Monday 23 September 2013

Cerpen : IDENTITAS


Damainnya disini bisa melepas penas sejenak menikmati semilir angin. Melihat kehidupan sisi lain dari Denpasar. Benar-benar tempat yang pas untuk refreshing. Ada pedagan asongan yang sedang mangkal menjual minuman instan. Tanpa sengaja Sandi menangkap seseorang yang terlihat “aneh” sedang termenung menatap kosong ke arah lapangan.

Ya orang itu aneh bagi Sandi atau bagi siapa saja yang melihatnya. Dia itu berpenampilan perempuan tetapi berperawakan lelaki. Orang sering menyebutnya transgener atau kata kasarnya adalah waria. Sebenarnya Sandi sendiri masih belum yakin apa yang diliatnya itu beneran transger atau memang wanita. Sekilas memang wanita karena rambutnya panjang bermakeup tetapi tidak terlalu tebal. Dia pakai tanktop dan rok sebatas lutut, disampingnya ada tas cewek.

Sandi jadi semakin lekat memperhatikannya disamping penasaran apakah dia itu cowok atau cewek jadi-jadian dia terlihat sedang sedih yang mendalam. Beberapa kali Sandi mencuri pandang. Mungkin dia merasa diperhatikan pas Sandi akan memandangnya lagi dia menengok matanya saling beradu. Sandi jadi tertangkap basah. Secara reflek Sandi jadi salah tingkah kepalanya langsung dipalingkan pura-pura sedang sibuk melihat keadaan sekitar.

Rupanya Sandi masih ingin tahu lagi tentang dia. sembunyi-sembunyi Sandi melirik  kearah orang tersebut. Meski dari jauh terlihat tetesan air mata. Ternyata benar dia sedang sedih buktinya keluar air mata. Dia jadi menengok lagi langsung ke arah Sandi. Dia malah tersenyum ramah pada Sandi. Sudah tidak bisa mengelak lagi kalau pura-pura tidak memeperhatikan. Sandi membalas dengan senyum juga.

Ada keraguan Sandi untuk menghampiri atau tidak memperdulikannya lagi. inginnya sih meninggalkan begitu saja. Tapi disisilain ada rasa kasihan untuk menemani. Kelihatannya orang baik-baik. Jika dia memang transgender berbeda dengan lainnya yang suka mangkal di jalanan, entahlah.

Sandi bangkit dari tempat duduknya sudah siap menginggalkan tempat itu. rencananya ingin memutari lapangan. Ditengah lapangan tinggal beberapa orang saja yang sedang pacaran. Sandi melangkahkan kakinya. Namun dirinya malah semakin dekat pada orang yang sedari tadi diperhatikannya.

Mungkin cewek tadi merasa ada yang mendekatinya jadinya menengok lagi ke arah Sandi. Dilemparnya senyuman kepada Sandi, tanpa canggung lagi Sandi membalas senyum. Sekarang jaraknya tinggal lebih dari satu meter. Sudah dipastikan Sandi akan menghampiri cewek tersebut.

“Hai.” Sapa Sandi pada cewek itu.
“Hai juga.” Balasnya dengan ramah. Barulah ketahuan dia memang seorang transgender karena suaranya seperi dipaksakan kemayu tetapi masih terlihat cowok. Badannya langsing mirip cewek pada umumnya dari fisik yang terlihat cowok hanya jakunnya. Untuk make up persis pada wanita lain walau nggak tebal.
“Boleh duduk sini?” Sandi langsung to the point.
“Ouh boleh, silahkan.” Cewek itu mempersilahkan Sandi sambil mengambil tasnya lalu di pangku.



MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI  http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase

Tuesday 17 September 2013

Cerpen : Bus Kota

Trans Jogja

Ujian Nasional sudah ku lewati dengan mungkin baik, sebelumnya itu aku jungkir balik mengikuti serangkaian les yang membuat kepala ingin ku pisahkan saja dengan tubuh. Bersyukur semua sudah ku selesaikan. Sekarang aku baru saja sampai di Jogja akan melanjutkan pendidikan, kata orang Jogja itu tempat paling nyaman untuk belajar. Apa benar?

Kedatanganku di Jogja disambut hujan deras, tepatnya di Terminal Jombor. Aku turun dari bus sambil berlari-lari menuju halte Trans Jogja. Seharusnya Mas Yofan yang menjemput, dia adalah sepupu ku anaknya Pakde Imron. Berhubung hujan dia membatalkan rencana untuk menjemput di terminal dan aku disarankan naik Trans Jogja Jalur 2A, baru di halte tujuan dijemput olehnya. Tidak apalah lagian ini bukan pertama kali aku naik Trans Jogja, apalagi ini adalah jalur favorit ku karena akan melewati Malioboro.

