya bisa bengong mendengarkan cerita saya.

Waktu itu saya menghadiri sidang tersebut. Seluruh ruangan penuh oleh mahasiswa dan mahsiswi yang penasaran dengan jalannya sidang istimewa fakultas. Mahasiswa tersebut ketahuan mencontek skripsi orang, dapatnya juga dari orang yang bisnis jual beli skripsi dan thesis. Menurut saya sih bodoh juga, dia beli skripsi dari karya mahasiswa universitas yang ada di Jogja. Di Jogja ini hanya ada beberapa saja yang punya jurusan ilmu komunikasi. Pastinya tiap universitas punya database skripsi. Mungkin ini lagi apesnya mahasiswa plagiat itu, secara nggak sengaja dosen pembimbingnya nemu skirpsi dengan judul yang sama waktu bertandang ke kampus yang skripsinya dicontek.

Saya melihat mahasiswa tersebut tertunduk lesu dihadapan para dosen, dekan dan rektor. Berbagai cecaran dan hujatan diterimanya. Saya tidak bisa membayangkan bila yang ada di kursi pesakitan itu saya. Ada rasa iba kepada dia, bisa jadi dia adalah korban dari beribetnya ngurus dan ngerjain skripsi. Tetapi disisi lain saya bingung juga, kenapa dia melakukan seperti itu? Padahal dia orang yang cukup pintar. Hhmmm, entahlah tiap orang pasti punya permasalahannya sendiri. Siapa yang melakukan harus siap bertanggung jawab.

Saya melihat jam dinding yang tertempel di atas telivisi, ternyata sudah cukup malam sekitar jam 11 kurang sedikit. “Cabut dulu ya, mau ke kamar.” Saya memutuskan untuk meninggalkan kamar pandu.
“Mau ngapain bang? Kayak anak perawan aja jam segini mau tidur,” canda Pandu.
“Mumpung lagi khilaf nih, ada mood nyelesein revisi skripsi,” jawab saya bercanda sambil berdiri dan berjalan menjauh dari kamar. Spontan mereka tertawa mendengar kata “khilaf”. Kata khilaf memang biasa diasumsikan sebagai bentuk pembelaan diri setelah melakukan kesalahan. 

Sekarang saya sudah ada dikamar lagi. Tentunya kamar saya masih dalam keadaan berantakan karena sebelum ditinggalkan saya telah mengobrak-ngabrik untuk mencari buku. Untuk membuat suasana nyaman terpaksa saya membereskan kamar terlebih dahulu. Banyak sekali kertas bertebaran dipenjuru kamar. Inilah suasana kamar kost mahasiswa fotokopian,hehehehe. Kenapa bisa begitu? Saya mahasiswa yang malas mencatat akibatnya setiap kali mau ujian pinjam catatan teman untuk di gandakan. Tetapi setelah itu kertas itu tergeletak manis di sudut kamar tanpa disentuh lagi setelah ujian.

Jujur ya, hampir sebagian besar saya telah lupa materi kuliah yang telah diberikan. Lupa karena saya mahasiswa fotokopian. Lupa karena saya tidak pernah membaca kembali apa yang telah diberikan. Bukan saya tidak mengingatnya, hanya saja ketika dosen mengajar, saya sibuk twitteran dan ngobrol sama teman lewat pesan instan (whatsapp, BBM dll).

Masih ada materi kuliah yang melekat di otak saya yaitu materi framing. Itupun saya mengingatnya gara-gara skripsi. Coba kalau materi tersebut nggak saya jadikan skripsi, dijamin saya pasti lupa kalau saya pernah mempelajarinya. Skripsi saya meneneliti suatu perbandingan penyajian berita korupsi Indonesia di dua media cetak nasional. Saya melihatnya salah satunya membela tersangka korupsi, tentu satunya lagi berusaha menampilkan kelakuan buruk tersangka koruptor itu. Oh ya, yang teliti bukan dari segi hukumnya karena itu sudah diluar ilmu saya. Saya hanya meniliti isi pesan dari kedua media tersebut. Bingung? Saya juga sebenarnya bingung. Sudahlah nggak  usah dibuat pusing. Sekarang langjut lagi.

