Wednesday 21 October 2015

Balada Persahabatan Gay

Jadi mahasiswa itu ternyata nggak selama bisa santai. Mendekati UTS tugasnya makin gila-gilaan segila cinta gue terhadap aa Iw, udah tau punya istri tapi masih tetep aja dipacarin. Baru sekarang gue ngalamin nyeseknya jadi madu di pernikahan orang lain. Apa ada daya gue sudah cinta mampus sama aa Iw jadi dinikmati saja bersusaha selalu menjadi madu yang manis. Ya sudah lah.......

Sudah lama juga gue nggak ngumpul bareng dua sahabat gue yang homo, Ban dan Bin. Bukan karena kesibukan gue semata mengabaikan keduanya. Toh hampir setiap hari gue juga ketemu Bin yang emang satu kelas sama gue. Bukan Ban juga yang sok sibuk mentang-mentang kuliah di PTN sehingga kita nggak ketemu dalam satu bulan. Gue sih masih sering main ke rumah Ban kalau lagi butuh tebengan internet cari tugas. Jadi intinya gue sendiri yang ketemu dengan Bin dan Ban tetapi kita bertiga nggak ngumpul dalam satu waktu dan tempat.

Masih ingat dengan acara kumpul di kolam renang? Itu hari terakhir bertiga ngumpul. Ban dan Bin di kolam renang melakukan adegan konyol sebagai cowok normal, tetapi hal itu sudah biasa dikalangan homo. Mereka jambak-jambakkan bahkan cakar-cakaran sebabnya adalah Ban tau kalau Bin tidur barenng dengan pacar barunya Ban.

Secara nggak sengaja Ban medengar bisikan Bin ke gue. Setelah itu terjadilah kejadian paling epic dalam persahabatan kita. Awalnya cuma adu mulut terus berlanjut dorong. Eh makin heboh aja jambak-jambakkan, beruhubung Ban rambutnya pendek susah dijambak, Bin mengganti strategi dengan mencakar. Sedangkan orang yang diributin llangsung ngacir, dasar homo nggak tanggung jawab. Begitulah singkat ceritanya.

Sekarang gue bingung sendiri berada diantara mereka yang sedang gencatan senjata. Merunut gue sih sudah waktunya untuk berdamai, nggak baik jugakan sodara bisa brantem macam gitu. Gue nggak ngerti harus dari mana untuk mendamaikan mereka. Tapi senggaknya mempertemukan mereka dulu ditempat netral, yaitu kost gue.

Bin sengaja gue culik ke kost dengan dalih bikin tugas bareng. Sedangkan gue menjebak Ban dengan alasan gue sakit, minta dianterin bubur. Awalnya Ban ogah karena kejauahan ke kost gue, tapi gue berdalih pengen banget bubur itu supaya cepet sembuh akhirnya mau juga.

Gua lagi asik browsing bahan tugas, sedangkan Bin masih berkutat dengan buku pinjaman perpustakaan. Tanpa ada kata permisi Ban nyelonong masuk. Gue kira cuma ada adegan ini disinetron, tetapi dikehidupan nyatapun ada.

Ban bendiri dengan wajah memerah. Lalu membanting kresek yang berisi satu cup bubur. “Jadi ini maksud elo??” Ban menuding gue. “Elo njembak gue buat ketemu sama curut itu?” Ban beralih menunjuk Bin.
Bin segera berdiri melihat kedatangan Ban yang sekarang menjadi musuhnya. “Heh!! Elu tuh yang curut, sembarangan ngatain orang,” Bin nggak terima dibilang curut. “Elo tuh jadi homo sok polos, jadi gampang diboongin kan!!”

Waduh..... dua-duanya langsung frontal gitu ya, apalagi menyebut kata homo dengan lantang. Semoga saja penghuni kost lain lagi pada dengerin desah bokep dilaptopnya masing-masing.  Gue harus bertindak cepat sebelum lebih heboh dari jambak-jambakan atau cakar-cakaran.

Ban sudah maju selangkah. Gue lengsung berdiri mencoba menghentikan. Tetapi Bin malah ikut maju juga. Gue berada tempat ditengah-tengah homo yang sedang murka. “Elu belain siapa?” tanya mereka kompak. Ok sekarang gue bener-bener terjebak dengan rencana gue yang diluar kendali.
Gue mendorong satu persatu dari mereka yang ternyata lumayan berat. “Gue nggak belain kalian semua. Gue cuma mau mendamaikan kalian!!” pekik gue.

Mereka langsung terdiam, mungkin karena terperangah mendengar jeritan suara lelaki dari pita sura gue. Perlu dicatat, nggak semua homo itu kalau teriak pakai suara valseto, OK! Bin dan Ban selangkah menjauh. Wajahnya sih masih keliatan marah, tapi tetep takjub sama gue yang jadi lakik.

“Tenang.....tenang jaga mulut bencong kalian!!” gue mencoba menenangkan merkea.
“Elu yang bencong!!!” teriak mereka bersamaan. Berarti mereka mash terkendali.
“Kenapa sih kalian masih marahan saja?” tanya gue pelan agar emosi mereka tidak tersulut.

