Tuesday 31 March 2015

Pertunangan

1.      PERTUNANGAN

Mobil sedan berwarna perak terus melaju dengan gesit menelusuri aspal halus. Di dalamnya ada Roro  sedang duduk di kursi belakang, dia  masih kebingungan akan dibawa kemana. Matanya tertutup, kaki dan tangannya juga diikat. Disebelahnya ada Karen, sahabat terdekatnya. Sepanjang panjang Karen senyum-senyum sendiri melihat Roro meracau nggak jelas. Sedangkan Abi yang bertindak sebagai supir terus menenangkan Roro yang tampak panik.

“Kalian tuh ya emang bener-bener nyebelin banget. Semena-mena datang ke kamar hotel langsung main culik saja. Sahabat macam apa kalian?” racau Roro dengan nada sedikit marah.
“Kita nggak culik kamu koq. Kalau elu ngoceh terus gue lakban nih, biar persis diadegan sinetron,” Karen menaggapi dengan jail apalagi memang benar-benar menyiapkan lakban dan berpura-pura menjembarkan lakban hitam, suara lakban itu ternyata nggak membuat Roro diam tapi masih saja ngoceh.
“Wah....wahh.....sumpah nih. Ini bisa kena pasal penculikan dengan kekerasan,” omel Roro.
“Tenang aja Ren, gue kan pengacara gue bakal dampingin elu kalau Roro nuntut. Dan kayaknya bakalan nggak mungkin. Dia pasti balik ngucapin makasih ke kita.”
“Ini pasti kerjaannya mas Tri ya? Aduh kalian dibayar berapa sih sama dia buat nyiksa aku kayak gini,” Roro semakin geram dengna ulah sahabatnya. “Ada apaan sih? Kasih tau donk.”
“Kita nggak bakal kasih tau, kecuali kamu nyogok kita dengan Iphone terbaru,hahahah.” Gelak Abi diikuti oleh Karen yang sepakat dengan omongon Abi.

Akhirnya Roro diam juga mematung di kursinya. Tenaganya sudah habis untuk meronta-ronta. Semakin meronta semakin tenaganya hilang, sekarang lemas. Roro tau ini adalah acara kejutan tapi nggak dengan cara seperti ini. Pasti biang kerok semua ini adalah Tri, cowok yang dikencani selama 5 tahun. Roro menduga akan terjadi sesuatu yang indah.

Roro teringat pertama kali ketemu dengan Tri. Dua tahun sebelum resmi menjadi pacar. Tri adalah sahabat dari Abi sekaligus teman satu kost. Pada saat itu Abi berpacaran dengan Karen. Dulu Tri suka nganterin Abi pacaran. Karen merasa iba ngeliat Tri suka mojok sendirian di pojokan kost. Akhirnya Tri kenalkan Roro yang sering menyapa Tri jika pas pulang atau keluar kost. Dari situ situlah mereka jadi akrab.

Kenangan masa lalu terus menjalar. Roro ingat banget waktu Tri nembak menjadi pacar. Sama sekali nggak romantis. Masa nembak di Taksi. Waktu itu Tri mengantar Roro ke bandara karena akan mudik lebaran. Pas mau turun Tri menggennggam tangan Roro, mencegah agar nggak turun. Seketika itu juga meluncur deretan kata “mau nggak jadi pacar ku?”.

Roro jadi speachless dengan ulah Tri yang konyol seperti itu. Roro cuma bisa menatap Tri yang wajahnya gugup dan cemas. Tapi Roro mendengar pertanyaan itu dari suara Tri yang mantap dan serius. Lamunan Roro buyar ketika pak supir menegur supaya lekas menjawab pertanyaan dari Tri. Akhirnya Roro hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat di pesawat Tri kembali menanyakan kembali lewat SMS, Roro pun masih belum berubah jawabannya, mau menjadi pacar Tri.

Ok sekarang kembali saat ini. Entah sudah berapa lama perjalanan ini. Roro masih terjabak di mobil yang membawanya entah kemana. Karen dan Abi pun tidak bersuara, tidak ada obrolan. Jadi Roro benar-benar tidak bisa menebak akan dibawa kemana. Meskipun Abi dan Karen telah putus pacaran dan masing-masing sudah punya pasangan, mereka masih terlihat akrab dan kompak ngejahilin Roro. Termasuk saat ini yang sedang bersukutu dengan Tri.

Tiba-tiba terdengar bunyi telpon masuk di hanphone Karen. Dengan sigap Karen langsung mengangkatnya. “Iye bentar lagi kita nyampe, sabar donk.” Karen langsung menutup telponnya. Roro sedikit lega setidaknya perjalanan misteri ini akan berakhir.

“Ro, elu cinta nggak sih sama Tri?” tanya Karen lembut.
“Kalau aku nggak cinta, aku nggak mungkin nungguin dia belajar di Jerman,” jawab Roro lugas. “Ini pasti ada hubungannya sama Tri ya?” tanya Roro menebak.
Karen mengendikkan bahumya tapi percuma saja Roro nggak bakal melihat, lah kan matanya ketutupan. “No coment.”
“So ngartis aja kamu, kayak artis dikejar-kejar infotaiment.”
“Apa sih yang buat kamu suka dari Tri?” tanya Karen lagi tanpa menghiraukan pernyataan Roro sebelumnya.
Roro tidak langsung menjawab tapi menggumam, karena sedang mencari jawaban yang tepat. “Mungkin dia bisa jadi imam yang tepat. Waktu dia jadi imam dia melafalkan kalimat ayat-ayat suci itu dengan lantang.”
“Berarti sudah siap donk?” Abi menyela.
“Ya mau gimana lagi udah mateng,” Roro memahami apa yang dimaksud pertanyaan Abi.
“Terus kapan?” Karen menyahutnya lagi.
“Itu dia..... aku nggak tau. Setiap kali ditanya kapan pasti dia menghindar.” Bibir Roro mengerucut, tanda cemberut dan sedikit kesal.
“Cowok itu perlu banyak pertimbangan untuk mengajak nikah. Dia kan kepala keluarga.” Abi menyambar dan langsung membela Tri. “Kapan kita nikah beb?” tanya Abi meledek Karen, mantannya.
“Yuk sekarang..... tuh ada kantor KUA,” Karen menunjuk bangungan yang ada diluar mobil. “Pasti dech langsung ngebut. Itu kenapa gue minta patas putus sama kamu, kayaknya phobia sama KUA.” Karen menyindir Abi dengan ketus.
“Yach.... kena lagi dech gue.” Abi mengeluh.

Roro hanya tergelak mendengar pertengkaran kecil mereka. Roro tau apa yang membuat mereka putus. Alasannya klasik, Abi belum mau melamar Karen, padahal Karen sudah ngebet banget untuk duduk di pelaminan. Dengan pacarnya yang sekarang Karen pun masih belum bertunangan. Abi sering meledek Karen bahwa putus dengannya tidak menyelesaikan masalah, malah membuat masalah baru. Meskipun begitu mereka tetap akrab memenganggap sebagai persahabatan yang lebih.

“Udah sih kalian tuh kalau emang masih cinta balikan lagi.” Roro menengahi peredebatan antara Karen dan Abi.
“What!!!!” pekik Abi dan Karen bersamaan. “Its imposible,” nada Karen meninggi.
“Lah kenapa gak mungkin? Kalau kalian masih cinta dan ada harapan lanjut aja,” ujar Roro bijak. “Toh sampai saat ini Yana belum ngelamar kamu.”
“Tuh Ren dengarin apa kata Roro,” Abi tersenyum jahil, Karen melihat senyum itu begitu menyebalkan.
Mobil sedan yang dikendarai Abi melambat, dan tampaknya sudah sampai tujuan. Roro sedikit bernafas lega, penyekapan ini akan segera berakhir. Sudah nggak sabar apa yang akan terjadi. Belitan tali yang ada di kaki juga sudah dilepas oleh Karen. Terdengar pintu samping Roro juga sudah dibukakan oleh Abi. Roro menantikan saat penutup matanya dibuka.

“Ini tali di tangan gak dibukain juga?” protes Roro pada kedua sahabatnya.
“Bentar sih, bawel lu ah. Ini gue lagi cari sepatu lu.” Karen mengubek-ngubek alas mobil yang penuh dengan sampah bungkus jajan.
“Aku nggak bawa sandal atau sepatu, tadi kalian langsung culik aku ke mobil,” ucap Roro sebal pada Karen.
“Eh iya,heheehe,” gelak Karen karena kebodohannya sendiri. Karen melepas ikatan yang membelit tangan Roro. “Penutup matanya dibuka. Awas kalo dibuka.”

Karen menuntun Roro keluar dari mobil. Roro menebak ini pasti di pantai. Deburan ombak terdengar jelas dari kejauahan. Karen menggandeng tangan Roro yang sudah basah oleh keringat dingin karena gugup. Abi juga ikut menuntun Roro dari belakang. Pasir pantai yang lembut sudah dirasakan kaki Roro.

“Udah sampai, tapi jangan dibuka dulu penutupnya. Tunggu perintah,” kata Karen dengan galak.
“Ada apa sih? Perasaan hari ini bukan ulang tahun ku dech. Tapi kenapa ada acara kaya gini?”
“Terima aja dech, nggak usah kebanyakan ngeluh,” Karen masih saja galak menanggapi.

Berdasaran penerimaan indra pendengaran, Roro mendengar beberapa suara teman-teman dekatnya. Ada yang terawa cekikikan ada pula yang terus meledek Roro yang seperti orang buta. “Ok stand by,” ada suara dari handytalky. Roro jadi semakin nggak sabar apa yang akan terjadi.

“Udah siap Ro?” bisik Abi dari belakang.

Roro hanya menangguk. Peralahan ikatan dikepalanya semakin mengendur, dan akhirnya dilepas juga. Mata Roro masih terpincing untuk beradaptasi sinaran matahari yang sudah temaram. Di garis horizontal laut, matahari sudah setengah lingkaran. Sebuah pemandangan yang sangat indah.

