Wednesday 21 October 2015

Balada Persahabatan Gay

Jadi mahasiswa itu ternyata nggak selama bisa santai. Mendekati UTS tugasnya makin gila-gilaan segila cinta gue terhadap aa Iw, udah tau punya istri tapi masih tetep aja dipacarin. Baru sekarang gue ngalamin nyeseknya jadi madu di pernikahan orang lain. Apa ada daya gue sudah cinta mampus sama aa Iw jadi dinikmati saja bersusaha selalu menjadi madu yang manis. Ya sudah lah.......

Sudah lama juga gue nggak ngumpul bareng dua sahabat gue yang homo, Ban dan Bin. Bukan karena kesibukan gue semata mengabaikan keduanya. Toh hampir setiap hari gue juga ketemu Bin yang emang satu kelas sama gue. Bukan Ban juga yang sok sibuk mentang-mentang kuliah di PTN sehingga kita nggak ketemu dalam satu bulan. Gue sih masih sering main ke rumah Ban kalau lagi butuh tebengan internet cari tugas. Jadi intinya gue sendiri yang ketemu dengan Bin dan Ban tetapi kita bertiga nggak ngumpul dalam satu waktu dan tempat.

Masih ingat dengan acara kumpul di kolam renang? Itu hari terakhir bertiga ngumpul. Ban dan Bin di kolam renang melakukan adegan konyol sebagai cowok normal, tetapi hal itu sudah biasa dikalangan homo. Mereka jambak-jambakkan bahkan cakar-cakaran sebabnya adalah Ban tau kalau Bin tidur barenng dengan pacar barunya Ban.

Secara nggak sengaja Ban medengar bisikan Bin ke gue. Setelah itu terjadilah kejadian paling epic dalam persahabatan kita. Awalnya cuma adu mulut terus berlanjut dorong. Eh makin heboh aja jambak-jambakkan, beruhubung Ban rambutnya pendek susah dijambak, Bin mengganti strategi dengan mencakar. Sedangkan orang yang diributin llangsung ngacir, dasar homo nggak tanggung jawab. Begitulah singkat ceritanya.

Sekarang gue bingung sendiri berada diantara mereka yang sedang gencatan senjata. Merunut gue sih sudah waktunya untuk berdamai, nggak baik jugakan sodara bisa brantem macam gitu. Gue nggak ngerti harus dari mana untuk mendamaikan mereka. Tapi senggaknya mempertemukan mereka dulu ditempat netral, yaitu kost gue.

Bin sengaja gue culik ke kost dengan dalih bikin tugas bareng. Sedangkan gue menjebak Ban dengan alasan gue sakit, minta dianterin bubur. Awalnya Ban ogah karena kejauahan ke kost gue, tapi gue berdalih pengen banget bubur itu supaya cepet sembuh akhirnya mau juga.

Gua lagi asik browsing bahan tugas, sedangkan Bin masih berkutat dengan buku pinjaman perpustakaan. Tanpa ada kata permisi Ban nyelonong masuk. Gue kira cuma ada adegan ini disinetron, tetapi dikehidupan nyatapun ada.

Ban bendiri dengan wajah memerah. Lalu membanting kresek yang berisi satu cup bubur. “Jadi ini maksud elo??” Ban menuding gue. “Elo njembak gue buat ketemu sama curut itu?” Ban beralih menunjuk Bin.
Bin segera berdiri melihat kedatangan Ban yang sekarang menjadi musuhnya. “Heh!! Elu tuh yang curut, sembarangan ngatain orang,” Bin nggak terima dibilang curut. “Elo tuh jadi homo sok polos, jadi gampang diboongin kan!!”

Waduh..... dua-duanya langsung frontal gitu ya, apalagi menyebut kata homo dengan lantang. Semoga saja penghuni kost lain lagi pada dengerin desah bokep dilaptopnya masing-masing.  Gue harus bertindak cepat sebelum lebih heboh dari jambak-jambakan atau cakar-cakaran.

Ban sudah maju selangkah. Gue lengsung berdiri mencoba menghentikan. Tetapi Bin malah ikut maju juga. Gue berada tempat ditengah-tengah homo yang sedang murka. “Elu belain siapa?” tanya mereka kompak. Ok sekarang gue bener-bener terjebak dengan rencana gue yang diluar kendali.
Gue mendorong satu persatu dari mereka yang ternyata lumayan berat. “Gue nggak belain kalian semua. Gue cuma mau mendamaikan kalian!!” pekik gue.

Mereka langsung terdiam, mungkin karena terperangah mendengar jeritan suara lelaki dari pita sura gue. Perlu dicatat, nggak semua homo itu kalau teriak pakai suara valseto, OK! Bin dan Ban selangkah menjauh. Wajahnya sih masih keliatan marah, tapi tetep takjub sama gue yang jadi lakik.

“Tenang.....tenang jaga mulut bencong kalian!!” gue mencoba menenangkan merkea.
“Elu yang bencong!!!” teriak mereka bersamaan. Berarti mereka mash terkendali.
“Kenapa sih kalian masih marahan saja?” tanya gue pelan agar emosi mereka tidak tersulut.

Mereka tidak langsung menyahu tetapi mata mereka saling berpandangan dengna bengis, mengisyaratkan kalau saling menyalahkan. Seesekali Bin meledek dengan memajukan badannya seolah-olah siap duel. Untungnya Ban punya kontrol sehingga tidak terpancing.

“Gimana nggak marah coba, bf baru gue diembat sama dia!!” nada suara Ban terdengar marah, bahkan dendam kesumat.
“Pecuma gue jelasin, mulut gue berbusa juga dia nggak bakal dengerin, kuping elo ketutupan pejong dia,” Bin menimpal segera nggak kelah kesal. Gue tau Bin sudah berulang kali menjelaskan, tetapi Ban masih teteap dengan pendiriannya bahwa Bin yang salah. “Lagian tuh ya cowok elu tuh yang kegatelan.”
“Gimana gak kegatelan, elu sendiri yang nawarin buat garukin. Elu juga pasti pasang muka pengen.” Ban nggak terima bekas pacarnya disebut kegatelan. Status Ban dan orang diributkan sudah putus hari itu juga.
“Bukan salah gue donk, kalau dia tertarik sama gue yang cakep gini,” kelakar Bin penuh kemenangan.
“Mana ada elu cakep, bitchy sih iya,” serang Ban nggak terima.

Perang mulut semakin seru aja, bagaikan pertandingan emak-emak adu mulu ditukang belanja gara-gara ngeributin suami yang selingkuh. Kelakuan kedua sahabat gue yang homo hampir sama lah... kebiasaan homo yang lagi berantem adalah perang mulut, siapa yang nyinyirnya paling pedas itulah juaranya. Kalau sudah semakin brutal adu mulut, bisa dipastikan babak selanjutnya adalah jambak-jambakkan.

Gue harus melerai pertempuran ini sebelum ke ronde berikutnya. Bin sudah siap-siap mengasah kukunya untuk keperluan mencakar pipi mulus Ban yang sudah dirawat dengan sari pati lelaki perjaka, tapi berhubung “dipake” Ban keperjakaan lelaki itu luruh sudah. Gue juga nggak mau reputasi lelaki terhormat hancur dimata teman-teman kost karena ketahuan punya teman lelaki yang macam emak-emak komplek perumahan hobi ngeributin suami orang.

“Sudah......sudah!!”  teriak gue lagi untuk melerai keributan. “Kalian itu lakik atau homo sih?” sebuah pertanyaan bodoh. “Kalau kalian merasa lakik, berantemnya itu jotos-jotosan,” gue sedang menyadarkan mereka pada kodratnya sebagai lelaki tulen.
“Dia yang mulai ribut,” Bin menunjuk Ban dengan sengit.
“Dia yang mulai merebut pacar gue,” balas Ban murka.
“Gue udah jelasin berkali-kali. Gue ML sama dia karena nggak tau  dia sudah punya pacar,” Bin kembali menjelaskan lagi, kalau memang nggak bersalah.
“Gue nggak yakin, kalaupun elu tau dia udah punya bf pasti elu tetep embat juga. Elu itu ratunya bitchy.” Ban menyerang dengan frontal.
“Iya nggak gitu juga........,” jawab Bin ragu-ragu.
Mendengar jawaban seperti itu Ban semakin berang. “Tuh kan bener elu tuh emang pecun....segalanya emang diembat,”

Tipe homo itu beda-beda ada yang kalem macam gue (itu fitnah) ada pula yang agresif seperti Bin yang segala sesuatunya “dipakai”. Ini yang perlu dikhawatirkan, homo yang kayak gini nggak peduli partnernya udah punya pacar atau belum, yang penting bisa buat ngewe dan puas. Kebutuhan sex bisa melupakan akal sehat dengan mengesampingkan perasaan pacar dari partner sex atau pacarnya sendiri.

Sekarang gue mulai khawati, jangan-jangan pacar gue alias aa Iw juga digoda sama Bin yang maruk kepada segala macam lelaki. Apalagi aa Iw adalah lelaki produk unggulan, badan bagus, tampang ganteng, straitght act, mapan dan gaya bercinta oke punya. Gue nggak bisa maapin kalau Bin emang godain lakik gue. harus introgasi dia.

“Jangan-jangan elu juga goadain lakik gue?” tanya gue dengan garang.
“Elu nggak usah nambah masalah dech!!” gertak Bin jengkel.
“Gue tanya baik-baik,” ucap gue jengekel, mana pula tanya baik-baik dengan intonasi sangar.
“Gue nggak ngerti otak kalian berdua dimana, nuduh gue sembarangan,” Bin semakin jengkel dan frustasi.
“Bukan salah otak kita berdua,” sergah Ban sengit. “Salah elu sendiri donk yang binal, semuanya mau,” tambah Ban lagi.

Bin tidak langsung menjawab. Malah terpekur memandang kami lekat-lekat. Gue bisa membaca raut muka Bin anatara marah, tapi disisi lain juga terlihat sedih. Semua rasa itu jadi satu diwajah Bin. Tiba-tiba saja meleleh air mata.

Gue dan Ban kaget donk koq tiba-tiba Ban malah nangis. Homo macam dia bisa nangis juga, gue pikir dia cuma bisa mendesah dan menggaet pacar orang buat dijadiin partner ngewe. Gue dan Ban saling pandang, melihat kejadian dramatis ini.

“Gue tau, gue binal dan libido gede,” ucap Bin dengan berkaca-kaca.
“Iya kita semua tau koq tanpa elu bilang sendiri,” gue dan Ban menyahut berbarengan.
“Meskipun gue binal, bitch, suka ngewek tapi gue masih punya hati.....” Bin sesenggrukan, “Gue tau mana yang gue mau diewe atau gak. Gue juga nggak mungkin nyakitin sahabat gue dengan ngewe pacarnya.” Derai air mata Bin semakin deras saja.

Hati gue ikuta terenyuh menyaksikan adegan haru biru, betapa sebenarnya Bin punya hati nurani yang mulia. Memang seharusnya sahabat adalah saling menjaga kepercayaan dan tidak mencuri apa yang sudah dimiliki sahabatnya. Gue mulai luluh.....

Ban menyikut gue, “Heh dia itu Cuma akting aja kali.”
Gue jadi mengamati Bin secara seksama. Apakah akting atau memang nangis beneran dari lubuk hati yang paling dalam. “Elu gak usah sandiwara gitu dech.....” gue mulai mempercayai Ban.
“Akting gue jelek ya?” tanya Bin sambil menghentikan sandiwaranya. “Bagian mana yang jelek?”
“Mana ada orang nangis dari hati lubuk paling dalam malah sibuk kucek-kucek mata, elu tuh cuma kelilipan.” Ban menunjuk Bin yang matannya merahi. Disekitarnya juga ada remah kotoran dari atap.
“Tapi gue serius Banci.... gue nggak mungkin ngerebut suami orang, apalagi suami sahabat gue sendiri,” ujar Bin serius dengan mengacungan telunjuk dan jari tengah sebagai tanda swear.
“Elu tuh nggak ngerebut,” tandas gue percaya pada Bin. “Tapi elu “make” pacar temen elu sendiri Bincung.”
“Terserahlah apa pun itu sejenisnya, yang penting gue nggak ada maksud jahat sama elu Banci. Kalau gue tau itu sudah jadi pacar elu, gue juga nggak mungkin ngewe sama dia.” suara Bin terdengar penuh penyesalan. “Gue kenal dia dari Grindr. Dia yang pertama nyapa gue.” Bin menceritakan awal kronologi bertemu dengan mantanya Ban.
“Terus elu emang daasar keganjenan langsung ngajak ngewe,” tuduh Ban yang masih kesal dengan menebak kelanjutan kronologi.

Bin hanya menghela nafas, mencoba meredam emosi. Gue tau, Bin sedang gregetan sama Ban yang nggak percaya setiap omongan yang keluar dari Bin. Itu wajar aja sih kalau orang lagi marah pasti gak peduli apa yang dikatakan pelaku kejahatan.

“Dia yang ngajak ngewek, awalnya gue nggak mau karena sedang dalam program perngurangan ngewe. Tapi emang dasarnya setan itu selalu pinter, akhirnya kena bujuk rayu apalagi dia pamerin foto bugilnya,” Bin terus nyerocos tanpa memperdulikan Ban yang menyela omongan.
“Mana? masih ada gak fotonya? Gue liat donk,” gue penasaran “barang” yang diributkan oleh kedua sohib gue, namaya juga homo selalu aja penasaran dengan “barang” milik lakik, apalagi dia kategori bibit unggul cakep. Gue langsung mendekat Bin.
“Heh nggak usah ikut-ikutan gatel ya kayak Bincung itu.” Ban ngepruk kepala gue dengan gulungan koran, yang tadi gue beli di depan kampus. Ada koran Rp.1000 lumayan murahkan. Bermanfaat pula buat ngelap pejong berceceran di lantai. Gue membalas dengan nyengir.

Bin menyerahankan smarthphone ke Ban sebagai barang bukti bahwa dirinya memang tidak bersalah. Semuanya ada dalam percakapan di aplikasi Grindr. Awalnya Ban ragu untuk membaca karena sudah yakin bahwa pelaku utamanya memang Bin yang suka kegatelan. Tetapi setelah gue desak akhirnya mau juga membaca percakapan mesum antara Bin dengan mantan pacarnya Ban.

Setelah membaca isi percakapan itu Ban terdiam sesaat, entah apa yang dipikirkan. Apa mungkin jadi semakin marah atau merasa besalah telah menjambak Bin. Sahabat gue yang satunya lagi sedang berharap-harap cemas, mengharapkan bukti tersebut dapat meluruhkan prasangka buruk.
“Bin maapin gue ya? Udah nuduh elu yang nggak-nggak. Merebut suami orang,” ucap Ban lirih menyesal pada perbuatannya. “Tetapi tuduhan elu sebagai makhluk bitchy emang benar adanya,” Ban tersenyum mengejek.
“Tuh.....kan.....!!” sekarang gantian Bin yang sewot. “Makanya ada orang cerita itu dengerin dulu, jangan asal njambak gitu!”
“Iya maaf dech......gue yang salah,” Ban serius meyesali atas kejahatan fitnah.
“Elu udah baca sendiri kan? Yang mulai duluan dia kan? Elu juga mau-maunya jadian sama dia.” Bin semakin membara emosinya yang nggak terima dituduh biang kerok penggodaan.
“Iya udah sih maap. Itu salah gue waktu itu gak kasih pengumuman ke kalian semua kalau gue punya pacar dan gak kasih tau tampang foto kayak gimana,” Ban menunduk takzim, pasrah dimarahin Bin.

Selanjutnya kita bertiga pelukkan, sebagai tanda perdamaian. Adegah haru ala sinetron yang biasanya dalam persahabatan cewek terjadi juga dalam kehidupan gay. Kita yang gay itu unik, cowok yang punya sifat setengah lakik setengahnya lagi campuran perempuan yang PMS dan lakik yang kekurangan hormon estrogen.

“Tapi lakik elu, jago dech,” Bin nyengir penuh kemenangan.
“Jadi yang kamu bekasannya Bin?” sela gue mentap Ban. “Atau elu Bin, bekasannya Ban?” gantian gue menatap Bin dengan jijik.

Kita bertiga saling menatap lalu tertawa terbahak-bahak. Kita mengalami sesuatu yang absurd dalam dunia gay. Siapa saja bisa jadi bekas dari kumpulan homo yang lain, karena dunia homo itu kecil dalam satu lingkup kota. Dia bisa menjadi bekas gue lalu berpindah ke mereka-mereka yang haus sex.

Kita juga menertawakan kebodohan sendiri. Bahwa persahatan dalam dunia gay memang rawan berantakan hanya karena urusan lelaki. Jika ada satu lelaki direbutkan oleh dua orang sahabatan ini maka persahabatan menjadi taruhan, siapa akan mengalahkan shanya untuk mendapatkan satu lelaki. Persahabatan akan menjadi absurd ketika ada lelaki yang mencoba mempengaruhi mereka. Sudah hal lumrah atau terlihat wajar saja ketika persahabatan bubar karena pacarnya A berselingkuh dengan B. Bisa saja kejadiannya dibalik B yang terlebih dahulu menggoda pacarnya A. Kebenaran cinta selalu menjadi kambing hitamnya untuk melegalkan perselingkuhan. Akar dari perlingkuhan homo adalah rasa penasaran sex.

Gue sendiri nggak tau harus gimana. Kalau pacar dikenalin sahabat takut direbut sahabat sendiri, atau pacar gue yang menggoda sohib. Jadi lebih baik cari sahabat itu yang beda selera cowok, jadi misalnya gue suka gadun, kita cari sahabat yang suka brondong. Kemungkinan kecil untuk jambak-jambakan karena rebutan cowok. Selain itu jagalah kepercayaan, karena persahabatan lebih mahal dari pada satu lelaki murahan. Tapi kalau dudah ursan sex semuanya jadi buram. Jadi pilihan elu adalah pilih sahabat atau hasrat mu?

“Jadi kalian sudah damaikan?” tanya gue pelan sambil memandang Bin dan Ban. Mereka juga saling pandang.
“Gue sih udah nggak masalahin lagi,” jawab Bin kalem.
“Hhhmmmmm,” Ban menggumam masih mencari-cari uneknya.
“Udah dech nggak usah cari gara-gara lagi,” Bin mendengus kesal, yang melihat Ban tampaknya belum mau mengakhiri pertengkaran.
“Gue masih sebel sama elo karena.......,” Ban sedang mencari kesalahan Bin. “Oh ya elo belum balikin vibrator punya gue,” wajah Ban tampak cerah setelah mengingat sesuatu yang tampaknya sudah lama dipendam. “Elu juga belum balikin alat pompa, terus...... belum balikin kondom yang elu semana-mena ambil,” Ban terus menyerocos barang-barang yang dipinjam Bin.

Sulit dipercaya Ban yang tampangnya kalem punya sebegitu banyak alat “permainan”, what the hell. Jujur aja gue kaget banget, dibelakang gue ternyata mereka suka pinjem-pinjeman kayak gitu. Oh ternyata aku hanya tau permukaan mereka saja, masih banyak yang gue belum tau tentang mereka. Emang sih sahabatan nggak semuanya perlu diketahui, nggak semuanya juga perlu diceritakan. Persahabatan adalah misteri, kita tidak akan pernah tau sahabat sejati kita seperti apa dan bagaimana, padahal kita sudah lama mengenal.

Muka Bin merah padam, gue nggak tau antara marah atau menahan malu dihadapan gue. Bin sudah siap-siap menyemprot Ban. “Elo tuh ya.....emang ngeselin, cari-cari masalah.”
“Elu juga yang ngeselin pinjem barang nggak dikembalikan,” nada suara Ban naik satu oktaf. Kayaknya bakal ada perang mulut lagi.
“Masa iya kondom bekas gue pake ada pejong gue balikin ke elo? Menjijikan sekali,” Bin bergindik ngeri.
“Ya itu barang-barang yang elo pinjem,” Ban berkilah.
“Oh sekarang main itung-itungan?” tanya Bin semakin kesal. “Emang gue sebel apa sama elo? Tiap dugem minta bedak, belum lagi masker gue sering elo pakai juga kan? Elu kalau pakai lulur gue banyak banget.” Sekarang gantian Bin yang mengeluarkan unek-uneknya.
“Lah gue pikir nggak dipakai, masih banyak gitu padahal sudah mau lewat tanggal kadularsa,” timpal Ban merasa tidak bersalah.
“Gue beli pas lagi diskon yang emang udah mepet kadaluarsa, eh elu main embat aja.” Bin tambah murka aja atas pernyataan Ban, apalagi ngomong sambil nyengir-nyengir.
“Ya dech nanti gue ganti........,” kali ini Ban yang merasa bersalah.
“Eh baju gue yang pink, di pinjem elu gak?” tanya Bin pada Ban menyelidik.
Ban menggelengkan kepala, tanda baju Bin tidak ada dilemarinya. “Terus celana gue yang agak bitchy di elo gak?” Ban balik bertanya pada Bin.

Bin menggeleng juga. lalu keduanya menatap gue. Tanpa persetujuan gue mereka langsung mengacak-acak lemari gue. mereka mendapati barang mereka kembali. Bukan maksud gue nggak mau balikin tapi belum sempat.

