Friday 31 July 2015

Cerpen: Bertemu Denganmu

Mada termenung di tepi tebing Uluwatu, yang dibatasi tembok setinggi setengah meter. Matanya memandang luas samudera tetapi fikiran melayang kemana-mana. Terlalu banyak masalah yang sedang dihadapi. Mada mengira jika kesini bisa berfikir segar melihat pemandangan, ahhh itu hanya harapan belaka Mada saja. Kenyataan terbalik, yang ada Mada malah memikirkan yang lain.

Mada mulai naik tembok yang tidak terlalu tinggi. Lalu duduk di atasnya. Gelisah menyergap perasaan Mada. Kaki sudah teruncang-uncang di luar tembok, 300 meter di bawah kaki ada deburan ombak yang menghantam tebih. Rupanya biru langit dan samudera tidak bisa menentramkan hati dan fikiran Mada. Suasana hati Mada semakin keruh, nafas tidak beraturan.

“Bli, loncat saja,” seorang pria yang berdiri mematung yang dari tadi memerhatikan Mada menyuruh segera loncat.
Mada menengok pria tersebut dengan heran. “Kenapa kamu bilang seperti itu?” Mada bingung sendiri sebenernya yang waras dia atau dirinya. Ada orang mau bunuh diri malah di semangati
“Tidak usah ragu-ragu untuk mengakhiri hidup. Masalahmu bisa cepat selesai,” pria itu menjelaskan alasan menyuruh Mada untuk segera loncat. “Tetapi karena kamu bunuh diri akan timbul masalah lain bagi orang lain dan buat kamu sendiri di akhirat.”

Kali ini Mada membalikkan tubuh menghadap pria tersebut. Pria itu menyuruh loncat namun dia menjelaskan akan ada masalah baru lagi. Mada langsung memikirkan keluarga yang masih bertumpu pada dirinya. Belum lagi ada Surya, lelaki yang selama ini dipacari beberapa tahun.

Memang benar, tadi Mada berencana bunuh diri dan sekarang fikiran itu masih mengendap. Buat Mada masalah yang membelit terlalu menyiksa dan menekan syaraf fikiran. Mada merasakan sudah tidak tahan dengan himpitan hidup yang kejam. Orang tua masih mengejar Mada untuk segera menikah. Belum lagi Surya diam-diam berhubungan dengan pria lain.

Mada kembali ke posisi semula menghadap luas samudera. Orang yang di sebelah diacuhkan saja, toh dia juga bukan siapa-siapa. Ini adalah urusan hidup Mada, bukan orang lain. Bayangan Surya kembali berkelebat di ilusi Mada, dengan mata kepala sendiri melihat Surya sedang berciuman dengan bule di cafe daerah Seminyak. Dalam pandangan Mada mereka terlihat begitu mesra. Memori Mada beralih pada bayangan ibu yang selalu mengomel mengenai pernikahan, sudah ratusan kali ibu menyindir dari ingin punya mantulah, ingin punya cucu, yang jelas kata ibu ingin melihat Mada bahagia.

“Bli nggak usah ragu untuk loncat,” orang tersebut mengulang menyuruh Mada, nadanya dan tampangnya dasar saja.
“Kenapa bli menyuruh tiyang loncat?” tanya Mada sambil menengok orang itu lagi.
“Itu yang bli mau kan?” dia malah membalik tanya.
“Kata siapa itu yang saya mau?” Mada tidak menjawab, malah bertanya lagi. Mada fikir ini orang sok tau banget.

Mada mencoba menyangkal apa yang dituduhkan orang asing. Penyangkalan tersebut merupakan bagian dari keraguan Mada untuk mengakhiri hidup. Masih perlu difikirkan ulang untuk bunuh diri. Orang asing tersebut masih berdiri sekitar dua meter di hadapan Mada. Dia mengenakan udeng, kemeja dan sarung semua serba putih, menandakan habis ibadah di Pura.

“Kenapa Tuhan memberi cobaan berat sama hambanya?” tanya Mada frustasi pada orang asing tersebut. Mada bertanya pada dia karena setidaknya dia masih percaya Tuhan meskipun berbeda keyakinan dengan Mada, siapa tahu bisa menjawab.
“Karena Tuhan ingin bli lebih dekat denganNya,” jawab orang asing dengan tenang.
“Tiyang sudah dekat dengan Tuhan, setiap hari sholat, ngaji dan lain-lain,” Mada tidak terima dengan pendapat orang asing itu.
“Berarti Tuhan sedang meningkatkan kualitas spiritual bli,” orang asing masih menjawab dengan tenang. “Cobaan diberikan untuk kita belajar bersyukur dan ikhlas.”
“Kenapa cobaan ini berat yang saya terima?” Mada masih saja memprotes pada orang yang tidak mengerti permasalahan yang Mada hadapi. 
“Mungkin itu menurut bli berat. Coba fikir pelan dan positif thinking pasti tidak terasa berat,” orang asing tersebut masih menenangan Mada yang sedang kalut. “Apa yang tiyang rasa masalah ini berat, mungkin buat bli biasa saja. Masalah berat atau tidak itu relatif bli.”
“Ah kamu bisa saja ngomong seperti itu karena kamu tidak pernah mengalaminya,” Mada menatap lekat orang itu dengan jengkel.
“Mau minum kopi sama saya bli?” orang asing itu tidak mengubris omongan Mada malah mengajak minum kopi. “Oh ya nama saya Jero Hanyom, panggil saja Hanyom.” Hanyom segera mengenalkan diri agar Mada percaya pada dirinya. Tangannya menjulur untuk salaman.
“Mada.” Mada ikut mengenalkan diri tetapi mengacuhkan jabatan tangan Hanyom.

Mada terdiam sejenak memikirkan ajakan Hanyom. Orang yang tidak kenal sebelumnya malah mengajak ngopi bareng. Mada ragu untuk mengikuti Hanyom karena enggan menceritakan cerita sebenarnya, buat Mada, dirinya yang gay adalah sebuah aib. Apalagi cerita cintanya yang terancam kandas. Mada mengalihkan pandangannya ke luas samudera lagi. Kemudian berbalik, kakinya menyentuh tanah sisi dalam tembok. Hanyom bernafas lega, Mada mengikuti ajakannya.

Sepanjang jalan mereka terdiam. Hanyom tidak mengajak ngobrol agar Mada tenang. Hanyom melihat wajah Mada yang kusut dan tampak frustasi. Sesekali Hanyong tersenyum pada Mada yang curi-curi pandang. Hanyom mengendarai mobilnya Mada menuju ke rumah Hanyom yang tidak jauh dari Pura Uluwatu. Entah kenapa Mada percaya begitu saja pada Hanyom, memberikan kunci mobil saat Hanyom mengajukan diri untuk jadi supir. Fikiran Mada sudah lelah, sangat berhaya bila mengendarai kendaraan.

Mada percaya mengikuti Hanyom. Senyum Hanyom terlihat teduh dan menyakinkan bahwa dia orang yang bersahabat. Sewaktu turun dari tembok Hanyom juga ikut memegangi Mada yang sedang ringkih. Genggaman tangan Hanyom memberi kehangatan dan menyalurkan kasih sayang, itu yang dirasakan oleh Mada. Mungkin yang dibutuhkan Mada adalah teman cerita, meski tidak untuk diselesaikan tetapi Mada butuh orang yang mau mendengarkan kisah pilu.

Lima belas menit perlajan terasa singkat, akhirnya mereka sampai di rumah tradisonal Bali yang terlihat megah dengan gapura yang menjulang tinggi. Mereka sudah sampai di rumahnya Hanyom yang memang keturunan bangsawan kerajaan Badung. Ada beberapa banten berserak depan gapura.

“Di dalam saja. Kalau malam tumbuhan mengeluarkan karbondioksida, nanti kamu keracunan dan berubah fikiran lagi,” canda Hanyom sambil mengajak Mada masuk ke dalam paviliun yg di tempati khusus untuk Hanyom.

Mada hanya membalas dengan senyum. Sebenarnya Mada sudah sedikit lega, jauh dari tebing Uluwatu. Mada juga merasa hangat, aman dan nyaman ditemani oleh Hanyom. Aroma dupa menusuk hidung Mada yang tidak terbiasa dengan wangi-wangi dupa yang menyengat. Paviliun terbagi ruang tidur, dapur kecil dan kamar mandi.

Mada duduk di karpet depan televisi yang besar sekali. Dia atas televisi ada foto Hanyom setengah badan namun tidak mengenakan baju dengan pose yang menggiurkan. Ruangan tersebut tertata rapi dan dekorasi yang artistik.

“Ini kopinya.” Hanyom menyerahkan secangkir kopi kepada Mada yang masih celingak-celinguk melihat dekorasi kamar.
“Terima kasih.” Mada mengambil kopi, lalu menyeruput sedikit. “Enak sekali,” Mada mengomentari kopi buatan Hanyom.
“Terima kasih, tapi tiyang rasa ini biasa saja,” Hanyom merendahkan diri.

Mereka kambali pada suasana beku. Hanyom menunggu reaksi Mada selanjutnya, apakah akan bercerita masalahnya atau tidak.  Mada sendiri sedang mempertimbangkan untuk bercerita atau tidak. Rasanya tidak pantas saja menceritakan aib. Tetapi disisi lain tidak enak jika terjebak dalam keheningan. Mada pun tidak tahu untuk membuat topik apa.

“Tidak usah cerita masalah bli kepada tiyang,” Hanyom memecah keheningan. Hanyom merasakan gelagat canggung dari Mada.
“Terima kasih tadi sudah mencegah saya untuk bunuh diri.” Secara reflek Mada menggenggam tangan Hanyom. Senyum manis mengembang dari bibir Hanyom yang dibingkai kumis tipis.
“Tiyang tidak mencegah, tiyang cuma mengajak bli untuk minum kopi bersama, siapa tahu bisa jadi sahabat.” Kali ini Hanyom yang berbalik menggenggam tangan Mada.

Mada jadi semakin tidak enak pada Hanyom yang sudah berbaik hati. Hanyom tidak sekedar menawarkan minum kopi. Persahabatan, yang ditawarkan oleh Hanyom. Fikir Mada sudah jarang ada orang baru pertama kenal ingin menjalin perahabat. Apalagi Hanyom bertemu Mada saat kondisi yang tidak baik, dengan rambut acak-acakkan, baju kumal dan fikiran kacau, terlebih pada saat Mada punya fikiran untuk bunuh diri.

“Saya gay,” ucap Mada begitu saja. Mada menoleh ke Hanyom untuk melihat reaksinya menjadi jijik atau tidak.
“Lalu kenapa?” tanya Hanyom, wajahnyapun datar saja.
“Kamu tidak jijik atau marah atau apa gitu setelah mendengar penyataan saya?” tanya Mada keheranan. Baru ada cowok straight yang biasa saja mengetahui cowok di sebelahnya adalah gay, itu yang ada di benak Mada.
“Kenapa harus jijik? Kita sama punya lolok (penis). Kalau tiyang jijik, berarti tiyang jijik juga sama diri sendiri,” kelakar Hanyom dengan sedikit gelak.

Mada manggut-manggut saja. Terseralah apa kata Hanyom, benak Mada. Setidaknya Hanyom masih bereaksi biasa saja. Kadang ada lelaki normal langsung menghindar jika mengetahui lelaki di sebelahnya adalah gay. Sebenernya itu adalah rasis dalam kalangan pria itu sendiri.

“Aku dipaksa menikah oleh ibu dan ayah,” lanjut Mada menceritakan kisah pilu.
“Pasti hal itu sangat menganggu kamu ya?” tanya Hanyom hati-hati.
“Sangat menganggu. Saya sampai bingung memberi alasan apa lagi, padahal saya tidak tertarik dengan wanita,” balas Mada jadi frustasi lagi.
“Sudah mencoba berhubungan wanita?” tanya Hanyom lagi, dia sedang akan menalisa permasalahan Mada.
Mada mengangguk lemah, tanda sudah pernah berpacaran dengan wanita. “Tetapi sama saja saya tidak ada cinta. Bagimana mau cinta, nafsupun tidak. Seorang cowok biasanya dari nafsu jadi cinta.”  Kali ini Mada bukan lagi frustasi melainkan merana.