Laptop sudah menyala. Saya duduk dihadapannya dan mulai mengetik kembali, hanyut dalam rangkaian kata ilmiah. Sesekali melihat buku untuk mengutip sebagai penguat pendapat saya dalam penelitian. Semakin lama, kamar saya menjadi berantakan kembali karena kertas-kertas itu kembali berhaburan ketika saya perlu membaca, untuk mempertajam analisis. Inilah adalah suatu keajaiban skripsi. Selama saya masih kuliah jarang sekali saya membaca materi kuliah karena sangat membosankan, karena skripsi mau nggak mau saya terpaksa membacanya.

Terdengar suara ketukan pintu. Saya langsung menengok kebetulan pintu kamar terbuka agar udara sejuk masuk.
“Bang, pinjem gunting ada nggak?” Ternyata yang datang Ryan, teman sebelah kamar saya.
“Ada.” Saya beranjak dari tempat duduk mengambil gunting yang ada didekat saya.
Ryan sudah pergi, saya kembali mengetik skrispi. Tetapi tidak lama muncul Galih. “Bang punya gula nggak?” tanya Galih.
Tanpa menengok saya bilang, “ada, ambil aja tuh di rak.” Galih mengambil gula yang ada di rak dekat dengan lemari baju.
Belum sempat untuk kosentrasi datang lagi tamu, kali ini Fandi. “Bang pinjem buku Psikologi Komuniksi donk.”
“Tuh...” tunjuk saya pada buku yang tergeletak dikasur.
Fandi masuk kamar. Saya pikir setelah mengambil buku dia akan langsung pergi, ternyata dia malah tiduran di kasur saya. “Lagi ngerjain skripsi ya bang?” tanya dia yang sedang membuka-buka buku.
“Nggak nih. Lagi bacok-bacok es batu,” balas sayang dengan ketus. Saya berharap dengan nada yang jutek membuat dia sadar dan segera hengkang.
“Ouh..... Eh bang, saya lagi bingung sama komunikasi interpersonal nih,” Fandi memulai curhatnya. “Koq bisa ya bang, dengan kata-kata orang bisa mempengaruhi orang?” tanya Fandi yang masih membolak balikkan buku. Fandi ini mahasiswa komunikasi juga tetapi beda kampus dengan saya.
“Semua jawaban ada di buku itu,” jawab saya singkat, sambil memandang layar laptop dan berusaha konsentrasi. Tetapi sia-sia saja, saya tidak bisa memusatkan pikiran saya pada skripsi gara-gara terganggu kedatangan Fandi dan kayaknya dia bakal lebih lama. Lebih baik saya usir dari pada saya terganggu. “Dek Fandi. Abang lagi mau kosentrasi ngetik ya. Bisa nggak tutup pintu kamar abang dari luar,” ucap saya dengan halus untuk mengusir Fandi.
“Heheheehe,” Fandi terkekeh mendengar kata-kata pengusiran dari saya. “Maap ya bang,” kata dia sambil meninggalkan kamar. Tak ketinggalan menutup pintu kamar dari luar.

Semua sudah aman dan terkendali. Jari saya kembali menari dengan lincah diatas tombol-tombol hurus. Sudah tidak ada gangguan lagi dari teman-teman kost yang bertandang ke kamar. Mungkin ini sudah menjadi peraturan tak tertulis, bila pintu kamar tertutup itu tandanya sang penghuni kamar tidak mau diganggu.

Lumayan sudah beberapa halaman yang berhasil saya revisi sesuai perintah dari Pak Rahmat. Masih ada berlembar-lembar lagi yang perlu diperbaiki. Sebenarnya hampir semua halaman bab 3 perlu direvisi. Gara-garanya ada banyak data yang nggak lengkap, jadi perlu ada perombakan total. Inilah derita saya, hanya karena nggak teliti sedikit tetapi banyak sekali dampaknya seperti mungulang dari awal. Untungnya data yang saya butuh dengan mudah bisa didapatkan.