Langit Jogja gelap bukan karena awan mendung tetapi memang sudah malam. Di halte yang berukuran 3x10 meter persegi dijejali banyak orang antara yang sedang berteduh dan para calon penumpang Trans Jogja. Aku membayar tiket seharaga Rp3000 untuk sekali jalan, di ruang tunggu aku duduk di kursi panjang yang kosong sedangkan orang-orang lebih memilih berdiri dan berjejal di pintu penghubung bus Trans Jogja. Aku sudah cukup capek untuk berdiri untuk ikutan berjejal dan aku juga percaya pasti dapat kebagian tempat. Lagian jam operasionalnya masih lama.

Aku menerawang rintikan hujan. Aku bahagia karena sebentar lagi menjadi mahasiswa. Lebih  membahagiakan adalah bisa keluar dari rumah yang seperti Azkaban (penjara dalam Hary Potter). Aku adalah anak bungsu yang selalu merasa terpenjara karena aturan rumah yang mengharuskan aku ini itu, salah satunya dengan jam malam. Aku ini cowok ngapain juga ada jam malam? Tentunya aku bisa jaga diri donk. Lagian tinggal di kota kecil kalau klayaban juga nggak jauh hanya sekedar nongkrong di rumah teman.

Sekarang aku bebas, aku ralat bukan sekarang tetapi bulan depan. Saat ini aku masih menjadi anak mamah karena setelah urusan di Jogja aku harus segera kembali kepangukuan mamah. Di halte ini aku membayangkan besok menjadi seorang yang bebas tidak ada lagi jam malam oleh aturan rumah karena nantinya aku tinggal di kost. Aku bisa pergi sesuka hati dan pulang larut malam bahkan pagi tidak ada yang memprotesnya. Apa itu yang ku harapkan tinggal di Jogja? Tentunya tidak hanya itu saja. Tapi apa itu tujuan ku memilih tinggal di Jogja? Mungkin.

Tetapi kenapa aku pilih Jogja? Katanya sih Jogja nyaman bahkan terlalu nyaman sampai banyak yang enggan meninggalkan Jogja setelah lulus kuliah. Jadi pertanyaan nyaman yang seperti apa ya? Aku bisa menemukan jawaban itu kalau aku sudah jadi penduduk sini kali ya. Katanya lagi sih Jogja itu serba murah, ouh ya? Apa lagi kalo makan di angkringan, lebih tambah murah lagi. Aku denger Jogja itu surganya anak muda, banyak sekali aktifitas yang berhubungn dengan anak muda. Salah satunya dugem, aku belum pernah ikutan dan aku mesti lakukan.  Bukan itu aja tetapi banyak lagi komunitas yang berhubungan dengan anak muda. Aku harus ikut salah satunya.

Lantas tujuan utama ku ke Jogja apa? Tentunya adalah ada kuliah mencari ilmu meraih cita-cita, Apa itu hanya retorika belaka? Lihat saja nanti,hahahaha. Tetapi emang benarkan mencari ilmu di bangku kuliah dan ilmu kehidupan di bangku masyarakat. Selama ini aku hanya rumah menuju sekolah lalu tempat les balik lagi ke rumah. Tidak ada waktu untuk bermasyarakat. Inilah kehidupan dari manusia individualis dan aku akan bertekat merubahnya,  Aku pernah baca jadi anak kost itu asik punya banyak teman dan bisa bersosialisasi dengan baik.

Jadi mahasiswa itu bebas untuk kuliah kita sendiri yang mengatur jadwalnya. Mahasiswa itu keren bisa berdiri di mimbar tengah jalan sambil berorasi menyuarakan hati rakyat kecil karena anggota DPR atau DPRD nggak bisa di harapkan lagi. Mereka pelaku revolusi negeri ini, dan aku harus menjadi bagian itu, keren kan? Di kampus kita bisa berdiskusi memecahkan suatu masalah dengan debat terbuka sesama mahasiswa. Kelas tempat untuk belajar mencari ilmu dari buku.

Glegar suara petir mengagetkan ku dari lamunan. Bus jalur 2A sudah ada di depan, serombongan orang masuk. namun sayang ketika aku akan melangkah kaki ke dalam bus di tahan oleh kondektur yang ada didalam dengan alasan sudah penuh. Selangkah aku mundur kebelakang pintu bus tersebut tertutup secara otomatis lalu meninggalkan halte. Bus berikutnya tentu masih lama. Tetapi tidak apalah aku juga tidak terburu-buru untuk sampai di kostnya Mas Yofan. Aku duduk kembali ke tempat semula sekarang halte ini sudah lebih lengang.

Hujan masih saja deras. Dari pintu loket ada seorang pemuda mungkin berumur 23 tahun berjalan menuju tempat duduk ku. Dia duduk disebelah ku, terlihat rapih dengan kemeja di padu dengan celana jins serta sepatu kets, dia memakai tas ransel disalah satu tangannya ada sebuah buku tebal. Aku hanya menduga itu mungkin mahasiswa, aku membayangkan nanti pun aku menjadi seperti itu.

Aku rasa gregetan ingin bertanya padanya tentang menjadi mahasiswa. Dari pada diem-dieman mending ku ajak ngobrol aja kali ya lagian masih lama busnya.