“Ya ampun ini kan G-String yang gue baru pake sekali terus elo pinjem,” mata Bin berbinar-binar menemukan harta karunnya.
“Ini juga kan singlet kesayangan gue,” kali ini Ban yang semangat.
“Elo nimbun pakaian kita ya?” tanya Bin sambil mata mendelik.
“Nggak gitu, waktu itukan gue main ke tempat kalian nggak bawa pakaian ganti, gue pinjem dech,” sekarang tersangkanya adalah gue.

Selanjutnya mereka packing baju mereka sendiri yang gue pinjam. Gue pasrah aja ada perampokan di kamar gue. Pertengkaran antar sahabat homo adalah hal remeh temeh tentang pinjam meminjam yang nggak dikembalikan atau bisa juga lupa atau pura-pura lupa mengembalikan. Kelihatannya sepele sih sih tetapi itu juga menentukan. Elo juga nggak maukan barang kesayangan elo dipinjem terus nggak dibalikkin.

“Kita semua sudah impas kan? Nggak ada lagi marah-marahan.” Gue menyimpulkan semua masalah telah kelar. “Maafin gue ya,” gue menangkupkan kedua tangan, sebagai tanda permintaan maaf.
“Iya gue juga salah koq,” Bin ikut-ikutan.
“Gue udah suka nyusahin kalian,” sambar Ban.

Semua permasalahan elo bisa diselesaikan dengan baik-baik asal ada niat untuk berdamai. Penyelesaian masalah dengan hati, bukan dari emosi. Kalau kita sudah emosi semua bisa lepak kendali. Saling mendengarkan untuk memahami dan menganalisa permasalahan. Jangan terpengaruh dari orang luar. Biarkan kalian berdua yang menyelesaikan. Orang luar hanya sebagai penengah dan tidak memihak. Persahabatan adalah hal yang indah, dimana seseorang bisa menerima elo apa adanya tanpa protes. Mereka orang-orang dibelakang kita yang selalu mendukung meskipun elo jadi orang yang salah, tapi mereka berusaha menguatkan kita untuk tidak terpuruk.

“Gue juga udah lupain lelaki brengsek itu,” ucap Ban menegaskan sudah tidak ada masalah lagi dengan Bin mengenai mantannya. “Gue lagi pedekate sama anak PTN juga.”
“Cepet amat lu dapetin gebetan,” goda gue.
“Iya donk gerak cepat, udah perlu dijatah,” sesumbar Ban renyah.
“Gue juga lagi deket sama cowok, anak kampus biru juga,” Bin memberi pengumuman, tetapi dengan nada khawatir.
“Anak teknik?” tanya Ban ikutan khawatir. Bin menjawab dengan anggukan. “Asalnya dari Sumatera?” tanya Ban lagi. Bin sekali lagi mengangguk. Kedua saling berpandangan kahawatir.
“Namanya Hamdan?” tanya Bin hati-hati.
“Bukan, namanya Gani,” jawab Ban. keduanya bernafas lega karena cowok gebetan mereka berbeda nama.
“Bukannya nama panjang dia, Hamdan Ganiayasha?” tanya gue menyela. “Yang ini kan fotonya?” gue menunjukan foto di smarthphone yang sudah terhubung dengna aplikasi Grindr. Kedua sahabat gue langsung merangsek gue untuk melihat foto. Setelah melihat foto itu mereka saling pandang.
“Itu punya gue.......,” pekik Bin histeris.
“Yee..... gue duluan yang kenal,” Ban nggak mau kalah.
“Tapi itu sudah gue tag, nggak boleh ada yang lain,” Bin semakin histeris
“Nggak bisa gitu donk.... gue udah ngalah lepasin mantan cuma buat yang baru ini,” Ban ngotot untuk mendapatkan gebetan barunya itu.
“Kemaren gue sebenernya udah ngalah elo dapetin lakik brengsek itu, karena gue sudah ada penggantinya yaitu Hamdan!!” Bin membentak di muka Ban.


Pertengkaran mereka semakin panas saja. Gue memperkirakan bakal ada jambak-jambakkan episoe dua. Dan sudah nyata lelaki adalah perusak persahabatan homo.

Bersambung

TELAH TERBIT BUKU BERTEMA LGBT. DI JUAL SECARA ON LINE. KLIK SINI UNTUK PEMBELIAN BUKU. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE


Monday 12 October 2015

Keputusan Ku


Sepanjang hari Tri murung di kamar. Peristiwa kemarin masih terngiang dengan jelas, hal itu merupakan pukulan telak. Tri kecewa pada diri sendiri karena menganggap telah melakukan kebodohan melamar Roro. Selain itu Tri juga kecewa terhadap Roro yang selama ini tidak jujur mengenai penyakitnya. Dua kekecewaan yang melebur menjadi satu. Cintanya seakan terhempas begitu saja.

Tri masih bisa bernafas lega, bapaknya Roro masih memberikan waktu untuk memikirkan ulang lamaran. Meskipun begitu tetap saja membuat tersiksa Tri, pikiran itu masih menggelayut, memilih melanjutkan hubungan dengan Roro atau melepaskan begitu saja.

Pilihan yang sulit dan mengusik pikiran. Bila terus melanjutkan hubungan dengan Roro ada kemungkinan tidak bisa punya anak. Padahal, disebut keluarga karena ada ayah, ibu, dan anak. Kehadiran anak melengkapi kebahagiaan keluarga. Penerus silsilah keluarga juga dari anak. Intinya bagi Tri adalah anak harus wajib ada di dunia, bukan hanya di awang-awang.

Untuk mengakhiri tali kasih juga tidak semudah memutuskan benang. Sudah terlalu jauh berjalan bersama Roro sebagai kekasih. Banyak kenangan yang sudah membekas di hati. Tri merasa nyaman di samping Roro yang punya sifat keibuan, apalagi masakan Roro sangat enak mirip buatan ibu. Salah satu alasan Tri mencintainya kerena masakan.  Awalnya Tri juga yakin Roro akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak. Tapi sekarang anak adalah harapan hampa bila melanjutkan hubungan dengan Roro ke dalam pernikahan.

Sejak pulang dari Solo, belum ada kabar dari Roro. Tri juga masih belum bisa menghubungi Roro dalam keadaan kalut seperti ini. Tri takut jika masih emosi akan membuat kuputusan yang salah, ini adalah masalah hidup untuk jangka panjang. Tri ingin ambil keputusan dengan tepat dan tenang.

“Heh!! Ngelamun aja!!!” Tangan Abi memukul pundak Tri untuk menyadarkan dari lamunan.

Tri segera tersadar, untung ada Abi yang menghentikan akitifitas melamun. Bila dilanjutkan ngelamun berkempanjangan bisa stres jiwa Tri.

“Nggak ngelamun,” Tri menyangkal sambil menghela nafas, mencoba meluruhkan semua beban fikiran.
“Nggak ngelamun tapi masih mikirin yang kemarinkan?” tebak Abi sambil menyodorkan makanan yang dipesan Tri.
“Gimana nggak mikirin, kalau dihadapkan seperti itu,” Tri mendengus kesal dengan polemik masalahnya sendiri.
“Kalau cuma dipikir nggak akan menyelesaikan.” Tri mengambil kursi di samping Tri yang kosong karena belum diduduki sama yang punya. “Kamu harus membuat keputusan.”
“Roro aja belum hubungin aku,” entah kenapa Tri malah mengkambing hitamkan Roro.
“Dia itu sedang menunggu keputusanmu,” Abi menekankan pada kata menunggu. Abi ingin Tri segera membuat keputusan.
“Jika ini terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan?” Tri membalikkan pertanyaan. Tri ingin mendengarkan opini dari pihak lain, jika mendapat masalah yang sama.
Abi malah jadi tercenung mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang rumit dari Tri. Sebisa mungkin Abi mencari alasan yang bijaksana.

“Apapun kedaannya, siap menerima hidup bersama orang yang aku cintai. Meski dokter memovonis seperti itu, masih ada Tuhan yang selalu memberi keajaiban. Kebahagiaan bukan dari anak saja, tapi yang penting kualitas hubungan oranga tuanya juga.” Abi terperangah atas ucapannya sendiri, hampir saja melonjak kegirangan telah menciptakan kata-kata yang super memotivasi.

Tri juga ikut takjub oleh kata-kata super motivasi dari sahabatnya. Mulut Tri sampai ternganga mendengarkan ucapan Abi yang tumben banget benar. Biasanya dia selalu mengomentari seadanya saja itu juga masih mending, lebih menjengkelkan kalau menanggapi tidak serius dengan guruauan yang garing.

Tri kembali berfikir ulang tentang hubungannya dengan Roro. Apa yang dikatakan oleh bi ada benarnya. Bahwa segala sesuatunya memang Tuhan yang menentukan, manusia hanya berencana dan berangan-angan. Siapa tahu memang ada keajaiban kalau Roro bisa hamil dan melahirkan anak, Tuhan maha penentu.

Abi terus menerawang raut wajah Tri yang masih tampak ragu dan gundah. Tatapan mata Tri masih kosong, tandanya masih memikirkan.
Bro..... keraguan itu akan sirna kalau kamu memang benar-benar mencitai Roro,” Abi mencoba mengembalikan rasa optimis pada sahabatnya.
“Aku nggak ragu.....” suara Tri tercekat memikirkan kelanjutannya. Tri bingung dengan semua ini.
“Gini dech. Anak itu hasil dari percampuran manusia. Kita lelaki nggak bisa menghakimi kalau semua salah istri kalau tidak menghasilkan anak. Mentang-mentang punya rahim semua bisa diserahkan oleh istri. Nggak jugakan,” Abi tahu betul apa yang masih difikirkan oleh Tri.

 helaan nafas panjang keluar dari mulut Tri setelah ucapan Abi rampung. Abi masih menebak kalau Tri memikirkan jika semua penentu dari keturunan adalah dari pihak istri. Apa yang di kepala Tri memang begitu.

“Dari suami juga bisa menentukan terbentuknya anak atau tidak. Jadi yang mandul itu nggak cuma dari istri. Sapa tau sperma dari suami kurang bagus, jadi nggak bisa bikin keturunan juga kan?”  Abi kembali melanjutkan omongannya yang tadi sebenarnya belum selesai. Tadi Abi mengambil jeda untuk melihat reaksi Tri, tetapi ternyata sama saja, Tri terbungkam dengan pikirannya sendiri.

Hati Tri mencelos setelah mendapat hujaman kata-kata dari Abi yang sedikit menyayat. Untuk kesekian kalinya omongan Abi benar. Pihak suami juga bertanggung jawab atas pembuahan. Bukan sekedar ejakulasi saja, tetapi apakah spermanya berkualitas atau tidak.

Dalam benak Tri, apa perlu juga dirinya memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui kondisi spermanya. Bisa saja dirinya yang mandul. Setidaknya mengetahui lebih dini agar bisa mengantisipasi atau melakukan rencana untuk menghasilkan anak.

“Pikirkan baik-baik lagi bro,” Abi mengakhiri diskusi. “Lebih baik kamu segera bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengan Roro.”

Ahhh Abi kembali mengingatkan tentang keberadaan Roro. Tapi bagaimanapun juga memang harus segera dibicarakan untuk menentukan rencana kedepan atau berhenti sampai disini saja.

@@@

Seragam kerja masih melekat di badan Tri. Sejak pulang kerja, Tri hanya terpekur di sofa. Tangan kanan menggenggam smarrthphone. Berulang kali Tri coba menghubungi Roro namun ketika nomor sudah ada di depan mata, diurungkan lagi. Ada banyak yang harus dibahas bersama Roro, tetapi Tri belum menemukan kalimat pembuka.

Pertama Tri harus membahas tentang perkawinan, entah mau dilanjutkan atau berhenti. Itu semua tergantung dari keputusan kedua belah pihak. Tri belum bisa membuat keputusan, hatinya masih galau. Impian yang selama ini ada dibenaknya berantakan oleh sebab terkuaknya penyakit yang diderita Roro.

Kedua masalah keturunan, itu juga membelenggu fikiran Tri untuk mempertimbangkkan pernikahannya dengan Roro. Meski Abi sudah mencoba menenangkan Tri, namun masih saja gundah. Tri masih berkutat bahwa anak adalah sumber kebahagiaan. Sampai saat ini juga belum tahu kedepannya bagaimana.

Pihak keluarganya Tri juga perlu difikirkan. Sebenarnya ibu sudah sreg dengan Roro, karena sudah sering bertemu. Mereka juga cocok sebagai menantu dan mertua. Tapi apa jadinya jika ibu mengentahui kalau Roro ada riwayat kanker dan kemungkinan tidak bisa punya anak. Bisa pula ibu berubah fikiran untuk tidak merestui.

Arggghhh ketiga masalah ini bersemayam di otak Tri. Semakin memikirkan semakin membuat frustasi. Segera diselesaikan tapi entah dari mana untuk mengawali menyelesaikan. Tri takut bertemu dengan Roro. Takut untuk memutuskan hubungan atau melanjutkan dengan berbagi masalah yang sudah menghadang. Rambut Tri sudah acak-acakkan terlalu sering digaruk, rasanya segarukan saja sudah hilang tetapi apa daya garukkan itu bukan sebuah sulap.

 Saat Tri akan melempar smartphonenya ke sofa tiba-tiba bunyi tanda ada pesan masu dari Whatsapp. Di layar tertulis nama Roro, jantung Tri berdegub kencang. Tri takut membuka isi pesan tersebut. Tapi mau nggak mau tri memang harus membaca.

Dari: Roro
Pesan : Kita perlu bicara, kapan kita bisa bertemu?

Singkat dan jelas isi pesan tersebut. Roro sudah meminta kejelasan hubungan ini. Kali ini memang mau tidak mau Tri harus menghadapi kenyataan hidupnya lagi. Tidak mungkin untuk dihindari lagi.

@@@

Akhirnya Tri bertemu dengan Roro saat makan malam di restoran favorit mereka. Roro yang menentukan tempat dan waktunya, karena Tri tidak bisa mengambil sikap. Pesan singkat yg dikirimkan tidak dibalas jadi terpaksa Roro telpon. Tri hanya bisa mengiyakan saja apa yang dimau Roro untuk bertemu.

Baru kali ini Tri merasakan makan malam dengan suasana dingin meskipun bersama orang yang dicintai. Sejak bertemu mereka masih belum membahas apa-apa. Tri tidak bisa untuk memulai membahas masalah yang pelik ini.

“Mau sampai kapan mas diam seperti ini?” Roro mengambil inisiatif untuk memulai penyelesaian masalah. “Aku butuh kejelasan. Kita lanjut dengan segala resiko atau bubar sampai disini?” tanya Roro lagi dengan penuh penekanan agar Tri bersikap.
Mulut Tri masih terbungkam, otaknya bekerja keras untuk segera menguraikan permasalahan dan segera dibicarakan. “Aku masih mencintaimu Ro,” hanya kalimat itu yang terucap, sudah merangkum apa yang di hati Tri.
“Aku nggak butuh sekedar cintamu saja mas.” Roro secara tidak langsung menyindir Tri yang masih plinplan dalam mengambil keputusan.

Tri tidak menanggapi omongan Roro. Benaknya berseliweran kemesraan antara Tri dan Roro akan tetapi disudut jauh sana ada bayi yang terus menjauh. Mungkin itulah ganjalan untuk melanjutkan hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun.

“Ya sudah kalau kamu diam saja, lebih baik aku pergi. Aku menyimpulkan hubungan kita berakhir. Aku ikhlas.” Roro mengamasi smartphone yang tergeletak di meja untuk dimasukan ke dalam tas dan bersiap akan pergi. Meski berusaha tegar, hatinya terluka.

Tri menggenggam tangan Roro, tanda agar jangan pergi. Roro bergeming dibangkunya menunggu reaksi Tri selanjutnya.

“Aku masih mencintaimu,” Tri mengulang pernyataan lagi.
“Tapi.....?” Roro mendengus kesal, karena pasti ada lanjutannya lagi.
“Tapi apa kita akan bahagia hidup tanpa anak?” tanya Tri dengan hati-hati.

Roro kembali menyenderkan badan di kursi, mencoba kembali santai. Dalam hatinya masih kesal, dengan pertanyaan bodoh pacarnya. Kenapa harus menanyakan itu, padahal sudah tahu kalau Roro bakal susah punya anak.

“Harusnya itu yang jadi pertanyaanku padamu mas,” Roro membalas dengan kesal. “Aku yang punya rahim bermasalah, jadi sudah siap apapun yang akan terjadi,” nada bicara Roro semakin ketus.
“Maaf,” Tri tertunduk lesu, menyadari pertanyaanyalah yang salah.

Belum bisa menghadapi kenyataan itu yang dialami Tri, sehingga mencari cara agar seolah-olah Roro yang tidak bisa menghadapi kenyataan jika nanti dalam pernikahannya tidak punya anak. Tri juga semakin terpojok, dan semakin dekat dalam memutuskan apa yang akan dilakukan.

“Jujur saja, aku masih shock. Aku belum tahu harus berbuat apa dan bagaimana menanggapi ini semua,” Tri berbicara dengan hati-hati dan pelan. Takut tambah melukai Roro.
“Aku sudah memberikan waktu berhari-hari untuk berfikir. Masa sampai sekarang belum bisa memutuskan,” cetus Roro semakin galak saja.
“Aku siap menjadi suamimu,” kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa menghiraukan bayangan bayi yang mengelayut di benak Tri.
“Apapun itu resikonya? Meskipun aku tidak bisa punya anak?” tanya Roro untuk menegaskan kembali.

Tri kembali merenung. Kenangan masa lalu hadir menyibakkan bayangan bayi. Sudah banyak hal yang telah dihadapi berdua bersama Roro termasuk masalah pelik. Roro sudah banyak pula membantu Tri. Bukan maksud dengan menikahi Roro sebagai balas budi tetapi sebagai rasa cinta. Jika masalah yang lalu bisa dilewati kenapa tidak masalah didepan.

Kalimat yang diucapkan Abi juga bermunculan, hal itu membuat keyakinan bahwa anak bukan segalanya dalam pernikahan. Kebahagian pernikahan tergantung dari suami istri itu sendiri. Anak sebagai pelengkap kehidupan kita, anak juga bagian dari ujian untuk orang tauanya. Masih ada harapan pula Roro bisa hamil, akan ada banyak cara untuk mempunyai anak.

“Aku siap!!” Tri mengangguk dengan mantap, tanpa ketinggalan senyumnya ikut merekah. Roro juga ikut tersenyum dan mereka berpelukan hangat.
“Tidak seharunya aku meninggalkan mu,” lanjut Tri dengan berbisik. “Aku tahu pernikahan pasti mengharapkan anak, tapi tanpa anak kita juga bisa bahagia,” Tri berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja meskipun tanpa anak.
“Bagaimana dengan keluarga kamu?” Roro segera melepaskan pelukan, karena menyadari masih ada masalah untuk melanjutkan pelaminan.


Saturday 29 August 2015

Cerbun: Cinta Segi Empat Gay (Part 3)

Gue masih terbengong-bengong melihat ada dua gelas yang tergeletak di laci meja. Kedua benda itu sama bentuknya jenisnya juga sama. Gue bingung semua ini dari siapa? Siapa pula pagi-pagi buta niat banget menaruh kayak ginian di meja. Gue wajib bersyukur Tuhan masih mendengarkan doaku tadi malem lewat status Facebook, sehingga benda yang gue inginkan sudah ada di depan mata gue sendiri, sungguh doa yang ajaib.

Jadi ceritanya gini, tadi malem gue pengen banget ada yang bawain jus Mangga dipagi hari. Gue cuma asal bikin status aja, sifatnya iseng soalnya sekarang belum musim mangga. Namanya juga abegeh suka donk bikin status ngasal yang iseng gitu dech. Siapapun itu makasih sudah bawain jus mangga ke meja gue. Lain kali gue mau coba ah doa mintat Iphone, terkabul nggak ya?

“Dar.....gue lagi bingung, ini dua jus tiba-tiba ada di laci,” tukas gue ke Dara yang baru datang.
“Berarti yang kasih jus pengertian, siji nggo koen sijine maning nggo enyong  -satu untuk kamu, satu lagi buat aku-,” balas Dara dengan enteng sambil ngembat satu cup jus.
“Yee elu cewek maruk,” ledek gue tapi membiarkan Dara mengambil satu jus. “Masalahnya ini dari siapa? Sapa atau ada jampi-jampi atau racun.”
Dara langsung menghentikan aktifitasnya yang sudah siap menyedot jus. “Kayaknya nih ya ada jampi-jampi pelet, tuh ada surat di laci elo.” Dara menunjuk kertas yang agak nongol di laci.

Gue segera mengambil kertas berwarna kuning. Nggak ada amplopnya, hanya kertas biasa saja. Gue perhatikan tulisan tangan di surat, gimana gue bisa ngenalin kan baru di sekolah ini. Dari ilmu perkayongan –menduga- yang nulis pasti cowok karena tulisannya besar dan nggak rapih. Isi suratnya “semoga kamu suka jus ini, hari mu akan lebih menyegarkan”. Kata yang sederhana tapi bisa bikin semagat sepanjang hari.

Jus yang ada di depan gue ada dua dari bungkus yang berbeda, pastilah yang kirim jus ada dua orang yang berbeda. “ini dari orang yang berbeda,” cetus gue.
“Berarti ada dua orang yang suka sama kamu,” timpal Dara setelah menyeruput jus yang sudah ada ditangan. “Ciiiiieeeee anak baru sudah punya fans,” ledek Dara semangat.  Gue aja udah dua tahun nggak ada yang kasih kayak gini.”
“Gue juga nggak tau ini dari siapa. Ati-ati loh nanti kamu kena pelet orang, bisa jadi lesbi” gue menakut-nakuti Dara yang masih asik menyedot jus.
“Elu itu pake susuk apa? Sampai ada cewe yang terkintil-kintil sama kamu,” tanya Dara menyelidik matanya meleototin gue.
“Gue donk secara alami sudah memikat orang,” gue membanggakan diri sambil mengacak-acak rambut biar lebih keliatan jantan. “Dari pada elu sudah pakai make up ala barbie tetep aja nggak ada cowok yang naksir elu,hahaahah,” gue meledek Dara sampai tergelak puas.
“Ledek aja terus,” Dara mendengus kesal.
“Kira-kira sapa ya yang ngelakuin kayak gini? Gue masih saja bertanya-tanya pada udara. Tanya sama Dara juga percuma, dia nggak tahu.
“Udah sih kamu nggak usah pikirin itu. Dapet rejeki nggak usah dipikir terus, tapi nikmati aja. Kamu sudah punya fans, itu sudah cukup,” Dara main samber aja jawab pertanyaan hampa gue.

Bener juga apa kata dara yang penting gue sudah punya fans disini, paling nggak gue sudah diterima sama siswa sini juga. Apa mungkin karena gue ganteng kali ya jadi ada yang naksir. Eehh nggak juga lah masih ada Bani cowok populer sekolah, Papang yang gagah, mereka semua bagian dari cowok ganteng sekolah. Gue sendiri uma apalah-apalah di sekolah. Ada beban tersendiri kalau punya fans, ototmatis gue harus jaga image nggak ketimpringan lagi di hadapan cowok ganteng. Gue nggak mau reputasi gue hancur hanya karena lelaki.

Disisi lain gue jadi khawatir ini bukan hanya sekedar fans, bisa juga penguntit. Fans yang terlalu ekstrim terhadap idolanya. Kemana saja dikuntit tanpa sepengetahuan gue. Sekarang banyak yang kayak gitu. Gue nggak mau jadi korban, hidup serasa diteror.

“Dar, gue jadi ngeri sendiri,” gue mengungkapkan kekhawatiran. “Gimana kalau dua orang ini bukan cuma fans, tapi penguntit?”
“Kalau gitu gampang, kamu tinggal bawa anjing herder kemana aja, nggo njaga koen,” usul Dara yang ngasal. “Dijamin nggak ada yang berani deketin kamu termasuk enyong.” Dara tergelak renyah.
“Seriusan Dar, gue jadi nggak nyaman gini kalau emang ada penguntit.” Gue menghembuskan nafas pasrah. “Iya kalau yang nguntit itu cuuuu.” Upss hampir saja sisi sekong gue kelepasan, niatnya gue mau ngomong cucok alias ganteng tapi untung bisa di rem.
“Cu apa?” tanya Dara penasaran meminta gue melanjutkan lagi.
“Cuuukup cantik,” gue menghela nafas.
“Di sekolah ini yang cukup cantik cuma gue, PUAS?!” timpal Dara ketus tetapi bergaya emak-emak sosialita. Gue tau dia bercanda saja. “Enyong ya  nggak naksir kamu kali Ar....”

Gue harus belajar mengendalikan diri biar kehomoan gue nggak keceplosan. Gue juga belum yakin Dara bsa menerima kelakian gue yang masih diragukan. Namanya juga cewek yang punya mulut dua pasti donk lebih ember, bisa-bisa satu sekolah satu kalau gue homo.

Gue jadi mikirin omongan Dara kalau emang perlu bodyguard buat jagain gue yang punya badan ceking kayak gini. Siapa pula yang mau jadi bodyguard gue? Apa perlu gue pasang sayembara, siapa yang mau jadi bodyguard gue yang cowok bisa gue jadikan pacar sedangkan cewek bisa jadikan teman ngerumpik bareng. Ahhh ya sudahlah gue pasrah saja kalau dikuntit.

“Dara, elu tau nggak siapa yang kasih jus ini untuk gue?” gue tanya Dara karena masih penasaran.
“Mana aku taulah,” jawab Dara cuek sambil menyeruput jus yang kini tinggal setengah. “Nggak usah dipikirin banget, nikmati saja Ar.”

Bel pelajaran berkumandang dengan sumbang, terdengar sumbang karena jam pertama adalah matematika, suatu yang mengerikan. Gue benci banget sama yang namanya matematika. Berhubung gurunya ganteng jadi masih ada semangat dikit mengikuti pelajaran. Mungkin kalau pak guru buka les, gue orang paling semangat buat les tiap hari. Aihhh gue koq jadi kegatelan banget sih.
@@@

Seperti biasa kalau istirahat ke dua gue di kelas saja karena emang males ke kantin yag penuh sesak buat ngisi perut yang sudah kelaparan apalagi buat anak kelas 12 yang perlu ada jam tambahan. Gue sendirian di kelas. Dara sudah cabut sama temen cewek lainnya entah kemana, katanya sih mau ngecengin adik kelas yang cute. Gue pengen ikutan kalau yang itu tapi sekali lagi gue harus menjaga image sebagai lelaki.

“Heiii ngelamun!!” Papang ngagetin gue.
“Ehhhh cuuuu.....” Sumpah gue kaget beneran dan hampir saja kelepasan latah ngomong cucok lagi. Gue bukan kaget karena Papang ngagetin, tapi gue terpesona dengan potongan rambut Papang yang baru yang lebih keliatan macho.
“Kenapa kamu Ar?” Papang ikutan kaget ngeliat gue yang heboh.
“Ngga kenapa-kenapa,” kilah gue sambil menutupi salah tingkah.

Papang duduk di bangkunya Dara, tepat di samping gue. Gue jadi dedegan karena bisa bersebelahan cowok yang tambah cakep saja. Saking groginya gue sampai nggak tau harus berbuat apa atau ngomong apa.

“Pang....,” gue manggil Papang untuk memulai obrolan.
“Ar.....,” secara bersamaan Papang manggil gue juga.
“Elu dulu aja yang ngomong,” gue mempersilahkan Papang ngomong duluan. Gue juga masih grogi dari pada nanti tergagap dan keceplosan kehomoan gue.
“Tadi aku ketemu Dara, katanya ada nguntit kamu?” Papang menanyakan kepastian soal berita dari Dara.

Tuh kan bener Dara lumayan ngember juga. coba tadi kaau gue kecoplas bisa saja besok seluruh sekolah tau kalau gue homo. Kalau mereka pada cuek sih nggak masalah, tapi gimana coba kalau gue di bully masa gue pindah sekolah untuk kesekian kali gara-gara gue ketahuan homo.

“Ahh Dara itu selalu berlebihan,” gue coba menepis gosip Dara. “Nggak dikuntit tapi tadi pagi ada yang naro jus Mangga di laci, gue nggak tau siapa yang naro,” gue menceritakan kebenaran kepada Papang.
“Oh aku pikir kenapa. Soalnya Dara ceritanya heboh gitu. Aku jadi khawatir, barang kali itu ulahnya Bani yang kemarin belum kelar.”
“Nggak gitu juga kali. Gue sama Bani udah kelar,” gue juga mencoba meluruskan masalah yang belum Papang ketahui.

Gue seneng aja sih ternyata Papang masih perhatian sama gue. Dia masih ada rasa khawatir kalau gue kenapa-kenapa. Gue ngarepinnya dia perhatian sebagai kekasih yang pacarnya sedang diganggu orang lain. Kayaknya itu cuma harapan yang berlebihan saja. Bisa deket sama Papang juga sudah seneng.

 “Bisa jadi ada yang naksir kamu kali, Ar,” Papang menengok ke gue dengan tatapan yang teduh. Seolah-olah mengisyaratkan “gue loh yang naksir elu”.
“Gue kan anak baru mana ada yang sekonyong-konyong naksir gue,” balas gue mencoba merendah.
“Meskipun kamu anak baru, tapi kamu ganteng dan gaul pasti banyak yang suka,” Papang koq malah puji gue.
“Biasa aja kali Pan,” gue tersipu malu.
“Tapi gimana kalau orang yang kasih jus itu emang naksir kamu?” tanya Papang semangat. Seperti dia mengharapkan jawaban yang manis.
“Berarti ada dua orang yang yang naksir gue donk,” timpal gue dengan santai.
“Ehhh,” Papang malah terperanjat kaget, entah kenapa. Wajahnya juga ikutan shock.
“Tadi pagi ada dua jus di laci,” gue segera menambahkan.
“Terus kamu minum yang mana?” nada Papang malah terdengar introgasi.
“Yang mana ya?” Gue coba mengingat lagi. “Kayaknya yang sedotannya warna hijau.”

Gue sempat ngelirik Papang, kayaknya dia baru nafas lega.  Gue nggak ngerti kenapa bisa gitu. Apa salah satu jus itu dari Papang? Entahlah. Semoga saja sih salah satunya emang dari dia beneran. Setidaknya yang naksir gue ada orang ganteng macam Aliando versi Tegal,hehehe.

“Terus gimana kalau itu dari orang naksir kamu?” Papang mengulang lagi pertanyaannya.
“Gue seneng banget..... akhirnya di umur 17 tahun gue bisa segera dapatin pacar,” gue donk langsung girang ngarepin pas sweet seventeen bisa gaet cowok ganteng.
“Kalau ternyata dia nggak sesuai apa yang dibayangkan kamu gimana?” tanya Papang lesu.
“Gue tetep seneng setidaknnya masih ada yang baik sama gue,” sebisa mungkin gue membesarkan hati kepada orang sudah naksir sama gue.
Papang senyum mendengar jawaban dari gue seperti itu. “Kalau kamu ada apa-apa bisa cerita sama aku. Apalagi ada yang nguntit biar aku yang ngadepin.” Papang berlagak seperti orang yang sudah siap bertarung.

Gue jadi tersanjung ada teman yang rela mempertaruhkan hidupnya (lebay banget) demi gue. Oh Papang, gue jadi klepek-klepek sama elu dech. Bel penanda akhir istiratah mengganggu kebersamaan gue dengan Papang, terpaksa dia balik ke kelas buat lanjutin pelajaran. Meskipun cuma sebentar bersama dia, gue sudah seneng koq. Apa ini namanya jatuh cinta?

@@@

Hari ini gue terpaksa pulang sekolah jalan kaki, karena kalau ngesot paha gue yang mulus bisa lecet,hehehe. Nggak gitu juga sih, motor ganteng (dibaca motor cowok) gue sedang perawatan. Bukan cuma gue aja yang setiap bulan facial, bleaching, dan perawatan lainnya. Motor gue juga perlu dirawat biar gantengnya seimbang sama gue.

Sepanjang jalan gue ngerasa nggak enak, semacam ada paranoid. Jangan-jangna dugaan Dara benar, emang ada yang nguntit gue. Dari tadi berasa ada yang ngawasin setiap gue jalan ada yang suara yang seirama langkah kaki gue. Sedangkan gue jalan sendirian. Beneran dech gue parno.

Gue berusaha mmempercepat jalan biar bisa kabur dari suara itu. semakin gue nambah kecepatan suara itu juga punya kecapatan yang sama. Gue pasrah dech kalau diculik, semoga penculiknya ganteng syukur mau nikahin gue, haduw malah jadi khayal yang nggak bener.

Tangan gue tercekal dengan erat. Gue hampir saja jatuh karena berhenti tiba-tiba. Beneran gue bakal jadi korban pemerkosaan, eh kalau itu harapan gue ya.
“Arya.....” ada yang manggil gue dengan suara merdu. Gue kenal suara itu.

Gue langsung nengok ke arah yang meemegang pergelangan tangan gue. Nafas lega keluar dari hidung yang sedang ingusan. Ternyata ada bebeb Bani yang ada di belakang gue.

“Koen nangapa –kamu kenapa-? Tanya Bani dengan logat ngapak yang kental.
“Gue ngerasa ada buntutin,” jawab gue ang masih terengah-engah.

Bani langsung jongkok. Gue heran donk, ngapain dia pakai acara gitu? Apa dia mau ngelamar gue seperti ada yang televisi. Biasaya cowok berlutut di hadapan ceweknya buat kasih cincit. Aku sudah degdeggan dan girang. Bani memang punya sifat ksatria, berani melamar gue di tempat umum.

“Ini loh ada kresek yang nempel sepatu kamu?” Bani memungut kresek yang dari tadi mbututin gue.

Gubrag!!! Gue berasa jadi orang paling konyol sedunia ternyata gue cuma dikerjain sama tas kresek bekas sialan. Inilah akibat dari orang buang sampah sembarangan bisa bikin celaka orang lain. Gue juga ngerasa bego kenapa nggak berasa nginjek kresek? Entahlah gue sudah paranoid, kemakan omongan Dara. Untung ada Bani yang nyelamatin gue.

“Bego banget ya gue,” terpaksa gue mengakui kekonyolan di depan Bani.
“Nggak bego koq. Aku ngeliat kamu lari kayak dikejar-kejar setan. Aku langsung parkir motor terus ngejar kamu,” Bani menjelaskan kronologi untuk menyelamatkan gue. “Aku pikir kamu kenapa.”
“Gue pikir ada yang ngejar. Soalnya tadi pagi ada dua jus di laci, tapi nggak tau siapa yang kasih,” gue menjelaskan perihal yang teerjadi tadi pagi sebagai prolog kenapa gue lari keblingsatan.
Gue sempat ngeliat Bani tersenyum, sama persis kayak Papang tadi. “Terus kamu minum yang mana?” tanya Bani menyelidik.
“Gue kayaknya minum yang pakai sedotan merah,” jawab gue nggak yakin.
Bani bernafas lega. “Syukurlah kalau gitu.”
“Kenapa?” gue donk penasaran.
Bani langsung salah tingkah sendiri dan mencoba berkilah. “Berarti kamu minum jus yang tepat, bisa saja satunya itu pengen ngeracunin kamu.”
“Koq bisa gitu?” gue jadi heran sendiri dengan jawaban konyol Bani.
“Kalau ada dua gitu berarti satunya dari orang yang naksir kamu, satunya lagi pengen celakain kamu,” Bani menjelaskan logikanya.
“Kalau gitu berarti Dara lagi keadaan bahaya donk? kan dia yang minum satunya.” Gue berlagak seolah-olah khawatir. Padahal mah urusan Dara sendiri juga kalau keracunan.
“Yang penting kamu nggak apa-apa,” Bani mencoba menenangkan gue. “Tapi kalau ada yang naksir kamu beneran gimana?” pertanyaan Bani sama persis dengan Papang.
“Di syukuri saja lah, ternyata ada orang yang perhatian sama gue,” jawab gue ngasal. “Jika sempat gue pasti kasih perhatian ke orang itu juga.”

Bani kembali nyengir senang. Gue nggak ngerti maksudnya apa. Sekali lagi gue menebak bisa saja salah satu jus itu memang dari Bani. Jika memang seperti itu berarti ada dua pangeran yang ngejar gue. Oh My God!!!

“Pulangnya sama aku aja ya,” ajak Bani.


Gue nggak bisa nolak karena Bani sudah menyeret gue ke arah motor yang sedang diparkir. Gue jadi memebayangkan ala jaman kerjaaan bisa berkuda bareng pangeran. Gue juga seneng dari belakang bisa nyium keringat maskulin Bani. Apa ini yang namanya jatuh cinta?

Saturday 22 August 2015

Setia Ala Gay


 Begini ya rasanya summer gerah banget. Dosen gantengpun percuma nggak bisa menyejukkan udara. Apalagi kalau ada aa bisa bikin hot kebakaran di kasur. Di kost sampai mati gaya mau ngapain, kipas angin sudah muter-muter sampai capek sendiri dan mati, menambah derita gue yang sedang kepanggang. Ini baru di Jogja apa gerangan yang ada di tengah-tengah gurun.

Itulah yang teradi di siang hari. Sekarang gue sudah ada di kolam renang UNY. Terbutki apa yang katanya gosip sudah ada di depan mata gue sendiri. Banyak banget homo bertebaran di kolam renang apalagi bagian kedalaman sedang. Di tambah Sabtu sore dan udara gerah semakin semarak pula homo-homo berendam di kolam renang. Gue yakin mereka Cuma 1% yang niat olah raga sedangkan 99% niat berendam sambil tebar pesona dan feromon, seperti yang dilakukan Bin dari tadi senyum kalau ada cowo ganteng lewat.

“Bin elu masih belum dapetin cowok juga?” tanya gue. Kurang lengkap kalau nggak pake nada nyindir. Abisnya ya dari tadi tuh Bin kegirangan banget kalau ada cowok yang mendekat, mungkin Bin juga sedang mengirimkan sinyal GAYDAR  tetapi sekedar lewat saja. Mungkin mereka berubah fikiran setelah melihat Bin yang ketimpringan.
“Berisik lu ah......” Bin menendang gue dari baawah air tapi wajahnya sambil senyum ke cowok yang ada di depannya.  Cowok yang disenyumi Bin membalas senyum dengan terpaksa tetapi setelah itu dia malah melengos pergi.
“Gimana mau dapet. Dia kan mikirnya masih pakai kepala kenti.” Ban tiba-tiba saja nyamber dengan wajah yang lurus. Tapi kata-katanya membuat remuk perasaan Bin.
“Kalian tuh ya, mentang-mentang sudah punya pacar semena-mena nyinyirin gue terus.” Bin mendengus keki.

Bener banget, akhirnya Ban punya pacar. Bukan sama yang anak Atma Jaya namun sama anak UPN. Gue juga nggak ngerti kenapa Ban berubah pikiran, tapi syukurlah Ban cuma berubah pikiran saja bukan kelaminnya yang berubah,hehehe. Ban baru jadian berapa hari yang lalu, jadi kata orang hubungan Ban dengan pacarnya itu bagiakan anget-anget tai kucing.

“Ban koq elu ganti target sasaran sih?” tanya Bin pada yang baru nyebur ke kolam.
“Abisnya waktu PDKT tuh orang matanya jelalatan macam elu.” Ban melototin Bin yang emang dari tadi sudah jelalatan mata, bibir dan tangan.
“Mata jelalatan bukan jaminan nggak setia juga ya. Elu juga kalau ada cowok kinclong macam dia mata elu diem tapi liatin dia terus, perasaan elu yang jelalatan.hahahaah.” Bin menimpal nggak kalah sadis, apalagi dengan ketawa yang melecehkan. Bin juga menunjuk pada cowok berotot yang dipelototin Ban. Gue tergelak melihat wajah Ban yang merah padam menahan malu kepergok Bin sedang ngeliatin cowok putih yang badannya bagus.
“Gue lagi latihan mata biar tetep fokus di dalam air,” kilah Ban segera.
“Iya tapi mata elu tetep aja fokus liatin tuh orang,” masih saja Bin menyindir dengan pedas. “Mata jelalatan itu wajar buat homo, karena emang pada dasarnya lelaki itu suka jelalatan liatin yang cantik tapi berhubung elu homo jadi suka cowok yang bagus.”

Sebenarnya gue juga merasa tersindir oleh omongan Bin. Meskipun gue sudah punya aa tapi gak apa donk mata jelalatan, yang penting hati sudah mapan di aa. Manusiawi juga kalau kita memang terpesona oleh manusia yang rupawan. Mata kalaian kalau liat cowok ganteng pasti dengan tatapan mata yang menelusuri dari kepala sampai ke selangkangan mata melotot, dilanutin lagi ke kaki.

“Ada alasan lain kenapa kamu ganti sasaran?” tanya gue menyelidik. Abisnya Ban emang tiba-tiba banget sudah dapet pacar padahal juga baru kemarin cerita anak Atama eh sekarang malah jadi anak UPN.
“Hhhhmmmmm,” Ban mencoba mengingat-ingat. “Dia kalau main egois gitu,”
“OMG sejak kapan kamu ketularan Bin?? Masih pentingin ngewek.” Gue tepok jidat, ternyata Ban nggak ada bedanya juga sama Bin. “Elu pasti mikirinya pake kepala kenti sih ya.”
Bin tergelak dengan puas, merasa dirinya menang. “Tuh kan apa kata gue.” Kali ini Bin menyeringai dengan nyinyir. “Kepuasan ngewe itu juga penting. Elu gak puas bisa ninggalin dia, gitu juga sebaliknya dia nggak puas bisa juga kabur.”
“Elu donk yang inisiatif membuat kepuasan sendiri, perlu didiskusikan elu maunya kaya gimana kalau ngewe,” Gue timpal dengan sengit.
“Tetep aja urusan ngewe bisa orang pindah ke lain hati,” Bin masih nggak mau kalah.
“Itu bukan pindah ke  lain hati, tapi pindah kenti,” gue semakin kesal saja.
“Bener jugakan syahwat itu bisa mengalihkan kita kelain orang,” Ban ikut bersuara mendukung Bin karena dia mengalami sendiri.
“Jadi kalau dia sudah bosan sama kalian, bisa saja mereka meninggalakan elu semena-mena juga,” gue membalas dengan bom nuklir, untuk menyadarkan bahwa sex adalah kesenangna sementara. Dan mulut mereka terbungkam, tidak berkutik lagi. “Bisa nggak sih nggak menghubungkan urusan ngewe dengan relationship?”

Gue masih belum paham kenapa urusan syahwat itu sangat penting bagi sebagian orang khususnya yang homo. Emang sih sebagian dari kita pasti mengikuti hasrat seksual untuk miliki dia atau paling tidak sebagai partner sex semata. Dari sexual juga kita bisa beralih ke orang lain untuk mendapatkan kepuasan lebih, begitu seturusnya pada akhirnya elu semua jadi jomblo ngenes. Laki datang dan pergi sesuka hati hanya karena kepuasan sex. Padahal elu merasa puas sex karena kamu mencintai dia begitu juga sebaliknya.

“Emang kamu percaya masih ada laki yang setia?” tanya Bin mengejek.
“Percaya,” jawab gue ragu.
“Peraya nggak percaya tapi masih banyak orang yang punya hubungan awet,” jawab Ban yakin.
“Setia itu relatif,” sambung Bin lagi, seringai senyum mengembang dari bibirnya.
“Iya relatif buat elu Bin,” gue langsung menyela. “Kalau elu sudah dapet cowok ganteng dan hebat ngewe elu bakal mati-matian buat pertahanin hubungan elu,” gue semakin sinis saja. Bin langsung terbungkam lagi, apa yang di otak dia sudah bisa gue tebak dan dia pasti akan ngomong seperti itu juga.
“Bukan gitu....” Ban langsung menengahi pembicaraan. “Relatif maksudnya yang penting kita di hati dia, he only one for me in my heart,” Ban menjelasan maksud dari kesetiaan yang relatif.
Gue langsung memutus lagi omongan Ban. “Terus kenti elu jelalatan kelain orang?”
“Ya nggak gitu juga.” Ban tergagap dituduh suka ngewe sama orang lain juga meski sudah punya pacar.
“Elu ngga usah sok naif atau munafik dech,” Bin malah menuduh gue yang kataya munafik. Gue juga nggak ngerti maksud dia bagaimana. “Elu pasti juga punya hasrat jugakan kalau liat cowok ganteng pengen ngewe sama dia,” menohok sekali omongan Bin.
“Yang pentinkan tetep setia. Gue nggak main hati sama orang lain. Gue masih tetep melayani pacar gue sebagai pendengar setia, manja, berkeluh kesah, menyemangati dia kalau dia susah,” Ban kembali menambahkan apa yang dimaksud setia menurut versinya sendiri.
“Jadi kalau pacar kalian ngewe sama orang lain ngak apa-apa?” gue tanya pada kedua homo di depan gue.
“Selama gue nggak tau nggak masalah,” jawab enteng Ban.
“Yang penting dia selalu ada buat gue, dan gue pun selalu ada buat dia,” Bin menambahkan  dengan santai.

Jujur aja gue sampai speachless dengerin pendapat mereka mengenai kesetiaan itu relatif. Bagi mereka cukup dengan tidak pindah kelain hati sudah cukup setia. Artinya mereka tidak mempunyai cinta kepada lain orang selain pacarnya sendiri. Sedangkan jika mereka ngewe sama lain orang dianggap masih setia karena mereka menganggap hanya membuang sperma saja, sekedar hubungan fisik tanpa ikatan batin. Itulah setia yang kesetian relatif.

Gue akui juga sih, gimanapun juga manusia biasa punya hasrat untuk ngewe sama orang ganteng. Punya kebanggaan sendiri telah menaklukkan cowok ganteng walau sekedar ngewe. Tetapi gimanapun juga rasanya ngewe ya gitu-gitu ajakan? Bukannya lebih aman ngewe sama pacar sendiri.  Ah ya sudahlah tiap orang memang punya persepsi sendiri mengenai kesetiaan.

“Berarti kalau kalian ngewe sama orang lain padahal kalian sudah punya pacar dianggapnya bukan selingkuh donk?” tanya gue untu menyakinkan diri kalau mereka masih punya otak yang waras.

Mereka menjawab dengan mantap dengan anggukan. Ok!! Otak mereka memang waras sedangkan gue yang nggak waras, bagian dari kaum minoritas yang setia itu mutlak hanya ada gue dan elu, kelamin gue hanya untuk elu begitu juga sebaliknya. Kesetiaan emang sesuatu yang absurd bagi mereka.

“Misalkan nih ya..... pacar kalian ngewe sama orang lain, terus dia malah jadian sama itu partner mereka yang baru gimana?”

Bin dan Ban nggak langsung menjawab, mereka pakai acara mikir dulu. Gue berharap sih mereka sadar bahwa kesetiaan nggak sesimpel itu yang penting ada. Aktifitas seks walaupun bagi mereka hanya sekedar sentuhan fisik, gimanapun juga dari fisik bisa ada rasa dihati.

“Ya nggak bisa gitu donk, sudah ada komitmen untuk saling setia nggak pindah kelain hati,” Ban protes dengan semangat empat lima, kalau suatu komitmen bisa menjaga suatu hubungan.
“Yang nikah aja bisa cerai apalagi yang cuma pacaran homo, bisa ditinggal gitu aja,hahahaha.” Gue tergelak puas mencibir Ban. “Komitmen hanya suatu perjanjian belaka disaat orang mulai berhubungan, nama manusia suka kebawa hawa setan mengingkari komitmen itu bila memang ada yang lebih baik dari elu. Elu juga pasti akan merasa begitu kalau hubungan elu hanya sekedar partner sex.”
“Tapi.......,” Ban masih berusaha memprotes tapi masih mikir apa yang harus dikatakan. “Namanya komitmen ya harus dipatuhi donk oleh kedua belah pihak.”
“Mau dipatuhi gimana, elu aja mengingkari sendiri dengan ngewe sama orang lain,” timpal gue dengan cepat. “Bagi gue nama ngewe tetep pakai rasa dan hati. Secara nggak sadar elu dan dia bisa saling menarik hati. Feromon elu dan dia bertebarat bisa jadi terikat. Dan elu bisa melupakan hubungan yang sudah terajalin.”
“Hhhmmm gitu ya?” tampaknya Ban sudah sedikit paham dan sadar apa yang barusan gue katakan.
“Kalau buat gue ya. Kalau dia tertarik sama orang lain ya sudah biarkan saja. Berarti dia bukan jodoh kita,” samber Bin dengan enteng.
“Maka dari itu elu nggak pernah dapetin pacar, elu terlalu menganggap sepele tentang relationship,” ucap Ban menyindir Bin, tuh kan Ban emang orang aneh sebentar waras sebentar eror pikirannya.

Bin menyembur wajah Ban dengna air yang dari mulutnya, macam dukun menyembur ke pasien. Gue yakin Bin pasti keki teman sekutunya telah berkhianat, berbalik mendukung gue. Nampaknya Ban sudah sedikit tersadarkan apa yang tadi gue ceramahin. Gue malah tergelak melihat wajah konyol Ban yang kena jigongnya Bin.

“Eh kemaren gue liat cowok jambak-jambakkan,” Bin membuat topik baru.
“Cowok koq jamabak-jambakkan?” tanya Ban heran.
“Nama juga homo, untung nggak sampai cakar-cakaran,” kelakar gue tergelak. “Emang kenapa sampai kayak gitu?”
“Biasalah, macam relaty show cowok kepergok selingkuh. Pokoknya seru banget,” Bin bercerita dengan semangat macam emak-emak sedang bergosip sama tetangga.
“Terus gimana? Apa nggak malu tuh cowok jambak-jambakkan?” tanya Ban dengan semangat pula.
“Gini ya tragisnya selingkuhanya itu sahabatnya sendiri.” Bin semakin lebay dalam memberikan informasi, gayanya sudah macam pembawa acara infotaiment. “Contohnya begini gue sama Ben pacaran, sedangkan elu Ban sahabatan sama gue, tapi Ben malah selingkuh sama elu. Buat kesel elu Ben mau aja.”
“Pasti seru banget tuh,” Ban masih terkesima. “Kasihan juga ya itu ngeliat pacarnya selingkuh sama sahabatnya sendiri. Yang jadi selingkuhan juga iblis udah tau itu cowo  pacarnya sahabat kenapa masih mau aja dideketin,” Ban jadi geram sendiri.
“Nggak bisa disalahin juga donk selingkuhannya. Namanya rejeki itu nggak boleh ditolak,” Bin menanggapi dengan enteng. “Kalau emang sama-sama berjodoh kenapa nggak.”
“Emang dasar dua orang itu kegatelan aja. Yang satu membela diri kalau itu rejekinya, satu lagi kalau ada yang lebih bagus lagi kenapa nggak,” Ban ikut mengomentari membela Bin.
“Ya nggak gitu juga donk,” gue nggak sependapat dengan Bin. “Gimanapun juga udah tau itu pacarnya temen ngapain juga ngerebut, jodoh itu sudah ada jatahnya masing-masing.”
“Gue sih ya nggak mau ngenalin lebih deket pacar gue ke kalian, khususnya ke elu Bin,” Ban menunjuk dengan tatapan galak. “Takut pacar gue bisa di garap sama elu,” canda Ban diakhir gelak. Gue juga ikut tertawa sih gara-gara ngeliat Bin yang mukanya senewen. “Tapi bentar lagi dia datang. Awas loh Bin elu jelalatan.”
“Lelaki itu pada dasarnya diciptakan untuk berpoligami, nggak bisa cuma satu saja.” Bin menimpal dengan ketus merobek pendapat gue dan Ban. “Bisa jadi emang dia jatahnya gimana?”
“Elu juga nggak usah sok munafik juga ya Ben........” Ban melirik ke arah gue dengan tatapan sengit. Gue punya firasat nggakk enak.
“Elu juga merusak hubungan orang lain, bahkan rumah tangga!!” sambung Bin dengan kata-kata yang pedas. “Nggak ada bedanya jugakan elu sebagai selingkuhan orang?!!”

Hati gue terhenyak dan hancur, mendadak gue jadi muram mending langsung tenggelam saja di kolam renang ini dari pada dituduh sebagai perusak rumah tangga orang. Aa Iw sudah punya istri dan anak, sedangkan gue sebagai madu. “Nggak ada beda jugakan jadi selingkuhan?” pertanyaan itu terus terngiang di otak. Gue bener-bener nggak bisa berkutik. Tapi gue bertekad untuk membela diri.

“Beda donk objekanya,” gue mulai berkilah untuk menaikkan derajat gue yang telah diinjak-injak. “Sedangkan aa itu BISEXUAL jadi wajar saja punya istri, untuk melengkapi dirinya bisex dengan punya pacar cowok juga. Lagian kan nggak ketahuan, kita DISCREET.”
“Mana ada sih selingkuh sambil koar-koar!!” Ban menusuk relung hati gue. Gue jadi kelihatan orang paling bodoh sedunia.
Buuuuurrrrrrr Bin kembali menyemburan air dari mulut ke muka gue. “Bodoh!!! Namanya selingkuh pasti diem-diem aja. Kamu ketularan Ban jadi idiot ya?”
“Nggak gitu juga. aa Iw menganggap gue sebagai yang berbeda donk. Peran gue juga di samping aa Iw bukan sebagai perempuan atau istri.” Ahhh sebenernya gue asal ngomong. “Kalau selingkuhankan punya kelamin yang sama dengan pasangan resminya. Ngapain juga cari yang sama.” gue menambahkan dengan serampangan saking jengkel dan gugup. “Peran dan aa Iw menganggap gue sebagai lelaki.”

Gue nggak ngerti apa yang barusan gue katakan. Mungkin lebih simpelnya gini. Aa Iw adalah biseksual. Dia bisa mencari seorang figur keibuan yang lemah lembut tetapi kuat dari istrinya. Sedangkan dia juga membutuhkan seroang cowok dengan peran dan figur yang berbeda. Cara memberi kasih sayang dan responnya juga akan berbeda juga. Sedangkan selinkuhan adalah kita mencari cinta yang lain dari jenis kelamin yang sama dengan pasangan resmi kita.

“Elu ngomong gitu karena untuk membela diri, Ben” Bin masih saja menyindir dengan ketus.
“Intinya adalah elu tetep jadi orang kedua dalam hubungan orang lain. Just it and end,” Ban berusaha menyudahi perdebatan, tetapi ujungnya tetep nggak enak. Gue masih tertuduh sebai pelaku selingkuhan. “Terserah elu juga kalau emang elu menganggap bukan selingkuhan karena emang pada saat aa Iw di Jogja elu sebagai pasangan resminya. Ketika dia ada kotanya sendiri elu bukan siapa-siapa dia.” Ban segera menambah lagi, “Jadi perselingkuhan itu ada dua jenis ada yang Cuma sekedar ngewe aja sudah dianggap sebagai selingkuh. Apalagi udah ngewe pakai hati juga itu selingkuh kuadrat,” Ban menyimpulkan jenis selingkuh.

Kembali lagi pada setiap orang punya definisi selingkuh dan arti setia itu berbeda-beda dan bersifat relatif. Bagi gue yang punya pacar sebagai suami orang, menggap dia setia pada jalurnya masing-masing dia nggak menduakan gue dengan lelaki lain dan dia tetap setia sebagai suami yang nggak punya lebih dari dua perempuan dikehidupannya.

“Kalau pacar elu selingkuh jangan serta merta nyalahin dia,” cetus Bin membuka topik baru.
“Pada dasarnyakan pacaran itu hubungan dua orang saling kerja sama,” gue nambahin lagi.
“Bisa saja kesalahan dari kita sendiri,” imbuh Ban. “Kita harus bisa intropeksi diri, mungkin ada perilaku kita yang nggak sesuai dengan dia jadi malah kabur ke orang lain.” Cakep banget dech pendapat Ban, kali ini bisa membuktikan dia memang pantas kuliah di PTN.
“Nah itu tau..... muaacchh kecup basah,” Bin memonyongkan bibirnya pura-pura cium Ban. “Contohnya gimana?”
“Misalnya gara-gara elu suka ngupil sembarangan pacar elu jadi ilfeel dech. Elu sendiri yang harus peka apa yang membuat pacar elu jadi selingkuh,” Bin menmberi contoh sebab perselingkuhan dari sendiri.

Perselingkuhan itu bisa saja dari internal diri sendiri. Seperti yang sudah Ban jelaskan kalau diri kita sendiri bisa memicu pasangan kita selingkuh karena kita orang yang egois atau nggak bisa kasih kenyamanan untuk dia. mungkin seperti halnya elu selingkuh ke orang lain karena pacar elu kurang beri perhatian jadi kamu cari orang lain untuk mendapatkan perhatian lebih.

“Terus gimana donk biar pasangan tetap setia sama kita?” tanya Ban meminta petunjuk. Maklum saja dia baru punya pacar, masih perlu saran dari orang-orang yang minim pengetahuan dalam relationship.
“Pertama!!” Bin langsung menyerobot. Gue menerka pasti dia bakal kasih saran yang nggak bener dan nggak jauh dari selangkangan. “Elu kasih saja “service” terbaikmu dijamin dech dia bakal klepek-klepek sama elu.”  Tuhkan bener Bin kasih saran yang ngaco.
Service apaan? Ngewek?” tanya gue memastikan kembali, sebenarnya sudah pasti service urusan selangkangan. “Elu tuh ya yang dipakai kepala kenti mulu, nggak pernah jauh dari ngewe.” Kali ini gue gantian yang nyembur muka Bin biar dia segera sadar dan sembuh dari kengacoannya.
“Ah bosen Bin..... gue pacaran bukan buat ngewek aja,” Ban mendengus kesal dikasih saran yang nggak bener oleh sahabatnya.
“Tapi dari ngewe, lelaki itu bisa bertekuk lutut,” ucapan Bin terputus gara-gara mulutnya dibungkam oleh Ban yang sudah jengah dengan nasehat Bin yang ngaco. Bisa juga Ban juga capek mendebat karena gimanapun juga kepala Bin isinya ngewe saja.
“Orang akan setia karena sudah merasa nyaman,” gue mulai tausyiah. “Kalu elu sudah nyaman nggak akan pindah. Seperti elu dapet kost yang udah nyaman ngga akan pindah-pindah.”
“Gue kan nggak ngekost,” Ban menanggapi dengan enteng dengan tampang lempeng.
“Itu cuma perumpaaan aja kali,” balas Bin gemes sambil menciprati air ke Ban. 
“Kita bisa merasa nyama karena saling menyayangi. Dari sayang akan timbul cinta,” tandas gue.
“Biar dia tetep cinta sama elu gampang caranya,” Bin kembali bersuara.
“Gimana?” tanya Ban penasaran. “Nggak usah bawa selangkangan.” Ban memperingatkan Bin agar nggak ngaco lagi.
“Elu tinggal pasang susuk pesona, susuk welas asih dan pelet,” Bin tergelak puas ngerjain Ban. Gue juga ikut tertawa karena ngeliat tampang Ban yang keki banget.
“Sialaaaaan” Ban terus menciprati Bin sampai gelagapan. Gue semakin tergelak melihat kelakuan kekanak-anakan mereka. “Terus apaan yang bisa membuat pasangan kita nyaman?”
“Ya itu elu sendiri yang tau, gimana cara agar pacar nyaman sama kita. Elu pasti sudah tau donk waktu pdkt seluk beluk dia gimana agar dia nggak marah, nggak ngambek. Pinter-pinter elu sendiri saja,” ceramah gue masih berlanjut.

Kenyamanan itu relatif. Setiap orang punya batasan sendiri untuk mendapat kenyamanan terhadap pasangannya. Contohnya gue ngerasa nyaman sama aa Iw karena dia bisa menjadi pendengar setia, dia juga bisa kasih solusi yang tepat. Sedangkan aa Iw nyaman sama gue karena bisa menjadi teman curhat yang enak dan gue nggak pernah ngambekkan dan nggak pernah mempermasalahkan status suami. Elu sendiri yang harus peka gimana cara pacar bisa nyaman  sama elu.

“Gue sih nggak percaya homo itu bisa setia,” Bin tiba-tiba ngoceh sendiri. “Coba aja elu liat sendiri banyakkan temen kita yang selingkuh.
“Elu aja yang kurang melek pergaulan,” sergah gue dengan galak. “Elu mainnya sama homo aja sih ya. Di dunia penormalan banyak juga yang selingkuh.”
“Lagian banyak juga koq temen kita yang awet pacaran,” Ban kembali membela gue.
“Semua lelaki itu sama, nggak puas dengan satu orang saja, pasti masih ada hasrat untuk coba sana sini,” Bin nggak memperdulian omongan Ban. dia masih nyerocos sendiri “Intinya ketika elu mulai berhubungan sama orang lain, elu juga harus sudah siap suatu saat akan berpisah dengan dia.”
“Pokoknya elu sendiri yang jaga baik hubungan itu, bagaimana bisa menyenangkan hati pasangan elu,” gue menutup diskusi.

Ungkapan homo itu nggak ada yang setia buat gue itu salah, karena dunia homo juga seperti dunia hetero dimana hubungan itu penuh dinamika. Kadang dari kita sendiri yang menyudutkan homo itu nggak ada yang setia, karena kita terlalu sibuk bergaul dengan homo. Di dunia heteropun banyak kasus perselingkuhan entah dari pihak cowok atau cewek.

Menjaga hubungan itu bagaikan seni. Elu bisa memperindah dengan keromantisan. Elu bisa meredam emosi untuk rasa egois. Elu juga menahan diri untuk tidak berbuat aneh-aneh. Pasangan elu juga berperan gimana nggak buat elu kecewa, baper dan kegundahan lainnya. Elu dan dan pasangan elu kerjasama untuk terus mempertahankan dan memberi kenyamanan dalam berhubungan.

“Hai Yud..... sini aja,” Ban menyapa cowok ganteng, berkulit sawo matang, perawakan macho, tampi masih kelihatan MenLi .
“Hai....” balas Yud kepada Ban. dia juga sempat senyum ke gue.
“Eh kenalin ini pacar gue,” ucap Ban sumeringah. Mungkin ada sedikit bangga memperkenalkan pacar ganteng ke teman-temannya.
Entah sebab apa Bin langsung menarik gue menjauh dari kedua orang yang baru jadian, “Ben. Tadi malem gue ngewe sama pacarnya Ban.”
Gubrag!! Gue terhuyung saking kagetnya dan hampir terjerembab di kolam. “Gila lu tega banget, sumpah ini kelewatan!!” gue donk langsung naik pitam, sebegitu binalnya Bin garap pacar orang.
“Gue juga kaget banget pas tadi liat dia, sumpah!! Tadi malem gue nggak ngerti dia pacarnya Ban.”

Jagalah pasangan elu baik-baik. Karena orang terdekat elu bisa saja orang paling berpeluang menghancurkan hubungan elu sama pacar.

TELAH TERBIT BUKU TEMA GAY BERJUDUL KAMUFLASE DI JUAL SECARA ON LINE UNTUK PEMESANAN KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITAS MU DENGAN KAMUFLASE