Sudah berapa kali Mada mencoba berpacaran dengan wanita. Hal itu dilkukan untuk menyangkal bahawa dirinya bukan gay. Semakin berusaha mencintai semakin hampa rasanya. Mada tidak menerima rangsangan itu. Sentuhan wanita tidak bisa membuat dirinya bergairah, malah menjadi jijik. Bukan itu saja, tetapi Mada merasa dirinyalah yang harus dilindungi. Mada tidak mau repot melindungi orang, apalagi wanita yang dalam benaknya adalah makhluk lemah.

“Kenapa bli tidak coming out saja ke orang tua?” tanya Hanyom dengan enteng sambil menyeruput kopi.
“Mending saya bunuh diri saja tadi kalau itu,” Mada sedikit berjingkat kaget atas pertanyaan Hanyom sesuatu yang mengerikan. “Saya bisa diusir, dimarah-marah, atau bisa juga dicabut hak waris. Saya nggak siap itu semua.”
“Kata siapa mereka akan bereaksi seperti itu?” tanya Hanyom lagi dengan senyum manis. “Itukan hanya asumsi bli saja.”

Mada jadi ragu apa yang telah diucapkan. Apa yang dikatakan Hanyom benar, itu Cuma fikiran Mada saja yang terlalu paranoid dengan reaksi orang tua murka. Mada sudah teracuni oleh film dan ocehan kawan-kawan yang menakut-takuti jika coming out kepada orang tua.

“Belum tentu reaksi orang tua seperti itu,” Hanyom mencoba menenangkan Mada lagi. “Orang tua pasti kecewa tau anaknya gay. Mereka lebih kecewa lagi jika anaknya tidak jujur.”
“Tapi aku takut mereka jadi tidak bahagia,” Mada menimpal dengan cepat.
“Memang bli tahu apa yang membuat mereka bahagia?” tanya Hanyom dengan tangkas memuata Mada tidak berkutik.
“Mungkin mereka bisa bahagia kalau saya menikah,” jawab Mada terbata-bata yang menandakan ragu atas jawabannya.
“Bli sudah tanya sama mereka?” Hanyom kembali bertanya untuk mencari kepastian.

Mada menggelengkan kepala tanda tidak pernah menanyakan. Saat itu pula Mada tersadar jika selama ini Mada seperti jauh dari orang tua padahal tinggal satu atap. Mada terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Setiap pulang kantor langsung masu ke kamar, keluar oada pagi hari untuk sarapan lalu langsung pergi. Mada hanya tau omelan ibu atau ayah yang ingin Mada segera menikah, jadi Mada cuma tau jika pernikahan adalah suatu yang membahagikan orang tuanya.

“Cobalah bli jelaskan pelan-pelan tentang keadaan bli kepada mereka,” ucap Hanyom setelah menarik nafas untuk persiapan penjelasan. “Setelah penjelasan itu bisa saja mereka tidak mengungkit pernikahan lagi.
“Bagaimana sebaliknya jika mereka semakin mengejar saya untuk menikah?” tanya Mada ragu dengan saran yang Hanyom berikan.
“Kamu jelaskan lagi kalau tidak bisa menikah. Bli jelaskan dampak dari pada pernikahan kamuflase akan lebih menyiksa.”
“Apa itu pernikahan kamuflase?” tanya Mada memotong pembicaraan Hanyom.
“Pernikahan hanya untuk menutupi gay,” Hanyom pun membalas dengan cepat. “Bli jelaskan bahwa pernikahan kamuflase pada akhirya tidak sehat secara fisik dan mental. Bli merasa tertekan karena membohongi diri dan orang lain. Gairah sekspun akan berbeda pula, bli melakukan seks karena terpaksa. Bli harus kerja keras untuk “berdiri”,” lanjut Hanyom menjelasan pernikahan kamuflase.
“Saya juga sempat berfikir seperti itu. Saya fikir ulang bukan solusi yang terbaik,” Mada menyetujui penjelasan Hanyom.

Mada memang pernah berfikir untuk menikah kamuflase. Berkali-kali Mada mencoba mendakati cewek yang lesbian yang punya tujuan menikah kamuflase. Tetapi lubuk hatinya mengatakan ini tidak bisa dilakukan karena bagaimanapun juga pernikahan bukan untuk main-main. Sekali memainkan pernikahan sama seperti mempermainkan Tuhan. Menikah kamuflase bagaikan mengingkari janji atas nama Tuhan untuk hidup bersatu dengan tulus, nyatanya pernikahan itu terpaksa dan untuk kepentingan ego sendiri.

“Jadi lebih baik saya jujur?” tanya Mada untuk minta pendapat. Mada memandang lekat Hanyom untuk menyakinkan diri jika keputusannya adalah yang terbaik.
“Kalau menurut bli lebih baik seperti itu ya lakukan saja,” balas Hanyom sambil menggenggam tangan Mada untuk memberi kekuatan.
“Saya nggak tahu ini bisa menjadi lebih baik atau tidak. Setidaknya orang tua tahu keadaan saya,” Mada memang tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi dari kejujuran orang tuanya jadi mengetahui apa yang dirasakan Mada, dari tahu menjadi paham apa yang Mada rasakan, itu yang Mada harapkan.
“Tiyang percaya orang tua bahagia karena melihat anaknya bahagia,” senyum tulus mengembang dari bibir Hanyom, menambah keyakinan untuk Mada untuk melakukan coming out pada orang tua. Mada membalas dengan senyuman. “Bli bisa membahagikan orang tua dengan cara lain, tidak mesti dengan pernikahan,” tambah Hanyom.

Pada akhirnya Mada memang harus coming out kepada orang tuanya. Mada sudah pasrah apa yang akan terjadi. Lebih menyiksa seperti ini, menyembunyikan jati diri dan terus-menerus berbohong. Kata orang kejujuran itu menyakitkan untuk di dengar dan dilihat. Tetapi akan indah pada saatnya ketika sudah ikhlas menerima kenyataan. Tentunya akan menjadi lega.

“Ada satu lagi yang membuat saya frustasi,” ucap Mada setelah menyeruput kopi yang sudah tidak terlalu panas.
“Ceritakan saja lah,” Hanyom masih antusias akan menengaran kisah nestapa Mada.
“Bli tidak bosan?” tanya Mada, karena menurutnya dari tadi sudah teralalu banyak berkeluh kesah.
“Tidak. Mada. Bli perlu menceritakan semunya. Tiyang takut nanti di tengah jalan bli belok ke Uluwatu lagi,” canda Hanyom dibumbui sedikit gelak agar suasana jadi santai.

Mada pun ikut tergelak mendengar canda Hanyom. Sebenarnya Mada juga menertawakan dirinya sendri, begitu bodoh sampai berniat bunuh diri apalagi hanya masalah pernikahan dan di khianati oleh lelaki. Mada merasa sebagai pengecut tidak bisa menyelesaikan masalah, malah melarikan diri.

“Surya mengkhianati cinta saya. Dia berselingkuh dengan lelaki lain,” Mada mememulai curhat sesi dua. “Surya itu pacar saya. Kita sudah jadian selama lima tahun. Lalu saya minta putus”
“Kamu sudah mendengarkan penjelasan dia?” tanya Hanyom. Wajahnya serius meyimak cerita Mada.
“Sudah,” nada Mada semakin pilu. “Kata dia, saya orang yang membosankan,” kali ini bukan sekedar pilu namun jadi merana. Suatu alasan yang menyakitkan.
“Jadi jodoh kamu sama Surya Cuma sampai disitu saja,” Hanyom menanggapi dengan enteng. “Nggak usah disesali atau ditangisi toh dia juga tidak menangisi kamu.”

Mada semakin merasa bodoh lagi. Mada merasa sudah menyia-nyiakan air mata hanya untuk Surya yang sudah tidak perduli lagi dengan dirinya. Mada berfikir apa yang dikatakan Hanyom benar, jika waktu kebersamaan Surya sudah habis. Mada cuma belum terima akhir cinta menjadi menyakitkan.

“Tapi kenapa akhirnya menjadi seperti ini? Saya melihat dengan kepala sendiri dia bermesraan dengna cowok lain,” Mada menceritakan sedikit emosi, karena kembali mengingat kejadian pahit.
Positif thinking saja, hal itu untuk mempercepat bli meninggalkan dia. Tidak ada gunanya lagi mempertahankan orang yang telah menyia-nyiakan kita,”  ujar Hanyom untuk menenangkan Mada. “Ada banyak cara Tuhan untuk mengakhiri hubungan hambanya, meski dengan cara menyakitkan. Tetapi pada akhirnya kita menerima bahwa dia memang bukan yang terbaik untuk kita.”
“Tapi.......” Mada siap memprotes lagi.
Hanyom segera mencegah protesan Mada. “Nggak ada tetapi.” Telunjuk Hanyom menyentuh bibir Mada yang masih menganga karena omongannya terhenti. “Tuhan sedang mempersiapkan orang yang lebih baik dari Surya untuk kamu,” tandas Hanyom sambil memberikan senyum terbaiknya.

Apakah orang itu Hanyom? Itu yang ada di dalam benak Mada. Hanyom begitu hangat menerima Mada. Belum lagi Hanyom orang yang tenang dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Mada menyukai sikap Hanyom yang mampu menjadi pendengar setia. Hanyom yang berkulis eksotis, meski tidak cakep tetapi punya kharisma yang membuat menarik. Ketenangan dan kenyaman itu yang dirasakan Mada saat ini berada di dekat Hanyom.

Mada kembali menyeruput kopi yang sudah adem. Mada sudah jauh merasa lebih tenang dan siap untuk menghadapi hari esok. Segelas kopi dan teman cerita yang menyenangkan sudah Mada dapatkan.

Mada menjadi kikuk ketika Hanyom lekat-lekat mengamati Mada. Tatapan Hanyom membuat Mada salah tingkah. Mada jadi celingak-celingkuk mengamati dirinya barang kali ada yang salah.
“Kamu minumnya belepotan, ini jadi hitam.” Jari-Jari Hanyom menempel bibir untuk menyeka ampas kopi. Setelah itu pandangan Hanyom masih belum beranjak menatap Mada yang semakin salah tingkah. Tanpa membuang waktu lagi bibir Hanyom melumat bibir Mada.

Mada tidak berkutik. Mada menikmati sentuhan antar bibir. Semoga ini menjadi awal yang baik, batin Mada.


Saturday 25 July 2015

Cerpen: Kamu atau Dia?

pic dari serial Like Love

Halim dari tadi heran melihat Utari bolak-bali dihadapannya. Wajah Utari pun tampak gelisah. Halim punya firasat buruk jadi untuk lebih aman Halim lebih memilih tidak menghiraukan kelakuan Utari.

Sudah lebih dari sejam Utari tanpa bicara melakukan hal aneh, duduk depan Halim lalu memandang lekat ingin mengatakan sesuatu tetapi membatalkan kemudian pergi menyibukkan diri. Tidak lama kemudian datang lagi dengan kelakuan yang sama pula, berulang-ulang kali.

Halim tidak mau menegur karena sekalinya menyapa, ocehan Utari akan merepet kemana-mana belum lagi volume suaranya bisa sampai lima oktaf dengan suara yang sumbang membuat kepala serasa akan pecah. Halim sudah hafal betul kebiasaan istrinya bila sedang senewen. Jika masalah yang dibahas fokus tidak mengapa, seringnya akan menjadi panjang lebar.

“Kenapa kamu Utari?” akhirnya Halim melontar pertanyaan itu karena sudah jengah dengan tatapan Utari yang tampak menuduh.
“Nggak ada apa-apa,” balas Utari sambil ngeloyor.

Halim kembali sibuk dengan kerjaannya menulis naskah. Tidak ada waktu lagi untuk mengurusi Utari yang sedang gelisah. Deadline sudah menunggu apalagi produser sudah mengejar-ngejar. Akan tetapi kelakuan Utari juga membuat kosentrasi Halim buyar.

“Dari tadi bolak-balik terus ada apa?” Halim menanyakan kembali ketika Utari duduk di depannya.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Utari ragu dengan gelengan yang lemah. Matanya masih menatap Halim dengan lekat.
“Jangan bohong. Ngomong aja,” desak Halim yang sudah menghentikan aktifitas ngetik. “Bilang saja jika ada masalah.”

Utari hanya mendengus kesal lalu meninggalkan Halim yang melongo atas tingkah Utari. Di kamar Utari mengambil beberapa foto dari kardus yang diterima dari pak Pos. Utari terpekur memandang foto itu, hatinya terhenyak melihat kenyaatan pahit. Waktu ini yang tepat untuk menuntaskan masalah.

Utari sudah di hadapan Halim lagi sibuk mengetik. Hembusan nafas kuat dari Utari untuk membeluatkan tekat. Plak....suara selembar foto yang sengaja dilempar Utari di meja.

“Ini siapa?” tanya Utari dengan nada menyelidik dan galak.

Halim melongok ke arah foto yang tergeletak di meja. Meski terkejut Halim berusaha tenang seakan bukan masalah besar, padahal ini adalah ancam rumah tangga. Ada gambar dirinya dan seorang pria ganteng tampak seumuran. Halim mengenal dia.

“Kamukan tahu dia,” jawab tenang Halim tanpa menoleh Utari.
“Iya. Aku tahu dia adalah Bara, artis, aku penggemar sinetronnya.
“Nah tuh tau....jadi ngapain kamu tanya lagi.” Halim kembali berkutat dengan kesibukannya.
“Yang aku maksud, hubungan kamu dengan Bara itu apa?” tanya Utari masih galak.
“Teman,” Halim membalas dengan singkat dan berusaha datar agar Utari tidak menebak-nebak lagi.

Plakk!! Suara foto yang menyentuh meja terdengar lagi. Tangan Utari masih menindih gambar. Halim tidak bisa melihat gambar itu dengan jelas. Halim sudah pasrah apa yang akan terjadi.

“Ini yang nama teman?” Tangan Utari terangkat sehingga terlihat jelas foto Halim sedang bersandar di bahu Bara degan mesra. “Mana ada cowok sama cowok yang ngakunya teman tetapi terlihat mesra seperti itu,” ucap Utari sinis, matanya melotot.
“Sahabat,” ralat Halim yang sudah berkeringat dingin. Halim melihat di tangan Utari masih ada foto lagi. itu pasti senjata utamanya.
Mimik Utari semakin sinis ada seulas senyum mengejek, matanyapun seakan memandang rendah suaminya. “Sahabat?” tanya Utari mencari penegasan.

Foto terakhir sebagai pamungkas melayang dan jatuh tepat di hadapan Halim. Begitu tergeletak di meja, Halim tercenung melihat foto itu bergambar adegan mesra ciuman bibir. Halim dan Bara sedang selfie berciuman setengah bugil di depan cermin. Halim tidak dapat berkutik lagi melihat foto itu, Halim pun tidak berani memandang Utari sudah pasti sedang membara hatinya.

“Kamu dapat dari mana?” tanya Halim pelan dan hati-hati.
“Tadi siang ada pak pos datang kesini kasih paket ini,” jawab Utari ketus.

Halim kembali diam karena sudah merasa terpojok dan sudah jelas jadi tersangka kasus perselingkuhan. Halim bukan selingkuh dengan wanita melainkan dengan pria bisa dikatakan Halim adalah gay. Diamnya Halim  membuat Utari geram suaminya tidak berusa menyangkal atau mencoba meluruskan permasalahan. Utari penasaran apa yang akan diucapkan Halim sebagai pembelaan.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Utari penasaran sambil duduk di seberang Halim.
“Hhhmmmm,” Halim menggumam ingin mengatakan sesuatu tetapi masih ragu. “Aku lagi bingung.”
“Bingung kenapa?” Utari jadi ikut bingung. Halim yang biasanya langsung bisa menjelesakan permasalahan malah bingung.
“Ya..... Rese aja tukang posnya. Koq bisa ember banget gitu. Sudah tau itu rahasia orang koq dibeberin juga. Maunya apa coba dia?” cerocos Halim mengkambing hitamkan tukang pos yang tidak salah apa-apa. Belum lagi gaya ngomongnya macam ibu-ibu di pasar yang sedang ngedumel sama penjual sayur.

Gubrag!! Utari terperanjat kaget, dagu yang disangga tangan sampai lemas sehingga menjadi limbung, hampir saja terjatuh. Utari mencoba bersikap tenang, mungkin ini hanyalah strategi Halim untuk mengacaukan jalan pikiran. Maklum saja Halim adalah script writer pasti dia pandai berkilah, membuat jalan cerita yang diinginkan.

“Jadi sejak kapan kamu berhubungan dengan Bara?” Utari membuat topik baru dan tidak menghiraukan lagi Halim yang menuduh tukang pos sebagai biang onar.
Halim menggaruk kepala yang tidak gatal. Mencoba mengingat awal mula perjumpaan dengan Bara. “Kira-kira empat tahun lalu sih.”
“Itu kamu sudah jadian empat tahun lalu itu?” Utari kembali fokus mengintrogasi Halim.
“Empat tahun lalu ketemunya. Tahu kan pas aku garap proyek filmnya dia yang judulnya Teman Pria mencintai Lelaki,” Halim mulai menjelaskan awal pertemuannya. “Pas ketemu dia OMG ganteng banget si Bara.”
“Emang ganteng,” timpal Utari sambil membayangkan paras Bara yang blasteran Arab dan Bule.
“Awalnya aku cuek aja. Eh dia malah deketin aku terus, katanya aku manis dan lucu.” Halim senyum dengan bangga.
“Lanjutin lagi donk, skip langsung kamu jadian,” ujar Utari layaknya ibu-ibu rumpik.
“Setelah proyek itu kita masih sering ketemu karena PH ku sama dia sama. Eh tau-tau dia nembak pas tiga tahun lalu.” Mata Halim semakin berbinar-binar.
“Icchhh bego dech....koq mau-maunya dia sih pacaran sama orang jelek kayak kamu.” Mulut Utari monyong karena iri suaminya mendapatkan lelaki yang terlihat sempurna secara fisik.
 “Kamu lebih bego, sudah tahu aku jelek tapi masih mau dinikahin juga,” celetuk Halim pelan tetapi terdengar juga oleh Utari.

Mendengar ucapan Halim membuat Utari sadar akan pokok permasalahan. Utari jadi meradang karena selama ini Halim sudah selingkuh terlebih dulu dengan Bara. Dua tahun penrnikahan, Halim bermain cumbu dengan Bara. Sempurna sekali Halim menutupi kebejatannya. Utari pun jadi semakin terlihat bodoh, selama masa pacaran tidak mengetahui kelakuan Halim.

“Selama ini kamu selingkuh?” gertak Utari, matanya melotot. “Kamu tega Halim!!!” Utari berang melihat Halim yang tampangnya lempeng saja.
“Aku nggak selingkuh Utari,” bela Halim tenang. “Bara itu bukan selingkuhanku,” Halim mengatakan tegas pada kata bukan.
“Lantas apa? Selama ini kamu diam-diam berhubungan sama Bara. Apa itu bukan selingkuhan?” Utari tidak memahami apa yang dikatakan suaminya. Apalagi dengan tegas menampik kalau Halim tidak selingkuh.
Halim mengambil nafas panjang untuk persiapan penjelasan yang lebih jelas. “Aku berhubungan dengan Bara sebelum kita menikah. Jadi kamu yang jadi selingkuhan.” Tangan Halim menunjuk-tunjuk ke arah Utari. Kali ini Halim berbalik ketus.

Bagi Halim, Utari merupakan benalu hubungan antara Halim dengan Bara. Sekuat tenaga dan secerdik akal Halim berusaha menutupi hubungannya dengan Bara di mata Utari dan lainnya. Utari hadir disaat Halim bingung atas desakan orang tua yang menginginkan cepat menikah.

“Kamu tega Halim!!” pekik Utari frustasi. “Kamu mempermainkan aku dan memperalat ku!!” Derai air mata membasahi pipi.
“Siapa yang tega?” Halim ikut terpancing emosinya. “Kamu sendiri yang meminta untuk aku menikahimu.”
“Gitu ya?” Utari malah bingung sendiri mencoba mengingat kejadian lampau. “Mungkin waktu itu aku khilaf.” Utari masih menjaga gengsinya.
“Waktu itu kamu datang ke kostku sambil nangis abis dicampakkan oleh Naraya. Tiba-tiba saja kamu malah melamar aku,” jelas Halim dengan santai. “Tadinya aku nggak yakin kamu serius. Aku juga mikir nggak ada salahnya juga sih nikahin cewek mumpung ada yang mau dan datang dengan sendirinya.”
Utari menghela nafas panjang. Memikirkan kebodohannya di masa silam. Waktu itu memang fikirannya sedang kacau tetapi sekarang baru menyadari ulahnya waktu lampau malah membuat petaka kehidupan saat ini dan masa depan. Utari menghempaskan diri kepada lelaki homo yang sekarang sudah jadi suaminya. Benar-benar bodoh dalam benak Utari.

“Tetap saja kamu memanfaatkan aku,” Utari menangis putus asa. Ucapannya juga terputus-putus.
“Aku tidak memanfaatkan kamu Utari,” Halim mencoba berkilah kembali, dalam lubuk hatinya juga merasa menyesal. “Aku menyukaimu juga tetapi maaf aku belum bisa mencintaimu.”
“Gimanapun juga kamu memperalatku, demi statusmu!” Meski sudah tidak melelehkan air mata. Suara Utari masih terdengar tersendat.
“Terserah kamulah, aku tidak mau mendebat. Meski terlihat kamuflase tetapi aku ikhlas menikahimu Utari. Aku tidak tega melihat kamu terluka oleh lelaki brengsek itu,” Halim mencoba menenangkan Utari dengan kata manis. “Semua lelaki itu sama, brengsek. Aku juga pernah digutiun. Tingkahnya aja manis kayak kucing ke majikannya jika ingin sesuatu,” gaya biacara Halim berubah kembali layaknya ibu-ibu sedang rumpik di arisan. “Tapi aku malah didepak gitu aja kalau dia udah nggak mau lagi.”
“Iya tuh bener. Aku pikir Naraya bakal berebeda ternyata dia sama aja penjahatnya seperti Trianto, Vabi dan lain-lain,” pandangan Utari kosong mengingat deretan nama mantan-mantannya.
“Jadi aku lelaki yang keberapa?” tanya Halim santai. “Aku inget, kalau kamu putus selalu aja larinya ke aku. Meski Naraya yang terakhir aku inget ada Kiki, Jimah, Ian terus siapa itu yang banyak jerawatnya?”
“Hhhmmm Alinski? Nggak tau dech kamu keberapa. Tetapi kamu yang baik mau menerima aku apa adanya. Kamu juga selalu bersedia jadi tempat sampahku dikala aku sedih. Kamu juga berani langsung mengiyakan ketika aku minta dinakahin.” Utari memeluk Halim layaknya seperti persahabatan antara kedua cewek. “Sayangnya kamu gay Hal.”
“Gini ya cinnn,” gaya Halim berubah menjadi genit seperti para gay sedang rumpik, hebohnya ngelebihin ibu-ibu arisan. “Ada ungkapan kalau cewek dan cowok sahabatan yang terbaik adalah cowoknya gay karena nggak bakal cemburuan malah jadi kompak waktu ngerumpiin cowok dan menggalau ria. Tapi bisa jambak-jambakkan juga sih rebutan lakik”

Utari kembali teringat masalah yang sekarang dihadapi. Pelukan hangat disudahi dengan paksa. Utari melempr Halim begitu saja dan segera mengusap badannya seakan jijik telah dipeluk oleh lelaki jorok. Arrgghhh!!! Utari masih merasa nggak habis fikir telah dinikahi oleh lelaki gay macam Halim. Memang Halim baik tetapi hanya sebagai sahabat saja.

“Aku nggak rela Hal. Kamu selingkuhnya sama cowok.” Utari mengembalikan lagi pada pembahasan selingkuh.
“Terserah kamu mau menganggap aku selingkuh atau tidak,” Halim sudah merasa kesal permasalah ini pasti akan memutar terus, sesuai dengan dugaannya.
“Aku rela diselingkuhin sama cewek. Masa aku saingan sama cowo juga. Apa aku perlu operasi plastik biar bisa ganteng macam dia?” Utari mendengus kesal.
“Aku mencintai dia bukan karena ganteng,” jawab Halim enteng, hal itu untuk mengelabuhi Utari. Padahal kegantengan Bara salah satu daya pikat yang membuat Halim suka. Ya iyalah namanya juga aktor laga pasti ganteng dan gagah, nggak mungkin donk disia-siakan begitu saja.
“Kamu jangan naif Halim, orang begopun mau sama dia karena kegantengannya. Apalagi kamu masih waras,” Utari masih nyerocos nggak jelas dan menganggap Halim telah berbohong, mana ada cowo ganteng gitu disia-siakan.
“Kalau aku orang pintar aku ke dukun buat pelet dia, puas!!” Halim menggentak Utari. Emosi Halim sudah di puncak ubun-ubun.

Bagi Utari mending Halim berslingkuh dengan cewek hal itu akan menjadi persaingan sehat. Utari bisa termotifasi untuk tampil lebih cantik lagi. Selain itu Utari juga bisa bisa lebih “menservice” Halim. Tetapi ini malah saingan sama cowok, masa Utari mau dibikin ganteng, nggak mungkin gitu juga kan.

“Aku nggak habis fikir. Kamu pasti menyukai lelaki. Aku nggak tau harus bagaimaa bersaingnya, dari rasa lubangnya juga sudah berbeda.” Utari makin frustasi.
“Siapa bilang aku nyicipin lubangnya dia, salah!!! Aku itu bottom.” Telunjuk Halim goyang kanan kiri di depan muka Utari, wajahnya juga penuh kemenangan dan bangga. “Tau gak? Aku yang “dicucus” sama dia,” bisik Halim seperti sedang bergosip dibumbui senyum bangga.
“Gitu ya?” Utari hanya mangangguk. “Terus sakit gak?” Dahi Utari mengernyit membayangkan betapa sakitnya bila yang dibelakang “ditusuk”.
“Awalnya aja sakit. Lama-lama jadi enak banget.” Mata Halim berbinar-binar membayangkan saat “bergumul” dengan Bara. Halim dan Utari cekikian bersama.
“Punya dia besar ya?” tanya Utari penasaran. Sekarang malah jadi acara tukar informasi macam acara bergosip ria.
“Nggak besar sih tapi service dia memuaskan banget. So hot!!” umbar Halim yang masih terpesona dengan Bara yang pintar “bermain di ranjang”. Halim mengekspresikan gregetan, tangannya mengepal dan matanya terperjap-perjap.
“Aduh jadi pengen dech.....,” Utari merajuk sambil ngusel-ngusel Halim.
“Heh itu pacar gue!!” Halim menepis Utari dengan galak.
Utari kembali tersadar bahwa ini bukan acara gosip dengna kawan-kawannya. “Emang kamu siapa? Kamu juga suami saya!! Jadi yang berhak pakai kamu adalah saya!” Nada suara Utari kembali meninggi, terpancing kembali emosinya.

Sebenarnya Utari sudah putus asa mengetahui ternyata suami yang sudah dua tahun dinikahi bukan “lelaki sejati”. Bagi Utari yang orang awam menganggap role sex bottom tidak ada bedanya dengan dirinya yang wanita tulen. Sungguh hati Utari tersayat-sayat, telah dinikahi oleh pria yang salah.

“Sudahlah aku tidak ingin meneruskan lagi, aku capek” Utari menyerah pada diskusi yang menguras tenaga dan emosi.
“Lalu mau kamu apa?” tanya Halim untuk mengakhiri perdebatan. Halim sudah lega karena telah coming out pada istri bahwa dirinya gay.
“Entahlah.... bagiamanpun juga kamu masih suamiku, meskipun kamu lelaki gay.” ucap Utari sangat merana.
“Nggak apa-apa aku gay yang pentingkan nafkah lahir batin terpenuhi,” bisik Halim pelan. Halim pikir perkataan itu bakal membuat Utari semakin tenang.
“Nafkah lahir memang aku dapatkan. Tapi nafkah batin nggak tuh,” ujar Utari dengan nada mengejek.
“Setiap kali kita bercinta kamu selalu oragasm kan? Apa itu tidak memuaskan?” Halim membela diri bahwa dirinya bisa menjadi lelaki sejati.
“Pura-pura. Aku capek ngeliat kamu berusaha biar “on”, jadi mending cepat disudahi saja.” Ternyata Utari punya argument sendiri untuk menampik omongan Halim.

Permasalahan rumah tangga tidak hanya urusan komitmen, bisa lebih dari itu termasuk urusan ranjang. Sampai saat ini Halim dan Utari belum dikaruniai anak. Meski terdengar sepele padahal ini sangat penting, gimana punya anak urusan ranjang aja nggak becus. Selama ini Halim terpaksa melayani hasrat seks istrinya yang besar. Tanpa sepengetahuan Utari, Halim meminum obat-obatan agar bisa “bangun”. Sungguh nestapa menjadi pria gay.

Halim dan Utari duduk terdiam sambil memikirkan rumah tangganya yang diambang kehancuran. Halim memikirkan tidak bisa dijalani terus seperti ini, menjadi orang yang palsu menyukai perempuan. Halim merasa sudah lelah terus berpura-pura. Tetapi Halim juga tidak ingin mengakhiri pernikahannya, demi status pria sejati. Halim sudah ikhlas ketika Bara minta putus, dan itu keputusan yang tepat untuk memulai membangun rumah tangga yang normal.  Utaripun sama memikirkan pernikahannya yang telah teramat kecewa suaminya bukanlah “lelaki sejati”. Pernikahannya telah berantakan tetapi tidak ingin diakhir begitu saja. Demi status wanita sempurna punya keluarga kecil bahagia.

Bunyi bel tanda ada tamu berkumandang dengan nyaring memecahkan keheningan, rumah yang suram. Halim segera beranjak menemui tamu. Untunglah ada penyelamat tamu bisa sejenak melupakan masalah yang sedang membelit, itu fikir Halim.

Halim membuka pintu dan terkejut di hadapannya ada Bara. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Halim dengan berbisik agar Utari tidak mendengarkan.
“Aku mau minta maaf,” ucap Bara dengan tulus.  “Aku nggak mau putus sama kamu.” Bara memohon dengan menggenggam kedua tangan Halim.
“Sudahlah.... kamu sendiri yang minta seperti itu putus. Kamu beralasan ingin menjaga reputasi, aku hargai itu.” Halim mencoba jual mahal tidak ingin dianggap sebagai  gay gampangan. Sikap itu juga ditunjukkan sebagai rasa serius untuk menyelamatkan pernikhannya.
“Ternyata aku salah. You only one for me, aku tidak bisa menemukan pria sebaik kamu Halim,” ucap Bara dengan iba.

Belum lama ini Bara memutuskan Halim untuk menyelamatkan reputasinya sebagai aktor terkenal. Infotaiment sudah mulai mengendus bahwa Bara adalah homoseksual. Demi karirnya Bara mencampakkan Halim. Awalnya Halim tidak mau tetapi setelah dipikirkan kembali mungkin itu keputusan yang baik untuk suatu perubahan besar bagi dirinya.

“Ada siapa Halim?” tanya Utari sambil mendekat. Belum sempat Halim menjawab, Utari sudah mengetahui siapa yang datang.

Utari sempat tercenung melihat kehadiran Bara di rumahnya. Halim segera menghempas genggaman tangan Bara. Keduanyapun membeku melihat apa yang dilakukan Utari selanjutnya. Mereka menyiapkan diri jika Utari menjadi kesetanan marah-marah. Mata Utari terlihat garang, nafasnya juga tidak teratur, wajahnya merah padam seperti orang sedang murka.

“Huaa......ada Bara.....” Utari histeris sambil buru-buru menghampiri Bara. “Aku ngefans banget loh sama mas Bara. Hampir semua sinetron aku tonton yang ada mas Bara. Aslinya ganteng banget ya.” Utari menyubit pipi bara yang tepinya ditumbuhi jenggot tipis.

Halim dan Bara tercenung melihat tingkah Utari. Perkiraan mereka meleset, Utari malah girang melihat kedatangan artis pujaannya. Utari merasa eksklusif karena ada artis yang datang ke rumah meskipun artis itu yang menghancurkan rumah tangganya.

Acara terkagum-kagum berakhir ketika Bara tersadar untuk menyelesaikan masalah. Bara menepiskan tangan Utari yang masih meraba pipinya. “Halim.....jangan putuskan aku.” Bara kembali mohon. “Empat tahun sudah kita lewat kamu tega mengakhiri begitu saja.”
“Tapi Bar...... kenapa kamu melakukan itu disaat aku sudah mengikhlaskan kamu. Sekarang kamu hadir lagi,” Halim mulai goyah pendiriannya.

Utari jadi sadar kembali yang dihadapannya bukan lagi artis yang digemari melainkan lelaki yang merebut suaminya. Wajah Utari kembali menjadi bengis siap mencabik-cabik Bara.

“Halim ini suamiku!!” Utari menyela diantara Halim dan Bara tangannya terbentang seperti memberi perlindungan pada Halim.
“Halim itu pacarku!!” Bara jorogin Utari ke samping hingga Utari hampir terjatuh.
“Bukan!!! Dia itu suamiku. Kamu tidak berhak mendapatkannya.” Utari menarik satu tangan Halim yang terdekat.
“Aku lebih dulu memacarinya jadi aku yang berhak mendapatkannya!!” Bara pun menarik tangan Halim salah satunya.

Halim merasa terjebak pada skenario yang pernah ditulis untuk sebuah sinetron. Saat ini memang sedang terjadi adegan khas sinetron. Bila di layar kaca adegan dua wanita merebutkan satu pria. Namun sekarang adegan itu wanita dan pria merebutkan satu pria. Halim jadi bingung sendiri. Bara pria yang dicintai selama empat tahun, sudah banyak kenangan indah yang dilewatkan. Sedangkan Utari adalah masa depannya. Badan Halim terhuyung ke kanan dan ke kiri mengikuti tarikan Utari dan Bara.

Tangan Halim menghempaskan cekalan Bara dan Utari. Kedua orang itu terpaku melihat mimik Halim yang terlihat murka. Baru kali ini mereka melihat Halim pasang muka horor.  “Sudahlah kalian nggak usah ribut terus,” pekik Halim semakin mengaggetkan Bara dan Utari.
“Kamu harus pilih?” desak Bara.
“Aku atau dia?” tambah Utari sambil menunjuk Bara.
“Arrghhh aku pusing.” Halim menepuk keningnya sendiri bingung memilih diantara keduanya. “Terseraah kalianlah kalau mau berantem. Aku pusing kerjaan belum kelar.” Halim ngeloyor masuk ke dalam rumah untuk kembali menyelesaikan pekerjaan.

Utari dan Bara hanya bisa bengong melihat Halim yang meninggalkan keputusan untuk memilih salah satu diantara Utari dan Halim. Fikiran Halim melayang sebenarnya sinetron yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, atau kehidupan sehari-hari yang mencontek sinetron?


TAMAT

Thursday 23 July 2015

Coming Out

pic dari screen shoot serial Conq

Kuliah siang ini gue semangat banget karena bakal ketemu lagi sama dosen kece macam mas Jajang. Kita panggil mas emang maunya dia yang masih sok berjiwa muda. Sebenernya dia beneran masih muda, kelihatan lakik dengan potongan rambut cepak, jelana denim sedikit sobek di lutut dan kemeja pas bada, bisa bayanginkan niple dia tercetak jelas. Dia emang dosen Antropologi yang suka bertualang di pedalaman Indonesia. Setiap gue masuk kelas yang ada gue ngebayangin ikut bertualang bareng dia, bisa mandi di kali kecil yang jernih, tidur berdua di tenda yang sempit, dan aktifitas “outdoor” lainnya. Kelas ini pula membuat gue melupakan sejenak kegagahan aa Iw.

Setelah ngikutin kelas yang bikin horny dan butung (kenyang akibat minum) nelen air ludah gara-gara liat niple mas Jajang gue dan Bin mampir kantin. Nggak cuma berdua sih, ada pula Nad sahabat pere (perempuan) kita yang sudah anoying dengan kehomoan kita. Gue nggak ngerti dia antara menerima atau nggak, abisnya dia suka kelewat kepo tentang aktifitas homo dia juga doyan ngejudge kalo homo itu bla bla, sudahlah biarkan Nad berkreasi. Sebenernya masih ada 3 pere yang jadi sahabat kita lagi tetapi mereka nggak ikut gabung karena sedang sibuk filtring mas Jajang. Ban juga hadir loh, dia udah di kantin dari tadi karena tadi dia abis nemuin HTS (hubungan tanpa status)annya.

Seperti biasa gue langsung pesan tempe dan telor penyet tambah nasi dan air putih, maklum akhir bulan, perlu penghematan ektra ketat. Siang ini kantin cukup penuh diisi oleh mahasiswa yang sedang kelaparan dan kegantengan macam Bin yang terbar pesona senyum sana sini. 

“Eh ada gosip hot fresh from biang gosip Mada,” ucap Nad dengan suara lirih. Membuat kita saling mendekat agar bisa mendengar berita lebih jelas. “Kalian tau Dee kan? Anak kelas B.” Nad memberi prolog terlebih dahulu. Gue dan Bin langsung mengangguk sedang Ban menggeleng karena dia emang nggak kenal. “Dia ternyata gay!” bisik Nad tetapi dengan ekspresi dihebohkan.

Gue dan Bin langsung menjauh lagi kembali pada posisi duduk normal. Itu adalah berita basi, sumpah nggak update banget. Ban masih saja melekat pada wajah Nad karena dia masih interest sama gosip yang menurut Nad itu masih fresh. Sebeneranya Ban lebih tertarik siapa itu si Dee, cowok macam apakah? Bisa diprospek untuk jadi pacar atau nggak.

“Itu kabar kadaluarsa Nad,” ucap gue dengan santai sambil menyomot tempe panas.
“Dari pertama gue masukpun gue udah tau dia jenis lekong sekong,” cibir Bin dengan bangga gaydarnya yang kuat.
 “Tapi kalian belum tau kan kalau tadi pagi dia coming out,” Nad memberikan suatu berita yang emang hot. Gue dan Bin kembali mendekati Nad yang kali ini tampak puas membuat kita penasaran. “Dia bikin status “I’am a Gay” di Facebook, Path, Insta dan Twitter.”
“Gila juga ya tuh anak secara gamblang ngakuin kalau dirinya gay,” cetus Ban agak terpesona dengan keberanian Dee.
 “Terus sekarang Dee mana? gue jadi pengen introgasi,” kali ini Bin jadi antusias untuk melengkapi gosip ang setengah matang.
“Eh iya kenapa dia bisa coming out ya?” Ban masih terpesona atas keberanian Dee.

Biar gue jelasin dulu apa makna dari coming out, yaitu elo mendeklarasikan “I’Am A Gay” kehadapan khalayak umum. Intinya adalah elu sudah nggak malu-malu atau menyembunyikan kehomoan elu di masyarakat atau dari orang sekitar elu. Caranya bisa bikin pengumuman di sosmed yang  elu punya. Mau lebih ekstrim juga boleh elu pakai TOA terus berorasi kalau elu bangga jadi gay di perempatan jalan, dijamin elu bisa rajam sama ormas anarkis. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani coming out.

“Terus kalian kapan mau coming out?” tanya Nad dengan enteng
“Nggak usah coming outpun sebenernya orang-orang sudah tahu kalau Bin itu homo,” gue nyentil Bin dengan nada mengejek.
“Bener banget tuh, elu tuh ya Bin diem aja orang sudah ngira elu homo,” tuduh Nad  dengan senyum puas. “Coba aja elu tanya siapa aja yang disekitar elu, pasti merekapun akan menebak emang gay.”
“Gaya mu loh yang so binan,” tambah Nad cuek sambil nyeruput jus apel.
“Emang ada yang salah ya sama gaya gue?” Bin memperhatikan badan sendiri, wajahnyapun ikut bingung.
“Dari baju aja sudah rainbow gitu warna warni cetar. Belum lagi pakai tas besar dicangklong dengan ketiak elo kayak ibu-ibu sedang ngempit dompet jalan-jalan di pasar.” Gue menunjuk apa yang melekat pada diri Bin. Ban dan Nad cuma senyum-senyum geli.
“Elu kalau ngomong sudah heboh,” imbuh Nad sambil bergaya ngondek.
“ Koq jadi gue yang objek penderita,” keluh Bin kesal pada gue dan Nad.

Kalau elu perhatikan Bin lagi diem aja deh pasti yang punya gaydar kenceng sudah langsung menebak kalau Bin itu homo. Orang-orang straightpun bisa mengaggap kalau Bin itu homo walau masih ada keraguan. Gue nggak perlu jelasinkan gimana cowok bisa keliatan so gay, karena gue tau kalian semua homo expert yang bisa menilai tuh lakik homo atau bukan. Sekarang lupakan sejenak mengenai Bin yang kelihatan homonya.

“Gue masih belum ada kepikirian buat coming out,” cetus Ban sambil bergindik membayangkan dirinya di bully. “Gue aja belum yakin kalau gue itu homo.”
“Belum yakin homo tapi malah ketagihan ngewek sama lakik,” celetuk Bin dengan sengit.
“Gue nggak ketagihan, tapi emang dapet rejekinnya gitu masa gue tolak,” kilah Ban dengan tangkas. “Masih mending gue donk belum ngeluarin steatment gue bukan gay. Dari pada elu kalau ditanya orang ngakunya bukan gay tapi gonta ganti lakik,” 
“Gue nggak berani nanggung resikonya kalau terang-terangan pengakuan dosa gue gay,” balas Bin pada Ban dengan lirih.
 “Masyarakat belum banyak yang menerima gay ditengah-tengah mereka,” Ban menyuarakan isi hatinya. “Pasti akan ada bully dari masyarakat normal atau gay yang pura-pura normal. Gue nggak sanggup menghadapi itu.”
“Elu bisa lihat sendiri kan? Bully itu terjadi pada Dee,” gue menunjuk kasus bully terhadap gay yang coming out. “Barusan gue cek di Facebook-nya banyak banget yang ngata-ngatain dengna kasar.”

Beginilah tinggal di Indonesia yang masih belum bisa menerima keberadaan gay. Kita yang gay, kalian aja dech  yang gay guekan bukan, gue hanyalah lakik yang mencintai aa Iw dan terpesona pada lelaki setengah mateng, never mind. Para homo di sini belum begitu berani mengungkapkan jati dirinya yang suka sesama jenis di masyarakat karena mereka nggak tahan gunjingan yang bakal dihadapi bertubi-tubi sepanjang hidupnya. Elu bisa bayanginkan dibully sejam aja bisa nangis kejer, apalagi bertahun-tahun.

Kenapa bisa dibenci masyarakat? Kerena gay punya sterotype negative dibenak masyarakat. Gay adalah suatu yang menjijikan bagi masyarakat normal, gimana bisa sesama jenis berhubungan badan. Kalau mau dicermati masyarakat itu bodoh, ya wajar donk berhubungan sesama jenis, manusia berhubungan dengan manusia nggak salah kan? Masih dalam satu jenis manusia. Lelaki juga adalah bagian dari manusia yang diberkahi kenti dan buah zakar. Jadi apasalahnya jika ada gay. Sungguh sangat menjijikan dan diluar kewajaran jika manusia berhubungan dengan kuda yang merupakan beda jenis alias hewan.

Masyarakat juga menganggap gay sebagai penyakit masyarakat, dimana prostitusi juga banyak dikalangan gay dengan menjadi kucing. Belum lagi dengan acara pembantaian yang dilakukan oleh kaum gay psikopat. Ada pula orang gay dianggap membawa kutukan di tengah masyarakat. Semua itu berasal dari media yang membuat pemberitaan negatif. Coba aja kita liat di berita mana aja, gay itu pelaku kriminal. Agenda setting seperti itu membentuk opini public bahwa gay adalah otak kriminal.

“Kalau gue belum siap aja, gue masih mikirin keluarga,” ucap gue merana. “Pasti donk keluarga bakal kecewa banget. Gue belum siap jika mereka nggak menerima gue yang gay.” Gue jadi membayangkan adegan ala sinetron ada pengusiran yang dilakukan oleh orang tua karena anaknya homo.
“Bener banget tuh. Gue nggak bisa bayangin kalau bokap ngusir gue,” Bin menyetuji pernyataan gue.
“Lah bukannya elu sudah dibuang ke Jogja itu bentuk pengusiran, Bin,” kelakar Ban menggoda Bin yang tampak serius. Gue dan Nad ikut tergelak mendengarnya.
“Maksud gue itu. Gue diputus kontrak sebagai anaknya bokap. Belum lagi nama gue dicoret dari daftar waris,” Bin mendengus kesal.
“Gue anak lakik satu-satunya. Gue adaalah harapan mereka untuk menurunkan trah kebangsawanan. Kalau gue ngaku gay bisa aja bokap nyokap nangis-nangis darah meratapi anaknya yang gay dan nggak bisa melanjutkan nama kebangsawanannya.” Suara Ban terdengar pilu saat mengutarakan ceritanya. Pasti suatu yang berat menggendong tanggung jawab yang besar dengan membawa nama besar keluarga.
“Itu baru dari keluarga inti. Kita hidup komunal dengan keluarga besar. Apa jadinya kalau orang segambreng itu tau kita adalah gay. Penghujatan bukan untuk diri kita yang sudah siap tapi akan berlaku juga pada orang tua kita. Pasti keluarga besar akan lebih menitik beratkan pada orang tua kita yang dianggapnya nggak becus dalam mendidik anaknya sehingga menjadi homo.” Gue menjelaskan panjang lebar, kegelisahan yang akan gue hadapi jika sampai keluarga besar tahu kalau gue adalah gay.

Keluarga adalah orang terdeat kita, terutama orang tua pasti akan merasa bersalah sekaligus kecewa. Mereka menganggap dirinya gagal mendidik anaknya. Jika mereka belum siap menerima kenyataan pasti akan akan terjadi hal buruk menimpa sianak yang gay. Anak itu juga pasti belum siap jika orang tuanya murka. Nggak mau jugakan elo dicoret dari daftar waris?

“Selain itu pasti kita akan menerima diskriminasi dari lingkungan terdekat kita entah di sekolah, kampus atau tempat kerja,” Bin menambahkan lagi dampak jika gay melakukan coming out.
“Dosen akan lebih sering menggunjing mahasiswanya yang gay. anak sekolahan juga akan memperlakukan yang sama jika ada temannya yang gay malah lebih parah dengan membully,” Ban juga ikut menyuarkan pendapatnya.
“Di tempat kerja bila ada yang pengakuan gitu mereka jadi bahan pergunjingan dari mulut-mulut nyinyir. Belum lagi jika ada isu negatif bisa membuat karir hancur,”

Ada satu lingkungan kita yang perlu diperhatikan jika memutuskan coming out. Likungan terdekat kita selain keluarga adalah teman-teman kita sendir yang setiap harinya berinteraksi entah itu di kantor, kampus, sekolah atau di mana saja. Dari sekian banyak emang pasti ada yang homopobhia mereka yang amat sangat nggak suka dengan keberadaan gay. merekapun akan dengan berbagai cara mengintimidasi orang-orang gay.

“Eh ada Dee tuh.....” Bin menunjuk lelaki ganteng yang sedang jalan menuju kantin.
“Oh itu ya namanya Dee. Ganteng.” Mata Ban berbinar-binar melihat Dee yang berjalan dengan gagah.
“Panggil gih... gue penasaran,” saran gue kepada siapa saja yang ada di hadapan gue.
“Dee.....” Nad memanggil cowok yang sedang bingung memilih meja yang akan ditempati. Hampir semua orang memandang tidak ramah pada pada Dee terutama cewek yang hopeless dan para homo sok discreet yang lahannya bakal direbut oleh Dee. Pasti don cowok pada pilih Dee yang ganteng. Hukum GAY RASIS 
masih tetap berlaku.

Dee langsung menoleh ke sumber suara lalu tersenyum pada kita. Dia berjalan menuju ke arah kita. Gue ngeliat Bin rada nggak suka dengan kehadiran Dee. Gue tahu kalau Bin juga minder ada yang lebih ganteng dan menarik dari pada dirinya. Jelas lah Dee lebih unggul kemana-mana dari Bin. Dengan postur badan bagus setengah six pack bergaya maskulin belum lagi otak cerdasnya menambah kesempurnaan manusia berkelamin jantan yang menyukai pejantan lainnya ini.

“Hai....nggak keberatan kan aku duduk sini?” sapa Dee dengan ramah sekaligus minta izin untuk ikut bergabung.
“Nggak donk,” jawab kita berbarengan dengan nada yang berbeda-beda. Gue menggunakan nada rada semangat. Nad antusias lebih pada akan ada diskusi yang menarik. Suara Ban terdengar lebih renyah dan girang. Sedangkan Bin menjawab dengana terpaksa dan sedikit malas.
“Duduk di paha gue juga nggak keberatan koq,” gumam Ban lirih.  
“Yang ada elo girang Ban,hahaha,” celetuk gue diikuti gelak oleh yang lainnya. “Apa kabar?” tanya gue basa-basi.
“Kabar baik,” jawab Dee, senyum tulus masih mengembang dari bibirnya.
“Cuma agak berat ya melewati hari ini?” tanya Bin dengan ketus. Ucapan Bin menyindir pada peristiwa coming out yang dilakukan Dee.
“Begitulah....,” balas Dee dengan pasrah.
Sory hear that,” secara reflek Ban menggenggam tangan Dee sebagai wujud dukungan dan memperkuat hati Dee. Mata Dee menatap aneh sama Ban yang, gue tau dalam benak Dee, ini ada cowok macam apa nggak kenal langsung pegang-pegang. Tangan Ban langsung terlepas ketika sadar dirinya ditatap Dee. “Sory, gue Arga. Temennya Arya dan Entong.” Ban memperkenalkan diri dengan nama sebeneranya kita bertiga.
Sory, sebenernya dari tadi kita lagi ngomongin elu yang coming out.” Nad memecah keheningan dari suasan yang beku akibat ulang Ban yang terlalu girang berhadapan cowok ganteng.
“Oh, nggak apa-apa koq,” Dee masih saja tersenyum dengan enteng, seperti tidak terjadi apa-apa. “Gue udah siap menerima bully atau apalah-apalah sejenisnya,” Dee menanggapi dengan tenang.
“Koq elu bisa sih coming out gitu?” tanya Ban yang pensaran banget.
“Gue ingin memerdekakan diri gue sendiri,” jawab Dee memulai penjelesannya sambil makan somay yang tadi dibeli.
“Indonesia udah merdeka juga keleus 70 tahun lalu,” celetuk Bin basi, tapi tetap disambut tawa oleh yang lainnya.
“Kemarin gue ngerasa tertekan menjadi orang lain yang pura-pura suka sama cewek, gue menahan agar nggak berkata kasar atau tindakan kasar terhadap cewek yang terlalu agresif, hal itu yang membuat gue frustasi.” Dee berhenti sejenak lalu mulai ngoceh lagi. “Gue juga capek berkilah ketika orang tua tanya mana ceweknya.”

Gue dan lainnya cuma manggut-manggut mendengar penjelasan Dee yang mencoba menjadi diri sendiri tanpa harus menjadi munafik. Dee juga sadar dirinya yang ganteng membuat cewek menjadi obsesif  dan agresif pada dirinya, hal itu mebuat risih tetapi apa daya wanita adalah makhluk yang katanya lemah dan harus dijaga dengan baik-baik hatinya sehingga Dee tidak tega untuk bertindak kasar.

“Cuma itu aja yang melatar belakangi elu buat coming out?” tanya Bin yang masih penasaran juga sebab Dee membuka diri.
“Nggak itu aja. Gue ingin mendidik masyarakat tentang sikap saling menghargai sesama manusia. Gue nggak minta untuk dihormati tetapi bisa nggak sih kalau gue gay dan baik diterima oleh mereka,” Dee masih saja berbiacara dengan santai. Padahal baru sehari aja dia sudah mendapat cacian dan cibiran dari ratusan manusia khususnya di dunia maya.
“Hasilnya?” tanya Ban ingin mendapat penjelasan lebih dari Dee.
“Hari ini mungkin belum ada hasilnya. Kaliankan yang membaca steatment orang di sosmed. Gue sendiri ngerasa sebagai orang istimewa, bukan maksud gue sombong tapi istimewa dalam hal banyak orang yang meperhatikan kita. Positife thinkingnya adalah mereka sebenarnya mereka aware tetapi mereka masih memandang gay negatif belum memandang siapa gue. Let it flow aja buat menghadapinya.” Dee menggungapkan asumsi menurut dirinya sendiri yang merasa orang-orang bukan mencibir melainkan memeperhatikan dirinya. “Gini ya dengan cibiran dari orang itu samakin membangkitkan gairah ke diri gue sendiri untuk membuktikan gay itu nggak seburuk apa yang mereka pikir.”
“Koq elu bisa tenang banget sih?” tanya Nad yang heran dengan sikap Dee yang kalem tidak tampak marah diperlakukan “istimewa”.
“Gue melakukan coming out punya banyak pertimbangan dan persiapan. Gue juga nggak serta merta bikin pengumuman haloo gue gay. Persiapan gue ya ke psikolog, konsultasi sama dia apa yang harus gue perbuat setelah coming out. Semua itu gue lakukan bayar psikolog mahal biar gue lebih mantap dan siap,” Dee menjelaskan proses sebelum coming out.
“Keluarga kamu gimana?” tanya gue. Inilah bagian yang penting gimanapun juga kita memang nggak terpisahkan dari keluarga.
“Bokap sama nyokpa gue ajak ke psikolog juga. Kita semua satu keluarga termasuk kakak dan adek gue ikut konseling secara bergantian. Tujuannya adalah biar semuanya siap,” Dee mengakhiri dengan senyum bahawa semuanya baik-baik saja.

Bener juga apa kata Dee bahwa kita pasti punya batasan diri untuk menahan gejolak yang membebani jiwa dan pikiran. Kita harus bisa jujur pada diri sendiri bahwa I’am a gay yang pada akhirnya berkehidupan dimasyarakat, bisa nggak sih masyarakat  lebih tolerean.

Pelajaran yang gue dapat coming out nggak semudah apa yang gue bayangin. Tepat banget dengan menggunakan jasa psikolog untuk membantu proses coming out. Keluargapun turut wajib diikut sertakan selama proses coming out. Kita jangan bersikap egois dengan mementikangkan diri sendiri. Keluarga pasti akan terseret juga pada arus kelakuan kita. Kalau hidup di barat mungkin hal itu biasa aja, tapi ini Indonesia yang bisa belum menerima gay.

“Elu kan orang kaya jadi gampang aja konsultasi sama psikolog. Gimana yang orang pas-pasan?” tanya gue yang ngerasa sebagai orang berkucukupan.
“Pertama elu siapin diri. Bilang sama keluarga elu pelan-pelan elu nggak usah langsung bilang “mah aku gay”, klo elu lakuin itu dijamin ulekkan langsung mendarat di jidat elu. Elu ngobrol baik-baik sama mereka pertama coba tanya pendapat mereka tentang gay, gimana seandainya punya anak gay. Setelah elu udah tau jawaban mereka jika mereka menanggapi positif cobalah terbuka sekalian uraikan penyebabnya. Jika mereka mengeluarkan dalil agama tahan dulu sebentar. Kamu bisa membuka diri menunggu mood mereka baik.” Secara runut Dee memberi cara untuk coming out.
“Pasti donk orang tua kita pasti marah dan kecewa,” Bin menanggapi omongan Dee. Nampaknya Bin jadi tertarik juga.
“Pastilah mereka shock. Bokap aja nggak mau ngomong sama gue berhari-hari. Mereka nggak marah tapi lebih pada kecewa. Mereka menganggap dirinya gagal. Tapi gue hubungan antara orang tua dan anaknya itu erat banget, mereka pasti nggak tega untuk menelantarkan anaknya begitu saja. Hubungan batin itu yang kembali mengakrabkan kita. Susah untuk dijelaskan, yang jelas mereka juga butuh waktu untuk menerima diri kalau anaknya adalah gay,” Dee menjelaskan dengan hati-hati, karena sadar nggak semua orang tua bisa menerima anaknya gay begitu saja.

Kita emang perlu membaca situasi untuk coming out  ke orang tua. Jangan bilang elu gay ke orang tua pas mereka baru pulang jadi saksi pernikahan sepupu elo, yang ada elu disambit palu ke jidat. Utarakan apa yang elu rasakan disaat yang tepat ketika mood orang tua kamu lagi baik, saat beban mereka berkurang, elu sendiri yang bisa mengukur saat itu.

“Terus elu sudah siap menerima perlakuan buruk terhadap elu?” tanya gue pada Dee yang pastinya bakal menerima sesuatu yang buruk lebih dari cibiran dan makian.
“Ya sekarang sudah terjadi juga kan gue dicibir dan dimaki. Apapun resikonya gue sudah siap. Siap untuk didiskriminasi, diintimidasi, diapalah-apalah itu,” balas Dee dengan mantap. “Gue percaya orang sekarang itu cerdas walau nggak semuanya. Tetapi setidaknya ada orang yang berfikir menilai seseorang bukan berdasarkan orientasi seksnya aja.” Tambh Dee kalem. “Sekarang gini dech, kenapa tadi elu manggil gue untuk bergabung?”
“Gue penasaran aja kenapa elo coming out, jawab Nad bingung sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Kita berani manggil elu selain alasan tadi. Karena kita emang temen elu juga kan? Kita sering dapat kelas bareng,” timpal Bin ngasal.
“Karena nggak ada yang perlu ditakutukin sama elu, meskipun elu gay,” imbuh gue membuktikan seorang teman nggak perlu menjadi takut ketika ada temannya yang coming out.
“Bukannya kalian itu gay juga?” tanya Dee dengan tuduhan yang menohok. Emang ya sesama homo itu gaydarnya kuat banget. Sejaim apapun elu lakukan bakal ketahuan juga.“Sory, never mind,” ralat Dee. “Gini dech menurut elu Nad yang cewek, koq masih berani manggil gue selain alasan tadi?”
“Gue memandang elo sebagai temen bukan sebagai gay. Elu orangnya baik, ramah, rajin menabung,” Nad bercanda dengan candaan basi, gelak kitapun pura-pura jadi tambah basi lagi. “Intinya elu itu orang baik-baik aja.”
Dee menjentikkan jempolnya, “Itu pointnya. Gue percaya kalau elu itu baik dan tulus sama orang pasti orang itu baik sama kita. Jika pun dia ternyata tidak menerim kita dengan baik, jangan berkecil hati postive thinking aja berarti dia bukang orang yang baik untuk kita, tinggalkan saja,” Dee menjabarkan lugas sekali dan percaya diri. “Gue cabut dulu ya, siap-siap ketemu Dekan urusan penelitian.”

Gue suka banget penjabaran dari Dee. Emang bener banget sih kalau kita baik sama orang, pasti orang itu baik sama kita ya meskipun kadang mereka baik karena ada maunya. Setidaknya mereka tetep mau deket sama kita jugakan? Kebaikan itu membuat orang percaya bahwa kita emang tidak berbahaya, meskipun kita homo. Kebaikan kita bisa menghapus stereotype negative dari para homo-homo begajulan.
“Gue sih pikir untuk kasusnya Dee suatu keburuntungan dia aja,” ujar Bin sinis. “Nggak semua homo bisa seberuntung itu.”
“Bener banget. Coming out itu bisa ada dua cara, karena emang sadar diri untuk coming out ada pulang yang by acident to coming out,” Gue nambahin omongan Bin, ada orang-orang yang apes ketahauan kalau dia gay.
“Maksudnya?” dahi Ban  mengernyit tanda tidak paham.
“Ada beberapa orang ketahuan dia homo pas lagi ngewek di kebon terus digrebeg sama warga,” kita semua tergelak keras membuat orang-orang sekitar memperhatikan.
“Adapula mereka ketahuan homo karena ada gosip dari mulut-mulut homo yang comel buat pengumuman kalau temennya itu homo,” Bin nambahi pendapat gue.
“Bisa juga dasar kecerobohan kita sendiri, nyimpen dildo dan DVD bokep homo di laci eh ketahuan bokap, eh malah bokap make juga,” canda Ban yang endingnya garing, kita pun terpaska untuk tergelak.hahahha.

Ini yang perlu elu waspadai dari coming out by acident. Dari elu sendiri sebenernya sama sekali nggak siap untuk coming out yang ada elu bisa sakit jiwa beneran karena elu terus-terusan dibully apalagi elu sadis banget coming outnya pakai acara “dimeriahkan” oleh masyarakat. Sebenernya waktu elu sudah mulai berani show up diranah perhomoan mau nggak mau elu harus siap seandainya keluarga atau temen-temen tau kalau elu itu gay dari mulut-mulut homo nyinyir yang suka bikin gosip (padahal itu fakta). Jadi intinya elu sebenernya harus sudah siap coming out. tinggal nunggu waktunya aja, semoga beruntung.

“Eh bukannya kalian itu secara nggak langsung udah coming out?” tanya Nad dengan wajah yang jahil.
“Nggak donk gue kan GAY DISCREET,” jawab Bin dimaskulinin.
“Kaliankan sudah mendeklarasikan diri sebagai trio BBB, Bencong, Banci,  Bincung,” Nad langsung tergelak keras dan puas memperolok kita.
“Siapa yang berani menertawakan pacar gue?” suara gahar dan berbisik itu membuat Nad tercekat dan salah tingkah.
“Oh.....aa Iw datang disaat yang tepat, melindungin gue.” Gue tersenyum saja melihat kedatangan aa Iw. Kita belum coming out  jadi perlu jaim untuk menyambut kedatangan pacar.
“Oh ya Nad, ini aa Iw, pacar gue.” Gue coming out ke Nad bahwa gue punya pacar ganteng dan gagah.
“Oh......tidaaaakkkkkkk,” pekik Nad histeris. “Gue mau banget punya pacar kayak aa Iw.”

Bersambung

TELAH TERBIT BUKU BERTEMA GAY JUDULNYA #KAMUFLASE. BISA KALIAN BELI MELAUI ON LINE http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase . TEMUKANN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE




Monday 13 July 2015

Cerpen: Anyversary 10th

Pic dari serial Like Love

Matahari baru saja terbenam, semburat jingga masih membekas di cakrawala. Kafa baru saja menyelesaikan tugas rumah tangga, memasak makan untuk orang yang dicintai. Ini menjadi makan malam spesial, karena hari ini tepat peringatan hari jadian. Wajah Kafa sedari tadi terlihat sumeringah.

Sudah 10 tahun Kafa menjalin hubungan dengan Harlan, itu baru dihitung tanggal jadian. Sebelum itu, mereka sudah mengenal sejak SMA. Namun baru setelah lulus sekolah Kafa merasakan cinta itu tumbuh apalagi setelah keduanya tinggal satu atap di kostan kota Bandung. Mereka berbeda kampus tetapi kampus mereka berdekatan sehingga mereka memutuskan untuk tinggal satu kamar untuk menghemat biaya.

Berapa kali Kafa menengok halaman lewat balik jendela ruang tamu. Kafa tau memang saat ini belum waktunya pulang tetapi Harlan juga sudah janji untuk pulang cepat. Mungkin karena terlalu antusias Kafa sudah tidak sabar menunggu kedatangan Harlan sehingga bolak balik menengok halaman. Kafa juga berapa kali melihat meja makan memastikan masakan masih mengepul asap, tanda masih hangat.

Kafa memutuskan duduk depan televisi untuk mengusir kegelisahan. Kini Harlan sudah telat satu jam dari jadwal semestinya. Kafa juga sudah lelah bolak balik. Makanan di meja makan pun dibiarkan mendingin. Ini baru pertama kali Harlan ingkar janji dihari spesial. Biasanya dia tepat waktu. Kafa makin gelisah karena Harlan tidak bisa dihubungi.

“Kaf......Kafa.....” suara bas lembut memanggil Kafa yang terlelap di sofa. Pria berkulit putih langsat dan sedikit jambang nampak kelelahan di sofa. Handphone masih tergenggam di tangan kanan. 
Mata Kafa langsung melek setelah mendengar suara Harlan yang setengah berbisik di telinga. “Koq baru pulang sih?” tanya Kafa merajuk pada Harlan yang masih membungkuk menghadap Kafa.
“Maaf sayang........,” ucap pria berbadan tegap pada kekasihnya. “Tadi aku habis pulang sebentar ketemu ibu.” Harlan memindahkan tubuhnya, duduk di samping Kafa.
“Sayang kan bisa telpon aku dulu,” Kafa masih saja merajuk. “Tuh makanan kesukaan mu sudah dingin.”
Happy Anyversary honey.” Harlan mengecup bibir Kafa agar tidak megeluaran pertanyaan dan protes lagi. Kafa langsung melumat bibir Harlan yang dibingkai dengan kumis.

Harlan sudah hafal benar bagaimana cara menakluklan amarah kekasihnya. Harlan mengenal Kafa bulat-bulat. Sejak menjadi teman sebangku, Harlan sudah mulai tertarik dengan Kafa yang menurutnya sangat lembut tetapi tidak ngondek, tidak pernah marah dan selalu melayani dengan tulus. Meski teman-teman menyebut Kafa itu aneh tetapi bagi Harlan terlihat unik.

Harlan menerima Kafa apa adanya, begitu juga dengan Kafa menerima Harlan yang mempunyai peringai keras dan tidak mau kalah. Kafa mencintainya karena Harlan sosok yang melindungi Kafa yang ringkih. Kafa adalah orang yang paling bisa meredam amarah Harlan. Bila Kafa mulai menggalau dan meracau tidak jelas, Harlan orang paling sabar menghadapi. Mereka mencintai karena perbedaan yang saling melengkapi.

Kafa mendorong Harlan untuk menyudahi cumbu sebelum berkembang menjadi semakin panas. Kafa memandang lekat-lekat wajah Harlan yang tampak lusuh. Kafa mencari pandangan cinta yang tulus dari Harlan, apakah Harlan masih mencitai atau sudah pupus semua rasa itu. Kafa merasakan ada yang berbeda dari ciuman bibir itu. Selama 10 tahun Kafa pastinya sudah hafal cumbu dari Harlan.

“Ayo kita makan.” Harlan beranjak dari sofa menuju meja makan. Harlan tau Kafa sedang berusaha menyelidik, maka dari itu menghindar sebelum ada racauan.

Kafa mendengus kesal, telah gagal melihat ketulusan cinta. Kafa segera mengambilkan makanan untuk kekasihnya. Lalu duduk berhadapan. Sekali lagi Kafa mencoba menyelidiki perilaku Harlan yang aneh malam ini.

“Ada apa Kaf?” tanya Harlan lembut. Dirinya sadar dari tadi Kafa memandangi tanpa henti.
“Hari ini ada masalah apa?” Kafa balik bertanya, bahkan langsung pada titik permasalahan.
“Tadi aku pulang ke rumah,” Harlan mulai bercerita. Segala sesuatunya memang harus segera dibicarakan. “Ibu menyuruhku menikah.” Harlan berusaha bersikap tenang agar tidak memperkeruh suasana.
“Kamu telah merusak malam ini,” gerutu Kafa. Meski tenang tetapi nada suaranya terdengar jengkel.
“Kaf...tadi kamu sendiri yang bertanya, ya saya jawab.” Meski sedikit terpancing emosi, Harlan masih meredam gejolak amarahnya.

Mereka makan malam dengan hening, hanya terdengar sara detingan sendok beradu dengan piring. Biasanya makan malam ada adalah acara paling menyenangkan, keduanya bisa berceloteh tentang apa saja yang terjadi seharian. Acara makan malam telah rusak, ini baru permulaan pertengkaran. Keduanya sadar setelah makan malam akan ada diskusi yang sengit. Sebenarnya ini bukan masalah baru, sudah kesekian kalinya masalah ini muncul ke permukaan tapi menguap begitu saja tanpa penyelesaian.

“Tadi mamah juga datang kesini,” Kafa bersuara dengan lirih ketika sudah menyelesaikan makan. “Sama seperti ibu kamu membicarakan tentang pernikahan.”
“Lalu kamu bilang apa sama mamah?” tanya Harlan datar sambil menyeka nasi yang menempel di bibir Kafa.
“Aku bingung,” Kafa menghembus nafas kuat-kuat, seperti orang yang sedang putus asa. “Mamah sudah tahu kita adalah pasangan. Ibumu pun juga tahu kalau kita adalah sepasang kekasih. Tetapi kenapa masih mempertanyakan pernikahan?” Kafa menekankan pada kata pernikahan, seoang-olah itu sebagai kata yang tabu untk diucapkan.

Harlan tidak langsung menjawab karena bingung akan dijawab dengan penjelasan seperti apa. Waktu ibu mececar dengan pertanyaan itu pula Harlan tidak berkutik. Sekarang dihadapkan sama Kafa dengan pertanyaan yang sama pula. Kondisinya sama-sama sulit.

“Wajar saja orang tua menanyakan itu kembali,” ucap Harlan mencoba menanggapi pertanyaan Kafa. “Orang tua pasti mengharapkan kehidupan anaknya normal.”
“Apa kita nggak normal?” tanya Kafa dengan kesal.
“Itu normal untuk diri kita seniri. Belum tentu pemikiran orang lain,” jawab Harlan lagi. “Apalagi kita tinggal di Indonesia, masih sangat tabu dua orang lelaki yang saling mencintai tinggal serumah.” Harlan dengan hati-hati mencoba menjelaskan apa yang terjadi dilingkungan sekitar.
“Ah..... apa kita sehina itu,” gerutu Kafa kesal. “Padahal mereka pun lebih hina, berselingkuh sana sini, menabur benih di rahim wanita lalu ditinggalkan begitu saja,” Kafa merutuk pada pria-pria hidung belang. Pernyataan itu sangat dalam karena Kafa menjadi salah satu korbannya. Sampai detik ini Kafa tidak mengetahui siapa ayahnya.
“Setidaknya mereka masih dianggap normal oleh masyarakat kita. Kodratnya lelaki itu “mencampuri” wanita.” Harlan menimpal dengan cepat.

Kafa tidak bisa berkutik. Memang itulah yang semestinya terjadi, bahwa lelaki itu bersenggama dengan wanita untuk kepuasan sex dan menghasilkan keturunan. Masyarkat memang belum bisa menerima ikatan apalagi hubunga badan antara lelaki dengan lekaki juga.

“Persetanlah apa kata orang. Toh kita hidup untuk sendiri,” ucap Kafa yang semakin kesal.
“Dari dulu kita sudah persetan apa kata orang. Kita sudah kebal,” balas Harlan yang sudah sedikit terpancing emosinya. “Tetapi belum tentu dengan orang sekitar kita. Terutama ibu. Beliau juga punya kehidupan sendiri di masyarakat. Bisa saja sekarang beliau tidak tahan gunjingan orang luar.”

Kafa terdiam lagi, mencerna omongn Harlan yang ada benarnya. Kafa juga tersadar selama ini telah egois hanya memikirkan dirinnya sendiri. Ibu yang sudah membesarkan telah diabaikan perasaanya. Ibu dengan tegar pasti akan membela anaknya dipergunjingkan oleh orang-orang yang hobi bergosip. Tetapi Kafa tiak memperdulikannya.

“Ibu atau mungkin mamah kamu juga mengalami hal yang sama dibully oleh masyarakat kita, bahwa anaknya gay.” Sebenarnya Harlan tidak tega waktu mengatakan gay, ini adalah realitanya kalau dirinya memang gay yang sudah coming out. “Seorang ibu atau ayah pasti akan terpukul hebat ketika mengetahui anaknya gay. Apalagi sampai orang lain mengetahuinya, cobaan mereka bertambah akibat bully.”
“Menuruti perintah orang tua pun tidak menyelesaikan masalah, kita semua tetap kena bully bahkan tamah satu lagi korban yaitu isitri kita. Masyarakat akan memperolok istri yang menikahi lelaki gay,” Kafa mennyambar dengan cepat sebelum Harlan menyelesaikan kalimatnya.
“Setidaknya kita sedikit berbakti sama orang tua dengan menuruti permintaannya,” Harlan tidak mau kalah.
“Kalau itu yang terjadi kenapa mereka tidak melarang kita sebelum melangkah lebih jauh?” tanya Kafa lagi yang belum siap menerima keadaan seperti ini, keadaan yang renatang untuk perpisahan. “Mungkin dulu tidak akan merasakan sesakit sekarang ketika harus dipisahkan.”
“Mereka tidak tega melihat anaknya tidak bahagia karena cintanya dipisahkan.” Harlan menggenggam tangan Kafa untuk menguatkan hati Kafa yang rapuh. “Mungkin saat ini mereka sudah tidak kuat lagi menahan serangan itu. Mereka sudah semakin tua, letih untuk terus menghadapi cibiran. Mereka juga pasti ingin menggedong cucu dari anak laki-lakinya.”

Air mata Kafa meleleh. Kafa membayangkan mamahnya menghadapi cibiran orang-orang sewaktu arisan. Bisa saja mamah terus menguatkan diri sendiri kalau anaknya memang gay. terlebih lagi anaknya tidak lagi tinggal bersama melainkan bersama lelaki yang dicintai. Mamah selalu memendam rasa itu seorang diri, demi kebahagiaan anaknya.

Harlan berjalan ke arah Kafa lalu memeluk dari belakang.  Kafa menerima pelukkan itu dengan hangat. Sekali lagi Harlan memang tahu caranya untuk meredam kekalutan dan kegalauan yang menghinggapi Kafa. Harlan orang yang pertama memeluk ketika Kafa merasa kacau.

“Ibu dan mamah kita adalah orang yang paling tegar,” bisik Harlan dengan lembut. Tangis Kafa semaking menjadi. Harlan pun semakin erat memeluknya.

Sebenarnya Harlan pun butuh penguat. Memeluk Kafa adalah penguatan untuk dirinya. Bahwa masih ada orang yang sayang dan mencitai dirinya. Kafa yang tidak pernah dimintai tolong akan sadar diri menemani Harlan jika sedang galau. Kafa pula orang yang selalu bisa meredam emosinya, jika melihat Kafa yang tersenyum manis luluh semua amarah. Kafa memang smiling face siapa saja yang melihatnya pasti tidak tega untuk bertindak kasar padanya.

Setelah memebereskan dan mencuci piring, mereka duduk di sofa ruang televisi. Kafa bersender di bahu Harlan yang bertelanjang dada karena merasa kegerahan. Aroma kelakiannya merebak menusuk hidung. Kafa menyukai aroma ini karena membuat tenang, bahwa dirinya jatuh di pelukan pada lelaki yang tepat.

“Sayang lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Harlan lembut pada Kafka untuk kembali mendiskusikan masalah tadi yang belum selesai.
“Aku bingun honey,” jawab Kafa cuek.
“Aku juga bingung. Sudah puluhan kali kita membahas ini dan tidak ada ujungnya.” Harlan pun tidak tahu harus bagaimana. “Tapi ini harus diselesaikan. Apalagi ini permintaan ibu.”
“Jangan bawa-bawa ibu.” Kafa menegakan badannya.
“Kalau nggak bawa ibu masalah ini tidak akan selesai,” timpal Harlan dengan ketus.

 Kafa terdiam. Harlan memang lihai dalam bersilat lidah. Selalu ada saja untuk suatu jawaban. Meskipun begitu tidak pernah sepatah kata pun keluar kata-kata kasar dari mulutnya. Harlan memang selalu menjaga perasaan Kafa yang rapuh.

“Tadi aku pun sudah menanyakan ini kepada kamu. Jika kamu bertanya kembali pada aku. Lalu aku melimpahkan pada siapa?” Kafa putus asa. Fikirannya kacau.
“Tanyakan pada hati kamu paling dalam. Kita sudah sama dewasa pasti ada jalan keluarnya.” Tangan Harlan menempel pada dada Kafa dengan lembut.
“Tetap saja hati ku mengatakan aku sangat cinta kamu,” sahut Kafa dengan cepat.

Harlan tersenyum sambil menengok Kafa. Menatap Kafa, hasilnya sama seperti yang sudah terjadi. Harlan masih menemukan cinta yang tulus dari Kafa karena Kafa tidak memalingkan wajahnya ketika ditatap Harlan. Cinta yang tulus yang tidak bisa dipungkiri.

“Itu yang aku katakan sama mamah,” Kafa melengkapi omongannya yang tadi terputus. “Bahwa aku memang sudah terlanjur mencintai mu Harlan, bahkan sangat mencintai mu.” Kali ini Kafa pandangan Kafa yang melekat pada mata Harlan.
“Lalu apa kata mamah?” tanya Harlan menghiraukan omongan Kafa yang menyatakan sangat mecintai Harlan.
“Secara tidak langsung mamah bilang menyuruh meninggalkan kamu,” jawab Kafa ragu. Kafa takut perkataannya menyinggung Harlan. “Lalu kamu jawab apa ketika ibu menyuruh kamu menikah?” tanya Kafa mengalihkan perhatian.
“Aku jawab, iya aku bersedia menikahi Kafa,” Harlan menjawab dengan datar tetapi tangannya menggenggam Kafa. Seulas senyum manis mengembang dari bibir Kafa yang dikelilingi kumis tipis.
“Lalu ibu menanggapinya bagaimana?” tanya Kafa lagi.
“Ibu malah mengajukan beberapa nama calon mempelai wanita.” Harlan membanting tubuhnya ke sandaran sofa, kecewa. Ibunya Harlan tidak menanggapi kalau Harlan hanya ingn menikahi Kafa.
“Kamu memilih salah satu atau dua dari nama itu?”
Harlan menggelengkan kepala. “Aku tetap memilihmu Kaf,” ucap Harlan penuh keyakinan. “Meski ada seribu wanita, kamu pria yang selalu kucintai. Kamu cinta pertama dan terakhirku.”

Kafa merupakan orang yang pertama yang membuat hati Harlan berbunga-bunga. Kafa juga menjadikan hari-hari Harlan selalu bahagia. Kafa orang yang pertama menjamah tubuh Harlan dan tidak ada lagi orang lain yang bisa melakukan itu. Cinta Harlan sudah tertambat permanen pada Kafa.

Mendengar pernyataan seperti itu secara reflek melumat bibir Harlan. Kafa merasa senang dirinya tetap menjadi orang nomor satu dalam kehidupan Harlan. Tidak sia-sia selama ini Kafa memasung hasrat dengan lelaki lain, karena percaya Harlan adalah orang paling bisa mencintai dirinya dengan tulus.

“Ketakukan terbesarku adalah mengecewakan ibu dan ditinggalkan atau meninggalakn kamu.” Tanpa sadar air mata Harlan menetes. “Sekarang aku berada dipersimpangan itu.”
“Aku tidak meninggalkan kamu Harlan.” Kafa memeluk Harlan. Ini adalah Kafa melihat kali kedua Harlan menangis. Pertama wakatu ayahnya meninggal.
“Jika aku menikah memang akan membahagikan ibu. Disisi lain aku meninggalkanmu dan aku ditinggalkan kamu.” Tangis Harlan terisak. Terdengar pilu.

Harlan mersa di ujung persimpangan. Omongan tadi siang waktu bertemu dengan ibu telah membawa perasaan yang dalam dalam diskusi malam ini. Harlan merasa tidak ada yang bisa dipilih apakah ibunya atau Kafa, keduanya adalah orang yang sangat diciintai meskipun dalam kapasitas yang berbeda.

“Kaf apa yang harus aku lakukan?” tanya Harlan putus asa.
“Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan sepertimu,” bisik Kafa dengan lembut. Harlan masih ada di pelukkan Kafa. “Memang saat ini adalah ujung dari memutuskan itu. Kita sudah tidak muda lagi Har.” Kafa bukan menyelesaikan masalah tetapi semakin membuat rumit.
“Iya aku tahu itu Kaf. Tapi harus bagaimana?”   

Keduanya bingung, nggak tau harus berbuat apa. Belum ada ide yang tersebesti di otak Kafa dan Harlan. Mereka terdiam, memikirkan apa yang harus dilakukan.

“Kita menikah saja,” cetus Kafa semangat.
“Aku sama kamu?” tanya Harlan bingung. “Atau kita menikah sama perempuan?”
“Kita menikah sama perempuan,” jawab Kafa cepat.
“Lalu hubungan kita?” tanya Harlan masih bingung.
“Kita masih tetap sebagai pasangan,” ujar Kafa lagi. “Mereka tidak menyuruh kita putuskan? “

Harlan tidak langsung menjawab. Masih terpekur mempertimbangkan ide Kafa yang terdengar konyol. Kalau bukan karena mencintai Kafa mungkin sudah dari dulu Harlan menikah.

“Ini bukan masalah buku nikah saja Kaf,” Harlan mencoba menguraikan solusi yang Kafa ajukan. “Apa kamu tega aku dijamah orang lain?”

Bibir Kafa monyong, cemberut, membayangkan Harlan yang selama ini miliknya tiba-tiba harus bercampur dengan perempuan. Kafa menggelengkan kepala dengan keras mencoba menghilangkan bayangan Harlan sedang bersenggama dengna wanita.

“Ini bukan suatu permainan anak kecil yang dimulai dengan mudah dan diakhiri begitu saja.” Harlan memegang pundak Kafa dengan kedua tangannya. Harlan sedang memberi pengertian pada Kafa. “Ini urusan hati Kaf. Kita nggak bisa membohongi orang lain terutama diri kita sendiri.”
“Itu penyelesaian masalah kita Har......” Kafa mengatakan dengan lugas. “Aku nggak merasa ditinggalkan kamu selama kita masih bertemu. Permintaan orang tua kita hanya menikah dengan perempuan.”
“Apa jadinya kalau aku cinta beneran sama istriku?” tanya Harlan dengan ketus. “Lambat laun kamu akanku tinggalkan tanpa aku sadari.”
“Aku ikhlas Har,” ucap Kafa ragu. “Apa kamu bisa ikhlas jika aku nantinya mencintai istriku?” tanya Kafa balik.
“Aku belum menyetujui rencana ini. Jadi aku nggak bisa jawab apa aku ikhlas atau tidak. Sudah jelaskan aku tidak mau berpisah,” ucapan Harlan keras dan tegas. “
“Kita tidak berpisah Harlan,” ulang Kafa dengan ceria seakan memberi harpan menikahpun tidak akan terjadi masalah apapun dalam hubungan percintaan sejenis.”Kalau kamu nggak setuju lalu apa yang kita lakukan?” tanya Kafa lagi.
“Aku akan bawa kamu pergi ke Amerika Serikat kita menikah di sana,” kali ini Harlan menjawab dengan ragu dan sedikit bercanda.
“Setelah kita kembali ke Indonesia, kertas akta pernikahan itu sama aja menjadi sampah,” nada Kafa ketus sekali. Kafa sama sekali tidak menyetujui ide gila Harlan.

Harlan terdiam, kelakarnya untuk mencairkan suasana tidak disambut baik oleh Kafa. Harlan sudah penat dan buntuk untuk membahas masalah ini lagi. Kafa pun tampaknya sudah memuncak emosinya karena dari tadi hanya memutar-mutar saja, tidak ada perkembangan berarti. 

“Ok. Kita sudahi saja diskusi ini,” ujar Harlan sambil membelai lembut rambut Kafa agar tidak marah lagi.
“Masalah ini belum selesai,” timpal Kafa dengan ketus. “Masalah ini masih tetap pending.”

Mereka sepakat untuk menunda ambil keputusan. Mereka sudah merasa mentok tidak tahu harus berbuat apalagi. Pilihan yang sulit tidak bisa diputuskan dalam satu malam saja. Masih ada hari lain untuk dipikirkan.

Harlan menarik Kafa untuk kembali bersandar di bahunya. Tangannya membelai rambut Kafa yang lembut. Kafa pun merasa nyaman seperti in, hanya ada kemesraan tidak adalagi perdebatan. Seharunya malam ini dilalui seperti ini. Hangat. Romantis. Penuh cinta.

“Kaf apa yang kamu rasakan selama 10 tahun ini?” tanya Harlan berbisik.
“Aku merasa bahagia,” jawab Kafa cepat.
“Bahagia seperti apa?” tanya Harlan lagi.
Kafa memengang pergelangan tangan Harlan yang sudah melingkar di perut Kafa untuk lebih kencang. “Aku merasa lebih nyaman karena kamu setelah melindungiku.”
Harlan merasa senang mendengar pernyataan seperti itu. Harlan semakin mengeratkan pelukan. Kumisnya menusuk-nusuk pipi Kafa saat mencium mesra. “Kamu adalah orang yang kucinta jadi pantas saja aku menjaga mu.”
“Lalu apa yang kamu rasakan selama 10 tahun ini terhadap ku?” Kafa tanya balik ke Harlan.
“Aku merasa dihargai sebagai manusia. Kamu membalas amarahku dengan tenang tidak balik menyerang. Kamu menjadi pendengar setia ketika aku sedang menghadapi masalah. Kamu orang yang paling tulus menciumku.”

Keduanya kembali berpagutan mesra, mengungkapkan rasa cinta. Memang untuk menjalin suatu hubungan yang lama adalah saling menghargai dan melengkapi. Mereka sudah banyak melewati masa-masa susah, 10 tahun bukan waktu yang sebentar. Cinta mereka memang sudah mengakar.

“Mau berapa tahun lagi kita akan merayakan anyversary?” tanya Kafa mengehentikan acara cumbu mesra.
“Sampai....... habis cintaku pada mu. Tetapi itu tidak mungkin karena stoknya masih banyak,” canda Harlan kembali memagut bibir Kafa.
“Ada rencan apa kedepan?” tanya Kafa menyudahi ciuman.
“Rencanaku terus mencintaimu,” Harlan tersenyum manis.
“Bukan itu maksudku.” Kafa mendengus kesal. “Apa kamu nggak mau anak?”

Harlan terdiam sejenak memikirkan omongan Kafa, bukan sesuatu yang menohok tetapi itu pertanyaan menggelitik hati. Bersama dengan Kafa pastinya tidak akan menghasilkan anak. Bisa sih punya anak tetapi lewat adopsi, sedangankan di Indonesia belum diperbolehkan adopsi anak dari pasangan Gay.

“Jadi kamu pilih aku atau orang ibumu?” tanya Kafa kembali membahas masalah yang tadi belum terselesaikan.