“Masnya mahasiswa ya?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ouh iya. Kenapa dek?” Jawab dia dengan sopan juga.
“Nggak apa sih cuma tanya aja. Kayaknya seru aja jadi mahasiswa.” Aku menimpali dengan alakadarnya saja memancing obrolan agar lebih panjang.
“Ouh calon mahasiswa ya adek?” Tanya dia lagi, sepertinya dia antusias untuk melanjutkan obrolan ini.
“iya kak.”  Jawab ku singkat tetapi aku langsung menambahkan lagi. “Tapi aku juga belum daftar, ini rencananya mau muter-muter terus sekalian daftar.”
“Aslinya mana dek?”
“Purwokerto mas.”
“Hayoo pasti pilih kuliah di Jogja pasti ingin jauh dari rumah ya?”

Jleb…sebuah pertanyaan yang menohok ke relung hati. Kenapa juga masnya bisa langsung tahu gitu. Apa ini orang punya indra ke enam kali ya, hebat juga bisa baca pikiran orang. Aku belum sempat jawab mas di sebelah ku udah nyerocos lagi.

“Saya juga dulu berfikir seperti itu. Udah lulus SMA pengin lanjutin kuliah di luar kota yang jauh biar bisa bebas. Tetapi sekarang baru tau betapa enaknya tinggal di rumah. Nggak ada tempat senyaman rumah.” Mas mahasiswa ini malah curhat sendiri. Belum sempat untuk menanggapi ceritanya dia malah melanjutkan ceritanya. “Jadi anak kost itu susah hidup pas-pasan kecuali kalau kita punya penghasilan lain atau anak orang tajir. Kita mesti pandai mengatur keuangan buat makan lah, transport, atau yang lainnya belum lagi biaya praktek kuliah atau tiba-tiba pengeluaran tak terduga.

“Ouh gitu ya mas.” Aku menanggapi seadanya saja memang karena nggak tau harus komentar apa.

Oke dalam benak ku harus ditambahkan lagi jadi rantau ada nggak enaknya apa lagi kalau lagi kehabisan duit. Perlu ada persiapan khusus nih pelajaran akutansi di berdayakan lagi bisa buat pembukuan pemasukan dan pengeluaran jadi kan terkontrol. Itu terlalu berlebihan melakukan seperti itu.

“Pokoknya enak di rumah dech kita mau makan tinggal makan. Jadi anak kost mau makan aja perlu keluar dulu. Makan di warung keluarin duit lagi dech. Belum lagi kalo harga makan naik tambah pusing lagi, apalagi akhir bulan keuangan udah menipis bingung makan apa.” Nada orang ini semakin memelas.

Kayaknya perlu bawa beras sekarung buat jaga-jaga kelaparan atau mie instan satu karton buat cadangan akhir bulan kalau uang bulanan sudah kritis. Perlu persiapan apa lagi ya? jalan satu-satunya adalah minta lagi dech sama orang tua tapi itu adalah senjata terakhir. Koq aku dari sekarang malah pusing mikirin keuangan ya, Keterima di kampus mana juga belum.

“Terus mas menanggulanginya gimana?” Aku bertanya untuk mendapatkan trik penghematan uang makan.
“Biasanya sih berburu teman yang sedang ulang tahun kita merayu untuk mentraktir. Terus deketin temen yang asli Jogja dia kan tinggal di rumah, kita bisa nebeng makan di rumahnya dia. Kalau saya untung punya temen kost yang kompak kita sering masak bareng bikin mie atau apa ajalah nah beli bahannya patungan. Satu lagi kalau ini harus tahan malu karena kita nebeng makan di acara kondangan orang yang nggak kita kenal. Hahahaha”Di akhir kalimat mas mahasiswa ini malah tekekeh karena perbuatan kekonyolannya sendiri. “eh bisnya dateng lanjutin di dalem aja yuk.

Aku membuntuti dia masuk ke dalam bus. Kali ini tidak perlu berdesakan karena hanya sedikit penumpang yang masuk ke dalam bus. Di dalam bus pun kosong penumpang tapi tetap saja aku tidak bisa bebas memilih tempat duduk karena aku ingin medengarkan lanjutan cerita dari mas mahasiswa yang belum ketahui namanya. Rupanya dia memilih duduk di kursi paling belakang yang menghadap ke depan. Aku sendiri duduk disebelahnya, tas ransel yang besar ku pangku agar aku bisa duduk bersender.

“Nah itu mas, aku pengin kost karena biar bisa bersosialisasi. Sapa tau dengan kost kan bisa ngobrol atau jalan bareng sama temen kost tuh.” Akhirnya aku mengutarakan niat ku untuk kost.
“Hhmmmm, nggak semua kostan bisa seperti itu tergantung orang-orangnya aja sih. Banyak juga kostan yang penghuninya sangat individual mereka hanya kenal nama tetapi nggak pernah ngumpul bareng atau jalan bareng. Biasanya yang kayak gitu kostan elit atau kostan para pekerja.”

