Thursday 5 June 2014

Cerpen : HAMIL


Seperti biasa jalan Pantai Kuta selalu ramai setiap harinya apa lagi sekarang akhir pekan tepatnya Jumat malam. Diantara ratusan mobil yang terjebak macet ada sebuah sebuah mobil sedan, di dalamnya ada Kadek wanita asli Bali, Nadia gadis keturuan Arab asli Solo dan Vero cewek gaul yang berasal dari Bandung. Mereka sudah lama bersahabat, rutinitas mereka setiap Jumat sepulang kerja menyempatkan diri untuk liat sunset di Pantai Kuta.

"Sebel dech kalo long weekend gini pasti daerah sini macet," gerutu Kadek sambil merebahkan badanya di kursi mobil.
"Ich cerewet kaya kamu yang nyetir aja," protes Vero sambil menatap Kadek dengan memicingkan matanya tanda sebal.
"Ya udah sih sabar toh, masih tetep bisa jalan koq. Lagian sapa juga yang pilih ke sini? Tadi aku udah bilang mending di Renon saja ngopinnya." Nadia yang tadinya mencoba menenangkan malah ikutan ngedumel.

Keadaan di mobil kembali senyap tanpa obrolan hanya suara kicauan penyiar radio yang keluar dari sound system. Meskipun mobil berjalan tetapi perlahan-lahan karena padatnya mobil yang memenuhi jalan dan banyak taxi yang berhenti seenaknya di tengah jalan. Kadek duduk dengan lunglai sambil menatap kemacetan dan Nadia asik dengan BBMan.

Baru saja mobil keluar dari jalan Pantai Kuta dan sekarang menyusuri jalan Kuta Raya menuju Denpasar. Jalanan masih dalam kondisi tersendat-sendat.

"Hmmm Vero aku boleh minta tolong?" Kadek memecah keheningan.
"Tolong apa? Pinjem duit?" Vero langsung to the point.
"Bukan itu, kan habis gajian duit ku masih banyak,hahahha," Kadek berkelakar nggak kalah hujaman Vero.
"Ada masalah apa Dek?" tanya Nadia penuh kelembutan, sambil memasukan BB ke dalam tas.
"Bisa nggak anterin aku ke Rumah Sakit Kasih Ibu yang di Teuku Umar? Nanti aku pulang sendiri dech" Kadek mengutarakan permintaan tolongnya.  Wajah Kadek menjadi agak pucat pasi seakan ragu untuk mengutarakan permintaan tolongnya. Kadek meremas baju dibagian perutnya. Sebenarnya Kadek enggan mengatakan tetapi hal ini sudah sangat mendesak. Kadek nggak tau lagi mau minta bantuan siapa lagi. Saat ini mungkin Vero yang bisa membantu. Hanya kepada sahabatnya Kadek minta tolong. Lagian ini juga sekalalian jalan pulang. Mereka sama-sama tinggal di daerah yang berdekatan di Denpasar.
"Ngapain ke sana?" cerocos Vero.
"Aku ada janji sama dokter kulit," jawab Kadek dengan yakin tetapi memalingkan wajahnya ke jendela samping.
"Bohong!!" tuduh Nadia.

Kadek semakin pucat dan berusaha menutupi wajahnya dengan tetap menatap jendela. Kadek nggak berani menengok wajah kedua temannya. Pastinya ada sebuah kebohongan besar yang disembunyikan Kadek. Akan tetapi kedua sahabatnya tidak perlu tau apa yang  terjadi. Kadek tidak berani menengok kearah temanya takut kebohongannya terbongkar. Bisa bahaya kalau sampai mereka tahu. 

"Dokter kulitmu kan bukan di rumah sakit itu," Vero mencecar Kadek.
"Aku pindah dokter yang kemaren kemahalan, dan dokter yang baru prakteknya di situm" Kadek berusaha mengelak.
"Bukannya di rumah sakit itu malah lebih mahal," Nadia mengomentari, dan nggak yakin denga alasannya Kadek.

Vero mengecilkan suara radio yang sedang mengalunkan lagu Some Like You dari Adelle. Sepertinya akan terjadi dialog yang begitu pelik untuk di bahas. Mobil terhenti di perempatan Sunset Road. Terlihat di depan antrian kendaraan di jalan Sunset Road dan yang sepertinya akan masuk Kota Denpasar lewat jalan Imam Bonjol. Mau nggak mau rombongan Vero akan melintasi kemacetan jalan Imam Bonjol.