Satu jam kemudian, rasa kantuk itu mulai menyerang. Rasa bosan itu menghinggap. Mata ini berkunang-kunang melihat huruf-huruf dilayar laptop. Saya memutuskan untuk istirahat sebentar. Tidur bukanlah cara yang tepat mendinginkan otak, bisa-bisa saya tertidur dengan pulas dan malam ini gagal untuk menyelesaikan skripsi.
Pelarian mengusir kepenatan ini dengan chating. Saya bertekad chatingnya hanya beberapa menit saja. Saya membuka aplikasi chating yang ada di laptop. Seketika itu juga saya terjun pada obrolan dunia maya. Meski sudah lewat tengah malam tapi masih saja ada teman-teman yang on line. Jika mereka on line untuk mengisi waktu insomia, saya chating untuk hiburan. Dengan chating saya dapt melupakan sejenak skripsi.

Tanpa terasa hampir dua jam saya chating dan saya benar-benar lupa kalau saat ini seharusnya mengerjakan skripsi. Obrolan dichat room sangat mengasyikan sampai lupa waktu. Saya tau mereka hanya ada di dunia maya dan pastinya nggak bisa bantu saya secara langsung dalam skripsi. Tetapi mereka bermanfaat sebagai pelarian.

Sedang seru-serunya chating tiba-tiba salah satu teman chating ada yang mengintkatkan saya agar kembali berkutat dengan skripsi. Dengan enggan saya meninggalkan chatroom. Mata saya terbelalak karena jam dinding menunjukan jam 2 lebih. Saya kembali bertekad untuk bergegas menyelesaikan skripsi ini. Sudah tidak ada waktu lagi untuk bersantai. Saya harus segera mewujudkan impian yang masih tertunda.

Untuk mencegah kantuk saya meminum kopi hitam pekat satu gelas. Pokoknya malam ini harus sudah kelar. Saya ingat perkataan dari Fey beberapa waktu lalu “Kalau kamu nggak suka ngerjain skripsi cobalah untuk menikmatinya.” Memang benar, ketika saya mencoba menikmatinya serasa mudah untuk menggabungkan huruf demi huruf menjadi satu kalimat, satu paragraf, dan satu bab.

Saking menikmatinya sampai tak terasa saya berhasil menyelesaikan revisi tepat jam 4. Dalam hati saya bersorak, saya berhasil menaklukan diri sendiri melawan rasa malas yang selama ini menggelayut. Saya tau ini bukanlah akhir, masih ada hari-hari berikutnya untuk menyelesaikannya. Paling nggak malam ini saya berhasil merampukan sebagian tugas. Mimpi saya masih terhampar didepan mata, dan saya berharap bisa segera mewujudkannya. Semangat untuk hari esok!!! Saya tertidur pulas bermimpi menjadi seorang wartawan yang handal.


Tuesday 3 December 2013

KAMUFLASE

Sofi sudah cukup jengan dengan omongan ibunya. Hampir setiap hari ibunya menanyakan calon suami. Jangankan calon suami pacar aja belum punya. Hal ini yang membuat Sofi frustasi kalau ibunya telpon. Semoga saja rengekan dari ibu cepat berlalu karena sebentar lagi Sofi akan bertemu calon suaminya berkat acara perjodohan. Sofi rela datang dari Jogja ke Denpasar hanya untuk acara ini.

Sebenarnya Sofi belum tau siapa yang akan di jodohkan, dia hanya sebatas tau dari foto yang diperlihatkan Tara. Rencanya berapa jam lagi Sofi akan bertemu calon suaminya (semoga saja jadi) di sebuah restoran di Renon. Sekarang Sofi sedang bersiap, dandan yang cantik untuk memikat calon suaminya. Tara juga sedang bersiap menyiapkan diri, meratakan bedak.

“Tar, kamu yakin dia pas buat ku? Sebenarnya udah berapa lamu kenal? Terus dia orangnya baik nggak?” rentetan pertanyaan dari mulut Sofi menyembur kepada Tara. Nampaknya Sofi belum siap perjodohan ini.
“Udah lumayan lama kenal koq sama dia malah sebelum kamu. Untuk pertanyaan ketiga dia orang baik-baik, dia pernah cerita bibit bobot bebetnya. Pertanyaan pertama, aku lah yang selalu pas untuk mu Sof,” Tara menjawab satu persatu pertanyaan Sofi, meski masih sibuk meratakan bedak.

Sofi menatap dirinya sendiri di depan cermin. Di benaknya masih belum yakin atas acara perjodohan yang direncanakan Tara. Tubuh agak chuby yang selalu membuat Sofi minder untuk berkenalan dengan cowok. Padahal itu hanya asumsi sesat pikiran Sofi. Menurut banyak orang badan Sofi nggak gemuk. Biasalah cewek selalu merasa dirinya selalu gemuk, dan bila sudah gemuk menganggapnya nggak cantik.
Tetapi kali ini dirinya pasrah saja, nggak ada salahnya untuk dicoba, toh ini baru ajang perkenalan saja. Sudah cukup bikin stress dengan perdebatan dengan ibunya. Paling nggak, nanti sudah bisa menjelaskan dirinya telah bertemu cowok yang mungkin nanti jadi suaminya. Dan semoga saja dengan penjelasan seperti itu mulut ibu bisa terbungkam.

“Kamu sendiri yakin nggak?” tanya Tara.
Lamunan Sofi buyar. “Aku sih nggak yakin, tapi aku cuma sudah pasrah saja. Liat ntar juga lah,” seadaanya saja Sofi menanggapi Tara.  Sebenarnya malas juga buat membahas yakin atau tidak karena Sofi sendiri masih ragu rencana gila ini. Kalau saja bukan karena ocehan ibunya pasti nggak ada terjadi acara seperti ini.
“Percaya dech. Masalah kamu itu bakal kelar. Kamu ketemu jodoh kamu, sekaligus emak mu itu nggak bawel lagi,” Tara berusaha meyakinkan Sofi.
“Aku sudah ketemu jodoh ku! Kamu tau itu kan Tar?” nada Sofi meninggi, dan sedikit nyolot terhadap Tara.
“Terus ini gimana, jadi nggak?” Tara jadi ikutan kesal.

Sofi hanya mengangguk lesu. Tanganya masih sibuk merapikan rambutnya. Meski agak nggak yakin juga apa yang barusan dikatakan telah menemukan jodohnya. Tapi dirinya masih dikatakan jomblo oleh ibunya. Semuanya masih absurd, tak ada yang bisa di yakini.

Tara memandang Sofi, ada rasa menyesal juga membalasnya dengan keras juga. Tadi hanyalah emosi sesaat. Sebenarnya Tara juga kalut, permasalahan yang dihadapi hampir sama. Semua adiknya sudah menikah tinggal dirinya, tentu pertanyaan “kapan menikah?” menghantui terus Tara. Tetapi Tara sendiri nggak ambil pusing.

“Maaf ya Sof, ini buat kebaikan kamu juga kan?” Tara bersimpati pada Sofi sambil melempar senyum.
“Its ok Tar. Semoga semuanya lancar.”
“Tapi menurut kamu gimana diliat dari foto?”
“Hhmmmm,” Sofi mencoba memikirkan sesuatu. “Nice lah sesuai kriteria kalau dari fisik. Semoga aja kelakuannya baik,” komentar Sofi sambil berharap.
“Pastinya donk. Aku sayang kamu Sof. Aku nggak mau jatuh ke tangan yang salah,” sekali lagi Tara meyakinkan Sofi, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sofi sudah agak tenang ketika Tara mengatakan seperti itu. Selama ini Tara orang yang paling dekat dengan Sofi. Mereka kenal sudah lama sekali sejak masih kuliah, apalagi mereka dulu satu kost. Apa yang dimau Sofi pasti Tara memahaminya, begitu juga sebaliknya. Mereka sudah mengenal luar dalam.

“Tar, kamu yakin dengan cara ini hubungan kita baik-baik saja?” Sofi masih saja ragu, semua penjelasan dari Tara ternyata belum sepenuhnya membuat tenang. Dengan yakin Tara mengangguk agak kencang. Hal itu dilakukan agar nggak ada lagi pertanyaan keraguan muncul dari Sofi.

Sekarang mereka sudah siap pergi. Sofi tampak anggun dengan gaun pendek berwarna krem tanpa lengan. Tidak ketinggalan high heelsnya putihnya ukuran 12cm semakin memperlihatkan kaki Sofi yang jenjang. Untuk Tara mengenakan gaun berwarna hitam dan rambutnya disasak. Ini adalah acara makan malam istimewa jadi harus tampil istimewa juga. Dari awal yang baik pasti akan berkelanjutan baik juga.

Sepanjang perjalanan perasaan Sofi tidak tenang seperti ada yang mengganjal tetapi Sofi sendiri pun tidak memahami apa yang mengganjal dipikirannya. Perjalanan dari hotel yang berada di Sunset Road menuju sebuah restoran didaerah Renon, dihabiskan dengan melamun. Sofi sedang membayangkan tampang, kelakuan, dan berbagai macam hal lainnya mengenai calon suaminya.

Sesamapainya di restoran Sofi dan Tara bergegas berjalan cepat karena orang yang akan ditunggui ternyata sudah datang lebih dahulu. Memang sih sudah pesan tempat jauh-jauh hari untuk acara yang spesial ini. Langkah mereka semakin mendekat. Dari luar tampak restoran tersebut sepi hanya ada beberapa bule yang sedang makan dan beberapa pula orang lokal.

Tara celingak cerlinguk di dalam restoran mewah tersebut mencari orang yang dicari. Dibelakagkangnya ada Sofi yang terengah-engah karena berjalan dengan cepat, apalagi susahnya minta ampun pakai sepatu hak yang terlalu tinggi buat Sofi. Senyum Tara megembang ketika melihat orang yang dimaksud. Tangan Tara menggandeng Sofi yang sedang kesusahan mengatur nafas.

Belum stabil nafas Sofi sekarang malah bertambah sesak ketika sudah dihadapan dua cowok yang ditemuinya. Bibir Sofi kelu, susah untuk berbicara mendapati kejutan sama sekali nggak pernah terbayangkan. Tapi Tara tidak menyadari itu.

“Hai.... Sory kita telat, biasalah cewek ribet dandannya,” kata Tara memaparkan alasannya kenapa sampai telat. “Oh ya kenalin ini pacar ku Sofi,” ucap Tara sambil tangannya menunjuk ke Sofi.
“Udah kenal koq,” jawab santai pria yang memakai blazer hitam dihadapan Tara yang sedang duduk, tanpa ketinggalan senyum jail. “Oh ya, kenalin juga ini Bagas pacar ku,” pria tersebut memperkenalkan pacarnya yang ada disebelahnya.
“Kenal dari mana?” tanya Tara sambil duduk . Di ikuti Sofi duduk disebelah Tara.
“Aji ini sepupu ku, Tar,” Sofi menjelaskan dengan ketus. “Jadi kamu mau jodohin aku sama sepupuku sendiri Tar?” tanya Sofi yang wajahnya masih di tekuk karena kesal.
Di sebrang Tara ada senyum jail mengembang dari bibir Aji. “Nggak nyangka ternyata sepupu ku lines,hehehe.”
“Ishhh, jangan gitu donk,” Bagas mencoba meredam kejailan pacarnya, Aji.
“Alahhh kamu juga maho,” Sofi malah membalas ledekan Aji.

Tiba-tiba saja Sofi baru menyadari foto yang di tunjukan Tara beberapa waktu lalu berbeda apa yang dihadapannya. Bukan pula Aji dan Bagas, lalu siapa yang ada di dalam foto itu? Apa Tara membohongi pakai foto orang lain? Pokoknya harus segera diselesaikan masalah ini. Sofi sudah cukup kesal bertemu sepupunya, apa kata dia nanti kalau membocorkan pada ibunya kalau Sofi berpacaran dengan Tara. Otak Sofi sudah buntu, rasanya ingin marah telah ditipu oleh orang disangnya yaitu Tara.