Aduh, kalau gitu harus pinter-pinter cari kost ya biar dapet kost yang nyaman dan temen-temennya bersahabat bisa kompakan gitu. Nggak bangetkan dapet kostan yang penghuninya individual gitu, nah loh kalo sakit minta tolong siapa kalau sesama penghuni kost nggak kenal. Tetapi tergantung kita juga dink, kalau pandai bergaul pasti dapet temen yang baik mau bantuin.

“Pokoknya enak tinggal di rumah lah, di rumah itu kita bisa di jagain sama ortu.  Walau kita serinng sebel dengan peraturan ortu yang bawel ini itu tetapi kalau di cermati maksudya baik loh. Coba kalau di rantau kita sering kebablasan belum lagi kalau salah pergaulan tambah runyam.” Mas mahasiswa kembali menambahkan betapa enaknya kalau tinggal di rumah dari pada di perantauan.

“Berarti tergantung diri kita sendiri donk untuk mengontrol perilaku kita.” Aku menarik sebuah kesimpulan dari pembicaraan yang sedang berlangsung.
“Bener banget, kita harus pandai cari temen. Kita boleh saja banyak bergaul tetapi tetep harus waspada pada pergaulan dan teman. Kalau bisa cari teman yang bisa memberikan dampak positif. Teman bisa menjadi pengaruh besar dalam dunia perantauan. Kita nggak waspada bisa terjerumus.”

Ribet juga ya jadi anak rantau kalau gitu. Semuanya sendiri dari makan, cuci baju, ngatur keuangan belum lagi pergaulan. Ich jadi serem jika nantinya jadi begundal bukannya serius belajar eh malah jadi serius main-main bisa madesu (mas depan suram) nich. Pokoknya aku harus bertekat untuk menjaga pergaulan. Kayaknya perlu berguru sama mas ini supaya di perantauan tetap pada jalan yang lurus nggak belok-belok.

Selama obrolan dari tadi aku melihat mahasiswa yang ku ajak obrol ini salah satu anak baik-baik. Aku nggak melihat tampang begundal. Lihat saja penampilannya rapih kayak gitu, bajunya bersih sepatu ketsnya tampak terawat dan wangi. Belum lagi dia bawa buku tebal seperti itu pasti dia rajin belajar dan serius untuk kuliah. Dia juga sopan sama orang, ah kalau itu mah sudah adatnya orang sini kali ya emang harus sopan. Perlu di contoh kayak gini.

“Nama mas siapa?” Setelah banyak ngobrol kesana kemari malah baru sekarang aku menanyakan nama.
“Oh ya lupa dari tadi kita belum kenalan nama. Saya Haris aslinya Palembang. Kalau kamu?”
“Aku Teo, dari Purwokerto.” Kita saling bersalaman tanda formalitas untuk berkenalan. “Mas kuliah dimana?  Ambil jurusan apa?” Serentetan pertanyaan muncul dari bibirku.
“Saya kuliah di UKDW ambil jurusan Biologi. Rencananya kamu mau ambil jurusan apa?”

Aku tidak langsung menjawabnya karena aku sendiri masih bingung ambil jurusan apa. Aku di SMA jurusan IPS pasti di tempat kuliah makin sendikit jurusan yang bisa di ambil. Dan ku pilih sekarang juga masih ada keraguan.

“Hhmm, orang tua sih nyuruh aku ambil psikologi.” Aku menjawab dengan ragu.
“Kalau pilihan kamu sendiri apa?” Tanya dia antusias sekaligus penasaran.
“Aku sih maunya sejarah atau antropologi.”  Kata ku masih dalam keraguan.
“Saran saya sih ikuti kata hati.” Hans sangat bijak menanggapi permasalahan ku.
“Kata hati ku sih ya ambil sejarah lah, sejarah itu dunia ku.” Aku menimpali dengan berapi-api.
“Ambil lah jurusan itu.”
“Tapi kan nggak boleh sama orang tua.” Aku bersedih karena pilihan ku ditentang sama orang tua.
“Yang kuliah itu kamu bukan orang tua kamu juga kan. Jadi yang merasakan nikmatnya kuliah itu kamu sendiri. Banyak juga teman saya merasa salah jurusan akhirnya mereka jadi malas-masalan kuliah karena nggak menikmati ada yang karena awalnya disuruh orang tua ada pula yang kerna hanya ikutan teman. Jadi saran saya ikuti kata hati.” Hans semakin terlihat bijak degan tutur kata lembut namun tegas.

Aku kembali berfikir untuk meninjau ulang pada pemilihan jurusan psikologi emang sing punya prospek besar tetapi bagaimana kalau aku tidak menikmati pekuliahannya pasti akan terbengkalai juga kan kalau aku jadi males. Kita akan menjadi semangat kerana kemauan kita terhadap ilmu yang dipelajari. Ah lagian sejarahwan juga masih sedikit pasti prospeknya banyak juga toh. Pertama aku aku harus memberikan pengertian ke orang tua bahwa aku mau kuliah kalau jurusan sejarah atau antropologi. Bener juga mereka nggak bisa memaksa kehendaknya sendiri walau mereka yang membayar kuliah tapi inilah jalan hidup ku, nantinya juga kan buat masa depan ku sendiri.