“Ngapain juga sih mau liat sunset pakai acara penyekapan?” omel Roro pada Abi yang ada di belakangnya.
“Nih anak bawel dech. Diem aja dech liat tuh matahari.” Karen menunjuk matahari yang perlahan ngumpet di balik laut.
“Di nikmati saja Ro, ini adalah moment indah untuk mu.” Senyum Abi mengembang dengan tulus kepada Roro.
“Nih coba dech liat pake ini, lebih indah.” Karen memberikan teropong kepada Roro.

Roro merenggut teropong itu dari tangan Karen lalu langsung memakai. Kepala berputar meneropong langit. Nampaknya Roro belum mengetahui apa yang akan segera terjadi. Berkali-kali Roro mengedarkan pandangannya seperti radar. Sampai bingung kenapa Abi memberikan teropong kalau hanya untk melihat sunset.
“Nggak ada apa-apanya? Ngapain juga pakai teropong kalau cuma lihat sunset,” Roro kembali mengeluh.
“Tunggu aja,” ujar Karen yang ikut mengamati langit.

Roro kembali mennggunakan teropongnya. Lamat-lamat dari kejauhan muncul titik hitam mendekat. Namun benda itu belum terlihat jelas. Ada empat orang memegang gitar juga mendekat di samping Roro. Kini Roro fokus meneropong benda tersebut ada 4 bayangan hitam kian mendekat. Roro mencoba memainkan terpong tersebut untukk memperbesar tampilan. Dan yang muncul ajalah wajah Tri yang sedang terbang tandem menggunakan gantole.

Roro menyadari ada yang aneh, di belakang mereka ada sepanduk dan ada tulisnnya juga. Mereka terbang beriringan membuat sebuah formasi agar tulisannya terbaca dalam satu kalimat. Masih menggunakan Teropong Roro mencoba membaca tulisan terbut.

“Roro,” ucap Roro saat mengeja sepanduk pertama. “Me.....ni....kaah.....lah.” mulut Roro menganga, mendapati kata menikhalah. “Dengan ku.” Air mata Roro meleleh, mulutnya masih  menganga, Roro sangat terkejut. Sepanduk terakhir yang diterbangkan oleh Tri bertuliskan Tri Cinta Ro2. Roro jingkrakkan membaca tulisan itu. empat orang yang memegang gitar mulai mengalunkan lagu Mary Me yang di populerkan oleh Train.
“Ren....Karen...... Tri ngelamar aku,” pekik Roro pada sahabatnya. Persaan bahagia itu membuncah dengan tangisan haru, bahagia, dan masih belum percaya.
“Iya Tri ngelamar elu.” Senyum bahagia Karen diberikan untuk sahabatnya yang masih menangis.

Matahari terbenam, akustikan lagu Mary Me, temaram cahaya obor yang membuat suasana romantis yang sempurna. Roro nggak menyangka Tri bakal melakukan segila ini. Tri bukanlah orang yang romantis. Mentok romantisnya adalah candle light diner pada saat perayaan pacaran yang pertama, selebihnya Tri melupakan tanggal jadian.

Tri semakin mendekat, tangan Tri melambai kepada Roro. Dengan malu-malu Roro membalas lambaian. Meski sudah tidak menangis lagi tapi matanya masih sembab. Hap!!! Tri mendarat dengan mulus di pasir pantai. Matahari kian tenggelam,Tri nggak mau melewatkan momen romantis. Tri yang mengenakan setelan jas terlihat ganteng. Setengah berlari Tri menghampiri Roro yang dari tadi senyum-senyum terus.  

Dihadapan Roro, Tri berlutut. Wajahnya tampak sumeringah. Meski bertingah gugup tapi wajahnya berusaha tenang dan serius. Tangan kanan merogoh saku celana untuk megambil kota cincin. Roro berdiri dengan memilin pinggiran rok, sama-sama gugup. Lagu Mery Me masih mengalun suara dan ritmenya di pelankan sedikit.

Kini kotak cincin itu sudah terbuka. Berisikan dua cincin bermata batu akik entah jenisnya apa, yang satunya lagi cincin dari rumput. “Raden Ajeng Roro Gayatri Sudiroharjo, mau kah menikah dengan saya?” tanya Tri dengan suara yang lantang. “Jika kau terima lamaran ini ambil cincin dari rumput. Bila kamu menolaknya ambil cincin batu akik.”

Orang-orang disitu langsung riuh. Pernyataan Tri begitu aneh, biasanya untuk acara pertunangan akan memberikan cincin yang mahal dan tentunya yang paling bagus. Dahi Roro mengernyit, berfikir pacarnya memang aneh. Roro masih bergeming antara sedang mikir untuk memilih cincin yang mana dengan pola fikir pacarnya.
“Ro, cepetan pilih yang mana?” bisik Karen membuyarkan lamunan Roro.

Roro mulai menggerakan tangan kanan. Wajahnya terlihat tegang dan bingung pilih yang mana. Kini tangan Roro tepat di atas cincin batu akik. Dia sesaat lalu bergerak lagi ke arah cincin rumput. Lalu menurunkan lagi. suasan menjadi tegang karena Roro belum memilih.

“Tri, kamu serius ngelamar aku?” tanya Roro pelan, nadanya masih terlihat ragu.
Plak!! Tamparan mendarat di pipi kanan Roro, pelaku penamparan adalah Karen. “Ro, wake up, this not dream.” Mata Karen melototin Roro. Sedangkan yang lain tergelak melihat tingkah Karen.
Tri hanya tersenyum, memahami apa yang difikirkan oleh Roro. “Serius Ro. Aku ngelakuin ini karena benar-benar cinta kamu. Buat ku ini sudah saatnya kita melangkah ke anak tangga lebih tinggi. Aku yakin kamu bisa menjadi istri sholehah bisa bimbing anak-anak kita kelak,” Tri berusaha menyakinkan Roro. “Ro. Aku ingin kamu selalu ada disamping saya, kamu yang bisa membangkitkan semangat ku. Kamu juga orang paling tepat untuk berbagi kebahagiaan ku,” Tri mengakhiri pidatonya yang mengharukan.

Air mata Roro kembali meleleh mendengar pidato Tri. Padahal yang dimaksud Roro adalah kegilaan Tri melakukan lamaran secara ekstrim. Roro tau jika Tri takut ketinggian tetapi kenapa maah melakukan hal yang paling ditakutinya.

“Maksud aku, kamu melakukan lamaran semacam ini. Kamu terbang, padahal kamu takut ketinggian.” Roro meluruskan apa yang dimaksud.
“Karena saya benar-benar serius dan cinta sama kamu. Aku bakal mengalahkan ketakutan itu, mungkin besok kita yang mengalahkan ketakutan secara bersama. aku harus bersikap berani dulu untuk mengajak seseorang mengikuti aku.” Tri masih berlutut. Tutur kata Tri begitu lembut dan tulus.
“Jangan mewek lagi, cuzz pilih,” Karen kembali mengingatkan Roro yang masih terpaku dan terkesima oleh pidato Tri.

Tangan Roro kembali bergerak, kali ini dengan satu ayunan Roro langsung mengambil cincin yang terbuat rumput. Meski Roro belum tau filosofinya, tetapi Roro sudah yakin kalau Tri siap akan jadi suami yang terbaik. Begitu mendapat respon seperti itu Tri bangkit lalu memeluk Roro. Lalu memakaikan cincin itu ke jari manis Roro. Seluruh orang yang menyaksikan peristiwa itu bertepuk tangan. Sedangkan Karen menangis haru, melihat kedua sahabatnya berbahagia.

“Terima kasih buat teman-teman yang sudah hadir, khusunya Karen dan Abi, berkat penculikan kalian acara ini sukses.” Tri kembali berpidato. “Mungkin kalian bingung kenapa aku memilih cincin rumput, karena rumput akan terus tumbuh, begitu juga saya. Rumput bisa tumbuh dimana saja, cinta ku terhadap Roro akan seperti itu, dimana saja dan kapan saja tetap mencintai Roro.”

Kali ini Roro yang memeluk Tri. Sekali lagi Roro dibuat kagum sama calon suaminya. Nggak Cuma peluan tapi sebuah kecupan mesra di bibir Tri. Hal itu membuat orang yang melihat jadi tergelak. Acara pertunang ini ditutup dengan acara makan-makan.  



BERDAMAI PADA DIRI SENDIRI

Nrimo

Saat ini gue masih ada di rumah Arga. Meratapi kesedihan gue, berdasarkan pada jawaban dari pertanyaan kalau hasilnya gue dan Arga adalah gay. Kita masih belum percaya. Setidaknya belum yakin. Masih ada perlu pembuktian lagi, yang kemarin masih berdasarkan teori semata yang nggak valid dan terkesan asal-asalan.

Hari Minggu, seharunya gue masih males-malesan di kamar Arga. Jam menunjukkan jam 5 pagi. Seperti biasa tiap pagi pastinya sholat Subuh buat curhat sambil nangis sesenggukan minta petunjuk dari Tuhan agar gue ke jalan normal. Gue ngeliat Arga masih nyenyak tidur. Gue jadi heran, tadi malem dia lebih galau dari gue koq bisa tidur dengan ayem gitu.

“Ga.... bangun donk,” gue menggoyang-goyangkan tubuh Arga.
“Hemmm,” Arga cuma berdehem, lalu melanjutkan molornya lagi.
“Ga ayo bangun, katanya mau ke sunmor UGM.” Gue kembali menggoyankan badan Arga lebih kencang samapai dia ngglundung.
Kayaknya dengan terpaksa Arga melek. “Bencong..... ini hari minggu, ngapain juga ke kemapus gue. Masa tiap hari ke kampus, emangnya gue satpam.” Arga malah menarik selimut.
“Heh waria..... hari ini bukan elu mau kuliah tapi kita punya misi.” Gue mulai ngomongin rencana apa yang akan dilakukan. Gue menarik selimut Arga.
“Apaan sih?” Masih ngucek-ngucek mata Arga ngedumel.
“Elu masih belum yakin kan kita gay?”
Dengan tangkas Arga memotong omongan ku yang belum kelar. “Kita? Elu aja kali yang homo. Gue.....”
“Iya gue homo, elu yang homdek, homo ngondek,” timpal ku secepat dia nyerobot omongan. “Gini loh.... kita buktikan kalau kita bukan homo. Kita ke sunmor liatin cewek-cewek cantik.
“Sekarang?” Arga langsung semangat mendengar ide ku. Dia langsung bangkit dan siap-siap.

Gue juga ikutan siap-siap. Berhubung air masih dingin jadi membatalkan untuk mandi. Cukup sikat gigi aja. Meskipun kita udah jelek jangan sampai bau nafas, bikin ifeel orang tau! Dalam hati gue bertekad, gue pasti normal!! Masih suka sama cewek apalagi yang cantik dan seksi. Nggak mungkin gue sampai sekong. Anggap saja yang kemarin adalah suatu kekhilafan dan nggak boleh dilanjutkan lagi. mulai saat ini takdir akan berubah!! Itulah retorika gue dalam hati

Gue nebeng Arga, pertama gue gak punya kendaraan pribadi dan yang kedua Arga orangnya baik hati yang selalu nggak keberatan mobilnya ditebengin. Alasan lainnya, Arga emang butuh gue buat nemenin dan menjadi saksi kalau dia emang cowok normal, suka sama cewek.

Cukup dengan perjalanan 15 menit dari Tamsis menuju UGM. Tujuan kita berikutnya adalah joging di samping barat lapangan GSP. Tempat biasanya orang joging atau main bulu tangkis. Disitulah tempat yang tepat untuk ngecengin cewek yang lagi joging dan belum mandi, gue yakin itu karena kebanyakan dari mereka adalah mahasiswi secara kasat mata cantik, setelah di dekati bau parfumnya  ngalahin pecun lagi jualan padahal cuma buat menyamarkan bau iler.

“Cong.... lihat tuh disebelah elu ada cewek cantik.” Arga melirik ke samping kanan gue.
“War, lebih baik kita manggilya pakai nama beneran kita dech. Kalau kita tetap pakai Cong dan War, yang ada mereka kita tuh emang bencong sama waria beneran.” Ucap gue serius, tapi dengan kecanganya Arga tergelak. “Terus kita harus manly.”
“OK!! Kita harus manly,” tutur Arga dengan semangat. Lalu dia ngeloyor pergi melanjutkan jogingnya. Stop!! Bukan joging tapi lebih tepatnya jalan yang dicepetin.
Gue terengah-engah menyusul Arga yang udah jalan duluan. “Ga..... Arga...” gue panggil Arga yang sudah nggak jauh dari gue. Dia juga berhenti. “Ga yang gue liat itu elu kayak orang sunat lagi jalan.”
“Eh ini gaya jalan manly yang paling update,” gue tau Arga itu cuma berkilah. Sambil lalu dia melanjutkan jalannya.

Jalan manly gaya Arga itu. Wajah menghadap lurus, padangan  matanya juga ke depan, nggak pakai senyum-senyum katanya agar keliatan cool. Kaki di buka agak lebar lalu ayunkan kaki dengan tegap. Usahakan pinggul tidak ikut bergoyang. Tangan di ayunkan sewajarnya saja, kalau bisa tangan terkepal. Lakukan saja dijamin nggak bakal terlihat ngondek. Malah keliatan orang sunat yang lagi mikirin besok makan apa tanggal tua kayak gini. Hasil lainnya adalah beberapa orang yang ngeliatin Arga malah jadi senyum-senyum geli ngeliat cowok sok manly, padahal mentel sekali.

Setelah perjalanan yang melelahkan, buat gue jalan 15 menit itu capek karena nggak pernah joging. Gue anggap ini juga bukan joging, karena misi gue ke sini emang bukan joging. Ini cuma pura-pura joging #Catet.

“Ga tuh ada cewek cantik disebelah lu, gebet sana,” gue nyuruh Arga untuk beraksi.
“Nggak ah, buat elu aja. Gue lebih suka cewek rambut panjang.” Arga menunjuk cewek yang sedang lewat di depannya, sambil tersenyum ke cewek itu. Bukannya dapat balasan, cewek itu malah melengos. Gue tergelak melihat kejadian itu. “Maksud gue itu di seberang sana,” Arga kembali berkilah.
“Ya udah langsung pepet aja Ga.” Gue mendorong Arga.
“Eh elu ya nyebelin banget. Bukannya elu tadi pagi yang semangat 45 cari cewek. Koq sekarang malah, nyuruh gue.
Skakmat dech... gue langsung cari asalan yang mujarab. “Gue belum dapet mana yang gue suka,” kali ini gue yang ngeles.

Setelah sampai sini rencana gue berubah total. Pasalnya disini terlalu banyak cowok yang maskulin dari pada cewek yang menggoda. Jadi mata gue lebih seneng ngeliatin cowok-cowok itu, nggak ada minat sama sekali untuk memikirikan cewek. Tapi gue masih jaim di depan Arga, karena kalau sampai dia tau, gue berubah pikiran bisa disunat yang kedua kali sama dia.

“Emang cewek yang kamu suka seperti apa?” tanya Arga, sambil mengedarkan pandangannya. Gue yakin dia pasti lagi liatin cowok yang sedang main bola.
“Hmmmm,” gue lagi pura-pura mikir membayangkan cewe idaman gue. Padahal gue lagi mikir gimana cara ngibul berikutnya. “Gue suka cewek berjilbab.”
“Kalo gitu ngapain elu pagi-pagi ke sini? Noh..... mana ada yang berjilbab. Mending elu balik ke kampus elu sendiri,” Arga sedang ngedumel sendiri.  Gue Cuma bisa nyengir sendiri.
‘Tuh Ga ada cewek toketnya montok.” Gue nunjuk cewek yang sedang duduk di trotoar.
“Mantep banget tuh buat di remes,” Arga sedikit menjulurkan lidahnya seperti mupeng (muka pengen).
“Gede nggak yah punya dia?” tanya gue polos sambil ngeliat tuh cewek, dan mengabagaikan orang-orang di sekitar cewek itu duduk.
“Bulunya lebat,” kata Arga dengan tatapan serius tanpa kedip.
“Hah berbulu?” Gue jadi bingung sendiri dengan omongan Arga. “Ga... mana ada toket berbulu.”
“Kayaknya besar dech, liat dech selangkangannya jendol gitu,” balas Arga yang nggak nyambung dengan pertanyaan ku.

Gue langsung mengedarkan pandangan di sekitar coewek itu. dan ternyata ada cowo macho lagi istirahat setelah joging. Wah nggak beres nih anak, ternyata sama aja kayak gue. Ngga konsisten. Ternyata cewek bertoket montok dikalahkan oleh cowok berbadah gagah.

“Ganteng pula Ga, sana gih samperin......” gue bisikin Arga.
“Yuk...” dia sudah siap menggandeng tangan gue.
Dengan sadisnya gue malah jorogin dia sampai terjerembab. “Nahh... lohh...ketahauan elu malah liatin cowok. Emang dasarnya elu homo,” gue tergelak terpingkal-pingkal.
“Dasar bencong lu ah......” dengan kesal Arga nimpukin gue pakai kerikil yang ada disekitarnya.

Kesimpulannya misi pagi ini kita gagal. Tempat ini buka yang cocok buat kita tobat kembali kejalan yang benar menyukai cewek. Tapi malah semakin jadi suka sama cowok. Apalagi cowok ganteng yang berseliweran kesana kemari dengan kaos tanpa lengan memamaerkan otot bishep ditambah bulu ketek yang menggoda. Meskipun nggak dapatkan hasil setidaknya hormon Endorphin gue kembali mungkin meningkat gara-gara dapat hiburan ngeliatin cowok ganteng dan seksi bertebaran di GSP. Nampaknya Arga juga turut berbahagia.

Setelah sarapan lontong sayur dan mendapat suguhan pertunjukan ngamen transgender akhirnya kita pulang. Gue masih ingin di tempat Arga dulu. Gue takut kegalauan gue kambuh. Kalau ada Arga kan mending kita bisa galau berjama’ah. Sepanjang siang kita cuma glundang glundung di kamar. Paling sesekali turun cuma buat makan.

Hal yang gue takutin terjadi juga, gue mulai galau lagi, mikirin kalau gue orang normal sama kebanyakan orang lainnya. Gue liat Arga lagi nonton DVD, sebenernya gue ikut nonton juga tapi tetep aja nggak konsentrasi.

“Cong....,” Arga manggil gue dengan pelan.
“Apa Ci?” kue nanggapi dengan malas.
“Koq Ci?” tanya Arga balik tanpa menjawab pertanyaan gue.
“Kalau waria kesannya kasar. Jadi gue ganti Banci aja.” Gue terkekeh.
“Sialan,” gerutu Arga sambil menggebug guling ke badan gue. “Cong, gue nggak mau jadi homo,” nada suara Arga terdengar putus asa.

Jadi kita emang lagi sama galaunya kambuhe. Tapi Arga lebih dulu menampakkan kegalaunnya. Sebagai sahabat yang baik gue berusaha menenangkan dia. padahal gue sudah menuju tahap gila memikirkan dan menyangkal kalau gue gay.

“Ga.....” Gue mulai menanggapi curhatan Arga, tapi gue belum nemu sesuatu yang tepat untuk menenangkan dia. “Ga.... gak ada yang mau kita jadi homo, termasuk gue. Atau sekalipun Koh Masaki.”
Arga jadi tergelak mendengar kata Koh Masaki. “Bencong, jangan samakan dengan artis bokep donk, yang uptodate donk,” protes Arga.
“Gue nggak ngerti artis mana yang homo. Gue cuma tau dia aja. Dia kan tetep aja cowok kan yang kebetulan berprofesi sebagai artis bokep. Emang dia mau jadi artis bokep. Sama aja kayak kita. Emang mau jadi homo?”
“Tapi kenapa gue Cong, kenapa nggak elu aja yang homo,” Arga mulai dech lebay sok histeris.
“Banci! kalau elu S-T-R Delapan (dibaca straight), elu nggak mungkin kenal gue.” Kali ini gue balas nimpuk Arga dengan pulpen. “Gue juga nggak pengen kayak gini. Gue pengen bisa menyukai cewek. Dan gue yakin pasti masih bisa. Tapi.......” gue berhenti ngomong karena nggak tau mau melanjutkan apa lagi.
“Gue masih pengen punya istri dan anak. Gue pengen bahagiakan orang tua gue.” Kali ini nada bicara Arga serius. Gue tau ini bukan main-main lagi.

Kita semua terdiam, termenung memikirkan penyangkala ini. Kita masih yakin kalau ini adalah kesilapan sementara. Tetapi semakin kita pikir, nggak ada ujungnya. Adanya kita semakin desperate memikirkan gimana caranya balik suka cewek. Hasilnya nihil!!

“Ga, gini dech.... coba elu ingat. Kenapa suka cowok?” gue nggak ngerti kenapa gue punya pertanyaan itu. Sebenernya gue ada suatu pemikiran di otak gue tapi entah kenapa gue nggak bisa ngungkapin.

Arga duduk, lalu bergeming. Dia sedang memikirkan kejadian lampau. Dia berusaha mengingat momen dimana menyukai cowok. Termasuk gue pun ikut flash back. Yang muncul dalam memori gue adalah saat gue suka sama adik kelas, tapi alasan gue suka dia atau cowok nggak muncul juga. Gue mencoba mengingat masa kecil, tapi tetap saja nihil. Gue cuma inget waktu kecil nggak suka main kelereng, layangan, bentengan atau apapun yang berhubungan dengan maskulinitas. Tapi gue juga gak suka main yang berhubungan feminim. Gue netral!! Itu menurut gue ya.

“Gue nyerah......” pekik Arga menganggetkan gue yang lagi ngelamun. “Gue nggak tau sejak kapan dan kenapa jadi homo,” lanjut Arga memelankan suaranya.
“Sama, gue juga nggak ngerti kenapa dan kapan,” gue menyapakan apa yang di omongkan Arga.  “Ga. Kalau menurut gue sih ya... kita pasti punya sebab kenapa kita jadi homo, tapi kita telah melupakan itu dan nggak mau mengingatnya karena memori itu bagian yang menakutkan bila di ingat. Kita berubah menjadi homo karena kejadian itu,” gue mulai berteori yang menurut gue itu benar. “Tetapi tanpa kita sadari meski memori itu hilang, malah beralih ke mind set kita. Menjadi gay itu nggak sekonyong-konyong Ga, ada proses yang panjang tanpa kita sadari,” lanjut gue menjabarkan teori ngelantur. Gue ambil nafas untuk lanjutin ngomong tapi dipotong oleh Arga.
“Proses yang gimana?” sela Arga yang dari tadi dengerin omongan gue.
“Prosesnya dari kamu suka liatin cowok secara diam-diam. Kamu memang nggak berani mendekatinya tapi kamu mencari informasinya. Bisa juga kamu suka sama seseorang cowok yang buat kamu terkagum tetapi sayangnya kamu cuma bisa menggumi saja. Lantas kamu nggak bisa dapatkan apa yang kamu dari dia. Lalu kamu mengalihkan itu semua ke chating, disitu kamu benar-benar berkenalan dengan cowok yang sudah pasti gay. Kamu berani untuk beretemu dan menunjukkan siapa diri kamu. Kamu merasa nyaman dengan cowok itu lalu kamu melanjutkan hubungan terlarang. Homo yang pertama deket sama kamu Rino kan? Itu sebuah proses juga.” jawab ku panjang lebar mengenai proses pembentukkan Maho.

Gue masih belum percaya apa yang barusan gue jelaskan ke Arga. Nggak tau dari mana kata-kata itu meluncur begitu saja. Mungkin dari pengalaman pribadi kali ya. Ketika gue menyukai seseorang. Gue cuma bisa menyukai saja tanpa bisa mengatakannya. Gue takut bila ngomong ke dia “gue suka elu”, yang ada gue di sambit. Mungkin karena saking lamanya menyukai tanpa ada penentangan atau akibat lainnya. Gue mengalihkan rasa itu kepada orang yang baru ku kenal dari chating, yang sudah pasti dia gay.

Coba kalo gue ngomong dan dapat sambutan jontokan dari dia, pasti ceritanya akan beda. Gue sebagai orang awam akan merasakan sakitnya di tolak cowok, apalagi dapet bogem mentah, jadi sakit kuadrat dan gue bakal trauma nggak mau deket atau menyukai cowok. Tapi ya sudah lah toh sekarang sudah terbentuk jadi gay.

“Cong..... bisa nggak sih kita normal?” tanya Arga memelas.
“Ci... anggota badan kamu lengkap, kampu ganteng, kamu pinter. Jadi kamu itu normal,” timpal ku segera. “Elu bisa kuliah di kampus ternama. Elu juga pasti punya karir cemerlah dan elu punya keluarga yang harmonis itu normal juga kan?”
“Iya gue tau itu semua. Tapi tetep aja gue abnormal sebagai cowok. Cowok koq suka cowok, homo donk!!” Arga bukannya tenang tapi jadi gusar.
Gue diam sejenak sedang memikirkan jawaban yang tepat. “Sekarang gini dech, elu putar balik mind set kamu. Kamu adalah cowok normal sebagai gay. Gay yang normal adalah cowok yang menyukai cowok. Jadi kalo elu abnormal tandanya elu suka sama cewek.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa gue bisa rem. Otak gue tiba-tiba saja menjadi cerdas dengan deretan kata yang konyol. Jika para psikolog pasti aku di tembak tempat, karena mensugestikan sesuatu yang sesat. Tapi gue cukup lega ketika Arga tegelak. Artinya dia masih waras bisa merespon kekonyolan ku.

“Ok Cong, gue bisa terima itu. Meski gue “normal” tapi gue tetep “sekong”. Pikiran ini sekong Cong.... tiap hari mikirin cowok. Kapan gue dapat pangeran impian gue?” Arga kembali ke putus asaannya. Ajaib. Dari lepas penderitaan sedetik kemudian langsung galau lagi.
“Ci.... elu sakit jiwa kalau mikirin yang macem-macem dan ngga bisa menerima keadaan elo sendiri. Nggak usah ngarepin pangeran dulu. yang penting elu harus nrimo. Menerima keadaan kamu dulu. Gimana kamu mau dapetin pangeran kalau elu masih belum nrimo.”
Sekonyong-konyong Arga meluk gue, “so sweet banget sih.... makasih ya sob.”
Seketika itu juga melenyapkan adegan drama ala sinetron itu dengan mendorong dia agar menjauh. “Stop....gue bukan homo, jangan peluk gue. Nanti gue ketularan.” Kelakar gue sambil bercanda, dan kita tergelak bersama.”hahahahaha”

Jadi kesimpulannya adalah untuk tahap menerima itu biasanya kita rejecting atau penolakan. Kita pasti akan terlebih dahalu menolak kalau diri kita gay. Kita berusaha mencari argumen atau alasan yang menyatakan kita normal. Kadang ada yang ekstrim dengan berdebat di chatroom atau sebuah forum, dia suka menjelek-jelekkin gay. Tetapi dari serangan itu, muncul serangan balik yang memberikan sebuah pandangan gay dalam diri kita. Bahwa menjadi gay itu nggak seburuk apa yang kita fikirkan.

Sejak itu pikiran kita mulai melemah untuk mereject, karena melihat banyak gay yang menjadi sukses dan berkehidupan normal seperti orang pada umumnya. Ok. Lambat laun fikiran ini aka menerima dan berdamai pada diri sendiri kalau gue adalah gay. Tetapi masih berharap bisa menikah. Nah loh..... itu bukan nrima... :p jadilah diri kamu sendiri!

telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE





Monday 23 March 2015

SIAPA GUE??

SIAPA SAYA??

Gue  masih belum beranjak dari tempat tidur semaleman abis begadang. Rasanya males banget, padahal bentar lagi ada kuliah, untungnya tinggal loncat pagar udah sampai kampus #yangcewekjangandilkukanrokbisanyangkut. Mau tau penyebabnya apa sampai begadang?

Okay, tadi malem gue mereview penerawangan masa lalu. Saat gue SMA tepatnya kelas 2, kalau sekarang jadi kelas 11. Waktu itu gue lagi duduk di depan kelas and then lewat lah sang adik kelas tepat di hadapan gue. Aroma parfumnya terhembus oleh angin sehingga merasuk kedalam indra penciuman, aromanya begitu maskulin. Gue pikir itu biasa saja, nama juga cowok masa iya pake parfum cewek,hahaha. Wajah dia ugly tapi wajah gue lebih parah uglynya.

Semakin hari gue semakin sering liatin dia karena kelasnya tepat di sebrang kelas gue, hanya dipisahkan oleh sebentang lapangan. Walau tampangnya dia ugly tapi entah kenapa gue gak bosen liatin dia terus. Singkat cerita dia ikutan ekskul sama gue, di ekskul teater. Gue sampai jingkrakan di belakang, pas dia tau masuk satu ekskul. Sejak itu gue deket sama dia, rasanya itu deg-degser kalau lagi ngobrol-ngobrol atau berhadapan dia secara langsung.

Suatu ketika ada latihan ekskul mendadak, gue sebagai ketua harus mengkordinasi anggota lainnya. Termasuk menghubungin dia. Jaman tahun 2000an smarthphone masih hanya ada dalam otak para insinyur. Handphone pun belum merambah jagad dunia, yang ada telpon. Mau nggak mau gue harus telpon dia. Perlu satu jam lebih buat ngumpulin keberanian buat nelpon dia, padahal Cuma mau kasih tau ada latihan teater mendadak. Tapi dalam otak cabulku, seakan-akan gue mau ngajak ngedate.

Ok. Sejak itu gue udah ngerasa ada yang nggak beres dalam jiwa gue. Ada yang bisa tebak apa? Ya, gue ini cowok tapi entah kenapa gue suka sama adik kelas gue yang cowok juga. Begonya lagi sampai saat ini gue belum tau penyebab rasa suka itu muncul. Dari tampang nggak dech, kelakuan juga bisa aja. Perhatian? Siapa gue dimata dia, gue cuma kakak kelasnya aja.

Sejak itu gue merasa gamang dalam menjalani hidup ini. Siapa gue? Untuk mencari jawaban harusnya sih ke psikolog, tapi waktu itu gue gak punya duit dan dalam pikiran cetek ku, psikolog Cuma buat orang gila, gue bukan gila tapi sudah sedikit miring daya pikiran gue. akhirnya Gue pakai cara chating, dulu tuh happening banget chating di aplikasi MIRC, secara gak sengaja nemu channel #gim. Itu channel khusus homo Indonesia. Disitu gue dapat kenalan dan jadi teman baik.

Dari hasil investivigasi dari percakapan sama mereka, gue terindikasi sekong alias maho. Berdasarkan penelitian ilmiah yang entah dari mana sumbernya, mereka ngatain gue maho karena gue cowok tapi ada “rasa lain” sama cowok meskipun belum secara seksual. Setidaknya sudah ada rasa suka dan mengagumi cowok. Gue masih masih belum percaya, sampai saat ini titik.


Gue berusaha melupakan adik kelas gue, tapi koq ya gak bisa lupa gimana mau lupa tiap hari ketemu dia. jadi gue gagal ngelupain dia, gantinya gue gak mikirin dia. ternyata masih gagal karena setiap sabtu jadwalnya latihan teater dan parahnya gue mengaggap sebagai jadwal ngedate secara gak langsung sama dia.

Akhirnya.......gue bisa nggak mikirin dan sedikit melupakan dia sebabnya gue pindah ke Jogja buat ngelanjutin kuliah. Di Jogja ini gue ketemu sama temen-temen baru, lebih tepatnya baru ketemu, coz sebelumnya emang udah kenalan di dunia chating. Sampai saat ini gue mash bersahabat deket banget, salah satunya sama Arga. Berkat dia, gue bisa survive tinggal di Jogja. Kalau kehabisan duit gue bisa nebeng makan di rumahnya #thxsomuchArga.

Kembali pada saat ini.  gue masih terpekur di kamar kost.

Oh ya sekarng gue udah punya HP, itu pemberian dari nyokap coz gak tega liat anaknya harus lari-lari ke wartel Cuma buat minta duit tambahan. Tiba-tiba handphone gue berdering dengan nyaring maklum udah gak monchrom lagi. ternyata dari Arga

“Ya bab (kependekan dari babi)” tanya gue males-malesan
“Cong (kependekan dari congek), ntar malem kita ketemuan ya. Gue mau malacur (dibaca melakukan curhat).”
“Dimana? Di stasuin Tugu atau di Sarkem? Hahahaha.” tanya gue menggoda.
“Heh gue bukan bencong atau lonte.” Arga menanggapi dengan geram.
“Iya gue tau koq. kalau elu LOLA (dibaca lonte lanang).” Gue samakin girang godain dia.
“Ah...setan lu ah, gak jadi ah.” Tuh kan Arga jadi ngambek.
“Iye. Ntar pulang kuliah gue ke situ. Gue juga mecun dibaca (melakukancunhatan –maksa banget-)”

Pulang kuliah gue bergegas kedepan kampus untuk nunggu mobil oranye kesayangan gue, alias bus kota jalur 9. Cuma jalur itu yang lewat depan kampus sekaligus depan kost. Butuh sekitar 30 menit lebih menuju Tamsis dari depan kampus. Itu waktu belum dihitung waktu ngetemnya bus.

Gue paling demen bisa nginep di rumahnya Arga dikarenakan gue bisa makan gratis, main internet gratis, tidur pake ac. Surga anak kost yang kere dech kalau ke tempat Arga.

“Ga, gue lagi bingung?” gue mulai sesi curhatan yang dari tadi malem mengendap di otak gue dan buat malam yang gundah gulana glundung-glundung di kasur.
“Apa?”
“Gue gay bukan sih?”
“Lu tuh normal, tapi normalnya sebagai homo!!” jawab Arga ngasal, dia masih menghadap layar laptop.
“Nah gitu Ga, gue ngerasa koq semakin normal sebagai homo.” Gue jadi ikutan tengkurep di sebelah Arga.
“Gini ya. Kalau elu waria pasti saat ini elu udah pakai rok dan beha. Mungkin lingeri coz sekarang elu lagi di kamar.” Cengiran itu melebar dibibir Arga. Dan begonya gue jadi membayangkan beneran pakai lingeri. #Stupid. “Kalau elu biseks, elu masih filtring sama cewek. Emang elu horny liat cewek?”
“Hhmmm,” gue langsung flashback saat menonton bokep. Yang ada gue Cuma liatin cowok yang sedang bugil dengan pedang yang besar.”Nggak!!” jawab gue mantap.
“Ya udah berarti elu emang homo.” Arga semakin mantap menuduh gue sebagai homo.
“Tapi gue kan nggak pacaran sama cowok Ga.” Aku memprotes kesimpulan Arga.
“Tapi elu nafsu sama cowok!!” Arga balik menyemprot.
“Tapi gue belum pernah ML sama cowok.” Gue balik memprotes.
“Tapi elu juga ngaceng liat kelaminnya cowok!!” suara Arga semakin meninggi. Dan gue sdah nggak bisa memprotesnya lagi.

Aku langsung terkulai lemas samapi dari kepala sampai kaki nempel kasur semua. “Terus apa yang harus gue laukan?” tanya ku masih tertelungkup.
“Pertama. Elu harus mengenali siapa diri lu sendiri.” Kali ini Arga menghadap gue.
Gue masih tertelungkup. “Apa selama ini gue gak kenal diriku sendiri?”
“Belom. Elu masih belum mencari siapa diri kamu sendiri. Kamu masih menebak.” Kali ini suara Arga suaranya melembut.

Kali ini gue bangkit dari keterpurukkan. Gue jadi duduk mendekap lutut. Macam orang lagi galau –emang galau beneran-. Wah bener juga si Arga selama ini gue memag lagi mencari-cari jati diri, tapi lewatya browsing internet, alhasil jadinya gue download bokep. Carinya juga lewat chating di channel gay, yang ada tuh user malah ngajak pacaran.

“Biar kenalan gimana?” tanya gue polos.
“Elu tanya sama orang lain,” jawab Arga simple.
“Gue kan udah tanya elu,” balas gue simple juga.
“Jangan ke gue aja kali. Sama siapa keq, temen elu yang lain.”
“Udah, gue tanya bang Ichal, Rino, Ian, Arif......” omongan gue gak sampai selesai
Dengan gaya menyebalkan Arga menonyor kepala gue, sambil motong omongan gue yang belom kelar . “Elu goblog atau stupid?”
“Itu dua kata dengan arti yang sama,” gue nyela.
“Whateverlah. Yang gue maksud nggak Cuma dari temen mu yang homo aja. You must have second opinion. Contohnya elu tanya sama nyokap atau bokap elu. Pak ustad, bisa juga psikolog.” Gue tau, Arga pasti ngomong sambil nahan gregetan.
Secara sigap gue langsung menanggapi. “Pertama. Gue tanya bokap atau nyokap, pasti gue bakal di coret dari daftar warisan mungkin di usir. Eh tapi gue udah gak dirumah itu ya. Kedua, tanya pak ustad gue bakal di rukyah atau disembur pakai air Aqua dan ludahnya. Dan dia akan menjabarkan panjang lebar ayat-ayat dalam kitab suci mengenai perhomoan. #Tuhanberikansayahidayat,ehhidayah. Ketiga. Duit dari mana gue konsultasi ke psikolog?” gue menjabarkan semua alasan itu ke Arga. Gue Cuma liat Arga manggut-manggut aja.

Kita berdua tiduran terlentang menghadap ternit putih polos. Kita kembali melamunkan dan memirkan bertanya pada siapa yang tepat untuk menjawab kegalauan hati. Benar-benar senyap, hanya hembusan nafas yang terdengar. Kita sama-sama bimbang.

“Ga, apa elu udah yakin kalau diri elu gay?” tanya gue pelan sambil tetep molototin ternit. Sapa tau gue bisa liat sinar pencerahan.
“Nggak tau. Gue juga ngerasa aneh. Cowok koq suka cowok. Gue nggak tau mau tanya sapa.” Kali ini suara Arga terdengar lesu. Bahkan seperti orang putus asa.
“Gimana kalau kita tanya pada diri sendiri,” gue mencetuskan ide brilian.
“Caranya giamana?” tanya Arga antusias.
“Kita bikin list pertanyaan.” Gue bangkit. Lalu langsung menyambar pulpen dan kertas yang tergelaetak


Gue langsung menuliskan beberapa pertanyaan
1.      Nama?
2.      Umur?
3.      Jenis kelamin?
4.      Hobi?
5.      Sukanya dengan hal apa?
6.      Suka sama siapa?
7.      Kenapa disukai?
8.      Tokoh idolanya siapa?
9.      Kalau nonton bokep sukanya liat cewek atau cowoknya?
10.  Bagian tubuh mana yang paling disuka?
11.  Kenapa menyukainya?
12.  Aktifitas paling disuka apa?

Gue melemparkan kertas dengan dua belas pertanyaan ke Arga. Masih dalam posisi terlentang Arga membaca satu persatu pertanyaan itu. seseskali melamun, mungkin sedang menjawab dalam hati.

“Tumben elu jenius?” tanya Arga dengan nada mengeejek. “Kalau kata gue, pertanyaan ini udah pas sih.”
“Terus kita jawab satu persatu-satu. Sapa tau jadi dapetin jawaban.” Gue gak peduliin omongan Arga. Gue masih ngungkapin ide gue ke dia.

Singkat cerita gue dan dia tanya jawab sesuai dengan daftar pertanyaan yang dibuat. Hasilnya adalah kita tetep masih gamang, gue beneran gay atau bukan. Tapi kayaknya iya. Contohnya; suka dengan hal apa? Gue jawab suka liatin cowok lagi joging atau main basket atau renang alasannya bisa liatin bulu ketek. Terus kalau nonton bokep gue lebih suka liatin cowoknya. Bagian tubuh mana yang disukai, gue jawab pubic hair dan bulu ketek. Positif dech gue gay!!!! OH My God. Apa yang harus gue lakukan?

telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE

9. Pelajar Yang Mendunia

PELAJAR YANG MENDUNIA

Peganglah dengan erat hal yang terpenting dan cobalah percaya pada masa depan karena kemudian kita akan dapat merasakan dunia yang lebih indah (Hitostu dake –Aqua Timez)

Fuih siang ini Jogja terik banget, mau keluar kulitnya jadi item terus jadi ngga laku lagi pas ngecengin daun muda di sekolah. Enaknya sih emang di kantor aja, mumpung Bos lagi keluar kota jadi anggap saja sedang pelajaran bebas. Kalau ada Bos jangan harap aku ada di kantor,  aku baru ke kantor pas sore untuk absen.

Berhubung hari ini Bos nggak ada di kantor jadinya aku meluangkan waktu untuk mampir kubikel ku yang yang sudah dipenuhi sarang laba-laba karena jarang banget ngetik disini. Sekaang kusempatkan untuk bersih-bersih kotak kesayangakan ku ini, ada puluhan kertas memo yang menempel di monitor komputer entah dari kapan memo itu tertempel disitu isinya pemberitahuan jadwal liputan dan cuap-cuapan Preti nagih tulisan.

Siang ini dikantor cuma berdua saja sama Preti, dia sedang sibuk ngedit tulisanku yang sedikit berantakan (itu kata ku, namun bagi Preti sangat berantakan). Untuk mengobati rasa kangen dengan komputer ku ini, hari ini spesial aku ngetik disini, kapan lagi coba ada kesempatan ini apa lagi bisa ngetik dengan damai tanpa ada mata yang mendelik dari Bos.

Seperti biasa ritual ngetik ku ditemenin teh panas dan pasang headphone lalu memutar lagu-lagu Jepang. Sebenernya aku lebih suka lagu Jepang dari pada lagu Korea. Karena tuntutan kerjaan akhirnya aku bertekuk lutut pada lagu-lagu Korea yang emang wajib didengar untuk mengikuti trend biar nyambung kalau ketemu Kimchil.

Lagi asik-asiknya ngetik tiba-tiba saja bulu kuduk ku berndiri, ada apa nih? Perasaannya koq jadi horror gini sih, apa lagi di kantor cuma tinggal berdua aja. Dengan perasaan was-was aku berdiri, lihat suasana kubikelnya Preti yang ada di hadapan ku. Weks…ternyata kosong kemana tuh orang tiba-tiba ngilang, tapi koq aku nggak liat dia pergi (ya iyalah nggak liat lah wong ketutupan dinding kubikel). Dalam benak ku mulai dech mikir macem-macem kalau Preti tiba-tiba di seret sama pacarnya buat nemenin makan siang atau tiba-tiba dia sudah terkapar dengan bersimbahan darah di lantai. Haduh…pikirannya udah mulai ngayal tingkat dewa.

Perasaan ini semakin nggak enak aja dan tiba-tiba ada yang colek pundak dari belakang. Makin parno aja nih takut kalau nengok ada sosok wanita rambut panjang pakai daster putih-putih. Jari itu kembali menyentuh pundak, pelan-pelan aku nengok dan benar dugaan ku ada sosok wanita dengan seringai senyum bengis pakai kemeja putih dengan rambut kriting awut-awutan, beneran nih ada kuntulinak.

Seketika kemudia aku histeris dan terpaku nggak bisa gerak “Kunti……..lanak!!!!”
Aku langsung tutup muka dengan tangan. Jari itu kembali mencolek tangan ku yang sedang menutupi muka. Dan aku merasakan sebuah genggaman merenggut headphone. Baru lah kau menyadari ada suara Preti dihadapanku.

“Tong….tong sadar woy mana kuntilanaknya?” teryata Preti ikutan panik juga. Aku turunkan tangan dan pelan-pelan ku buka mata, ternyata benar ada Preti lagi berubah jadi kuntilanak. Gimana nggak mirip sama kuntilanak rambutnya dia yang keriting awut-awutan itu efek dari stress ngedit tulisan ku dan Lia, belum lagi komentar pedas dari Bos.

“Eh ternyata Preti, ishh buat kaget aja sih” aku langsung lega karena yang dihadapan ku memang Preti.
“Kamu juga dipanggil nggak nengok. Btw kapan liputan rubrik Siswa Juara?”

Mampus, aku belum nemu dan belum nyari. Kalau aku jujur pasti Preti berubah jadi kuntilanak beneran dech. Ah ngeles aja dech. “Kemaren aku udah dapet anak Delayota tapi dia masih di Jepang lagi ikutan lomba merangkai bunga tingkat dunia. Terus dari Tirtonirmolo anaknya lagi penelitian bakteri yang hidup di kepala Bos.”

“Nih anak ntar kualat loh sama Bos sendiri. Terus ada cadangan lainnya nggak?” Tangan Preti jadi naik ke atas pinggang tanda sebentar lagi meledak marahnya.
“Nah itu belum nemu lagi Pret.
“Hari ini harus udah dapet biar lusa bisa liputan, harus dapet gimana pun caranya, googling kek atau cara manual ngider kesekolah-sekolah.” Perintah Preti dengan senyum dimanis-manisin tetapi tatapan mata melotot galak kaya tante Leli Sagita yang ngetop banget berkat peran antagonisnya.

“Ya udah aku cari lewat mbah Google aja dech,Cetus ku pasrah dari pada harus ngider ke sekolah dan harus berbasa basi yang basi banget sama wakasek kesiswaan.

Preti kembali ke kubikelnya dan aku mulai menyelami internet nyari sosok siswa yang berprestasi minimal prestasinya tingkat nasional dech kalau bisa sih yang juara dunia. Dengan key word “Siswa Prestasi Jogja dan Jawa Tengah” langsung dech muncul sederetan judul artikel siswa yang berprestasi. Satu persatu aku klik untuk melihat artikel lengkapnya tetapi nggak ada yang menarik kebanyakan juara olimpiade nasional atau internasional, itu udah biasa dan mereka cuma juara satu kali kalau berkali-kali sih bolehlah jadi kandidat untuk diwawancarai.

Ada satu judul yang menarik “Pelajar Solo Menjadi  Miss Deaf Indonesia”. Langsung ku klik dan keluar artikel lengkapnya. Dalam artikel tersebut dijelaskan Oktaviani Wulansari yang biasa dipanggil Ovik  seorang siswa SLB dari Solo menjadi wakil Indonesia dalam kompetisi Miss Deaf World yang diselenggarakan di Praha.

“Pret…..aku nemu nih,” teriak ku memanggil Preti
Preti langsung nongol dari kubilkenya. “Opo toh jangan teriak-teriak aku denger kali.”
“Ini ada Miss Deaf tapi di Solo, aku share linknya ke kamu biar kamu baca sendiri,” kata ku sambil kirim alamat link artikel tersebut lewat email untuk Preti.
Berapa saat kemudia Preti muncul kembali dari kubikelnya. “Oke kita pakai Ovik nanti aku yang melacak dia”

Lega dech paling nggak dapet kandidat dulu untuk diwawancarai, semoga nggak ada halangan dan rintangan untuk mewancarainya. Sebenernya susah gampang sih untuk bikin rubrik Siswa Juara ini. Peruburuan siswa berprestasi ini yang simple pakai Googling kalau udah nemu targetnya kita bisa melacak lewat Facebook biar bisa langsung komunikasi tanpa perantara. Tetapi kalau nggak terlacak akun Facebooknya juga terpaksa ke sekolahannya, kalau sang target masih di area Jogja. Tapi ada sesuatu yang menyebalkan, aku udah kepanasan ke sekolahannya eh ternyata ribet juga harus ada surat liputan atau ternyata siswanya sudah lulus. Kepasrahan melanda, kembali cara pertama Googling lagi atau mencari data lebih lengkap lagi tentang target melalui internet atau berhubungan dengan kenalan sama teman sekolahnya dia. Kendala lain yang menghadang adalah siswa tersebut sok sibuk nggak ada waktu untuk diwawancarai ada les lah, keluar kota lah atau berbagai macam alasan.

Suasana kantor kembali sunyi aku dan Preti kembali pada dunianya masing-masing. Aku kembali nulis artikel yang tadi terganggu oleh kuntilanak jadi-jadian. Liputan adalah hal yang paling menyengkan tapi nulis hasil liputan adalah hal yang mengenekan. Liputan bisa jalan-jalan dan ketemu banyak orang sedangkan menulis artikel membuat mual-mual merangkai kata, tapi koq mau ya jadi wartawan. Dinikmati sajalah pekerjaan ini toh lebih banyak menyenangkannya.

Sudah tiga artikel berhasil kuselesaikan dalam waktu 4 jam padahal setiap artikel hanya 3500 karakter. Menulis itu rumit juga kali gimana caranya tulisan kita menarik untuk para Alayers, Kimchil tetapi tetap bisa dibaca oleh siswa normal. Sampai ngetik novel ini pun masih suka kesrimpet menuangkan kata-kata, kadang kalimatnya nggak pas belum lagi banyak huruf yang salah ketik, belum lagi mikirin pemilihan kata yang pas (lah koq jadi curhat).

Preti kemabali nongol dari kubikelnya,“Tong aku udah hubungin Ovik, dia bersedia diwawancarai rumahnya di Solo, aku udah dapet alamatnya. Dia bisa diwawancarai lusa. Kamu ya sama mas Dita yang berangkat?”

Belum aku jawab dia sudah melesat kebawah kembali pada singgasananya. Terpaksa dech aku menghampiri ke kubikelnya dia.

“Oke aku ke sana, tapi sama kamu ya Pret. Diakan tuna rungu bisa-bisa aku ngombrol sama dia jadi kaya Tarzan donk pakai bahasa tubuh. Plisss!” ku memohon sambil mengkrucutkan tanganku seakan seperti biksu.
Preti menatapku lalu kembali menatap layar komputer,“Tapi kerjaan ku banyak,jawab dia ketus.
“Kamu nggak bosen di kantor dan bercinta terus sama computer mu itu? Apa nggak pengen rekreasi? Lumayan loh ke Solo bisa jalan-jalan, banyak makannan enak loh Pret,” aku melancarkan bujuk dan rayuan
“Boleh juga tuh kelar wawancara kita jalan-jalan nyobain nasi liwet, bestik, serabi.” Mata Preti berbinar-binar membayangkan makanan dihadapannya. Preti emang paling seneng wisata kuliner, dan aku wajib ikut kalau dia sedang liputan advertorial kuliner.

Akhirnya kita sepakat berangkat besok lusa, hari Kamis. Mas Dita pun langsung dikabarin untuk liputan ke Solo, kayaknya sih mas Dita hari Kamis besok senggang kalau pun disuruh nemenin Liya nggak di ijinin Preti mau nggak mau mas Dita di booking oleh kita.

@@@

Hari Kamis pun tiba.

Aku dari pagi sudah siap siaga di kantor karena banyak ketikan yang mesti diseotr dan rencananya sih berangkat jam 10an, padahal baru ketemu Ovik jam 2an. Mobilnya Mas Dita sudah terparkir di depan kantor. Preti terlihat lebih cantik nggak kaya kemarin lusa yang seperti kuntilanak. Rambut ikalnya tersisir rapih dan hari ini pakai dress. Aku curiga pasti dia tampil cantik agar mempesona pria-pria Solo pas jalan di Mall.

Jam 10 tepat kita berangkat, kita semua pamitan sama Bos dan syukur kita semua direstui kebrangkatannya. Preti beralasan yang memwancarai dan aku sebagai navigator karena mas Dita dan Preti nggak ngerti daerah Solo, padala aku juga nggak ngerti rumah Ovik tepatnya dimana, dan aku mengandalkan mas Hendra yang sebagai sirkulasi majalah di Solo. Semua peratalan sudah beres masuk mobil termasuk cemilan karena Preti nggak bisa brenti ngemil, coba aja masuk ke kubikelnya dia dimana-mana ada jajan jadi kalau kita sedang kelaparan tinggal comot cemilan di kubikelnya Preti.

Mobilpun meluncur ke Solo lewat jalan Solo. Diperjalanan Preti dan mas Dita ngobrolin tentang menikah. Whateverlah mereka mau mendiskripsikan pernikahan itu bagaimana aku cuma diem aja karena ada sesuatu yang mengganjal. Mobil memasuki daerah Kalasan dan melaju kecepatan sedang.

“Mas Dita STOP!!!!” teriak ku.
Ada apa Tong?!”  Preti dan mas Dita nggak kalah histeris dari ku mungkin karena kaget, untung aja nggak ngerem mendadak.
“Tropinya ketinggalan di kantor, pada lupakan nggak ngambil.
Mereka langsung melepas nafas lega, mungkin mereka pikir aku mau lahiran apa ya, haduw aku kan cowok gimana mau lahiran. Untung baru seperempat jalan, mas Dita kembali memutar balik mobilnya menuju kantor. Begitu sampai kantor aku langsung turun ambil tropi yang tergeletak di meja tamu padahal dari aku dateng kantor sudah disiapin. Yuk lanjut jalan lagi ke Solo.

Rubrik Siswa Juara ini kita menyiapkan sebuah tropi sebagai tanda mereka memang layak untuk dipublikasikan kehebatan mereka. Sekalian buat tambah koleksi piala mereka juga sih,hehehehe.

“Mas Dita, tropinya patah jadi tiga nih,” aku menyela pembicaraan Mas Dita dan Preti yang masih membahas pernikahan.
“Koq bisa patah sih?” tanya Preti sambil nengok ke belakang melihat tropi yang terbelah menjadi 3 bagian dan sekalian merenggut kotak tropi tersebut.
“Gimana nggak patah di kantor ketumpuk-tumpuk majalah, udah gitu pasti pernah jatuh.” Aku menjelaskan sambil membuka bukusan snack.
“Ini mah gampang tinggal dilem aja. Tuh ada toko bangunan beli aja lem super.”

Preti turun dari mobil untuk beli lem, tak lama kemudia tubuhnya sudah kembali lagi ke dalam mobil. Mas Dita segera mengelem tropi tersebut. Semuanya sudah tersambung kembali tetapi ada hal yang menyebalkan aku disuruh pengangin tropi tersebut sampai Solo sedangkan mereka berdua asik membicarakan pernikahan ups sekarang sudah berubah tema, udah tahap lebih lanjut membicarakan bikin anak. Mereka nggak nyadar ya masih ada aku yang ABG Kimchil nan Alay.

Setelah satu jam perjalanan akhirnya sampai juga seperti biasa Preti mulai rewel lagi.
“Ayo makan, udah laper nih, pake banget pula. Ayo makan,” rengek Preti seperti bayi yang kehausan ingin minum ASI.
“Mau makan apa emang?” tanya ku.
“Yang khas Solo donk,” jawab mas Dita sambil memperlambat laju mobil.
“Terserah dech makan apa aja aku udah laper,” jawab Preti, emang ya kalau udah doyan makan semua makanan dilahapnya apa lagi pas laper akut. “Warung soto Pak Dul, sego liwet Bu Iyem, bistik Pak Damad.” Begini nih kebiasaan Preti kalau sudah kelaparan semua papan nama warung makan disebutin semua sepanjang jalan sampai kita berhenti, belum lagi ocehan lainnya. “Kalalu laper kan nggak bisa mikir, gimana nanti pas interview tiba-tiba blank.”

Akhirnya mas Dita nyerah dengan kebawelannya, lalu kita makan dulu disebuah warung soto. Preti dengan lahapnya menghabiskan dua mangkok. Dia ternyata emang bener-bener kelaparan. Sebagai cewek dia termasuk bukan tipe yang jaim buktinya dia nggak nutupin betapa maruknya melahap soto. Kalau cewek normal pasti dia akan makan dengan teratur dan sebentar-sebentar mengelap bibirnya beda dengan Preti yang nggak peduli mulutnya belepotan yang penting makan dulu sampai kenyang.

Perut sudah terisi, kita juga sudah belanja batik di pasar Klewer dan kita juga sudah minum es yang seger banget di daerah Kota Barat. Waktunya meluncur ke rumah Ovik, dan kita baru sadar kalau nggak ada yang tau rumahnya dia dimana dan jalan menuju kesana lewat mana. Kita cuma dibekali sebuah alamat di daerah pinggiran Kota Solo. Bersyukurlah masih ada mas Hendra yang bersedia mengantar kita ke tempat tujuan, kebetulan mas Hendra sudah survai tempatnya terlebih dahulu.

@@@

Akhirnya sampai juga di rumah Ovik, sebuah rumah sederhana di tengah perkampungan pedesaan. Rumah yang tak berkeramik hanya plesteran semen dan tanpa pagar. Kita semua bergegas keluar dari mobil dan sebelum kita mengetuk pintu rumah tersebut sudah terbuka telebih dahulu. Dari dalam muncul sosok gadis remaja yang tinggi berkulit putih menyambut kita dengan senyuman. Dibelakang gadis tersebut ada seorang ibu-ibu yang menyusul gadis tersebut. Preti langsung bersalaman dan mengenalkan diri. Ternyata gadis tersebut yang beranama Ovik.
Kita semua masuk ke ruang tamu yang sederhana ruangannya tidak begitu luas, catnya pun sudah kusam terlihat sudah lama tidak di cat. Ada tiga kursi panjang disitu Ovik dan Preti duduk bersebelahan sedangkan aku duduk di hadapan mereka yang dibatasi sebuah meja dan mas Dita disamping ku, ibunya Ovik duduk disamping Ovik. Setalah berbasa basi dimulainya interview. Gimana pula caranya wawancara lah Ovik tuna rungu.

“Bagaimana ceritanya Ovik bisa jadi Miss Deaf Indonesia?” Preti memulai wawancaranya mimiknya jadi lucu karena memainkan bibirnya agar terbaca Ovik.

Ternyata Ovik pembaca bibir yang pintar, dia mengerti apa yang dikatakan Preti. Ovik mengeluarkan suara tetapi bagi kami apa yang diucapkan tidak jelas. Dia juga sendiri bingung bagaimana menjelaskannya.

Aku jadi teringat waktu aku ngobrol dengan teman ku yang tuna rungu, kita komunikasi pakai sms padahal kita saling berhadapan. Akhirnya aku keluarkan netbook untuk percakapan antara Preti dengan Ovik.

Selagi aku mempersiapkan netbook aku bertanya kepada ibunya, “Prosesnya bagaimana ya bu? Ovik bisa menjadi Miss Deaf Indonesia dan jadi wakil Indonesia untuk Miss Deaf World 2013?”

“Wah saya nggak tau juga ya mas. Setelah pulang dari Jakarta Ovik bilang mau ke luar negeri. Saya pikir dia bercanda karena dari kecil dia suka menghayal dan bilang ingin keluar negeri. Tetapi waktu saya dipanggil sekolah baru percaya. Cuma prosesnya saya tidak tahu,” ibu menjelaskan dengan polos, tetapi sangat antusias.
Setelah netbook sudah siap Ovik menuliskan kisahnya.

“Waktu itu saya baru saja ikut lomba model di SGM (Solo Grand Mall), dan saya jadi pemenangnya. Lalu saya ketemu dengan Ibu Sudibyo, dia menawari saya untuk ikutan Miss Deaf Indonesia di Jakarta. Awalnya saya juga tidak yakin dan tidak percaya namun dari panitia acara meyakinkan aku untuk ikutan. Saya terima tawaran itu kebetulan ada salah satu teman saya juga ikut. Saya ke Jakarta berangkat sendirian dan biaya sendiri, saya nggak mikirin menang atau kalah yang penting saya bisa ikutan kompetisi. Saya tidak bisa menggantungkan diri pada teman saya karena dia berangkat dengan keluarga.”

Preti yang sedari tadi mengikuti ketikan Ovik kembali menanyakan kembali. “Lalu waktu di Jakarta ceritanya bagaimana?”
Ovik yang kembali memperhatikan gerak bibir Preti, kemaudia mengetikan kembali.

“Di Jakarta saya dikarantina untuk pelatihan. Lalu lomba pun dimulai saya sendirian, orang tua tidak datang untungnya ada budhe yang dateng jadi bisa lebih semangat. Mengejutkan sekali saya menjadi pemenang mengalahkan peserta dari seluruh Indonesia. Lebih terkejut lagi setelah panitia bilang kalau saya wakil Indonesia untuk maju Miss Deaf World di Praha, Ceko.”

Kagum juga seorang remaja tuna rungu datang ke Jakarta sendirian untuk menjemput impiannya. Tetapi kekaguman ku nggak sampai disitu saja masih ada cerita yang membuat ku semakin kagum.
“Bagaimana ceritanya Ovik jadi model?” tanyaku pada Ovik. Seperti biasa Ovik selalu memperhatikan bibir lawan biacaranya dari pada menatap mata.
Ovik segera menuliskan kisahnya

“Dari kecil saya sudah ikutan lomba model untuk mewakili sekolah. Saya sekolah di SLB ada guru yang tau bakat saya di bidang modeling jadinya saya khususkan untuk masuk kelas modeling. Awalnya untuk lomba di sekolah dan mewakili sekolah tapi saya ingin punya pengalaman lebih jadi ikutan lomba diluar sekolah misalnya ada lomba model di Mall atau hotel disekitar Kota Solo.”

Setelah selesai mengetik ibunya Ovik juga ikut menambahkan cerita Ovik, sambil meyuguhkan tes panas. “Ovik itu udah sering juara model itu pialanya sudah banyak,” sambil menunjuk piala yang berjejer di atas buffet dan ada juga yang piala tinggi di pojok ruangan.”Sekolah sering mengajak ikutan lomba, saya sih percaya saja sama sekolah yang penting itu kegiatan positif,tukas ibunya Ovik.

“Lalu kalau yang lomba diluar sekolah bagaiman bu? Apa ibu ikut mengantarkan?” aku melanjutkan pertayaan.
“Saya nggak pernah nganter Ovik ikut lomba-lomba, bukannya saya nggak mau atau bagaimana, cuma, adeknya Ovik masih kecil repot kalau ikut dibawa kesana kemari. Bapaknya juga sibuk di sawah jadi nggak sempat juga. Ovik itu sendirian kalau ikut lomba, dia naik motor sendiri ke tempat acara. Saya sih percaya saja yang penting jelas tempatnya selain itu Ovik juga harus selalu membawa HP biar komunikasi gampang.” Cerita ibunya Ovik mengalir deras dari mulutnya tanpa jeda.

“Wah berarti Ovik cukup mandiri juga ya bu?” komentar mas Dita, yang ternyata antusisan mendengarkan cerita dari  sang ibu.

 Saya juga mengajarkan Ovik untuk mandiri nggak perlu menggantungkan diri sama orang lain. Waktu ke Jakarta saja saya anter dia di terminal tetapi samapi di terminal dia di jemput oleh budenya. Saya juga harus punya nomer kontak panitianya jadi kalau ada apa-apa saya tinggal tanya kepada panitia.” Cerita ibunya Ovik dengan semangat.

“Lalu apa yang Ovik dapatkan dari lomba model ini” tanya Mas Dita nggak mau kalah dari kedua rekannya yang wartawan.
Dengan polos Ovik menjawab “Wang…”,
“Uang maksudnya mbak,” ibunya Ovik menjelaskan lebih lanjut. Kita semua teratawa jawaban polos dari Ovik. Lalu ibunya Ovik kembali menceritakan lebih detail “Itu koleksi sepatu, kebaya, baju, dress, make up semua hasil dari juara lomba. Jadi kalau menang lomba dapet uang dia sisihkan sedikit untuk membeli itu semua, ada yang disisihkan sedikit untuk adeknya. Sisanya dia tabung sendiri.”

“Jadi Ovik merias sendiri?” tanya Preti sambil memperagakan tangannya seakan sedang touch up.
Ovik hanya mengangguk. Lalu entah kenapa dia meninggalkan kita semua dia menuju kamarnya. Tak lama kemudian dia muncul kembali membawa album foto. Ternyata dia akan mempamerkan dirinya waktu di catwalk atau berfoto sendiri berserta teman-teman sesama model. mas Dita hanya bisa tercengang karena apa yang dilihat sekarang dihadapannya berbeda banget sama apa yang ada difoto. Sampai aku pun masih belum percaya kalau itu yang ada di foto adalah Ovik.

Berhubung sudah sore dan sepertinya akan hujan kita segera menyudahi wawancara tetapi masih ada satu sesi lagi yaitu pemotretan dan penyerahan tropi. Ovik menuju kamar untuk berdandan dan berganti pakaian, mungkin karena Preti penasaran ikut ke kamar memperhatikan Ovik memake up sendiri.
Selagi Ovik dan Preti dikamar, aku ngobrol sama ibunya Ovik
“Jadi Ovik itu belajar model sendiri?” tanya ku.
“Iya, Ovik itu belajar sendiri cuma disekolah saja. Saya nggak sanggup masukin Ovik ke sanggar mahal banget, untuk makan juga susah.”
“Kenapa ibu membolehkan Ovik ke Jakarta sendiri atau ikut lomba sendir?”
“Gimana ya mas, saya sendiri sebagai orang tua khawatir anaknya yang cacat pergi sendirian. Cuma kalau saya larang juga nggak bisa, dia bisa nekat kabur. Pernah waktu SMP dia kabur gara-gara saya melarang ikut lomba karena sebentar lagi ujian. Jadi saya mau melarang lagi nggak bisa. Saya cuma pesan sama Ovik setiap satu jam sekali harus SMS, harus ada kabar.”
Selesai kalimat terakhir yang diucapkan sang ibu. Ovik dan Preti keluar dar kamar.
“Sumpah jago banget make upnya bisa cepet sama rapi. Gue aja kalah,” pujian Preti terlontar dari mulutnya seraya memberitahukan aku dan Mas Dita.

Kita semua keluar rumah untuk pemotretan di jalan kampung yang sepi beratapkan awan mendung. Mas Dita menyuruh Ovik untuk berjalan bagaikan model dan menggap jalan tersebut sebagai catwalk. Ovik terus berjalan sambil melenggak lenggokan pinggul dan Mas Dita dengan cekatan menjeprat jepret foto. Beberapa kali Ovik jalan bolak balik.

Setelah pemotretan selesai kita duduk dulu di teras rumah, ternyata Preti masih mau menanyakan suaut hal.
“Ovik, kamu kalau besar cita-citanya mau jadi apa?”
“Nangti alo esar, mo adi uru.” Sebisa mungkin Ovik melafalkan perkata dengan jelas, namun bagi kami perkataan itu belum jelas.
Dan sekali lagi ibunya Ovik yang menjelaskan. “Ovik ingin jadi guru di SLB. Dia ingin membantu temen-temen yang cacat. Malah kalau bisa dia ingin buka sekolah atau sanggar kesenian khusus anak cacat.”
Ovik yang memperhatikan ibunya ngomong tersenyum lebar karena membantu menjelaskan pada kita semua.

Semuanya sudah dilaksanakan dari interview sampai pemotretan dan penyerahan tropi. Senyum Ovik mengembang waktu mobil menjauhi rumahnya. Selama perjalanan kita nggak ada habisnya membahas tentang Ovik. Ada satu hal yang membuat kita kagumi, meskipun dia cacat tetapi dia percaya diri dan mampu mandiri.

Kita sering terlena oleh kesempurnaan dan memandang sebelah mata orang yang berkebutuhan khusus. Dari Ovik pun belajar siapa saja kita bisa menjadi apa yang kita mau dan siapa saja bisa berimimpi untuk mewujudkan. Cacat bukanlah halangan untuk maju tapi cacat adalah bagian dari proses pembelajaran merangkai kehidupan dan mereka orang-orang yang lebih tegar dan percaya diri dari pada kita yang normal.
Kabar terakhir yang kudengar Ovik gagal membawa gelar Miss Deaf World  yang berlangsung dari 3 Juli 2012 sampai 7 Juli 2012. Bagi ku itu udah cukup membagakan karena dia cukup membawa nama baik Indonesia dan yang penting dia sudah berusaha dengan keras.

Aku sendiri sering terkagung-kagum waktu pengerjaan rubrik Siswa Juara. Tak semuanya remaja itu Kimchil dan Alay banyak diantara mereka yang mengharumkan nama bangsa. Aku pernah interview anak SMA 3 Semarang ada dua orang yang juara Olimpiade Informatika dan Fisika, pernah juga ngobrol sama sang juara lomba film documenter tingkat nasional mereka anak SMA Kolase Debrito dan yang mereka ambil temanya kemiskinan, tetapi mereka menampilkan bukan kemisikinan yang di daerah kumuh atau rumah gubug reyot tetapi mereka mencoba menggali kemiskinan moral. Ada juga yang beberapa kali anak SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta yang beberapa kali menang karya ilmiah tingkat nasional mereka menciptakan inovasi baru dari limbah jagung untuk dijadikan tepung, mereka juga membikin konsep taman kota yang minimalis.

Ada satu hal yang aku petik dari interview mereka. Mereka melakukan tersebut karena sadar ingin menjadi berebeda dengan prestasi, bukan untuk diri sendiri saja tetapi untuk semua orang. Mereka ingin menjadi generasi muda yang bisa mamajukan Negara ini, bagian dari semangat pahlawan nasional. Mereka berjuan dengan caranya sendiri. Dan masih banyak siswa lain yang berprestasi mengharumkan Negara.

Mereka berusaha mengejar mimpinya untuk jadi orang berguna untuk semua. Siswa ini juga lewat proses untuk mendapatkan hasil terbaiknya. Ada yang semalam suntuk belajar. Banyak yang awalnya gagal pada percobaan tetapi mereka nggak putus asa di coba lagi akhirnya berhasil juga. Ada satu lagi dorongan orang tua juga sangat penting. Orang tua terus bisa menyemangati anaknya bila mereka belum berhasil. Guru juga berperan penting dalam bimbingan keahlian. Semua terwujud karena Tuhan yang mengijikan, Tuhan akan memberian yang terbaik jika kita bersungguh-sungguh.


Jadi mikir, bejadnya diriku ini waktu SMA. Sekolah dianggap sebagai taman bermain, ya di kelas denger guru ngajar masuk kuping kanan lalu dikeluarin kuping kiri. Setiap pagi selalu heboh sendiri cari contekan PR. Untungnya dulu belum ada istilah ababil, kimchil dan alay mungkin kalau udah ada istilah tersebut melekat pada diriku. Eh tapi aku pernah loh berprestasi paling nggak pernah jadi juara komando supporter lomba voli antar kelas. Pernah juga mewakili kabupaten Brebes untuk lomba teater tingkat Povinsi Jawa Tengah.