Mereka tidak langsung menyahu tetapi mata mereka saling berpandangan dengna bengis, mengisyaratkan kalau saling menyalahkan. Seesekali Bin meledek dengan memajukan badannya seolah-olah siap duel. Untungnya Ban punya kontrol sehingga tidak terpancing.

“Gimana nggak marah coba, bf baru gue diembat sama dia!!” nada suara Ban terdengar marah, bahkan dendam kesumat.
“Pecuma gue jelasin, mulut gue berbusa juga dia nggak bakal dengerin, kuping elo ketutupan pejong dia,” Bin menimpal segera nggak kelah kesal. Gue tau Bin sudah berulang kali menjelaskan, tetapi Ban masih teteap dengan pendiriannya bahwa Bin yang salah. “Lagian tuh ya cowok elu tuh yang kegatelan.”
“Gimana gak kegatelan, elu sendiri yang nawarin buat garukin. Elu juga pasti pasang muka pengen.” Ban nggak terima bekas pacarnya disebut kegatelan. Status Ban dan orang diributkan sudah putus hari itu juga.
“Bukan salah gue donk, kalau dia tertarik sama gue yang cakep gini,” kelakar Bin penuh kemenangan.
“Mana ada elu cakep, bitchy sih iya,” serang Ban nggak terima.

Perang mulut semakin seru aja, bagaikan pertandingan emak-emak adu mulu ditukang belanja gara-gara ngeributin suami yang selingkuh. Kelakuan kedua sahabat gue yang homo hampir sama lah... kebiasaan homo yang lagi berantem adalah perang mulut, siapa yang nyinyirnya paling pedas itulah juaranya. Kalau sudah semakin brutal adu mulut, bisa dipastikan babak selanjutnya adalah jambak-jambakkan.

Gue harus melerai pertempuran ini sebelum ke ronde berikutnya. Bin sudah siap-siap mengasah kukunya untuk keperluan mencakar pipi mulus Ban yang sudah dirawat dengan sari pati lelaki perjaka, tapi berhubung “dipake” Ban keperjakaan lelaki itu luruh sudah. Gue juga nggak mau reputasi lelaki terhormat hancur dimata teman-teman kost karena ketahuan punya teman lelaki yang macam emak-emak komplek perumahan hobi ngeributin suami orang.

“Sudah......sudah!!”  teriak gue lagi untuk melerai keributan. “Kalian itu lakik atau homo sih?” sebuah pertanyaan bodoh. “Kalau kalian merasa lakik, berantemnya itu jotos-jotosan,” gue sedang menyadarkan mereka pada kodratnya sebagai lelaki tulen.
“Dia yang mulai ribut,” Bin menunjuk Ban dengan sengit.
“Dia yang mulai merebut pacar gue,” balas Ban murka.
“Gue udah jelasin berkali-kali. Gue ML sama dia karena nggak tau  dia sudah punya pacar,” Bin kembali menjelaskan lagi, kalau memang nggak bersalah.
“Gue nggak yakin, kalaupun elu tau dia udah punya bf pasti elu tetep embat juga. Elu itu ratunya bitchy.” Ban menyerang dengan frontal.
“Iya nggak gitu juga........,” jawab Bin ragu-ragu.
Mendengar jawaban seperti itu Ban semakin berang. “Tuh kan bener elu tuh emang pecun....segalanya emang diembat,”

Tipe homo itu beda-beda ada yang kalem macam gue (itu fitnah) ada pula yang agresif seperti Bin yang segala sesuatunya “dipakai”. Ini yang perlu dikhawatirkan, homo yang kayak gini nggak peduli partnernya udah punya pacar atau belum, yang penting bisa buat ngewe dan puas. Kebutuhan sex bisa melupakan akal sehat dengan mengesampingkan perasaan pacar dari partner sex atau pacarnya sendiri.

Sekarang gue mulai khawati, jangan-jangan pacar gue alias aa Iw juga digoda sama Bin yang maruk kepada segala macam lelaki. Apalagi aa Iw adalah lelaki produk unggulan, badan bagus, tampang ganteng, straitght act, mapan dan gaya bercinta oke punya. Gue nggak bisa maapin kalau Bin emang godain lakik gue. harus introgasi dia.

“Jangan-jangan elu juga goadain lakik gue?” tanya gue dengan garang.
“Elu nggak usah nambah masalah dech!!” gertak Bin jengkel.
“Gue tanya baik-baik,” ucap gue jengekel, mana pula tanya baik-baik dengan intonasi sangar.
“Gue nggak ngerti otak kalian berdua dimana, nuduh gue sembarangan,” Bin semakin jengkel dan frustasi.
“Bukan salah otak kita berdua,” sergah Ban sengit. “Salah elu sendiri donk yang binal, semuanya mau,” tambah Ban lagi.

Bin tidak langsung menjawab. Malah terpekur memandang kami lekat-lekat. Gue bisa membaca raut muka Bin anatara marah, tapi disisi lain juga terlihat sedih. Semua rasa itu jadi satu diwajah Bin. Tiba-tiba saja meleleh air mata.