Sekarang bus Trans Jogja sedang menyusuri jalan Mangkubumi artinya sudah masuk pusat Kota Jogja. Lampu jalan yang terang menghiasi jalanan yang lengang, banyak pengendara motor yang memilih berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Saat ini masih saja hujan mengguyur Kota Jogja. Tujuan masih jauh di jalan Veteran.  Dari obrolan dengan Mas Hans dapat kesimpulan meraih cita-cita itu harus dari sendiri dan bukan orang lain yang mengontrol orang lain. Gemerlapnnya kota besar harus diwaspadai jangan sampai kita terlena oleh hiburan yang mengiringi kota ini. Hidup diperantauan juga harus cermat dalam mengatur keuangan dan pergaulan belum lagi permasalahan di dunia kampus. Ah ternyata lebih complicated dari pada yang ku bayangkan. Tetapi hidup ini adalah pilihan, dan aku ingin terus maju meraih cita-cita aku.

Terderngar suara handphone aku pikir itu punya ku tetapi ternyata punya Mas Hans. Mas Hans segera merogoh saku celananya untuk mengambil handphone, lalu langsung di angkatnya. Tanpa sengaja aku medengar ucapan Mas Hans.

“Halo, Oh elu Can. Gue masih di Trans Jogja nih. Kenapa?” Hans diam sesaat karena mendengarkan lawan bicaranya. “Ouh gitu pastinya donk gue ikutan partynya nanti di Bosche, pasti seru donk DJnya gokil. Gue berangkat sama anak-anak dari Kafe Mirota. Lu ikutan gabung aja sini.” Hans kembali diam memberi kesempatan orang dibalik telpon itu berbicara. “ Ya udah deh nanti kita ketemu di sana aja, see you.”

Hati ku mencelos aku pikir Mas Hans ini mahasiswa baik-baik. Mungkin inilah mahasiswa yang baik dalam berkamuflase. Dari luar tampang mahasiswa rajin dan tidak suka pesta ternyata di kehdipuan lainnya dia sebagai party goers. Ah ada-ada saja.






Trans Jakarta.

Saat ini aku berada di Ibu Kota Indonesia yaitu Jakarta. Setelah menamatkan kuliah jurusan Antropologi aku mengadu nasib di Jakarta. Disini 40% perederan uang Indonesia, dan aku berharap mendapatkan pundi itu untuk masa depan. Aku cukup bangga bisa bekerja disalah satu gedung elite Jalan Sudirman, pusat dari kehidupan keuangan Indonesia karena banyak perusahaan multi nasional dan internasional yang berkantor disini.

Malam ini sebelum pulang ke kost di daerah Gajah Mada aku makan dulu di Plaza Semanggi. Kebetulan ada teman yang sedang ulang tahun dan mentraktir makan, apasalahnya juga ikutan gabung lumayan dapat makan malam gratis. Aku disini tidak memakai kendaraan pribadi karena malas harus ikutan terjebak pada arus macet. Aku lebih suka menggunakan angkutan umum khususnya Trans Jakarta, yang mempunyai jalur sendiri jadi lumayan lancar walau terkadang ikutan kejebak macet karena ulah para pengendara kendaraan pribadi yang seenaknya menyerobot jalur Trans Jakarta.

Aku berjalan menyusuri trotoar menuju halte Bendungan Hilir yang berada di depan Universitas Atma Jaya. Di trotoar ini sebagian penduduk  Jakarta mengadu nasib menjadi pedagang kaki lima. Sebenarnya sangat menyebalkan karena mengganggu pejalan kaki tetapi kadang dibutuhkan juga kala kita haus mereka menyediakan minuman botol kemasan. Nggak bermasalah  juga selama masih menyediakan lahan untuk pejalan kaki. Pedagang kaki lima ini semakin banyak di jembatan penyebrangan yang mereka jajakan juga beraneka ragam mulai dari aksoris handphone sampai perkakas alat rumah tangga. Yang ini sebenernya mengganggu karena pejalan kaki jadi sangat terganggu sebagian besar tempat untuk area lapak mereka.

Dari jembatan penyebrangan terliahat dengan jelas antrian di loket masuk halte. Ini memang jam pulang kerja jadi wajar saja antriannya mengular panjang belum lagi di halte pasti suda berjubel orang menunggu kedatangan Trans Jakarta. Sudah menjadi keseharian penduduk Jakarta yang siap sedia bertarung memperubutkan tempat nggak melulu di Trans Jakarta tetapi di kehidupan lain juga berebut memperoleh pekerjaan, yang sudah bekerja berebut memperoleh jabatan penting dan seterusnya. Bahkan ada pula yang sampai berebut tempat buka lapak di jembatan penyebrangan. Semuanya itu demi mengisi perut agar terus hidup. Sebegitu beratnya kah perebutan di Jakarta?

Dalam otak ku mereka semua hanya mengisi peluang-peluang yang tersedia. Tidak perlu membutuhkan kepintaran yang ber-IQ super untuk medapatkan itu. Tidak perlu juga bersekolah dengan nilai fantastis. Lalu apa yang dibutuhkannya? Kecerdikan dan keberuntungan. Kita memang harus cerdik mencari peluang dengan memutar otak mencari peluang tersebut dengan inovasi atau menciptkan hal baru. Keberuntunganlah selanjutnya sesuatu yang tidak terduga itu bukan datang dari sendiri tetapi campur tangan Tuhan juga.

Akhirnya aku sampai pada antrian yang cukup panjang. Tahap kesabaran awal untuk menunggu. Seperti halnya menuggu pekerjaan datang. Kita sudah berusaha mengirim lamaran ke berbagai tempat tetapi tidak kunjung datang panggilan tersebut. Dan pada akhirnya apakah kita akan terus menunggu pada jalur yang sama atau berpindah jalur, pada akal yang tidak sehat akan pindah jalur dengan cara curang yaitu menyerobot atau bisa saja dengan menyogok.

Tetapi kita masih punya pilihan lain kita bisa pindah halte untuk tapi belum tentu peluangnya dihalte lain lebih besar, semuanya random dan hanya menebak syukur kalau kosong nah loh kalau lebih penuh sama aja bohong malah peluangnya lebih tipis untuk mendapatkan pekerjaan itu.

Ada cara ekstrim lagi yaitu banting setir kita tidak perlu mengantri di loket tetapi kita bisa langsung naik yaitu dengan naik metromini atau kopaja atau yang lainnya. Kita hanya perlu menunggu saja kedatangan angkutan tersebut. Tetapi setelah naik kita masih perlu berjuang dengan berjubelan belum lagi banyak copet dan tidak ada aturan untuk berlalu lintas. Jika disamakan dengan pekerjaan. Kita akan mendapatkan dengan mudah dan cepat tetapi banyak hantaman berbagai macam rupa meskipun itu berbahaya untuk diri kita sendiri. Belum lagi kejadian tidak teduga kita bisa saja dalam sekejap harta hilang oleh para copet. Mereka kasat mata tetapi mematikan.

Aku sendirri hanya pasrah dalam antrian ini dan sabar. Pada waktunya juga akan sampai kalau sabar dan sudah pasti antriannya terus bergerak. Aku melihat wajah orang-orang yang sedang mengantri begitu datar tanpa ekspresi. Terpancar kebosanan di mukanya. Apa mungkin ekspresi itu melekat di wajah ku? Aku tidak ada bedanya dengan mereka.

Bagaimana tidak bosan kalau setiap hari melakukan rutinitas yang sama dan seperti itu saja, dari yang berbulan-bulan sampai yang bertahun-tahun. rutinitas itu bangun pagi mempersiapkan pergulatan dunia kerja yang keras. Berdesakan di jalanan menuju tempat kerja, pagi-pagi sudah menjadi gila menghadapi kemacetan parah. Siang harinnya bergumul dengan kertas pekerjaan yang semakin membuat stress membuat laporan. Kita hanya istirahat sejenak untuk memulihkan stamina pada jam makan siang. Tapi apa mental kita ikut pulih? Belum tentu. Malamnya yah seperti saat ini juga. Pulang dari tempat kerja dengan kelelahan. Sudah tidak ada lagi waktu untuk bersosialisasi. Pada akhirnya kita adalah sebuah robot melakukan hal sama terus menerus.

Aku terbebas antrian loket tetapi masih menunggu kedatangan bus, dan sekali lagi aku juga mengantri agar lebih tertib waktu masuk bus. Memang semuanya harus perlu antri untuk lebih teratur tidak perlu saling serobot karena pada akhirnya kita akan mendapat bagian. Kita bisa belajar saling menghormati kita disini mempunyai kepentingan yang sama menaiki transportasi yang sama pula untuk mencapai sebuah tujuan.

Lihat saja aku terjebak pada manusia-manusia individualis mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Tak ada senyum ke sesama manusia di sebelah atau atau sekitarnya. Mungkin bisa dianggap gila bila tersenyum kepada orang yang tidak dikenalnya. Itulah salah satu karakter individualis. Mata mereka tertuju pada satu layar kecil berkuuran 3 inci, ya mereka sibuk dengan smartphone yang ada di genggaman tangannya.

Bermacam mimic yang terbingkai di wajah mereka kadang mereka tertawa sendiri, marah, atau bahkan menangis. Apakah mereka sudah gila? Sama saja halnya dianggap gila kala kita tersenyum pada orang yang tidak dikenalnya. Semua orang punya dunianya sendiri disini, jadi antara orang waras dan yang tidak waras menjadi abu-abu.

Kita menjadi orang individual karena sudah tidak ada waktu lagi untuk mementingkan orang lain, bahkan keluarga sendiri. Kita hidup untuk diri sendiri disini, setiap hari sudah dipusingkan oleh pekerjaan. Selesai bekerja rasanya ingin cepat-cepat sampai rumah lalu tidur dan setiap hari pun sama seperti itu.
Waktu bersosialisasi kita hanya waktu jam pulang kerja itu pun dilakukan di kendaraan umum. Bukan bercakap-cakap pada orang yang kita temui tetapi bercengkrama dengan orang yang sedang entah ada dimana, menggunakan smartphone beragam fasilitias pesan singkat yang instan. Sembari menunggu kedatangan Trans Jakarta kita membunuh kebosanan dengan bersosialisasi instan. Karena kewarasan ini sudah pudar terjadilah emsional yang berlebihan menangis, menertawakan, memarahi kotak kecil tersebut. Gila!!!

Bus Trans Jakarta sudah terlihat, dan petugas halte juga sedang memberikan pengumuman bahwa Trans Jakarta jurusan Kota akan segera datang. Orang-orang secara kompak memasukan smartphone ke dalam tas atau saku celana. Antrian kembali menjadi rapih sudah siap untuk perebutan bisa masuk ke dalam bus. Aku sendiri memilih antrian pintu masuk belakang bus karena yang depan khusus untuk wanita atau wanita jadi-jadian. Pintu tengah dan belakang untuk umum.

Begitu bus sudah sampai halte ketiga pintunya berbarengan terubuka. Calon penumpang tidak langsung masuk karena memberikan kesempatan pada orang yang turun dari bus terlebih dahulu. Begitu orang yang sudah turun semua barulah orang-orang merangsek masuk. bus yang tadinya sudah penuh bertambah berjubel dengan penumpang baru. Jadi sudah dipastikan tidak ada lagi tempat duduk yang kosong.

Mau tak mau aku berdiri pasrah lagi pada keadaan. Untung tak berapa lama aku berdiri karena ada penumpang yang turun di halte Karet. Dengan sigap dan cekatan begitu orang itu berdiri meninggalkan kursinya aku langsung menggantikannya. Akhirnya dapat tempat duduk yang empuk juga. Kadang dari pertama masuk sampai keluar bus aku terus berdiri karena kalah dalam perebutan menduduki singgasana. Dalam pekerjaan juga tidak jauh beda berbagai cara untuk memperoleh kedudukan bisa saling sikut yang di sebelahnya atau dengan sabar menunggu giliran.

Begitu sudah mapan dan nyaman. Aku mengeluarkan buku Negarakertagama. Baru berapa baris tiba-tiba disamping ku ada yang mengomentari, dia seorang lelaki tampaknya seumuran dengan ku. Ternyata masih ada makhluk sosial di bus ini, mau bercengkrama dengan orang yang nggak di kenalnya.
“Wih bacaanya kayak professor sejarah.”  Kata dia sambil menengok sampul buku dengan memajukan kepalanya.
Aku memangkat buku ini. tersembul kepala dia di hadapan ku. “Buat pengingat jaman kuliah dulu.”
“Ouh dulu ambil sejarah ya? Terus sekarang kerjanya apa?” Rupanya dia antusias untuk KEPO.
“Iya dulu ambil sejarah. Sekarang jadi editor.” Jawab ku singkat menandakan aku malas untuk obrolan lebih lanjut.
Dia kembali menegakan tubuhnya namun kepala masih memalingkan kepada ku, sepertinya dia ingin melanjutkan obrolan lagi. “Wah sayang banget tuh udah kuliah capek-capek kerjaan nggak sesuai sama jurusnnya.”

Deg  aku jadi teringat beberapa tahun lalu. Ketika perdebatan degan orang tua. Ayah menghendaki aku untuk masuk jurusan psikologi sedangkan ibu menyuruhku ambil jurusan Ekonomi. Aku ngotot ingin mempelajari ilmu sejarah. Akhirnya aku menang, bisa belajar ilmbu sejarah sekaligus menjadi lulusan terbaik. Tetapi angan-angan ku menjadi sejarahwan makin menjauh karena tidak lowongan kerja untuk penuntut ilmu sejarah. Jadi aku bekerja untuk sesuap nasi dan kebutuhan lainnya.
“Iya sih sayang, tapi mau gimana lagi adanya kerjaan ini. Semoga sih nggak selamanya dan segera dapat pekerjaan yang sesuai dengan ilmu ku.” AKu menanggapi celotehan dia yang menusuk hati, sekalian menghibur diri sendiri.
“Nyesel nggak sih mas ambil jurusan itu?” Pertanyaan dia sederhana tetapi semakin menohok.
“Nggak lah, lah wong waktu kuliah aku happy koq. Lagian dengan ambil jurusan ini aku jadi semakin bangga menjadi orang Indonesia. Lalu sekarang aku juga enjoy dengan kerjaan ku.” Aku menjawab dengan sedikit gusar.
“Sebenarnya aku juga sama kayak mas. Kuliah jurusan apa kerjanya bidangnya jauh banget.” Dia malah curhat sendiri. “Kadang nyesel sih kenapa dulu nurut sama orang tua ambil jurusan Hukum. Padahal aku pengin Ekonomi.”
“Toh sekarang mas kerja di bidang ekonomi kan? Harusnya seneng donk.” Kata ku ketus.
“Iya sih seneng tetapi aku bisa naik jabatan karena kendala ilmu dan ijazah.” Ada nada kesedihan dibalik ucapannya.
“Nikmati saja lah mas. Sekarang udah berasa cukup kan?” Aku mencoba menghibur dia.
Sekilas senyumnya mengembang dibalik tubuh yang lelah setelah berkutat dengan pekerjaan. Tampaknya dia seorang yang haus akan sosialisasi. Gerak gerinya ingin melanjutkan suatu obrolan lain. Aku yang tadinya males-malesan menanggapi sekarang ikut antusias karena aku sendiri sudah lama tidak mengobrol dengan seseorang diluar pekerjaan.

“Asli Jakarta mas?” Tanya ku megganti topik awal pembicaraan.
“Bukan, gue pendatang koq. Aslinya pedalaman Kalimantan. Kalo loe sendiri?” Jawab dia semagat. Hubungan ini semakin menghangat dia sudah menunjukan sebagai “orang Jakarta” dengan perkataan loe dan gue.
“Pendatang juga, Asli Jateng. Kenapa nggak balik ke Kalimantan aja?” Tanya ku menelisik.
“Balik lagi ke sana artinya gue jadi orang pedalaman lagi. Meski gue tinggal di kota Kabupaten tapi tetep aja di keliling hutan. Enakan di sini,hehehhe”
“Ouh gitu, udah betah ya disini berarti?”
“Iyalah, gue disini udah lama juga. Ogah balik lagi.” Dia menyeringai, aku sendiri nggak mengerti maksud dari seringai itu.

Ternyata Jakarta yang kejam ini masih ada orang yang betah, bukan satu orang saja tapi jutaan. Padahal sebagian mereka hidup tidak layak. Jakarta memang memikat tubuh  para  pendatang hingga enggan kembali ke asalnya untuk membangun daerah. Atau pembangunan ini tidak merata sehingga lapangan kerja hanya tersedia di kota besar, khususnya Jakarta. Aku jadi penasaran kena dia betah tinggal di Jakarta.

“Kenapa betah disini mas? Padahal macet.”
“Disini cari duit gampang, banyak peluang. Gajinya gede dan apa-apa murah. Dibading sama daerah gue cari duit susah udah gitu mahalnya selangit belum lagi kadang ada yang pake Ringgit.” Ada suatu kegetiran di suaranya. “Loe sendiri betah nggak?”

Aku bingung untuk menjawabnya. “Nggak tau ya, aku baru disini juga sih.” Jawab ku jujur.
“Meskipun baru tapikan loe udah bisa ngerasain juga kan tingal di sini?” Dia terus mendesak ku.
“Iya sih. Kalau sekarang ya belum ngerasa betah juga. Gila macetnya bikin stress, belum lagi tempat ku tinggal rasanya nggak bisa gerak bebas. Belum lagi banjir bisa jadi waterpark raksasa.” Aku menumpahkan tetek bengek masalah yang hampir semua dialami penduduk kota ini.
“Ah itu mah biasa aja, lama-lama loe juga terbiasa koq. Tapi loe sendiri suka kan tinggal disini?”

Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan dia, karena aku belum menemukan alasan yang tepat kenapa aku suka kota ini. Kota ini memang indah dengan seribu macam wajahnya. Gedung pencakar langit di kawasan Sudirman-Tamrin megah menandakan betapa makmurnya kota ini. tetapi coba tengok di balik gedung itu. Ternyata itu hanyalah sebuah kamuflase masih banyak rakyat jelata yang belum sejahtera.

“Gue suka kota ini karena megah, semuanya ada, kota paling lengkap seindonesia, orangnya juga asik-asik nggak rese kecuali FPI ya.” Dia menjabarkan semua alasan kenapa suka dengan Jakarta. “Oh ya loe tinggal dimana?”
“Di Gajah Mada situ.”
“Wi sama donk, sebelah mananya?”
“Deket sama halte Mangga Besar.”
“Ouh, gue Sawah Besar. Boleh minta pin loe gak?”

Aku kasih sederan nomer pin Blackberry yang kupunya. Nggak ada salahnya juga kan kasih nomer siapa tahu emang bisa buat jadi temen apalagi kostnya dia juga dekat dengan ku. Mendapatkan teman yang benar-benar baik susah. Lebih gampang lagi mendapatkan teman yang brengsek. Dan anggap saja tidak ada kawan disini karena semua punya peluang jahat.

“Eh gue udah mau sampe nih, kapan-kapan hangout bareng ya. thanks.” Dia berpamitan dan meninggalkan tempat duduknya berjalan menuju pintu keluar.


Aku hanya mengangguk. Dan membiarakan dia pergi begitu saja. Syukur kalau dia memang beneran ngajak jalan bareng. Tetapi aku juga nggak berharap apa-apa. Halte Sawah Besar sudah dilewati halte berikutnya aku harus turun.