Kadek memberanikan diri menengok ke Nadia untuk meyakinkan bahawa ucapannya tidak bohong. Namunn raut mukanya tidak bisa ditutupi, tersirat wajah putus asa dan tatapan matanya kosong. Bibirnya juga bergetar seperti orang ingin mengatakan sesuatu tetapi di tahan. Kadek juga hanya menengok beberapa saat tidak beranti menatap lama-lama.

"Yang aku tau yah rumah sakit itu bagusnya untuk ibu hamil atau yang mau lahiran," Nadia kembali memancing Vero untuk mengintimidasi Kadek. Nadia masih berusaha sabar memahami Kadek. Akan terlalu menyakitkan bila langsung menghakimi temannya yang sedang susah.

"Jujur aja deh Dek, loe hamil?" Vero yang emang nggak suka basa basi langsung menembak telak ke kadek. Vero sudah nggak bisa nahan emosinya. Gregetan banget ngeliat tingkah Kadek yang masih saja berkilah untuk menutupi kebohongan yang jelas-jelas sudah muncul kepermukaan.

"Nggak," jawab Kadek berusaha tegar dan menahan emosi sambil menatap Vero. Nada bicaranya berusa sedatar mungkin agar tidak terlihat sedang berbohong. Sekuat tenaga Kadek bersandiwara. Bisa jadi ini adalah acting yang dalam kehidupan nyata.
"Kalo emang nggak biasa aja donk." Nadia merubah posisi duduknya yang tadinya senderan sekarang memajukan duduk sambil menjulurkan kepalanya ke tengah sambil menatap Kadek. Nadia sudah semakin tidak tahan dengan sikap Kadek yang masih saja keukeh menutupi aibnya.

Kadek jadi semakin terjepit dan bertambah gugup karena kedua sahabatnya menatap tajam padanya bagai seorang polisi sedang mengitrogasi. Emang sih pada kenyataannya Kadek sedang di cecar berbagai pertanyaan. Tentunya Kadek jadi semakin terpojok, apalagi Vero sudah jelas-jelas melontarkan pertanyaan yang menohok. Dirinya sudah tidak tahan, runtuh juga pertahanan Kadek.

"Ok ok ok aku jujur, aku hamil. Ampuni aku Hyang Widhi," akhirnya Kadek membuat pengakuan.

Keheningan menerpa di kabin mobil setelah Kadek mengucapkan pernyataan yang dari tadi disembunyikan. Ada perasaan lega yang menghinggap Kadek. Ternyata mengatakan kejujuran adalah hal yang sulit namun bila sudah disampaikan merasa lebih tenang. Tapi Kadek belum tenang seratus persen karena pasti sebentar lagi Vero dan Nadia akan bereaksi. Mau nggak mau Kadek sudah siap bila kedua sahabatnya menghujat.

"Puji Tuhan.....kamu hamil, aku bakal jadi tante?" Vero menanggapi dengan suka cita. Ketegangan yang dari tadi menghiasi wajahnya berubah menjadi kebahagiaan. Senyum manis mengembang dari bibirnya. Kesangaran sikapnya hilang seketika tanpa bekas.

"Astaghfirllah," Nadia tersentak kaget. Sebuah respon yang bertolak belakang dari Vero. Ketegangan masih meliputi Nadia, meskipun ada sedikit kelegaan Kadek telah jujur. Tetapi masih penasaran masalah yang mendera Kadek. "Siapa yang buat kamu bunting?" Nadia segera melanjutkan introgasinya. "Ich kamu juga Ver, temen lagi susah malah kamu malah seneng."

Pecahlah tangisan Kadek, air matanya berurai deras melewati pipi. Nadia memeluk Kadek dari belakang meskipun terhalang oleh kursi. Nadia berusaha menenangkan Kadek yang terlihat marah, sedih, dan takut. Berbagai emosi bercampur menjadi satu pada diri Kadek. Vero dan Nadia membiarkan Kadek menangis terlebih dahulu meluapkan seluruh emosinya. Vero hanya bisa menggenggam tangan Kadek untuk memberi kuatan.

"Lakinya lah yang menghamili, masa pere," Vero menanggapi pertanyaan Nadia setelah Kadek sudah bisa tenang. "Ya seneng donk, anak itu rejeki harus di syukuri. Lah wong udah hamil mo gimana lagi? Pokoknya jangan digugurin," pesan Vero dengan suara yang tegas. Vero bilang seperti itu walau belum ada pernyataan dari Kadek untuk menggugurkan. Sebagai antisipasi saja jika Kadek mempunyai niatan untuk membunuh janinnya.

"Koq bisa sih sampai kebobolan gitu?" Nadia jadi penasaran kenapa sahabatnya bisa sampai hamil.
"Ya karena nggak pake kondom," Vero yang menjelaskan. "Kalau nggak pakai kondom keluarinnya diluar donk. Kalau di dalem ya jadi orok. Kalo nggak langsung dibersihin. Pasti kamu langsung tidur ya?" tuduhan Vero sekali lagi mengena Kadek. Kadek sendiri hanya pasrah tanpa perlawanan. Karena apa yang di ucapkan Vero memang benar.

Perjalanan berasa lama bagi Kadek yang tidak berdaya. Pasti akan berlanjut rentetan pertanyaan yang menghujam pada dirinya. Andai bisa dan berani akan lompat dari mobil. Tapi masalah ini memang harus dihadapi bukan untuk di larikan. Kadek juga sudah mulai merasakan temannya tidak membenci dirinya. Awalnya Kadek akan . Perjalanan memang lama karena kemacetan masih mengular sepanjang jalan Imam Bonjol. Derai air mata Kadek sudah berhenti tetapi di gantikan sesenggukan akibat terlalu histeris menangis.

"Lalu orang tua mu sudah tau?" tanya Nadia pada Kadek dengan lembut. Nadia hanya tidak ingin Kadek jadi merasa orang paling bersalah sedunia.
"Sudah," Kadek menjawab singkat, karena malas bicara.
"Tanggapan mereka gimana?" Nadia kembali mengorek kisah Kadek.

Kadek tidak langsung menjawab, Kadek menghela nafas sejenak untuk ancang-ancang bercerita. Dipalingkan wajahnya ke arah samping mengaarah pada Vero dan sempat menengok ke belakang tempat Nadia duduk. Memastikan mimic kedua temannya sangar. Jika masih kelihatan gahar akan semakin membuat malas bercerita. Untungnya Nadia dan Vero berseri-seri senyum yang di paksakan.

"Hmmmmm, pastinya mereka marah tapi mau gimana lagi. Ayah juga nampar aku. Seharian mereka nggak ngomong sama aku," perkataan Kadek tercekat menahan tangis. "Tetapi setelah mereka tenang kita mendiskusikan lagi."
"Bonyok lu udah ketemu Wayan?" tanya Vero singkat, Vero nggak bisa banyak ngomong karena sedang kosentrasi nyetir apalagi di tengah kemacetan seperti ini.
"Udah," Kadek pun menjawab singkat.
"Kapan kalian akan merit?" tanya Vero lagi melanjutkan obrolan.
"Nggak tau," Kadek benar-benar bingung untuk menjawab pertanyaan ini.

Dengan reaksi cepat Nadia yang penasaran, semakin ingin mengulik permasalahan sahabatnya. "Lah ngopo gak ngerti kapan mau meritnya. perut mu cepat atau lambat bakal besar."
"Tapi aku nggak cinta sama dia.....," kata Kadek sentengah berteriak meluapkan emosi. "Aku nggak mau merit sama dia," Nadanya semakin meninggi dibalik suara seperti ada penyesalan yang dalam.

Vero dan Nadia tertegun nggak tau mau komentar apa. Di benaknya masih ruwet jalan pikiran Kadek. Vero kembali duduk lunglai dan terus menyetir mobil yang masih merayap. Nadia juga merebahkan badannya ke sandaran kursi. Mungkin Vero dan Nadia sedang menyiapkan amunisi untuk mencecar Kadek.

"Gila lu ya udah bunting nggak mau merit, cuma gara-gara nggak cinta sama laki yang buntingin lu," Vero kali ini naik pitam karena baginya pemikiran Kadek yang aneh.
"Terus anakmu mau diapain? kamu mau jadi single parent?" timpal Nadia yang ikut gregetan.

Kadek yang merasa terintimidasi jadi takut untuk melanjutkan cerita. Tetapi diam juga bukan suatu pilihan yang tepat karena kedua sahabatnya akan terus merongrong dan mendesak untuk cerita. Terpaksa juga Kadek meladeni ocehan mereka.

"Tapi aku nggak cinta........" Kadek juga ikut gregetan karena susah untuk mengungkapkannya. "Aku nggak mau tau kata orang, aku koq yang menjalani hidup ini," Pembelaan Kadek.
"Dia udah mau tanggung jawab loh...... Masa lu cuekin aja," Nadia ikut nimbrung lagi. "Aku sih percaya kamu akan baik-baik saja, tapi apa kamu nggak mikir buat kehidupan anak mu? Emang sih sekarang banyak yang single parent tapi apa kamu bisa?" Nada Nadia tak setinggi Vero yang masih emosi. Nadia berusaha menahan emosi dan berkata lembut, agar Kadek nggak merasa terintrogasi.
"Eh bener juga ya, gimana dengan anak ku ya nantinya? Terus kalau nanti dia tanya bapaknya gimana ku jawab?" Kadek baru menyadari kebodohannya dan tertawa sendiri.
"Nah baru nyadarkan, lu PA (pendek akal) sih.... Yang penting itu anak lu. Udah dech jangan egois sama diri lu sendiri." Vero tambah gregetan Kadek menyadari kebodohannya.
"Tapi aku kan gak cinta, waktu itu cuma nafsu. Nanti kalo merit gimana? Apa bisa tambah baik atau malah jadi berantakan," Kadek mulai lagi dengan kebimbangannya.
"Kayaknya aku perlu lompat dech dari mobil ini," canda Vero yang sudah nggak tau lagi harus bagaimana menanggapi Kadek. "Suka-suka kau lah Dek."

Kadek terbengong sikap Vero yang berubah. Tadinya paling vokal untuk mengintimidasi sekarang malah menyerah.
"Kamu koq gitu Ver?" tanya Kadek.
"Aku pikir, lu tuh dah sadar tapi ternyata masih tetep," jawab Vero Ketus.
“Kalau kata orang Jawa ya tresno jalaran kulino, artinya cinta itu karena terbiasa. Mungkin sekarang kamu nggak cinta tapi sapa tau dengan kamu terbiasa bertemu dengannya malah bisa jadi cinta. Nggak usah mikir macem-macem, postif thinking aja,” Nadia juga ikut ngomentarin sikap Kadek yang konyol seperti itu.

Didalam mobil kembali tenang meskipun diluar sana berisik oleh suara klakson mobil yang pengemudinya nggak sabaran. Masing-masing kepala di mobil tersebut sedang berfikir untuk memecahkan masalah ini. Vero dan Nadia sebagai sahabat yang baik ingin memberi pencerahan pada Kadek.

"Dek, kamu udah yakin dengan single parents?" tanya Nadia, tapi sebelum di jawab Nadia kembali ngomong, "Bli Wayan udah berani tanggung jawab, emang tadinya cuma nafsu tapi itu juga bentuk sayang dia ke kamu. Mungkin sekarang kamu nggak cinta. Tapi sapa tau setelah punya anak kalian hidup bareng jadi cinta. Kalau emang nggak tahan ya udah cerai saja."
"Wah Nadia bijak ya...... " puji Kadek. "Tapi nggak mau juga aku kawin cerai gitu. Mending jadi single parent. Nikah itu bukan untuk di coba-coba Nad. Kasian juga nanti anak ku liat orang tuanya malah berantem mulu psikologisnya pasti terguncang. Kalau dari kecil udah tau emaknya single parent dia akan terbiasa juga kan. Liat ntar aja dech, aku perlu mikir 3 hari."
“Nih ada tapinya lagi ya,” Vero mencoba menambahi penyangkalannya terhadap omongan Kadek. “Anak lu aja belom lair gimana tau perkembangan psikologis anak. Anak lu tuh butuh bapak. Kayak lu butuh bapak mu sekarang juga kan?”

“Contohnya aku. Aku berasal dari kelurga broken home tapi biasa aja tuh waktu abah sama umi cerai. Pinter-pinternya kasih penjelasan aja sih. Sumpeh nggak enak banget hidup tanpa orang tua lengkap. Kebetulan aku ikut umi, tapi aku juga nggak ngerasa kehilangan abah karena hubungan kita masih dekat.” Nadia jadi menceritakan masa lalunya.
“Hubungan anak sama orang tuanya itu nggak bisa dipisahin Dek. Seorang ayah pasti mau ikut membesarkan anaknya. Kecuali cowok brengsek dink. Tapi aku liat Bli Wayan baek-baek aja koq apa lagi dia juga udah siap tanggung jawab.” Vero turut menyumbang pemikirannya.

Tak terasa sudah hampir sampai tujuan di RS Kasih Ibu. Perjalanan yang menegangkan akan segera berakhir.

"Aku di drop aja, Tuh bli Wayan udah nyampe. Aku pikirkan lagi untuk nggak merit sama dia. Makasih ya, love you friends," kata Kadek sambil menunjuk Wayan yang ada di pinggir jalan.
TAMAT