Gue dan Ban kaget donk koq tiba-tiba Ban malah nangis. Homo macam dia bisa nangis juga, gue pikir dia cuma bisa mendesah dan menggaet pacar orang buat dijadiin partner ngewe. Gue dan Ban saling pandang, melihat kejadian dramatis ini.

“Gue tau, gue binal dan libido gede,” ucap Bin dengan berkaca-kaca.
“Iya kita semua tau koq tanpa elu bilang sendiri,” gue dan Ban menyahut berbarengan.
“Meskipun gue binal, bitch, suka ngewek tapi gue masih punya hati.....” Bin sesenggrukan, “Gue tau mana yang gue mau diewe atau gak. Gue juga nggak mungkin nyakitin sahabat gue dengan ngewe pacarnya.” Derai air mata Bin semakin deras saja.

Hati gue ikuta terenyuh menyaksikan adegan haru biru, betapa sebenarnya Bin punya hati nurani yang mulia. Memang seharusnya sahabat adalah saling menjaga kepercayaan dan tidak mencuri apa yang sudah dimiliki sahabatnya. Gue mulai luluh.....

Ban menyikut gue, “Heh dia itu Cuma akting aja kali.”
Gue jadi mengamati Bin secara seksama. Apakah akting atau memang nangis beneran dari lubuk hati yang paling dalam. “Elu gak usah sandiwara gitu dech.....” gue mulai mempercayai Ban.
“Akting gue jelek ya?” tanya Bin sambil menghentikan sandiwaranya. “Bagian mana yang jelek?”
“Mana ada orang nangis dari hati lubuk paling dalam malah sibuk kucek-kucek mata, elu tuh cuma kelilipan.” Ban menunjuk Bin yang matannya merahi. Disekitarnya juga ada remah kotoran dari atap.
“Tapi gue serius Banci.... gue nggak mungkin ngerebut suami orang, apalagi suami sahabat gue sendiri,” ujar Bin serius dengan mengacungan telunjuk dan jari tengah sebagai tanda swear.
“Elu tuh nggak ngerebut,” tandas gue percaya pada Bin. “Tapi elu “make” pacar temen elu sendiri Bincung.”
“Terserahlah apa pun itu sejenisnya, yang penting gue nggak ada maksud jahat sama elu Banci. Kalau gue tau itu sudah jadi pacar elu, gue juga nggak mungkin ngewe sama dia.” suara Bin terdengar penuh penyesalan. “Gue kenal dia dari Grindr. Dia yang pertama nyapa gue.” Bin menceritakan awal kronologi bertemu dengan mantanya Ban.
“Terus elu emang daasar keganjenan langsung ngajak ngewe,” tuduh Ban yang masih kesal dengan menebak kelanjutan kronologi.

Bin hanya menghela nafas, mencoba meredam emosi. Gue tau, Bin sedang gregetan sama Ban yang nggak percaya setiap omongan yang keluar dari Bin. Itu wajar aja sih kalau orang lagi marah pasti gak peduli apa yang dikatakan pelaku kejahatan.

“Dia yang ngajak ngewek, awalnya gue nggak mau karena sedang dalam program perngurangan ngewe. Tapi emang dasarnya setan itu selalu pinter, akhirnya kena bujuk rayu apalagi dia pamerin foto bugilnya,” Bin terus nyerocos tanpa memperdulikan Ban yang menyela omongan.
“Mana? masih ada gak fotonya? Gue liat donk,” gue penasaran “barang” yang diributkan oleh kedua sohib gue, namaya juga homo selalu aja penasaran dengan “barang” milik lakik, apalagi dia kategori bibit unggul cakep. Gue langsung mendekat Bin.
“Heh nggak usah ikut-ikutan gatel ya kayak Bincung itu.” Ban ngepruk kepala gue dengan gulungan koran, yang tadi gue beli di depan kampus. Ada koran Rp.1000 lumayan murahkan. Bermanfaat pula buat ngelap pejong berceceran di lantai. Gue membalas dengan nyengir.

Bin menyerahankan smarthphone ke Ban sebagai barang bukti bahwa dirinya memang tidak bersalah. Semuanya ada dalam percakapan di aplikasi Grindr. Awalnya Ban ragu untuk membaca karena sudah yakin bahwa pelaku utamanya memang Bin yang suka kegatelan. Tetapi setelah gue desak akhirnya mau juga membaca percakapan mesum antara Bin dengan mantan pacarnya Ban.

Setelah membaca isi percakapan itu Ban terdiam sesaat, entah apa yang dipikirkan. Apa mungkin jadi semakin marah atau merasa besalah telah menjambak Bin. Sahabat gue yang satunya lagi sedang berharap-harap cemas, mengharapkan bukti tersebut dapat meluruhkan prasangka buruk.
“Bin maapin gue ya? Udah nuduh elu yang nggak-nggak. Merebut suami orang,” ucap Ban lirih menyesal pada perbuatannya. “Tetapi tuduhan elu sebagai makhluk bitchy emang benar adanya,” Ban tersenyum mengejek.
“Tuh.....kan.....!!” sekarang gantian Bin yang sewot. “Makanya ada orang cerita itu dengerin dulu, jangan asal njambak gitu!”
“Iya maaf dech......gue yang salah,” Ban serius meyesali atas kejahatan fitnah.
“Elu udah baca sendiri kan? Yang mulai duluan dia kan? Elu juga mau-maunya jadian sama dia.” Bin semakin membara emosinya yang nggak terima dituduh biang kerok penggodaan.
“Iya udah sih maap. Itu salah gue waktu itu gak kasih pengumuman ke kalian semua kalau gue punya pacar dan gak kasih tau tampang foto kayak gimana,” Ban menunduk takzim, pasrah dimarahin Bin.

Selanjutnya kita bertiga pelukkan, sebagai tanda perdamaian. Adegah haru ala sinetron yang biasanya dalam persahabatan cewek terjadi juga dalam kehidupan gay. Kita yang gay itu unik, cowok yang punya sifat setengah lakik setengahnya lagi campuran perempuan yang PMS dan lakik yang kekurangan hormon estrogen.

“Tapi lakik elu, jago dech,” Bin nyengir penuh kemenangan.
“Jadi yang kamu bekasannya Bin?” sela gue mentap Ban. “Atau elu Bin, bekasannya Ban?” gantian gue menatap Bin dengan jijik.

Kita bertiga saling menatap lalu tertawa terbahak-bahak. Kita mengalami sesuatu yang absurd dalam dunia gay. Siapa saja bisa jadi bekas dari kumpulan homo yang lain, karena dunia homo itu kecil dalam satu lingkup kota. Dia bisa menjadi bekas gue lalu berpindah ke mereka-mereka yang haus sex.

Kita juga menertawakan kebodohan sendiri. Bahwa persahatan dalam dunia gay memang rawan berantakan hanya karena urusan lelaki. Jika ada satu lelaki direbutkan oleh dua orang sahabatan ini maka persahabatan menjadi taruhan, siapa akan mengalahkan shanya untuk mendapatkan satu lelaki. Persahabatan akan menjadi absurd ketika ada lelaki yang mencoba mempengaruhi mereka. Sudah hal lumrah atau terlihat wajar saja ketika persahabatan bubar karena pacarnya A berselingkuh dengan B. Bisa saja kejadiannya dibalik B yang terlebih dahulu menggoda pacarnya A. Kebenaran cinta selalu menjadi kambing hitamnya untuk melegalkan perselingkuhan. Akar dari perlingkuhan homo adalah rasa penasaran sex.

Gue sendiri nggak tau harus gimana. Kalau pacar dikenalin sahabat takut direbut sahabat sendiri, atau pacar gue yang menggoda sohib. Jadi lebih baik cari sahabat itu yang beda selera cowok, jadi misalnya gue suka gadun, kita cari sahabat yang suka brondong. Kemungkinan kecil untuk jambak-jambakan karena rebutan cowok. Selain itu jagalah kepercayaan, karena persahabatan lebih mahal dari pada satu lelaki murahan. Tapi kalau dudah ursan sex semuanya jadi buram. Jadi pilihan elu adalah pilih sahabat atau hasrat mu?

“Jadi kalian sudah damaikan?” tanya gue pelan sambil memandang Bin dan Ban. Mereka juga saling pandang.
“Gue sih udah nggak masalahin lagi,” jawab Bin kalem.
“Hhhmmmmm,” Ban menggumam masih mencari-cari uneknya.
“Udah dech nggak usah cari gara-gara lagi,” Bin mendengus kesal, yang melihat Ban tampaknya belum mau mengakhiri pertengkaran.
“Gue masih sebel sama elo karena.......,” Ban sedang mencari kesalahan Bin. “Oh ya elo belum balikin vibrator punya gue,” wajah Ban tampak cerah setelah mengingat sesuatu yang tampaknya sudah lama dipendam. “Elu juga belum balikin alat pompa, terus...... belum balikin kondom yang elu semana-mena ambil,” Ban terus menyerocos barang-barang yang dipinjam Bin.

Sulit dipercaya Ban yang tampangnya kalem punya sebegitu banyak alat “permainan”, what the hell. Jujur aja gue kaget banget, dibelakang gue ternyata mereka suka pinjem-pinjeman kayak gitu. Oh ternyata aku hanya tau permukaan mereka saja, masih banyak yang gue belum tau tentang mereka. Emang sih sahabatan nggak semuanya perlu diketahui, nggak semuanya juga perlu diceritakan. Persahabatan adalah misteri, kita tidak akan pernah tau sahabat sejati kita seperti apa dan bagaimana, padahal kita sudah lama mengenal.

Muka Bin merah padam, gue nggak tau antara marah atau menahan malu dihadapan gue. Bin sudah siap-siap menyemprot Ban. “Elo tuh ya.....emang ngeselin, cari-cari masalah.”
“Elu juga yang ngeselin pinjem barang nggak dikembalikan,” nada suara Ban naik satu oktaf. Kayaknya bakal ada perang mulut lagi.
“Masa iya kondom bekas gue pake ada pejong gue balikin ke elo? Menjijikan sekali,” Bin bergindik ngeri.
“Ya itu barang-barang yang elo pinjem,” Ban berkilah.
“Oh sekarang main itung-itungan?” tanya Bin semakin kesal. “Emang gue sebel apa sama elo? Tiap dugem minta bedak, belum lagi masker gue sering elo pakai juga kan? Elu kalau pakai lulur gue banyak banget.” Sekarang gantian Bin yang mengeluarkan unek-uneknya.
“Lah gue pikir nggak dipakai, masih banyak gitu padahal sudah mau lewat tanggal kadularsa,” timpal Ban merasa tidak bersalah.
“Gue beli pas lagi diskon yang emang udah mepet kadaluarsa, eh elu main embat aja.” Bin tambah murka aja atas pernyataan Ban, apalagi ngomong sambil nyengir-nyengir.
“Ya dech nanti gue ganti........,” kali ini Ban yang merasa bersalah.
“Eh baju gue yang pink, di pinjem elu gak?” tanya Bin pada Ban menyelidik.
Ban menggelengkan kepala, tanda baju Bin tidak ada dilemarinya. “Terus celana gue yang agak bitchy di elo gak?” Ban balik bertanya pada Bin.

Bin menggeleng juga. lalu keduanya menatap gue. Tanpa persetujuan gue mereka langsung mengacak-acak lemari gue. mereka mendapati barang mereka kembali. Bukan maksud gue nggak mau balikin tapi belum sempat.

“Ya ampun ini kan G-String yang gue baru pake sekali terus elo pinjem,” mata Bin berbinar-binar menemukan harta karunnya.
“Ini juga kan singlet kesayangan gue,” kali ini Ban yang semangat.
“Elo nimbun pakaian kita ya?” tanya Bin sambil mata mendelik.
“Nggak gitu, waktu itukan gue main ke tempat kalian nggak bawa pakaian ganti, gue pinjem dech,” sekarang tersangkanya adalah gue.

Selanjutnya mereka packing baju mereka sendiri yang gue pinjam. Gue pasrah aja ada perampokan di kamar gue. Pertengkaran antar sahabat homo adalah hal remeh temeh tentang pinjam meminjam yang nggak dikembalikan atau bisa juga lupa atau pura-pura lupa mengembalikan. Kelihatannya sepele sih sih tetapi itu juga menentukan. Elo juga nggak maukan barang kesayangan elo dipinjem terus nggak dibalikkin.

“Kita semua sudah impas kan? Nggak ada lagi marah-marahan.” Gue menyimpulkan semua masalah telah kelar. “Maafin gue ya,” gue menangkupkan kedua tangan, sebagai tanda permintaan maaf.
“Iya gue juga salah koq,” Bin ikut-ikutan.
“Gue udah suka nyusahin kalian,” sambar Ban.

Semua permasalahan elo bisa diselesaikan dengan baik-baik asal ada niat untuk berdamai. Penyelesaian masalah dengan hati, bukan dari emosi. Kalau kita sudah emosi semua bisa lepak kendali. Saling mendengarkan untuk memahami dan menganalisa permasalahan. Jangan terpengaruh dari orang luar. Biarkan kalian berdua yang menyelesaikan. Orang luar hanya sebagai penengah dan tidak memihak. Persahabatan adalah hal yang indah, dimana seseorang bisa menerima elo apa adanya tanpa protes. Mereka orang-orang dibelakang kita yang selalu mendukung meskipun elo jadi orang yang salah, tapi mereka berusaha menguatkan kita untuk tidak terpuruk.

“Gue juga udah lupain lelaki brengsek itu,” ucap Ban menegaskan sudah tidak ada masalah lagi dengan Bin mengenai mantannya. “Gue lagi pedekate sama anak PTN juga.”
“Cepet amat lu dapetin gebetan,” goda gue.
“Iya donk gerak cepat, udah perlu dijatah,” sesumbar Ban renyah.
“Gue juga lagi deket sama cowok, anak kampus biru juga,” Bin memberi pengumuman, tetapi dengan nada khawatir.
“Anak teknik?” tanya Ban ikutan khawatir. Bin menjawab dengan anggukan. “Asalnya dari Sumatera?” tanya Ban lagi. Bin sekali lagi mengangguk. Kedua saling berpandangan kahawatir.
“Namanya Hamdan?” tanya Bin hati-hati.
“Bukan, namanya Gani,” jawab Ban. keduanya bernafas lega karena cowok gebetan mereka berbeda nama.
“Bukannya nama panjang dia, Hamdan Ganiayasha?” tanya gue menyela. “Yang ini kan fotonya?” gue menunjukan foto di smarthphone yang sudah terhubung dengna aplikasi Grindr. Kedua sahabat gue langsung merangsek gue untuk melihat foto. Setelah melihat foto itu mereka saling pandang.
“Itu punya gue.......,” pekik Bin histeris.
“Yee..... gue duluan yang kenal,” Ban nggak mau kalah.
“Tapi itu sudah gue tag, nggak boleh ada yang lain,” Bin semakin histeris
“Nggak bisa gitu donk.... gue udah ngalah lepasin mantan cuma buat yang baru ini,” Ban ngotot untuk mendapatkan gebetan barunya itu.
“Kemaren gue sebenernya udah ngalah elo dapetin lakik brengsek itu, karena gue sudah ada penggantinya yaitu Hamdan!!” Bin membentak di muka Ban.


Pertengkaran mereka semakin panas saja. Gue memperkirakan bakal ada jambak-jambakkan episoe dua. Dan sudah nyata lelaki adalah perusak persahabatan homo.

Bersambung

TELAH TERBIT BUKU BERTEMA LGBT. DI JUAL SECARA ON LINE. KLIK SINI UNTUK PEMBELIAN BUKU. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE


Monday 12 October 2015

Keputusan Ku


Sepanjang hari Tri murung di kamar. Peristiwa kemarin masih terngiang dengan jelas, hal itu merupakan pukulan telak. Tri kecewa pada diri sendiri karena menganggap telah melakukan kebodohan melamar Roro. Selain itu Tri juga kecewa terhadap Roro yang selama ini tidak jujur mengenai penyakitnya. Dua kekecewaan yang melebur menjadi satu. Cintanya seakan terhempas begitu saja.

Tri masih bisa bernafas lega, bapaknya Roro masih memberikan waktu untuk memikirkan ulang lamaran. Meskipun begitu tetap saja membuat tersiksa Tri, pikiran itu masih menggelayut, memilih melanjutkan hubungan dengan Roro atau melepaskan begitu saja.

Pilihan yang sulit dan mengusik pikiran. Bila terus melanjutkan hubungan dengan Roro ada kemungkinan tidak bisa punya anak. Padahal, disebut keluarga karena ada ayah, ibu, dan anak. Kehadiran anak melengkapi kebahagiaan keluarga. Penerus silsilah keluarga juga dari anak. Intinya bagi Tri adalah anak harus wajib ada di dunia, bukan hanya di awang-awang.

Untuk mengakhiri tali kasih juga tidak semudah memutuskan benang. Sudah terlalu jauh berjalan bersama Roro sebagai kekasih. Banyak kenangan yang sudah membekas di hati. Tri merasa nyaman di samping Roro yang punya sifat keibuan, apalagi masakan Roro sangat enak mirip buatan ibu. Salah satu alasan Tri mencintainya kerena masakan.  Awalnya Tri juga yakin Roro akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak. Tapi sekarang anak adalah harapan hampa bila melanjutkan hubungan dengan Roro ke dalam pernikahan.

Sejak pulang dari Solo, belum ada kabar dari Roro. Tri juga masih belum bisa menghubungi Roro dalam keadaan kalut seperti ini. Tri takut jika masih emosi akan membuat kuputusan yang salah, ini adalah masalah hidup untuk jangka panjang. Tri ingin ambil keputusan dengan tepat dan tenang.

“Heh!! Ngelamun aja!!!” Tangan Abi memukul pundak Tri untuk menyadarkan dari lamunan.

Tri segera tersadar, untung ada Abi yang menghentikan akitifitas melamun. Bila dilanjutkan ngelamun berkempanjangan bisa stres jiwa Tri.

“Nggak ngelamun,” Tri menyangkal sambil menghela nafas, mencoba meluruhkan semua beban fikiran.
“Nggak ngelamun tapi masih mikirin yang kemarinkan?” tebak Abi sambil menyodorkan makanan yang dipesan Tri.
“Gimana nggak mikirin, kalau dihadapkan seperti itu,” Tri mendengus kesal dengan polemik masalahnya sendiri.
“Kalau cuma dipikir nggak akan menyelesaikan.” Tri mengambil kursi di samping Tri yang kosong karena belum diduduki sama yang punya. “Kamu harus membuat keputusan.”
“Roro aja belum hubungin aku,” entah kenapa Tri malah mengkambing hitamkan Roro.
“Dia itu sedang menunggu keputusanmu,” Abi menekankan pada kata menunggu. Abi ingin Tri segera membuat keputusan.
“Jika ini terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan?” Tri membalikkan pertanyaan. Tri ingin mendengarkan opini dari pihak lain, jika mendapat masalah yang sama.
Abi malah jadi tercenung mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang rumit dari Tri. Sebisa mungkin Abi mencari alasan yang bijaksana.

“Apapun kedaannya, siap menerima hidup bersama orang yang aku cintai. Meski dokter memovonis seperti itu, masih ada Tuhan yang selalu memberi keajaiban. Kebahagiaan bukan dari anak saja, tapi yang penting kualitas hubungan oranga tuanya juga.” Abi terperangah atas ucapannya sendiri, hampir saja melonjak kegirangan telah menciptakan kata-kata yang super memotivasi.

Tri juga ikut takjub oleh kata-kata super motivasi dari sahabatnya. Mulut Tri sampai ternganga mendengarkan ucapan Abi yang tumben banget benar. Biasanya dia selalu mengomentari seadanya saja itu juga masih mending, lebih menjengkelkan kalau menanggapi tidak serius dengan guruauan yang garing.

Tri kembali berfikir ulang tentang hubungannya dengan Roro. Apa yang dikatakan oleh bi ada benarnya. Bahwa segala sesuatunya memang Tuhan yang menentukan, manusia hanya berencana dan berangan-angan. Siapa tahu memang ada keajaiban kalau Roro bisa hamil dan melahirkan anak, Tuhan maha penentu.

Abi terus menerawang raut wajah Tri yang masih tampak ragu dan gundah. Tatapan mata Tri masih kosong, tandanya masih memikirkan.
Bro..... keraguan itu akan sirna kalau kamu memang benar-benar mencitai Roro,” Abi mencoba mengembalikan rasa optimis pada sahabatnya.
“Aku nggak ragu.....” suara Tri tercekat memikirkan kelanjutannya. Tri bingung dengan semua ini.
“Gini dech. Anak itu hasil dari percampuran manusia. Kita lelaki nggak bisa menghakimi kalau semua salah istri kalau tidak menghasilkan anak. Mentang-mentang punya rahim semua bisa diserahkan oleh istri. Nggak jugakan,” Abi tahu betul apa yang masih difikirkan oleh Tri.

 helaan nafas panjang keluar dari mulut Tri setelah ucapan Abi rampung. Abi masih menebak kalau Tri memikirkan jika semua penentu dari keturunan adalah dari pihak istri. Apa yang di kepala Tri memang begitu.

“Dari suami juga bisa menentukan terbentuknya anak atau tidak. Jadi yang mandul itu nggak cuma dari istri. Sapa tau sperma dari suami kurang bagus, jadi nggak bisa bikin keturunan juga kan?”  Abi kembali melanjutkan omongannya yang tadi sebenarnya belum selesai. Tadi Abi mengambil jeda untuk melihat reaksi Tri, tetapi ternyata sama saja, Tri terbungkam dengan pikirannya sendiri.

Hati Tri mencelos setelah mendapat hujaman kata-kata dari Abi yang sedikit menyayat. Untuk kesekian kalinya omongan Abi benar. Pihak suami juga bertanggung jawab atas pembuahan. Bukan sekedar ejakulasi saja, tetapi apakah spermanya berkualitas atau tidak.

Dalam benak Tri, apa perlu juga dirinya memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui kondisi spermanya. Bisa saja dirinya yang mandul. Setidaknya mengetahui lebih dini agar bisa mengantisipasi atau melakukan rencana untuk menghasilkan anak.

“Pikirkan baik-baik lagi bro,” Abi mengakhiri diskusi. “Lebih baik kamu segera bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengan Roro.”

Ahhh Abi kembali mengingatkan tentang keberadaan Roro. Tapi bagaimanapun juga memang harus segera dibicarakan untuk menentukan rencana kedepan atau berhenti sampai disini saja.

@@@

Seragam kerja masih melekat di badan Tri. Sejak pulang kerja, Tri hanya terpekur di sofa. Tangan kanan menggenggam smarrthphone. Berulang kali Tri coba menghubungi Roro namun ketika nomor sudah ada di depan mata, diurungkan lagi. Ada banyak yang harus dibahas bersama Roro, tetapi Tri belum menemukan kalimat pembuka.

Pertama Tri harus membahas tentang perkawinan, entah mau dilanjutkan atau berhenti. Itu semua tergantung dari keputusan kedua belah pihak. Tri belum bisa membuat keputusan, hatinya masih galau. Impian yang selama ini ada dibenaknya berantakan oleh sebab terkuaknya penyakit yang diderita Roro.

Kedua masalah keturunan, itu juga membelenggu fikiran Tri untuk mempertimbangkkan pernikahannya dengan Roro. Meski Abi sudah mencoba menenangkan Tri, namun masih saja gundah. Tri masih berkutat bahwa anak adalah sumber kebahagiaan. Sampai saat ini juga belum tahu kedepannya bagaimana.

Pihak keluarganya Tri juga perlu difikirkan. Sebenarnya ibu sudah sreg dengan Roro, karena sudah sering bertemu. Mereka juga cocok sebagai menantu dan mertua. Tapi apa jadinya jika ibu mengentahui kalau Roro ada riwayat kanker dan kemungkinan tidak bisa punya anak. Bisa pula ibu berubah fikiran untuk tidak merestui.

Arggghhh ketiga masalah ini bersemayam di otak Tri. Semakin memikirkan semakin membuat frustasi. Segera diselesaikan tapi entah dari mana untuk mengawali menyelesaikan. Tri takut bertemu dengan Roro. Takut untuk memutuskan hubungan atau melanjutkan dengan berbagi masalah yang sudah menghadang. Rambut Tri sudah acak-acakkan terlalu sering digaruk, rasanya segarukan saja sudah hilang tetapi apa daya garukkan itu bukan sebuah sulap.

 Saat Tri akan melempar smartphonenya ke sofa tiba-tiba bunyi tanda ada pesan masu dari Whatsapp. Di layar tertulis nama Roro, jantung Tri berdegub kencang. Tri takut membuka isi pesan tersebut. Tapi mau nggak mau tri memang harus membaca.

Dari: Roro
Pesan : Kita perlu bicara, kapan kita bisa bertemu?

Singkat dan jelas isi pesan tersebut. Roro sudah meminta kejelasan hubungan ini. Kali ini memang mau tidak mau Tri harus menghadapi kenyataan hidupnya lagi. Tidak mungkin untuk dihindari lagi.

@@@

Akhirnya Tri bertemu dengan Roro saat makan malam di restoran favorit mereka. Roro yang menentukan tempat dan waktunya, karena Tri tidak bisa mengambil sikap. Pesan singkat yg dikirimkan tidak dibalas jadi terpaksa Roro telpon. Tri hanya bisa mengiyakan saja apa yang dimau Roro untuk bertemu.

Baru kali ini Tri merasakan makan malam dengan suasana dingin meskipun bersama orang yang dicintai. Sejak bertemu mereka masih belum membahas apa-apa. Tri tidak bisa untuk memulai membahas masalah yang pelik ini.

“Mau sampai kapan mas diam seperti ini?” Roro mengambil inisiatif untuk memulai penyelesaian masalah. “Aku butuh kejelasan. Kita lanjut dengan segala resiko atau bubar sampai disini?” tanya Roro lagi dengan penuh penekanan agar Tri bersikap.
Mulut Tri masih terbungkam, otaknya bekerja keras untuk segera menguraikan permasalahan dan segera dibicarakan. “Aku masih mencintaimu Ro,” hanya kalimat itu yang terucap, sudah merangkum apa yang di hati Tri.
“Aku nggak butuh sekedar cintamu saja mas.” Roro secara tidak langsung menyindir Tri yang masih plinplan dalam mengambil keputusan.

Tri tidak menanggapi omongan Roro. Benaknya berseliweran kemesraan antara Tri dan Roro akan tetapi disudut jauh sana ada bayi yang terus menjauh. Mungkin itulah ganjalan untuk melanjutkan hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun.

“Ya sudah kalau kamu diam saja, lebih baik aku pergi. Aku menyimpulkan hubungan kita berakhir. Aku ikhlas.” Roro mengamasi smartphone yang tergeletak di meja untuk dimasukan ke dalam tas dan bersiap akan pergi. Meski berusaha tegar, hatinya terluka.

Tri menggenggam tangan Roro, tanda agar jangan pergi. Roro bergeming dibangkunya menunggu reaksi Tri selanjutnya.

“Aku masih mencintaimu,” Tri mengulang pernyataan lagi.
“Tapi.....?” Roro mendengus kesal, karena pasti ada lanjutannya lagi.
“Tapi apa kita akan bahagia hidup tanpa anak?” tanya Tri dengan hati-hati.

Roro kembali menyenderkan badan di kursi, mencoba kembali santai. Dalam hatinya masih kesal, dengan pertanyaan bodoh pacarnya. Kenapa harus menanyakan itu, padahal sudah tahu kalau Roro bakal susah punya anak.

“Harusnya itu yang jadi pertanyaanku padamu mas,” Roro membalas dengan kesal. “Aku yang punya rahim bermasalah, jadi sudah siap apapun yang akan terjadi,” nada bicara Roro semakin ketus.
“Maaf,” Tri tertunduk lesu, menyadari pertanyaanyalah yang salah.

Belum bisa menghadapi kenyataan itu yang dialami Tri, sehingga mencari cara agar seolah-olah Roro yang tidak bisa menghadapi kenyataan jika nanti dalam pernikahannya tidak punya anak. Tri juga semakin terpojok, dan semakin dekat dalam memutuskan apa yang akan dilakukan.

“Jujur saja, aku masih shock. Aku belum tahu harus berbuat apa dan bagaimana menanggapi ini semua,” Tri berbicara dengan hati-hati dan pelan. Takut tambah melukai Roro.
“Aku sudah memberikan waktu berhari-hari untuk berfikir. Masa sampai sekarang belum bisa memutuskan,” cetus Roro semakin galak saja.
“Aku siap menjadi suamimu,” kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa menghiraukan bayangan bayi yang mengelayut di benak Tri.
“Apapun itu resikonya? Meskipun aku tidak bisa punya anak?” tanya Roro untuk menegaskan kembali.

Tri kembali merenung. Kenangan masa lalu hadir menyibakkan bayangan bayi. Sudah banyak hal yang telah dihadapi berdua bersama Roro termasuk masalah pelik. Roro sudah banyak pula membantu Tri. Bukan maksud dengan menikahi Roro sebagai balas budi tetapi sebagai rasa cinta. Jika masalah yang lalu bisa dilewati kenapa tidak masalah didepan.

Kalimat yang diucapkan Abi juga bermunculan, hal itu membuat keyakinan bahwa anak bukan segalanya dalam pernikahan. Kebahagian pernikahan tergantung dari suami istri itu sendiri. Anak sebagai pelengkap kehidupan kita, anak juga bagian dari ujian untuk orang tauanya. Masih ada harapan pula Roro bisa hamil, akan ada banyak cara untuk mempunyai anak.

“Aku siap!!” Tri mengangguk dengan mantap, tanpa ketinggalan senyumnya ikut merekah. Roro juga ikut tersenyum dan mereka berpelukan hangat.
“Tidak seharunya aku meninggalkan mu,” lanjut Tri dengan berbisik. “Aku tahu pernikahan pasti mengharapkan anak, tapi tanpa anak kita juga bisa bahagia,” Tri berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja meskipun tanpa anak.
“Bagaimana dengan keluarga kamu?” Roro segera melepaskan pelukan, karena menyadari masih ada masalah untuk melanjutkan pelaminan.