“Kamu tega ya Tar!! Udah bohongin aku!!” kata Sofi sengit.
“Bohongin apa?” Dahi Tara mengernyit, belum mengerti maksud dari Sofi. Aji dan Bagas menatap bengong melihat reaksi Sofi yang berlebihan. Padahal Aji itu hanya bercanda tetapi Sofi menanggapi beda.
“Pertama kamu nggak bilang, yang kita temui Aji. Kedua mana cowok yang fotonya kamu tunjukan berapa hari lalu?” Sofi masih saja berang.

Tara lekat-lekat mendengarkan Sofi. Begitu Sofi selesai berbicara, Tara tidak langsung menanggapi malah tertawa. Terang saja Sofi semakin berang, bukannya menjelaskan malah tertawa terbahak-bahak. Aji dan dan Bagas hanya tersenyum-senyum karena sudah paham atas kesalahpahaman Sofi.
“Sori....sorriiii.” Tara mengatur nafasnya untuk mengontrol rasa geli melihat Sofi marah nggak jelas. “Aku nggak tau kalau Aji itu sepupu mu, kamu juga nggak pernah ngenalin Aji ke aku. Lalu foto yang aku tunjukin itu Bagas.”
“Bagas?” seakan Sofi masih belum percaya. Wajah Sofi mendekat ke Bagas dan memandang penuh selidik. “Tapi beda banget sama yang ada di foto, Tar.”
Kali ini Bagas dan Aji yang tertawa melihat Sofi yang kebingungan sekaligus menahan marah. “Gini Sof. Foto yang kamu lihat itu beberapa hari lalu setelah Bagas cukur jenggotnya. Sekarang brewoknya udah banyak lagi.” Bagas menjelaskan dengan sabar.

Belum tuntas rasa penasaran. Wajahnya kembli mendekati muka Bagas yang ada hadapannya. Dengan teliti memeriksa setiap inci wajah Bagas yang tampak gagah karena ada brewoknya. Tetapi setelah diperhatikan secara seksama ada kemiripan di mata dan bibir antara Bagas dengan yang di foto.

Tangan Aji mengahalau pandang Sofi yang sedang serius menatap Bagas. Lalu mengucapkan, “Hus jangan kelamaan liat pacar ku nanti kamu naksir,hhhhh.” Bagas hanya senyum saja melihat kelakuan jail Aji, mungkin sudah terbiasa Bagas di jahilin Aji. Sofi sih sering juga kena jahil Aji tapi kan dalam kondisi yang berbeda pula.

Sofi langsung duduk lagi. Sepertinya udah agak percaya kalau yang di depan adalah “calon suami”nya. Fikiran Sofi kembali melayang orang yang ada di hadapanya adalah bakal yang menjadi suaminya kelak, ya kalau jadi rencana gila itu. Dari pada terus membanyangkan yang tidak-tidak Sofi langsung to the point pada permasalahan.

“Jadi, Bagas ini yang akan menjadi suami ku?” tanya Sofi tenang tetapi bernada agak mengejek.
Tara hanya mengangguk. Aji sendiri tersenyum manis. Namun Bagas tidak terima atas pernyataan sekaligus pertanyaan dari Sofi, “Belum pasti juga Sof, aku jadi suami mu. Ini kan baru rencana yang menurut ku sedikit gila!! Slow down, kita omongin bareng-bareng dengan pelan,” Bagas menanggapi dengan tenang, karena tau Sofi masih belum bisa menerima rencana ekstrim ini.
“Iya, Sof. Kemarin itu aku ngobrol-ngobrol sama Aji and then tercetuslah ide “kamuflase”. Sekarang ini kita disini ngomongin mekanisme kamuflase,” Tara ikut menambahkan omongan Bagas sekaligus memperjelas duduk permasalahannya.

Sofi semakin pusing mendengar kata “mekanisme kamuflase”. Padahal dirinya juga belum menyetujui ide ini. Dirinya hanya tau diajak Tara untuk ketemu yang mungkin sapa tau jadi suaminya. Hanya untuk berkenalan saja, tidak lebih dari itu. Tetapi sekarang yang ada dihadapinnya sudah menuju tahap mekanisme, seakan-akan rencana ini akan segera dijalankan. Merasa terjebak itulah perasaan Sofi. Terjebak suatu keadaan yang absurd.


MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI  http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase