Wednesday 20 November 2013

Ingin Pulang

Malam ini Nanda akan melakukan balas budi pada seseorang yang nggak dikenalnya. Berkat orang itu Nanda lolos dari maut. Cuma yang jadi masalah Nanda tidak tahu orang itu tinggal dimana.

Nanda hanya mengingat dirinya kecelakaan di  jalan arteri dekat daerah Kali Banteng. Dirinya ditolong oleh seorang remaja, dia yang mengantarkan Nanda sampai rumah sakit dengan mengendarai motor. Kunci motor Nanda pun dititipkan pada perawat rumah sakit. Nanda memenggapnya sebagai malaikat betapa baiknya dia. Bila saja dia memang ada niat jahat bisa membawa lari motor  Nanda. Sebagai rasa terima kasih Nanda bertekad untk membalas budi. Namun remaja itu sekarang entah ada dimana, yang Nanda tau dia adalah anak punk.

Pencarian itu dimulai dari sekitar jalan arteri, tetapi tidak ada, di lanjutkan ke Kali Banteng hasilnya nihil juga. Beberapa kali Nanda memutari Tugu Muda, sama saja suasananya sepi tidak ada anak jalanan. Tujuan selanjutnya jalan Pemuda sebelum pasar Johar, ada beberapa kerumunan anak punk di terotoar. Nanda turun dari mobilnya mencoba mendekati kerumunan anak punk tersebut, ternyata tidak ada juga remaja yang di carinya. Kata mereka, kelompok punk lainnya suka ngumpul di kawasan kota lama dekat stasiun Tawang.

Nanda bergegas menuju Stasiun Tawang yang tidak jauh dari Pasar Johar. Baru sampai jembaan Berok yang menju Kota Lama ada sekumpulan anak punk. Semoga ada anak tersebut, harapan Nanda. Dari luar mobil Nanda mengamati gerombolan tersebut. Ada seorang anak punk yang sadar kelompoknya sedang diamati, lalu anak tersebut menghampiri Nanda.

“Ngopo mas ndelok-ndelok –kenapa mas liat-liat-?” tanya anak itu penuh selidik.
Nanda jadi kaget melihat reaksi anak itu yang biacaranya keras. “Nggak ada apa-apa saya sedang cari anak punk, tetapi saya nggak tau namnya siapa,” jawab Nanda terus terang.
“Lah arep ngopo karo de’e –mau ngpain sama dia-? anak punk tersebut semakin menelisik.
“Ada perlu sama dia,” jawab singkat Nanda agar tidak semakin jauh perecakapannya. Nanda juga sudah bersiap untuk meninggalkan kerumunan.  
Langkah Nanda terlambat karena anak tersebut mengeluarkan sebuah pisau, lalu di todongkan di leher Nanda. “Ndi dompete -mana dompetnya-?“ keringat dingin Nanda mengucur ketakutan, dirinya telah menjadi korban penodongan. “Cepetan!!” Anak tersebut menggertak.

Tangan Nanda gemetaran saat mencoba merogoh saku belakang calananya alhasil jadi meleset terus. Sekalian buat mengulur watktu sambil memikirkan cara meloloskan diri, namun tak ada ide yang menyangkut untuk kabur dari todongan pisau. Nanda dikelilingi 5 anak punk jadi sudah tidak mungkin untuk meloloskan diri.

Disaat dompet akan diserahkan, terdenger suara langkah lari yang menuju kerumunan tersebut, tetapi Nanda tidak bisa lihat siapa yang datang karena terhalang para berandalan. Salah satu dari mereka ada yang mengok, “Ono macan –ada macan-.” Seketika itu juga mereka langsung lari tunggang langgang. Dalam batin Nanda “Mampus sudah, para kucing ini lari malah yang datang macan pasti akan lebih buruk.”

Langkah kaki itu semakin medekat, dalam imajinasi Nanda pasti yang akan datang itu seorang preman yang tinggi dan besar. Ternyata yang ada dihadapan Nanda seorang anak remaja badannya sedang dan tidak begitu tinggi.
“Loh om koq disini ngapain?” tanya anak itu heran.
“Syukurlah kamu datang tepat pada waktu. Aku jadi hutang budi kamu dua kali.” Nanda segera mengenali anak yang hadapannya. 
“Its ok. Tetapi kenapa om disini? dan kenapa berurusan sama anak-anak itu?”
“Saya sedang cari kamu, saya mau membalas budi.”
Dahi anak itu mengernyit, ”Balas budi untuk apa?”
“Pertama kamu telah menolong aku waktu kemarin kecelakaan. Lalu sekarang kamu nolong aku lagi.”
“Ouh itu, aku iklas koq om. Beneran, sumpah!! Jadi nggak ada balas budi segala,” anak punk ini menolak dengan halus.
“Tapi beneran aku nggak enak sama kamu kalo kayak gini. Aku Cuma ngajak kamu makan malam di rumah ku aja koq. Ayolah mau ya?” Nanda memohon sebenarnya sih memaksa.
“Baik lah.” Anak itu menyanggupi ajakan dari Nanda.

Keduanya naik mobil, lalu kembali berjalan menuju rumah Nanda yang ada di kawasan Papandayan. Anak disebelah Nanda terlihat bajunya kumal tetapi yang buat heran kulitnya bersih berwarna coklat terang. Berbeda dari para gelandangan lainnya yang terlihat kotor. Jelas terlihat berbeda dengan gelandangan lainnya adalah kelakuan dia yang baik hati.

“Oh ya nama kamu siapa?” tanya Nanda.
“Bima, om.”
“Aku Nanda, selamat kenal,” cetus Nanda. Bima hanya membalas dengan anggukan.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Mungkin masih ada perasaan canggung untuk mengobrol bagi Bima. Namun buat Nanda semua pertanyaan itu akan dimuntahkan kalau sudah di rumah dan dalam kondisi santai. Diam-diam Nanda mempehatikan Bima, dia bukan seperti anak punk lainnya meski memakai baju serba hitam tetapi rambut dia tidak dibuat dengan gaya Mohawk. Sekilas Nanda melihat ada smartphone di tangan Bima, pasti bukan anak punk biasa. Nanda menduga apa itu hasil dari rampasan, tetapi sepertinya bukan karena dia bukan berandalan yang nakal. Bila mau berbuat nakal bisa saja waktu kecelakaan Bima merampok dompet atau motornya.

Akhirnya sampai juga setelah 30 menit perjalanan. Sesampainya dirumah, Nanda memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan makanan. Sembari menunggu makanan disiapkan Nanda mengajak ngobrol Bima.

“Kenapa waktu itu kamu mau menolong saya?” Hal inilah yang selama ini menjadi pertanyaan besar di benak Nanda.
“Waktu itu cuma inget kakak. Dulu pernah kecelakaan motor dan akhirnya meninggal,” jawab dia. Kepalanya tertunduk.
“Ouh, maaf. Tapi makasih banget kamu udah nolongin saya.” Nanda jadi bersimpati pada cerita Bima soal kecelakaan kakaknya. “Kalau boleh tau kecelakaan kenapa?”
“Biasalah remaja, dia suka balapan liar. Di rumah nggak ada yang perhatiin.” Kepala Bima mendongak tetapi tatapannya kosong seperti menerawang, membayangkan kakaknya yang sudah meninggal.
“Sebelumnya minta maaf. Saya mau tanya tetapi kalo Bima tidak berkenan untuk menjawabnya nggak apa.”
“Tanya aja nggak apa koq.”
“Kenapa waktu itu setelah nolong saya motornya nggak di ambil aja?” Nanda langsung pada pokok pertanyaan.
Bima menengok kearah Nanda yang ada disebelahnya. Wajahnya memerah, sepertinya dia sedang berusaha menahan marah. “Saya memang anak jalanan tetapi saya tida mau menjadi berandalan,” intonasi Bima agak naik mungkin karena tersinggung pada pertanyaan Nanda. “Saya juga ingin mendapatkan uang yang halal untuk tubuh ku ini.” Pada kalimat yang kedua nadanya tidak setinggi yang pertama.

Keduanya kembali membisu. Nanda takut kalau pertanyaan berikutnya akan kembali membuat dia kesal bisa jadi dia malah kabur. Bima sendiri masih kesal kenapa hal itu di ungkit lagi padahal sudah dijelaskan waktu awal kalau dirinya adalah anak jalan yang berbeda dari yang lain. Tapi sudahlah namanya juga baru kenal pasti banyak hal yang belum diketahui. Bima juga tidak ingin merusak suasana malam ini dengan pertengkaran.

Pembantu Nanda memberitahu makanan sudah siap santap. Nanda mengajak Bima menuju ruang makan yang tidak begitu luas tetapi punya pemandangan yang indah karena langsung menghadap kelip lampu kota Semarang yang ada dibawah. Rumah Nanda ada di tepi tebing jadi bisa terliahat pemandangan kota Semarang.
Dimeja makan mereka duduk berhadapan.
“Asal kamu dari mana Bim?” Nanda memulai obrolan untuk mencairkan suasana.
“Dari Jogja om,” Bima hanya menjawab dengan singkat.
“Udah lama jadi tinggal dijalanan?” tanya Nanda hati-hati.
“Belom sih om,” masih saja Bima menjawab dengan singkat. 
“Pantas saja kulitnya bersih, kirain ikut perawatan,hehehe” Nanda mencoba bercanda agar tidak terlalu tegang.
Bima hanya tersenyum, setelah dia selesai mengunyah diar baru ngomong. “Aku baru dua tahun om tinggal dijalanan. Perawatan sih nggak hanya rajin mandi saja dan jarang keluar siang.”
“Udah lumayan lama donk di jalanan. Tapi bagus lah walau tinggal dijalanan tetap jaga kebersihan.”
“Inilah kenapa aku berbeda dengan yang lain om. Aku nggak mau jadi anak jalanan seperti yang lain kumal, kotor, dekil dan lain-lain itu. Wajib untuk menjaga kebersihan biar tetap sehat.”

Nanda jadi terperangah mendapat jawaban Bima yang panjang mengenai konsep hidupnya dalam kebersihan. Hal ini membuat Nanda semakin penasaran siapa sebenarnya Bima. Rasa keinginan tahuan Nanda membuat nafsu untuk terus mengorek siapa sebenarnya Bima. Sepertinya dia dari kalangan yang berada sebelum turun kejalanan. 

“Kalau boleh tau kenapa Bima keluar dari rumah?” sekali lagi Nanda bersiakap hati-hati karena memumulai dengan topik percakapan yang baru dan sensitif.
“Hmmm” Bima menggumam tanda sedang ragu untuk memutuskan akan bercerita atau tidak. Kemudian Bima kembali mengluarkan suara lagi. “Hhhmm soalnya…..” Bima kembali memotong ceritanya. Terlihat Nanda sudah antusias akan mendengar cerita yang seru. Bima jadi tidak enak kalau membatalkan untuk tidak bercerita, “Aku hanya nggak betah ajah dirumah gimana ya….., pokoknya nyebelin gitulah.”

Nanda bernafas lega karena Bima sudah mau terbuka pada dirinya. Tetapi setelah mendegar cerita dari Bima, jadi nggak enak hati karena seperti membuka luka yang mungkin perih buat Bima. “Kenapa begitu?”
“Aku jujur ya om. Aku anak orang kaya. Tapi…,” ucapan Bima terpotong.
“Om tau koq,” Nanda menanggapi dengan enteng karena dugannya benar.
“Dari mana om tau?”
“Tuh kamu punya smarthphone.” Nanda menunjuk smarthphone yang ada di meja.”

Bima tersenyum kecut sambil memasukan smarthphonenya kedalam saku baju. “Meski aku anak orang kaya. Tapi sepertinya orang tua nggak pernah menganggap punya anak,” suara Bima tercekat diakhir kalimatnya dan ingin memperbaikinya. “Aku sama kakak seperti nggak pernah dapat perhatian dari mereka. Tugas mereka cuma memberikan materi setiap bulan, kita dikasih uang jutaan tapiiii….” Bima tidak sanggup lagi untuk bercerita lebih banyak. Nafsu makannya hilang seketika ketika mengingat orang tuanya.

Nanda memandang Bima dengan iba. Namun Nanda masih saja menanyakan hal yang sensitive. “Terus apa yang membuat mu keluar dari rumah?”
“Aku benci sama ayah,” intonasinya meninggi seperti ada kemarahan yang tertahan. “Waktu lulus SMP aku ingin melanjutkan ke SMK seni tetapi dilarang dengan alasan nggak jelas. Aku dimasukan sekolah favorit, dan distu aku di bully. Aku lapor ke ayah tetapi ayah menganggapnya hanya sebagai kenakalan remaja.” Tampak ada sorotan mata yang marah dari Bima.
“Kamu nggak bilang sama ibu?”
“Sama kayak ayah. Mereka itu jarang ada di rumah. Ayah keluar kota urusan bisnis sedang ibu layaknya ibu-ibu sosialita hobi jalan sana sini nggak jelas. Dari situ aku berfikir apa bedanya aku dengan anak jalanan, sama-sama nggak dapat perhatian dari siapapun. Pikiran itu muncul setelah kakak meninggal, satu-satunya orang yang perhatian sama aku pergi.”  Emosi Bima mereda ketika membicarakan kakaknya. “Kakak meninggal juga karena mereka. Tidak ada yang memperhatikannya. Yang buat heran setelah kepergian kakak, mereka nggak sadar, tetap saja mereka sibuk dengan urusan masing-masing.”

“Terus kamu memutuskan untuk pergi dari rumah?” Nanda masih saja belum puas cerita dari Bima karena belum menemukan jawaban yang tepat.
“Iya, palingan mereka juga nggak peduli kalau aku pergi. Di rumah aja nggak pernah dianggap ada, pasti ya kalau pergi mereka nggak peduliin. Buktinya kakak meninggal mereka masih cuek saja.”
“Setelah sekian tahun kamu meninggalkan rumah. Apa kamu masih marah sama orang tua mu?”
“Rasa marah ada, tapi….” Bima masih ragu akan ucapannya dan nampaknya akan memperbaiki namun masih mencari-cari kata yang tepat. “Bukan gitu, mungkin sekarang sudah nggak marah tetapi rasa kecewa itu masih membekas, jika ingat kakak gejolak marah itu bangkit lagi.” Bima menghembuskan nafas panjang di akhir perkataannya menganggap sudah benar apa yang barusan diucapkannya.

“Emang orang tua kamu nggak pernah dirumah sekalipun?” Nanda masih saja menelisik kondisi keluarga Bima.
“Aku ketemu ayah sama ibu itu jarang banget om. Kadang seminggu tiga kali, malah pernah sebulan cuma sekali, itu pun hanya sebentar aja. Misalnya mereka seminggu dirumah, kita ketemu pas sarapan. Rasanya seperti sarapan direstoran, hidangan tersaji dengan lezat tapi kita makan bersama orang yang nggak dikenal, karena diam seribu bahasa. Kadang ada obrolan sih tapi juga bukan obrolan keluarga, malah membahas keadaan ekonomi yang memburuklah, anggota DPR korupsi. Nggak pentingkan?”
Nanda tidak menaggapi pertanyaan itu. “Kamu sekarang umur berapa?”
“Baru 17, aku keluar rumah kelas 10, harusnya sekarang udah kelas 12.” Bima malah menjelaskan lain, tapi tak apalah tandanya dia sudah benar-benar terbuka.

Rasa puas Nanda baru setengahnya saja karena Bima sudah komplit menjelaskan alasan kenapa dia bisa keluar dari rumah. Semakin iba mendengar cerita Bima. Remaja sebelia itu sudah mendapatkan banyak masalah. Maaf diralat masalahnya sedikit tetapi karena kurang perhatian dan merasa kesepian. Dia hanya mencari dunianya di luar tembok keluarga.

Rencana awal setelah makan malam usai Nanda akan mengantarkan Bima ke tempat awal bertemu, namun niat itu ditunda karena Nanda masih penasaran kehidupan Bima di jalanan. Sepertinya bakal ada yang lebih menarik lagi mendengarkan cerita putualangan Bima. Sekarang Nanda menggiring Bima ke teras rumah dengan pemandangan kelip lampu kota Semarang. Sengaja Nanda membawa kesini agar lebih santai untuk bercerita.

Di teras mereka duduk bersebelahan yang dipisah meja kecil untuk menaruh minuman dan cemilan yang sudah disediakan oleh pembantunya Nanda. Terlihat Bima mengagumi pemandangan yang ada hadapannya, akan tetapi tatapannya kosong seperti memikirkankan sesuatu.

“Hei, koq ngelamun,” Nanda membuyarka lamunan Bima. “Mikirin apa emang?”
“Cuma kangen sama kakak aja. Entahlah berapa hari ini selalu mimpi kakak,” Bima menjawab pertanyaan Nanda. Matanya masih kosong.
“Itu berarti kakak pengen di tengokin Bima,” Nanda menanggapi seadanya saja.
Sekilas senyum Bima mengembang, “Gitu ya? udah lama juga sih nggak ke kuburan kakak.”
“Kamu deket ya sama kakak?”
“Nggak juga sih, tapi waktu kecil selalu main sama dia.”
“Oh ya gimana rasanya setelah Bima ada di jalanan?” Nanda membelokan topik karena masih penasaran kisah Bima di jalanan.

Sebelum memulai cerita, Bima minum teh hangat terlebih dahulu. Mungkin sebagai pelumas kerongkongan ,dan bisa jadi bakal ada cerita yang panjang. Disamping Bima ada Nanda yang antusias siap mendengarkan aksi petualang dari Bima.

“Apa yang kamu rasakan setelah keluar dari rumah?” Nanda mengulang pertanyaan lagi.
“Pertama bingung, mau ngapain juga dijalanan. Tetapi aku merasa bebas,” Bima memulai ceritanya, diakhir kalimat ada senyum kemenangan. “Saya sempat terkatung-katung berapa hari terus ada segerombolan anak punk ngajak gabung. Jadilah aku ikut mereka keliling pulau jawa.”
“Bebas gimana?” Nanda masih belum mengerti maksud “bebas” bagi Bima.
“Ya bebas, bisa menjadi diri sendiri tanpa bayangan dari ayah.”
“Terus untuk biaya hidup gimana?” tanya Nanda.
“Awalnya aku pakai uang tabungan tapi saya nyadar lama-lama akan habis jadi mending di simpen saja. Terus ya saya kerja ngamen atau jadi tukang parkir.”
“Bukannya di jalanan itu hidupnya keras?”
“Dari situlah saya sadar ,bully disekolah itu ternyata belum seberapa di banding dengan bully di jalanan.” Wajah senang itu lenyap. Mungkin Bima masuk ke cerita kelamnya lagi. “Di jalanan itu hidup lebih keras. Saya pernah, maaf bukan pernah lagi tapi sering di palak waktu baru terjun di jalan.”
“Terus apa yang kamu lakukan?”
“Siapa yang bisa bertahan dialah harus berani. Saya nekat untuk melawan, awalnya babak belur tetapi saya mencoba bangkit lagi dan terus berusaha menjadi penguasa.” Ingatan Bima kembali kemasa lalu. Masih ingat betul ketika Bima habis menghitung uang hasil jerih payah mengamen seharian tiba-tiba didatangi dua orang preman dengan tampang beringas merampas uang yang ada ditangan Bima. Awalnya takut untuk mengambil lagi namun perut sudah keroncongan dengan kenekatan Bima memungut balok yang ada di dekatnya lalu mementung kedua preman tersebut. Itulah titik balik dari keberanian Bima menantang kerasnya hidup.

“Berarti sekarang kamu jago berantem donk?” Nanda penasaran kehebatan Bima.
“Nggak juga lah om, saya berantem kalau terpaksa saja. Saya nggak ingin jadi pereman om.” Bima hanya merendah. Memang tujuan Bima turun kejalanan bukan untuk jadi preman. Hidup dijalanan menuntut jago berantem, hanya sekedar membela dan melindungi diri.

Nanda mengangguk setuju dengan pemikiran Bima, meski hidup dijalanan tetapi tidak harus menjadi preman. Masih banyak yang bisa dilakukan selain jadi preman. Nanda masih ingin tau kegiatan Bima. “Maaf sebelumnya kalau kamu nggak jadi preman apa yang kamu lakukan untuk dapetin duit?” Nanda menanyakan dengan hati-hati karena takut akan menyinggung Bima lagi.
“Ya jadi seniman jalanan.” Bima tersenyum pada Nanda tanda tidak tersinggung. “Awalnya saya jadi pengamen terus pas di Bandung saya diajak teman ke rumah singgah. Dari situ belajar main musik dan main teater juga.”
“Wih keren donk jadi pemain teater, pasti sekarang jago acting,” puji Nanda untuk menyenangkan Bima maksudnya sih biar Bima semakin terbuka.
“Dulu kan saya maunya masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sekarang jadi SMK N 1 Kasihan) jurusan teater tapi bokap sama nyokap ngelarang. Terus pas di bandung malah dapet latihan teater gratis.” Ada kesenangan dibalik suaranya, sepertinya Bima telah menemukan dunianya.

Memang dari kecil Bima suka sekali dengan akting semaking besar bertambah pula cinta dengan seni peran. Bagi Bima sudah lelah menjadi dirinya saat itu yang terkekang oleh kehendak orang tuannya, apa yang dimau orang tuanya harus dilaksanakan tanpa memperhatikan apakah Bima menyukai atau tidak. Dengan berakting Bima menjadi karakter orang lain sesuai dengan perannya atau Bima juga bisa menentukan peran apa yang dimau terlepas dari Bima yang sesungguhnya. Di teater Bima bisa melepas energi negatifnya bila sedang marah bisa mengambil peran antagonis yang bisa membuatnya marah-marah secara nggak langsung.

“Bagus lah, pernah manggung dimana aja?” Nanda masih saja bersemangat mendengarkan cerita, seakan mengikuti petualangan bersama Bima. Nanda juga enggan berkomenatar terlalu banyak karena takut salah ucap membuat Bima tersingnggung.
“Banyak sih om, panggung kita tuh trotoar. Kita bermain teater mengeksprisikan kegetiran orang pinggiran sebagai kritik sosial. Tapi sayang juga para pejabat busuk itu nggak ngeliat yang ada malah kita diuber-uber Satpol PP. Untungnya dari dewan seni Jawa Barat malah mendukung kita, kita sering diajak pentas keluar daerah. Dari situ saya dapat uang meski cuma seberapa tapi cukuplah,” Bima menceritakan pengalaman bermain teaternya dengan semangat.

Berkat teater juga Bima setengah keluar dari dunia jalanan karena setiap malam sanggar tersebut tutup jadi tidak bisa tiduran disitu. Latihan teater juga tidak setiap hari kecuali kalau mau ada pentas. Tempat Bima berteduh lainnya adalah masjid atau tempat umum apa saja yang bisa. Itulah dunia jalanan yang Bima lalui, bersaing mencari tempat untuk berteduh. Sering kali disaat sudah mendapatkan yang dirasa nyaman, di tengah tidur yang lelap di usir. Terpaksa Bima berpindah tempat mencari lagi tempat yang dirasa nyaman.

Di luar cerita kelam Bima yang berjuang mencari tempat yang nyaman untuk tidur Nanda sudah sangat mengagumi Bima. Nanda melihat kegigihan Bima untuk mencapai mimpinya menjadi seorang aktor meski mengorbankan hidup nyaman di istana megahnya di Jogja. Nanda jadi berfikir, belum tentu dirinya dapat menjalani kehidupan liar di jalanana apalagi diusia sebelia itu. Waktu seumuran Bima, Nanda malah sedang memperssiapkan kuliah di luar negeri.

Lamunan Nanda buyar ketika Bima menggilnya, “eh kenapa?”
“Nggak apa om ngelamun gitu kirain gak dengerin aku.”
“Dengerin koq. Tadi lagi merenung, aku belum tentu sekuat itu untuk hidup dijalanan. Jangankan di usia kamu yang masih muda, sekarang pun saya belum tentu bisa melakukannya,” Nanda memberi alasan sambil memandang kagum pada Bima.
Bima hanya tersenyum kecil.  “Siapapun bisa melakukan kalau sudah kepepet dan nggak ada pilihan.”

Kata-kata yang barusan di ucap Bima merasuk dikalbu Nanda. Memang benar apa yang dikatakan Bima, jika sudah kepepet pasti kita bisa melakukan. Sering kita menyebutnya itu adalah suatu mukzizat karena secara nalar manusia hal tersebut tidak bisa dilakukan, tapi berkat Tuhan semuanya menjadi bisa. Nanda jadi merasa beryukur waktu remaja nggak mengalami masalah sepelik yang Bima hadapi.

“Saya rasa berat banget ya kehidupan kamu?” Nanda mengambil kesimpulan dari cerita Bima.
“Memang berat tapi mau gimana lagi, ini udah jadi keputusan saya. Mau mundur nggak bisa, sory bukan nggak bisa tapi saya nggak mau. Jadilah saya jalani dengan senang hati,” Bima hanya memberikan tanggapan seadanya saja. Pada kenyataannya memang seperti itu, jika hadapi dengan senang pasti nggak akan terasa berat.

Bima bangkit dari tempat duduknya berjalan menuju kolam renang yang ada hadapannya. Tanpa canggung lagi Bima melepas baju dan celana panjangnya lalu loncat ke kolam renang. Dari kejauahan Nanda hanya senyum pada Bima. Membiarkan merasakan sejuknya air kolam renang, sapa tau Bima bisa merasa lebih rileks. Bima terlihat sangat senang, wajar saja kerena selama ini dia mandi ditempat umum atau tetesan air hujan yang membasahi tubuhnya karena tidak mendapat tempat untuk berteduh.

Sepertinya seru juga ikutan gabung dengan Bima. Sapa tau dengan berenang dapat menyegarkan pikiran, Nanda juga merasa penat dengan masalah yang dihadapi. Nanda bergegas melepas bajunya lalu loncat ke kolam renang. Kedua orang tersebut sekarang sedang bersenang-senang melepas kegundahan hatinya sementara.

Nafas Nanda terengah-engah karena sudah tidak kuat lagi untuk lomba renang. Sekarang hanya bersandar ditepian dinding kolam. Bima yang berdiri di seberang Nanda berenang kembali menghampiri Nanda.

“Gimana udah segar?” tanya Nanda.
“Lumayan om, maklum belum mandi dua hari,hahahaha,” jawab Bima sambil tertawa terbahak-bahak.
“Saya mau tanya lagi boleh nggak?” Nanda minta izin untuk bertanya, untuk menjaga perasaan Bima yang mungkin merasa terintrogasi.
“Tanya aja,” Bima mengizinkan Nanda, tanpa ketinggalan senyum itu mengembang lagi.
“Apa yang kamu dapetin setelah hidup di jalanan?” raut wajah Nanda serius. Inilah inti dari semua percakapan yang tadi berlangsung.

Bima tidak langsung menjawabnya. Matanya menerawang kosong mungkin sedang mencari jawaban yang tepat. Nanda juga memberi waktu pada Bima untuk memikirkan jawabannya. “Hhhmmm,” sepertinya Bima sudah siap untuk menjawab pertanyaan. “Banyak sekali pelajaran yang aku dapetin dari “perjalanan” hidup,” Bima terlihat senyum sendiri. “Yang jelas saya bisa mersakan hidup sebenarnya  berjuang keras untuk bertahan hidup. Memahami kejamnya hidup ini. Mungkin itu semua jawaban klise. Saya banyak belajar dari orang-orang yang saya temui. Pada awalnya saya merasa orang paling nelangsa dengan kehidupan menjadi orang kaya tetapi haus kasih sayang, namun ternyata apa yang kurasakann itu nggak ada apa-apanya dibanding  mereka yang dari lahir udah jadi orang miskin. Dari  bayi mereka sudah merasakan kejamnya dunia. Berkat mereka juga, saya belajar untuk bersyukur masih diberi kehidupan walau dengan cara “seperti ini”.” Perkataan  Bima bernada tegas seolah tegar telah menghadapi berbagai macam rintangan dalam hidupnya.

“Waw,” hanya itu tanggapan dari Nanda karena saking kagum dan bingung mau berkomentar apa lagi. “Terus rencananya Bima mau ngapain lagi?”
Bima mengangkat kedua bahunya tanda tidak mau melakukan apalagi, “belum tau om mau ngapain. Pengen keluar bertualang ke kota lain lagi cari pengalaman lain pasti seru dech.”
“Bima di Semarang ngapain?”
“Ya itu cari pengalaman kan kemaren abis dari Surabaya terus ngikut kereta nyampe sini. Mampir ke rumah singgah yang di Semarang. Ternyata disini jauh berbeda kegiatannya kurang, rencana sih mau disini dulu, mau bantu-bantu rumah singgah biar lebih bagus lagi.”
“Ouh gitu bagus lah… Semoga sih apa yang kamu usahakan bermanfaat, nanti saya bantu sebisanya,” cetus Nanda tulus. Berkat Bima anggapan Nanda tentang anak jalanan telah berubah. Awalnya Nanda berfikir semua anak jalanan itu pasti preman, namun Bima telah merubah persepsi seperti itu. Ternyata masih ada anak jalanan yang baik dan mau membantu orang lain untuk lebih baik lagi.

Kini keduanya diam karena Nanda sudah kehabisan pertanyaan. Setelah semakin dekat dengan Bima, ada keinginan Nanda untuk membantu anak jalanan. Mereka masih punya mimpi untuk hidup lebih baik meraih mimpinya, tetapi mereka terkendala oleh biaya. Buat makan saja susah apalagi untuk sekolah, jadi yang ada mereka mengubur cita-cita. Mereka hanya bisa memandang orang-orang yang berlalulalang yang dianggapnya telah sukses. Sebenarnya mereka bisa maju bila mereka punya pendidikan tetapi sayangnya di Indonesia untuk menjadi berpendidikan harus mengeluarkan uang yang banyak. Memang sekarang sekolah negeri gratis tetapi mereka juga tidak bisa mengenyam pendidikan itu karena mereka di paksa orang tuanya untuk bekerja, mengais rupiah untuk kebutuhan orang tuanya.

“Om tinggal sendirian disini?” tanya Bima membuyarkan lamunan Nanda.
“Ehh, iya, sendirian,” Nanda menjawab singkat karena kaget. “Sebenarnya cerita kamu hampir sama yang saya alami,” ucap Nanda memulai cerita masa lalunya. “Saya merasa terkekang nggak bisa ngapa-ngapain. Rasanya iri lihat teman bisa asik bermain kesana kemari, sedangkan saya hanya di rumah belar dan mengikuti berbagai macam kursus yang tak pernah kusuka.”
“Terus om ngapain?” tanya Bima penasaran kisah dari Nanda.
“Ya nggak ngapa-ngapain. Karena saya nggak bisa memberontak seperti kamu. Saya ikutin saja apa kata orang tua,” suara Nanda lirih seakan pasrah pada keadaan yang telah membelenggunya. Waktu itu Nanda hanyalah remaja biasa yang belum tahu apa-apa jadinya menurut apa kata orang tua. Dirinya tidak berani memberontak karena akan mendapat hukuman dan itu adalah suatu bencana buat Nanda. Dia membayangkan bila hukumannya di usir dari rumah ,pastilah tamat riwayatnya. Itulah imjanasi yang berlebihan dari masa remaja Nanda.

“Terus apa om bahagia mendapat perlakuan seperti itu?” tanya Bima serius sambil memandang Nanda.
“Apa sekarang kamu bahagia setelah keluar dari rumah?” Nanda malah balik bertanya pada Bima.
“Hhmmm,” Bima masih memikirkan jawabannya sambil memandang kedepan. “Entah lah om. Sekarang sih merasa bebas saja,” jawab bima ragu.
 Nanda menengok ke Bima, di ikuti juga Bima memandang Nanda. “Begini, kita bisa merasa bahagia ketika sudah iklas melakukan sesuatu dan bersyukur meski hasilnya kurang memuaskan, lebih baik lagi sih kalau hasilnya bagus juga,” Nanda menjelaskan arti kebahagiaan menurut versinya sendiri. Dilanjutkan Nanda cerita tentang masa lalunya,  “saya merasa awalnya tertekan dengan perlakuan orang tua seperti itu, tapi saya berusaha menikmati alurnya. Dan sayang berusaha berfikir positif,  orang tua melakukan seperti itu untuk kebaikan saya juga. Saya bersyukur bisa sekolah di tempat bagus apalagi diluar negeri. Saya merasa bahagian itu sekarang. Ketika masa berat itu telah terlewati karena saya mendapat hasilnya sekarang.”
Bima hanya mengangguk saja, tetapi otaknya sedang mencerna apa yang barusan dikatakan Nanda. Ada sedikit ketidak setujuan dengan Nanda, “tapi om, gimana saya bisa iklas kalau keinginan saya tidak dituruti dan saya hanya harus mengikuti instruksi orang tua?”
“Seharusnya kamu nikmati saja, intinya kamu harus merasa bersyukur dulu bahwa kamu masih bisa sekolah di tempat bagus,” Nanda mendebat komentar Bima. “Kamu lebih enak Bim, orang tua kamu cuma nyuruh kamu disekolah itu selebihnya orang tua kamu cuek. Harusnya kamu bisa memanfaatkan itu. Waktu luang kamu bisa buat latihan teater di sanggar seperti yang kamu lakukan sekarang.”
“Tapii……” Bima berusa membalas argumen Nanda tapi katanya-katanya terpotong lagi.
“Tapia pa?” tanya Nanda memotong perkataan Bima. Nanda melanjutkan bicaranya, “kita sering menganggap orang tua kita rese, menyuruh-nyuruh kita seenaknya saja. Padahal itu adalah untuk kebaikan kita. Tapi sayangnya kita belum bisa berfikir kedepan maksud dari perintah orang tua kita.  Orang tua kadang juga kurang memahami apa mau kita. Terjadilah miss communication, kayak kamu sekarang alami. Harusnya sih suatu permasalahan bisa di bicarakan dari hati ke hati,” Nanda melempar senyum pada Bima agar tidak terkesan sedang mengguruinya. Bima sendiri terlihat hanya menunduk.

Bima sedang merenungi semua perkataan Nanda. Ternyata dirinyalah yang telah egois,  hanya mengikuti apa yang dimau tanpa mendengar kata hati yang dalam. Memang waktu membulatkan tekat keluar rumah, kondisi Bima sedang emosi karena perkataannya tidak didengarkan oleh orang tua. Bima sendiri waktu itu bingung akan mengadu kepada siapa, jadi Bima hanya bisa menyimpulkan permasalahannya seorang diri. Keputusan Bima untuk keluar dari rumah tidak sepenuhnya salah karena masih ada hal positif yang bisa diambil oleh Bima, dirinya bisa belajar tentang arti kehidupan.

“Bim,” Nanda mengguncang badan Bima yang terpaku tatapanya nanar dan kosong seperti sedang menyesali perbuatan yang sangat bersalah. “Are you oke? Maaf bila kata-kata saya salah,” Nanda jadi tidak enak hati karena telah menasehati Bima.
“Nggak apa koq om. Semuanya baik-baik saja,” ada senyum menghiasi wajah Bima. “Makasih om udah membuka hati saya,” kata-kata Bima seperti tercekat karena menahan tangis.
“Bukan salah kamu, Bim. Tuhan memberikan cara yang berbeda-beda untuk manusia bisa “belajar”. Bisa jadi ini adalah metode yang tepat untuk kamu “belajar”,” kata-kata Nanda begitu lembut untuk menenangkan Bima yang sedang kalut.
“Iya om,” jawab Bima pelan. Ada air mata yang tumpah dipipinya.

Nanda membiarkan Bima menangis karena dengan cara itu bisa meluapkan emosi yang selama ini tertahan. Wajah Bima semakin pias ketika air matanya meluncur deras dipipi. Nanda mengerti apa yang dirasakan Bima saat ini. Ada penyesalan yang menggelayut dibatin Bima yang telah melarikan diri dari masalah.

“Apa kamu nggak ingin pulang?” tanya Nanda hati-hati karena ini adalah hal yang sensitif buat Bima.
Bima menjawabnya dengan menggeleng. “Kalaupun pulang percuma ayah tidak mau menerima anak yang nakal seperti saya.”
“Itukan hanya pemikiran kamu saja. Setiap orang tua pasti nggak mau kehilangan anaknya,” Nanda menanggapi dengan diplomatis.
“Buktinya setelah kakak meninggal mereka biasa saja,” meski masih terlihat sedih ada intonasi meninggi di suara Bima.
“Mereka hanya nggak ingin memperlihatkan kesedihan itu pada mu, Bim. Saat ini mereka juga pasti sedih anak semata wayangnya meninggalkan rumah,” Nanda berusaha membalikan fikiran Bima yang masih agak sedikit marah. “Coba dech kamu telpon rumah sekarang.”

Nanda keluar dari kolam renang sambil menarik Bima yang bergeming. Bima masih memikirkan masalahnya yang pelik. Rasa menyesal itu bercampur pada rasa marah. Dengan pasrah Bima menuruti Nanda yang setengah memaksa menarik Bima. Sebelum telpon mereka mandi dulu. Nanda memberikan baju bekas milik keponakannya yang seumuran Bima.

“Nih telponnya. Masih ingetkan nomer telpon rumah?” tanya Nanda sambil memberikan telpon tanpa kabel.
“Masih,” jawab Bima yakin. Bima diam sesaat lalu dilanjutkan memencet nomer telpon dengan perlahan. Setelah tuntas memencet, gagang telpon tersebut dilekatkan di pipi. Bima masih saja diam menunggu telpon diangkat, 10 detik kemudian sepertinya telpon itu Bima sudah diangkat. “Yah, ini Bima,” tiga kata yang terucap dari mulut Bima, setelah itu Bima terdiam mendengarkan suara dibalik telpon. Nanda sendiri tidak bisa mendengarnya. Namun ekspresi Bima tidak terlihat jelas apakah itu senang, sedih, marah atau apapun. Tatapannya kosong, tubuhnya kaku. Bima terus mendengarkan suara dibalik telpon itu dan tumpah lah air mata Bima. Tak lama kemudia Bima mematikan telpon tersebut padahal lawan bicaranya belum selesai bicara.

Bima nggak tahan suara tangis ayahnya dibalik telpon. Bukan lagi rasa marah yang menghinggap Bima, namun sudah berganti pada rasa sedih dan menyesal telah melakukan hal bodoh meninggalkan rumah. Bima sudah tidak sanggup lagi untuk berfikir macam-macam.

“Om, saya ingin pulang,” ucap Bima pilu.

“Oke, sekarang saya antar kamu ke Jogja,” senyum bahagia terlihat jelas dari Nanda, baginya telah berhasil membalas budi pada Bima. 

Monday 11 November 2013

Cerpen : NgeFly

NGE-FLY
Hancur sudah hati Yandra berkeping-keping. Bagi Yandra dunia ini sudah runtuh. Saat ini Yandra hanya tersungkur dikamar seperti mayat hidup. Tidak ada gairah untuk melanjutkan hidup. Beberapa hari lalu Yandra mendapat petaka dari kekasihnya, ketika Siwi mematahkan hatinya.

Yandra dengan Siwi sudah bertunangan. Yandra sedang menabung untuk pernikahannya kelak. Saat ini Yandra sudah mencicil rumah yang sekarang sedang di renovasi, nantinya akan ditinggali bersama Siwi. Tetapi impian itu sudah musnah. Yandra malah dicampakan begitu saja. Siwi lebih memilih pria yang baru dikenalnya dari Facebook dan lebih tragisnya lagi mereka sudah kawin siri. Hati pria mana yang tidak terluka ketika pujaan hatinya direnggut orang lain.

Rasanya ingin marah tetapi bingung mau marah siapa karena Siwi juga nggak ada dihadapannya. Yandra belum bisa menerima kenyataan ini. Sebagai pelariannya Yandra menjadi kereta api uap, mulutnya terus menghisap rokok entah sudah berapa puluh batang yang telah dihabiskan. Dikamarnya juga berantakan beberapa botol minuman berakolhol rendah.  Sekarang saat ini yang ada dibenaknya gimana cara balas dendam pada Siwi yang telah meluluh lantakan hidupnya.

Terdengar suara ketukan pintu kamar kost Yandra. Tanpa menanyakan siapa dibalik pintu itu Yandra membuka pintu, begitu pintu terbuka Yandra baru menyadari matahari sudah sembunyi di ufurk barat. Dan ternyata yang bertamu adalah Mika temannya yang nggak terlalu dekat. Yandra dengan Mika berteman alakadarnya karena hubungan kerja lebih tepatnya Mika itu seniornya di kantor.

“Eh gue denger lu lagi tepar, kenape lu?” Cerocos Mika masih di depan pintu.
“Bukan tepar sih, cuma mati ogah hidup pun segan.” Jawab Yandra mendramatisir.

Tanpa dipersilahkan masuk Mika sudah menerosol ke dalam kamar. Yandra sendiri masih di pintu. Mika langsungg duduk di sofa dekat jendela, didepannya ada meja yang berserakan botol minuman berakohol.

“Lu kenapa sampe kayak gini? Yang gue tau lu tuh anak baek-baek gak pake acara mabok gini.”
“Nggak apa, aku cuma lagi stress  aja koq.”
“Iyalah jelas stress, nggak mungkin lu kalo nggak stress kaya gini.” Cetus Mika sambil menunjuk berapa botol yang ada di depannya.”

Yandra menyusul Mika rebahan di sofa yang lumayan besar. Sebenarnya Yandra malas menerima tamu tapi Mika sudah masuk duluan dan nggak bisa dicegahnya.

“Aku habis putus sama tunangan ku.” Ucap Yandra nelangsa.
“Ouh.” Tanggapan singkat dari Mika. Tangannya menepuk-nepuk pundak Yandra sebagai tanda perihatin. “Jangan sedih donk, masih banyak cewek yang lain.”
“Banyak cewek sih tapi belum tentu aku bisa cintainyakan?” Suara Yandra ketus karena masih terasa kesal.
“Lu nggak sedang berniat jadi maho kan?hahaha.” Tawa Mika membahana dikamar. Maksudnya sih untuk menghibur Yandra.
“Sinting Lu!” Kali ini Yandra semakin murka.  Yandra menganggapnya sebagai hinaan dari pada candaan.

Mulut Mika langsung terkatup, tertawanya berhenti seketika melihat reaksi Yandra yang berlebihan. Mika tidak berkutik lagi ketika melihat muka Yandra merah padam menahan marah. Sebenarnya Mika ingin becadain Yandra lagi tetapi mengurungkan niatnya. Bisa-bisa Yandra mendaratkan bogem mentah ke wajah Mika.

“Gini ya, lu mau marah-marah nojokin tembok sampe tangan berdara-darah nggak ngaruh juga Siwi udah jalan sama cowok lain.”
“Hhmmm” Yandra menghela nafas menahan emosi. Tapi……” Katanya tak terlajutkan karena dipotong sama Mika.
“Nggak ada tapi lu itu harus move on. Nggak ada lagi lu sedih, uring-uringan gajebo. Sekarang masuki hidup baru. Lu masih untung belum merit sama dia.” Kata-kata bijak meluncur dari mulut Mika yang masih membuat Yandra bergairah kembali.

Yandra enggan mengomentari perkataan dari Mika. Memang apa yang dikatakan  Mika ada benarnya. Coba aja kalau jadi menikah sama Siwi dan dia ketahuan selingkuh, tambah remuk lagi hati dirinya. Yandra melihat botol minum keras beserakan menjadi bergindik sendiri. Dan berfikir jadi orang paling bodoh, Siwi aja nggak mikirin kenapa dirinya harus putus asa seperti ini.

Yandra beranjak dari sofa lalu membereskan botol yang begelempangan di meja dan lantai menaruhnya di pojokan kamar menjadi satu. Yandra juga memungut putung rokok yang masih berserserakan. Intinya sih Yandra membereskan kamar yang lebih dari kapal pecah karena sangat berantakan seperti halnya hati Yandra. Di sofa Mika hanya tersenyum senang Karena kata bijaknya bisa membuat Yandra tersadar.

“Abis beres-beres mandi ya, kita jalan keluar kemana gitu keq.” Miko mengajak temannya keluar dari kostan agar tidak terus terpuruk di kamar.

Hanya anggukan sebagai tanda jawaban Yandra menyetujui ajakan Miko. Mungkin sekarang ini waktunya memang untuk melupakan sejenak dari kejamnya kelakukan Siwi. Sudah dua hari Yandra mengurung diri di kamarnya selama itu pula Yandra tidak menyadari terbit dan terbenamnya matahari. Untuk urusan makanan Yandra sudah banyak stok makanan di lemari dinginnya.

Semuanya sudah beres. Kamar menjadi rapih lagi begitu pula dengan Yandra tampak lebih segar setelah mandi dan mencukur jenggotnya. Mereka sudah siap pergi, dilihatnya di jam tangan menunjukan jam 8 lebih.
“Oh ya aku ke sini pakai taksi, jalan pakai mobil kamu aja ya.”
“Ya boleh lah,” Yandra mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja. “ terus kita mau kemana nih?”  Yandra baru menyadari kalau belum ada tujuan.
“Kita makan dulu abis itu nanti ke tempat temen ku di daerah Solo Baru.” Usul Mika pada temannya.

Sekali lagi tanpa protes Yandra menurut saja. Kost Yandra yang berada di daerah Kentingan melukan mobilnya ke daerah Kota Barat yang berada di tengah Kota Solo. Yandra makan dengan lahap seperti berhari-hari nggak makan. Tapi emang bener sih dua hari Yandra hanya makan seadanya saja.

Dari Kota Barat menuju Solo Baru lumayan jauh. Tetapi untungnya nggak macet jadi terasa cepat. Daerah Solo Baru merupakan komplek perumahan besar yang berasa di pinggiran Kota Solo masuk Kabupaten Sukoharjo. Di tengah perjalanan Yandra baru menyadari belum tau maksud mau ngapain ke rumah temannya Mika.

“Mau ngapain toh kita ke rumah temen kamu?
“Dia lagi ngadain party, gue kasian sama lu aja kayaknya desperate jadinya gue ajak. Lu tuh perlu hiburan.”
“Emang party apaan?” Tanya Yandra dengan waswas karena gelagatnya mencurigakan.
“Party biasa aja koq, temen ku syukuran rumah baru.”
“Beneran cuma party biasa aja?” Yandra semakin sanksi.
“Iya.” Jawab Mika meyakinkan.

Tanpa bertanya lagi Yandra mengikuti petunjuk Mika. Sebenarnya masih ada rasa curiga ada yang tidak beres dengan gelagatnya. Pasti ini lebih dari biasanya. Ingin tidak mengikutinya tapi mental Yandra memang sedang membutuhkan hiburan.

Akhirnya sampai juga di tujuan. Yandra  memarkirkan mobilnya di depan rumah yang megah dengan pagar yang tinggi. Tampak di depan rumah tersebut juga ada beberapa mobil yang terparkir. Pikiran Yandra kembali mencurigai rumah  yang di hadapannya katanya ada pesta tetapi kenapa pintu tertutup rapat. Mika memencet intercom yang ada di tembok.

“Siapa?” Tanya seorang wanita di balik intercom.
“Baja hitam Rx.” Jawab Mika.

Begitu Mika selesai memberikan menjawab pertanyaan tadi pintu terdengar kunci otomatis yang dikenadalikan remot terbuka. Yandra semakin curiga kenapa harus memakai kode. Pasti itu bukan pesta syukuran rumah. Mungkin itu didalamnya ada kegiatan illegal.

“Emang ini rumah siapa dan ada pesta apa?”

Tanpa memberi jawaban Mika langsung menarik tangan Yandra yang masih kebingungan. Begitu melewati gerbang secara otomatis pula pintunya tertutup. Terlihat ada seorang satpam yang duduk di dalam pos satpam di samping pagar. Di kepala Yandra masih banyak pertanyaan namun percuma saja bila menanyakan pada Mika pasti dia tidak menjawabnya. Cepat atau lambat Yandra bakal menemukan jawabannya. Terdapat beberapa mobil yang terparkir rapi di carport. Pintu besar terbuka lebar, rumah bertingkat dua dan bercat biru langit itu cukup megah. Di halamannya banyak pohon yang rimbun untu menutupi kemegahan rumah di dalam pagar.

Dari luar terdengar suara tawa wanita dan alunan musik dugem. Sekarang Yandra sudah masuk kedalam rumah. Di ruang tamu tidak ada orang sama sekali tetapi suara manusia semakin terdengar jelas. Yandra semakin masuk kedalam rumah barulah Yandra menemukan orang-orang yang sedang duduk santai di sofa ruang keluarga sebagian duduk di area bar di pojok ruangan.

Dalam hati Yandra menghitung ada sekitar 15 orang yang ada diruangan itu kalau di tambah dirinya dan Mika jadi ada 17. Hampir semuanya terlihat lebih tua darinya sekitar umur akhir 30an ada beberapa yang lebih muda seperti masih mahasiswa. Tidak satu pun Yandra mengenal orang-orang itu.

“Hai Baja Hitam Rx,” sambut tante-tante berpakaian glamor tidak ketinggalan dengan dandanan yang menor. Tante tersebut mencium pipi kanan kiri Mika. “Kamu bawa cowok ganteng siapa ini?” Matanya melirik tajam pada diri Yandra yang bediri mematung berusaha menyesuaikan keadaan pesta ini.
“Hai tante Jolin…. Makin cantik aja nih tante, susuknya tok cer dech,heheheh.” Canda Mika sambil mencium pipi kanan dan kiri tante Jolin. “Ini aku bawa temen namanya Yandra dia lagi desperate di tinggal tunangan.”

Yandra menyalami tante Jolin seadanya. Tercium dengan jelas bau alkhol berkadar tinggi keluar dari mulut tante Joli. Wanita paruh baya ini masih terlihat  cantik dan segar.

“Ayo duduk, partynya belum mulai koq. Masih nunggu Power Ranger.”  Ucap tante Joli ramah.

“Apa lagi nih tadi Baja Hitam Rx, sekarang Power Ranger, jangan-jangan ini adalah kumpulan dari para super hero.” Yandra hanya membatin membayangkan orang-orang ini sebentar lagi berubah menjadi super hero seperti yang ada di televise.

Tak lama kemudian muncul seorang pria kira-kira seumuran dengan Yandra yaitu 30an. Dia membawa koper ukuran standar. Tampilannya santai seperti habis berlibur.

“Hai ladies.” Sapa pria itu kepada kumpulan wanita yang sedang asik ngomongin berlian.
“Hai Power Ranger.” Sekali lagi tante Joli menyambut tamunya. “Ayo temen-temen sini partynya udah mau dimulai.”Orang-orang yang tadinya kumpul di mini bar dan ruang makan berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya mereka sudah nggak sabaran pestanya segera dimulai. Yandra sendiri masih bingung bakalan ada pesta apa. Yandra sudah membayangkan bakal terjadi pesta sex.

“Kamu bawa apa aja manis?” Tanya tante Joli pada Power Ranger.
“Bawa ice cream (sabu-sabu), kancing (ekstasi), tea (ganja),  bedak etep putih (putaw/heroin), dan masih banyak lagi.”

Yandra semakin tidak paham apa yang mereka omongkan. Dalam otaknya ngapain juga di koper itu bawain es krim, kancing dan teh? Emang habis berlibur dari mana orang itu? bukannya di Solo juga banyak barang gituan. Meskipun rasa ingin tahu Yandra tidak bertanya pada Mika karena ada rasa gengs,i nanti juga tau sendiri.

Koper itu sekarang sudah terbuka. Didalamnya ada berbagai macam barang berupa botol plastik bening didalamnya terlihat butiran pil. Selain itu ada daun kering di bawahnya terdapat bubuk putih. Yandra masih belum tahu barang tersebut. Mata Yandra semakin menggeledah isi koper. Ada satu barang berbentuk botol seperti yang terdapat di laboratorium tetapi di atasnya masih ada semacam sedotan yang dari bahan gelas. Yandra hanya mengira-ngira itu adalah bong, yaitu alat yang biasa untuk menghisap sabu-sabu.

Sekarang Yandra sudah tau jawabannya semua, bahwa sekarang akan berlangsung pesta narkoba. Membayangkan itu semua perut jadi mual dan perasaan jadi bertambah nggak tenang. Jangankan pesta narkoba, melihat barang-barang haram itu aja tidak pernah. Jadi ini adalah pengalaman pertamanya. Yandra melihat orang sekitarnya matanya berbinar-binar seperti melihat perhiasan yang melimpah.

“Bagi donk seperemi ubas (seperempat sabu)nya, udah ada gejala sakaw (rasa sakit karena putus obat)nih.” Kata pemuda yang mungkin masih mahasiswa.
“Kalo gue mau nyimeng (menghisap ganja) dulu sebagai pembuakaan.” Mika ikutan meminta ganja pada Power Ranger.
“Kamu bawa pesenan aku kan lady and crack (kokain kelas satu)?” Tanya tante Joli antusias.
“Sabar donk broo. Tenang semuanya pasti kebagian.”  Ujar Power Ranger untuk menangkan manusia-manusia yang haus akan dunia halusinasi.

Yandra semakin tidak karuan rasanya terperangkap ruangan bergabung dengan orang-orang yang sebentar lagi hilang kewarasannya. Rasanya ingin cepat-cepat kabur dari sini tetapi pasti akan di cegah orang-orang itu. Bila nekat kabur pasti tidak ada jalan keluar karena rumah ini dikelilingi tembok yang tinggi.

Perlahan tapi pasti Yandra beringsut ke pinggiran sofa menjauh dari segerombolan orang yang sedang merubungi berbagai jenis barang haram. Mereka sedang sibuk dengan memilih barang pesanannya. Bisa dibayangkan mereka seakan membeli sayur dari abang penjaja sayur yang lewat depan di sebuah komplek perumahan. Keriuhan semakin menjadi karena ada beberapa barang yang lupa dibawa badar narkoba yang entah namanya siapa yang Yandra tau mereka memanggilnya Power Ranger.

“Eh masnya gak ikut milih?” Tanya wanita cantik sambil memandang Yandra yang ada bergeming di ujung sofa. Ada beberapa pasang mata ikut menolehnya tetapi cuma sebentar mereka kembali sibuk dengan barang pesanannya.Yandra hanya menggeleng tanda tidak mau ikut-ikutan. Bukan hanya tidak mengerti jenis-jenis narkoba itu tetapi perasaan takut yang besar yang membuat dirinya ikut berkerumun dengan mereka.

 Beberapa orang sudah mendapatkan barang yang diinginkan dan kembali duduk di sofa. Bong itu tergeletak di meja bersama beberapa jarum suntik, alumunium foil, korek api dan peralatan lainnya. Pesta segera dimulai.

“Eh lu mo nyabunya ngecam (nyuntik) atau mau pake bong?” Tanya Mika pada entah namanya siapa yang ada disebelahnya.
“Sek toh aku arep snip (pakai putau dihisap lewat hidung).” Balas pria tersebut.
“Mik, temen kamu koq diem aja ajak gabung donk.” Cetus tante Joli yang ada sedang melinting daun kering, Yandra menebaknya itu adalah daun ganja.
Mika berpindah tempat duduk. Sekarang dia ada disebelah Yandra. Mulut Mika mengepul asap . “Eh lu mau nyobain apa? Lu tinggal pilih aja.” Kata Mika sambil menunjuk narkoba yang tersaji di meja.

Yandra hanya menggeleng enggan ikut-ikutan pesta bejat ini. Jelas terlihat raut muka Yandra yang menahan marah. Gimana nggak marah temannya telah menyeret dirinya pada masalah besar dengan mengikut sertakan pesta narkoba. Saat ini Yandra merasa menyesal mau saja mengikuti Mika. Selain itu rasa benci Yandra menyeruak kepada temannya, yang tadi baik hati menghibur bagai malaikat sekarang nggak ada bedanya dengan iblis yang membisikan untuk berbuat jahat.

“Nih buat kamu.” Seorang wanita memberikan segelas air bening. “Biar nggak tegang dan nerveus.” Lanjut wanita tadi.

Yandra belum tau isinya apa entah itu air berakolhol atau air putih biasa. Yandra menerima begitu saja gelasnya. Kerongkongannya sudah berasa kering sekali karena Yandra sudah teralalu banyak menelan ludah gara-gara melihat kenyataan yang ada dihadapannya sangat mengerikan tetapi dirinya tidak berdaya untuk menghindar. Air yang ada digelas telah tandas diminum. Ternyata itu air putih beneran, mungkin dia orang baik yang ada disini.

Terasa segar setelah minum air, paling nggak untuk tetap berfikir sadar untuk tidak ikut-ikutan pesta terktuk itu.
“Katanya lagi sedih ya mas?” Tanya wanita itu. Yandra masih membungkam mulutnya hanya anggukan sebagai jawaban. “Cobain ini dech, biar mas bisa lupain cewek sialan itu.” Sang wanita memberikan pil kecil berwarna pink. Tapi Yandra menolaknya dengan halus.
“Wih ni obatnya manjur amat ya, liat tuh Hatori sudah mulai badai (mabok akibat narkoba).” Mika menunjuk pria bermata sipit disebrangnya.
“Dia anak baru jadi dosis sedikit aja udah langsung ngerasain nikmatnya.” Timpal tante Joli.

Yandra baru sadar teryata orang-orang itu sudah mulai mabok merasakan efek dari narkoba yang disuntik atau di hisapnya. Ada yang meracau nggak jelas ada juga yang cuma tiduran dengan nafas tersengal-sengal. Terlihat ada seorang yang meringkuk seperti orang kedinginan. Kepulan asap ganja cepat atau lambat memenuhi ruangan.

“Kamu cobain ini dech…..” Mika memberikan lintingan ganja yang sudah dilinting dan menyala di ujungnya. Yandra tau itu bekasnya Mika.
“Nggak ah, aku kan nggak ngerokok.” Tolak Yandra.
“Apa lu nggak ngerokok tadi aja putung rokok bertebaran di kamar lu.” Nada suara Mika meninggi tawarannya di tolak mentah-mentah oleh Yandra.
“Cobain aja mas dikit aja nggak apa koq. Sayang donk udah kesini nggak ikut party.” Suara lembut wanita disebelah Yandra berusaha ikut mempengaruhi.
“Iya itu coba dihisap-hisap kalau ganja nggak buat mabok koq.” Kata tante Joli yang jelas-jelas berbohong.
“Kalo pake ini lu bisa lupain Siwi, lu nggak akan inget-inget lagi brengseknya Siwi. Selinting aja dech.” Mika masih saja merongrong disebelah Yandra.

 Otak Yandra mulai bereaksi rangsangan dari orang sekitarnya. Tadinya jelas-jelas menolak sekarang sudah sedikit goyah. Dalam pikirannya kalau coba sedikit aja dan sekali pasti nggak akan nagih, lagian itu semua gratis. Dengan ini semua aku bisa melupakan semua tentang Siwi. Hilang semua momori tentang dia di otak.

“Di sini aman koq nggak bakalan di grebeg.” Ucap tante Joli. Sepertinya dia tau kekhawatiran yang melanda Yandra.
“Percaya aja sama tante Joli, dia ini yang punya rumah ini.” Power Ranger memperkuat omongan dari tante Joli.  Power Ranger juga menambahkan omongongannya lagi, “Kita sering party disini koq dan nggak akan bocor. Ini coba aja barcon (barang conoh) gratis koq. Ada Blue Ice (sabu-sabu nomer satu), Black Heart (merk ekstasi), girl (kokain), chimenk (ganja) dan masih banyak lagi. pilih aja. Pokoknya disini happy-happy saja.” Power Ranger kembali membuka kopernya yang sekarang sudah setengah kosong.

Sebenarnya Yandra nggak paham istilah-istilah itu semua kecuali satu kata yaitu chimenk. Namun sambil mendengarkan Yandra mengangguk-angguk seolah mengerti arti itu semua. Pikiran Yandra semakin kacau setelah memandang barang-barang yang ada di koper. Tanyannya sudah siap mulai mengacak-ngacak koper. Tetapi di cegah oleh Mika, dia malah memberi pil warna pink yang tadi di pegang wanita bersuara merdu itu kepada Yandra. Sekarang di tangan Yandra udah memegang pil ekstasi. Nafasnya tidak beraturan, disamping karena takut ada perasaan grogi dicampur galau. Keringat mengucur deras dari dahinya.

Di tangan kiri ada ekstasi dan tangan kanan ada segelas air putih. Mulutnya sudah ternganga siap menelan pil setan itu. Nafas Yandra masih terengah-engah dan mencoba menenangkan diri mengatur pernafasannya. Pikiran Yandra sudah teracuni oleh teman-temannya.

@@@

Kantor Polisi

Suasana kantor polisi resort Sukoharjo saat tengah malah sudah sepi hanya ada petugas yang sedang berjaga malam dan petugas yang bersiap-siap untuk patroli untuk mengamankan daerah. Di ruang jaga ada BRIPTU Lian yang sedang asik main smartphone untuk membunuh kejenuhan jaga malam. Tiba-tiba telpon pos jaga berbunyi, dengan cekatan langsung diangkat telpon tersebut.

“Selamat malam, dengan BRIPTU Lian di Polres Sukoharjo dapat saya bantu.” Salam dari BRIPTU Lian untuk menjawab telpon. Lalu hening sejenak mendengarkan lawan bicaranya. “Ouh begitu jadi pesta narkoba di tetangga bapak di daerah Solo Baru di blok sekian. Nanti kita langsung tangani. Terima kasih bapak informasinya.”

Begitu menutup telpon BRIPTU Lian langsung melaporkan kejadian keatasannya. Mendapat laporan seperti itu Kapolres Sukoharjo tidak langsung bertindak gegabah langsung menggrebegnya namun mengirim polisi intel untuk mengamati terlebih dahulu.

@@@

Satu persatu manusia-manusia itu tumbang dalam pengaruh narkoba. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tersedar tetapi efek narkoba itu sudah mulai bekerja. Tinggal Yandra sama yang masih segar karena belum ada narkkoba yang merasuk ketubuhnya. Mika yang ada sebelahnya saat ini sedang menghisap sabu-sabu dari bong.

“Koq cuma dipegang aja? Ayo telen.” Wanita disebelah Yandra masih saja berusaha menghasut.

Yandra memejamkan mata dan tanpa keraguan pil ekstasi yang dipegangnya langsung ditelan. Iblis-iblis itu bersorak seperti mendapat kemenangan begitu Yandra memasukan pil kemulut. Satu manusia telah berhasil menjadi budak narkoba. Mika yang ada disebelahnya langsung memeluk sebagai tanda sekarang sudah menjadi CS (rekan sesame pengguna narkoba). Di tempat yang agak jauh tante Joli tertawa terbahak-bahak tanda kepuasan.

Pikiran Yandra mungkin sudah buntu karena tekanan dari orang-orang sekitar dan masalah yang membelitnya membuat gelap mata. Dirinya hanya berfikir dengan menelan pil setan itu masalah akan segera hilang dan bayangan Siwi tidak menghantuinya lagi. Yandra sudah termakan oleh bujukan rayu para iblis.

Yandra mematung disofa itu nggak tau harus ngapain. Otaknya kembali bekerja menuju kewarasan. Ada rasanya penyesalan kenapa bisa sampai menelan pil setan. Dirinya terus merenung membayangkan akibat dari ketagihan narkoba. Melihat keadaan di depan mata Yandra jadi bergindik sendiri melihat sesuatu yang menyeramkan.

Orang-orang yang ada didepannya seperti zombie. Mata mereka kosong dan nanar, ada lingkaran hitam kata orang itu adalah mata panda. Mereka yang sedang meracau adalah sudah memasuki dunia halusinasi, apa yang ada di imajinasinya seperti ada didepan mata. Jika dibayangkan mereka seperti orang gila. Botol minuman keras, alumunium foil, lintingan daun ganja berserakan di meja dan lantai.

“Aku tidak mau menjadi orang-orang bodoh seperti itu.” Yandra hanya membatin. Mereka adalah memang orang-orang bodoh merusak masa depannya dan  mereka orang-orang yang tersesat, sebagai pelarian mereka mengkonsumsi narkoba. Dengan narkoba mereka bisa berhalusinasi merasa dirinya orang paling bahagia sedunia. Tetapi sayang kebahagiaan itu hanya sesaat setelah itu hidup mereka merana kembali.

Saat ini Yandra berfikir lebih keras lagi gimana caranya agar ekstasi tidak bekerja diitubuhnya, harus segara mungkin dikeluarkan. Mata Yandra berkeliaran melihat lebih detail isi rumah. Akhirnya Yandra mendapatkan ide segar dan semoga ektasi yang baru telannya belum bereaksi.

@@@

Mendapat pengaduan ada pesta narkoba, jajaran kepolisian Kabupaten Sukoharjo langsung bertindak cepat. Solo Baru berada di wilayah Kecamatan Grogol merupakan daerah kekuasaan Sukoharjo. Sura-surat untuk proses penggrebegan segera diproses. Satu kompi kepolisian segera dibentuk. Sepertinya akan ada pesta tersendiri untuk para polisi membekuk para pecandu narkoba. Intel mereka segera dikirim kelapangan.

@@@

Yandra berjalan menuju dapur, biasanya di dapur ada kamar mandi. Sengaja Yandra tidak memakai kamar mandi ruang tengah karena takut kedengaran orang-orang disekitar. Secepat mmungkin Yandra melancarkan misi ini. Saat sedang celingak-celinguk datang Mika yang sudah mulai teler.

“Ngapain lu yan kesini?” Tanya Mika penasaran.
“Mau ke toilet, yang didepan kayaknya dipake. Jadi aku cari dibelakang.” Jawab Yandra berbohong.
“Ouh gitu.” Mika mengambil gelas didapur lalu pergi meninggalkan Yandra.

Fuih, Yandra bernafas lega hampir saja misinya gagal. Yandra berusaha tenang agar tidak ketahuan yang lainnya. Kamar mandi ada dipojok ruangan, tanpa pikir panjang langsung masuk dari pada nanti ketahuan. Di dalam kamar mandi dua jari tangan kanan dimasukan kedalam mulut dan disogok kedalam. Suah dua kali sogokan tapi belum ada tanda-tanda mau muntah. Sekali lagi Yandra sogok jarinya lebih dalam. Kali ini sudah bereaksi perutnya mual. Semakin semangat lagi Yandra menyogok jarinya ke tenggorokan. Berhasil, Yandra mengeluarkan isi perutnya. Rasa waswas kembali menggelayut memperhatikan apa saja yang keluar dari tubuhnya.

Matanya semakin melotot memperhatikan lubang closet yang menjijikan karena makanan yang sedang diproses di lambung di keluarkan. Menggunakan sikat gigi entah punya siapa Yandra melawan rasa jijiknya untuk mengorek-ngorek muntahan. Apa yang diharapkan belum di temuinya. Keringat dingin kembali mengucur tanda khawatir. Yandra terus mengubek-ngubeknya sampai ingin muntah lagi karena mencium aroma yang menjijikan. Rasa mual itu tak tertahankan lagi dan memutah lagi. Saat muntah itulah Yandra merasa sangat senang karena pil pink itu masih utuh berbentuk bulat locat dari mulutnya menuju lubang closet.

Kebahagian itu hanya sementara karena Yandra harus memikirkan gimana caranya biar bisa keluar dari rumah ini. Yandra kembali ke ruangan pesta terkutuk itu, duduk disamping Mika yang duduk tanpa suara dengan tatapan mata kosong. Disebelahnya wanita cantik itu sedang meracau entah apa yang dikatakan sekilas seperti sedang memaki suaminya yang selingkuh.

Rencana kedua harus segera dimulai sudah tidak ada alasan lagi berlama-lama disini. Saat ini sudah jam 1 dinihari. Yandra memainkan smartphonenya untuk meng-sms siapa saja yang bisa membantunya. Sudah lima orang di sms tetapi tidak ada respon, mungkin mereka seudah tidur. Tidak mungkin untuk menelponnya karena mereka akan curiga.

@@@

Polisi itu sudah mendaptkan surat tugas untuk pengamatan. Ada dua orang petugas yang akan segera melaksanan pekerjaannya. Mereka berpakaian seperti orang sipil tidak ada penampakan sebagai seorang polisi. Tugas mereka untuk menyamar dan mengamati suasana tempat yang akan digrebeg. Dari Kapolres Sukahorjo agak jauh untuk mencapai tujuan di Solo Baru.”

@@@

Harapan itu semakin tipis, sudah 10 orang belum merespon. Semakin banyak lagi Yadra mengirim sms, keringat dingin bercucuran dan terus berdoa mengharapkan keajaiban. Sudahlah pasrah menunggu pesta usai dan tidak terjadi apa-apa, Yandra duduk lemas memikirkan nasibnya. Tanpa diduga smarthphonnya berdering dengan lantang sampai Mika dan wanita disebelahnya tersadar. Sengaja Yandra tidak langsung mengangkatnya agar semua orang memperhatikannya. Sudah beberapa orang melihat Yandra. Saatnya sekarang untuk mengangkat telpon itu.

“Ya halo, kenapa dek?” Yandra sengaja bersuara keras dan diam sejenak mendengar suara dibalik telpon. “Apa!!! Mamah masuk rumah sakit? Parah nggak?” Sengaja suara Yandra dibuat histeris. Mika dan tante Joli tampak memperhatikanYandra. “Iya dek, kaka langsung ke rumah sakit sekarang. Tenang ya dek.” Begitu mengakhiri kalimat Yandra membereskan barang yang di bawanya.

“Tante Joli, maaf nih saya harus pulang segera karena mamah masuk rumah sakit.” Yandra mencoba pamit pada sang tuan rumah.
“Nggak bisa ditunda? Bentar lagi kamu fly loh bisa bahaya. Tunggu efeknya hilang aja” Tante Joli berusah menahan Yandra sepertinya ada rasa curiga.
“Maaf tante nggak bisa, ini mamah udah masuk UGD. Kasian adek cuma sendirian.” Yandra berkilah.
“Ya udah jagain mamah dulu. Hati-hati ya.” Akhirnya tante Joli luluh juga.
“Eh Mik, kamu mau ikut gak?” Tanya Yandra yang sebenarnya suatu ajakan untuk segera dari tempat ini.
“Nggak ah ogah dirumah sakit sumpek gitu.” Mika menampik ajakan Yandra.

Segera Yandra keluar dari rumah itu. Sebenarnya nggak tega meninggalkan Mika sendirian disitu, tetapi Yandra juga tidak mau memaksa malah nantinya tante Joli tambah besar rasa curiganya. Gerbang kebebasan sudah didepan mata.

@@@

Dua polisi intel itu sudah masuk komplek perumahan. Komplek ini begitu besar sampai harus menelusuri jalan-jalan yang menyesatkan karena banyak jalan buntu. Sebenarnya sudah dekat sakali sama rumah yang dituju. Akhirnya ketemu juga blok yang dituju. Mobil yang ditunggangi polisi ini berjalan lambat mencari rumah tempat pesta narkoba.

@@@

Yandra sudah ada didalam mobil dan siap melaju. Lega juga sudah terbebas dari rumah sialan itu. Sudah agak jauh dari rumah Yandra mengendarai mobilnya. Dibalik spion terlihat ada mobil yang berjalan lambat dan selisih beberapa meter dari rumah tante Joli mobil itu berhenti. Ada rasa curiga terhadap mobil itu, Yandra buru-buru meninggalkan komplek perumahan. Sekarang Yandra menuju rumah sakit yang ada di Kota Solo untuk meyakinkan sandiwaranya benar-benar terjadi. Hal ini untuk antisipasi barang kali ada orang yang menguntit Yandra atas suruhan tante Joli.

 Tak terasa sekarang sudah jam 4 pagi. Malam penuh petualangan bagi Yandra berawal dari gejolak batin tentang asmaranya, pergi bersama teman yang palig brengsek sedunia yang mau menjerumuskan dirinya ke lingkaran setan. Apalagi sampai terperangkap di rumah terkutuk tempat pesta narkoba. Rasanya jauh lebih lega ketika Yandra sudah berada di kamar kostnya.

Sampai kamar Yandra merebahkan diri di sofa untuk menghilangkan rasa lelah sejenak. Diambilnya remot televisi yang ada disebelah, dari remotnya itu mengganti-ganti saluran terlevisi yang dianggapnya menarik. Sampailah pada siaran berita televisi lokal. Awalnya Yandra hanya melihat sekilas tayanngan tersebut, tetapi betapa terkejutnya ketika melihat tagline Breaking News Penggerebekan Pesta Narkoba Di Daerah Solo Baru. secara seksama Yandra melihat adegan dramatisir polisi merangsek kedalam rumah yang dipenuhi orang-orang sedang teler.
Betapa pilunya ketika Yandra melihat Mika yang setengah mabok digiring ke teras rumah berjejer dengan para pengguna lainnya. Namun ada yang janggal kemana perginya wanita cantik itu yang tadi memberinya pil ekstasi? Sekujur tubuh Yandra lemas seketika membayangkan bila dirinya ada disitu di tonton jutaan orang mau ditaruh mana muka ini untuk menahan malu. Nggak bisa dibayangkan bila dirinya di jebloskan kedalam penjara. Yandra terus membayangkan bila dirinya kehilangan karir kerja yang selama ini sudah dirintis dari awal. Belum lagi mengalami kejamnya hidup di penjara. Masa depan pasti akan suram.
Ada rasa berasalah kenapa tadi tidak memaksa Mika untuk pergi dari situ. Sudahlah yang penting sekarang dirinya tidak ikut dalam penggrebean tersebut. Sekedar berjaga-jaga Yandra menelpon pengacaranya bila ada panggilan polisi untuk meminta keterangan atau menjadi saksi. Dari pengacara tersebut Yandra disarankan untuk membakar baju yang baru dipakai serta membotak rambut kepalanya karena bisa aja asap ganja menempel pada tubuhnya.


Malan ini Yandra mendapat banyak pelajaran yaitu janga terlalu mempercayai teman. Bisa saja teman yang kita anggap baik malah menjerumuskan pada hal negative. Jauhi narkoba jangan sekali-kali menyentuh barang haram tersebut apapun bentuknya bisa saja jadi pecandu. Bila ada masalah narkoba bukanlah jalan keluar tetapi mintalah bimbingan orang tua atau psikolog karena merka adalah orang yang bijak membantu kita keluar dari masalah yang lebih terpenting dekatkan diri kita pada Tuhan. Yandra tak lupa mengucapkan terima kasih pada Siwi yang telah menolongnya. 

telah terbit buku bagus yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE