Weekend ini gue sama Ban ada acara ngumpul-ngumpul sama gank rempong. Isinya
homo-homo Jogja dari berbagai kalangan. Sebenernya mereka temennya Ban. Gue akui
Ban lebih banyak bersosialisasi dengang kalangan homo dengan cara meet and rumpik. Gue sendiri suka bertemu secara
personal alias berduaan saja.
Gue juga makhluk
sosial yang masih perlu sosialisasi, bukan berarti gue jadi emak-emak sosialita
juga. Acara kumpul-kumpul memang masih perlu untuk berdiskusi. Untuk acara orgy
gimana? Kalau itu terserah kalian,hahahhaa. Jadi sesuaikan saja tujuan kalian
untuk berkumpul-kumpul.
Sekarang lagi acara
ngumpul di Dixie, tempat nongkrong anak gaul Jogja jaman dulu. Hampir semunya
gue kenal mereka karena sebelumnya emang udah pernah ngumpul bareng. Ada pasangan
yang sedang pacaran, ada yang pacarnya nggak dibawa sisanya adalah jomblo
ngenes, termasuk gue dalam golongan itu.
“Rese dech sekarang
Grindr jadi tempat jualan,” Andi membuka topik obrolan sambil menggeser-geser
jempol di smarthphone. Wajahnya juga
keliatan kesal.
“Idih... masih pake
gituan, hahahaha,” ledek Ban, diikuti yang lain juga.
“Alaaah elu juga pake
koq.” Gue langsung merebut smarthphone
Ban yang tergeletak di meja. Kebetulan masih belum ke kunci jadi dengan gampang
gue bisa pamerin ke lainnya kalau Ben pakai aplikasi tersebut. Gue ngeliat Ban
cuma nyengir kecut.
“Bener tuh disitu udah
kayak etalase toko “kucing” aja,” Ta’ul ikut membenarkan pendapat Andi.
“Ganteng sih, tapi
tetep aja belagu. Mending beli “kucing” langsung di Pak Hasan,” Yoga ikut
nimbrung obrolan ini.
“Gantengkan emang buat
modal jualan. Di Pak Hasan pun ganteng-ganteng juga kan?” timpal Wahyu.
Tampaknya akan ada
obrolan yang cukup menarik, topiknya pun sesuatu yang hot. Sebelum kepanjangan
mereka ngobrol, gue mau jelasin satu persatu. Pertama dari Grindr, yaitu
aplikasi sosial media yang khusus gay. Aplikasi ini tersemat di smarthphone, fitur unggulannya adalah
gay dar, jadi bisa melacak homo yang ada disekitar kita berdasarkan sistem GPS
antar sesama pengguna Grindr. Sekarang kalo elo yang katanya punya gay dar
alami sudah nggak bisa dibanggakan lagi karena telah digantikan oleh Grindr :p.
Pak Hasan adalah germo
yang menyediakan “kucing”. Upz ini bukan kucing beneran tapi tanda kutip,
maksudnya adalah cowok yang kerja dibagian pelayanan prositusi, istilah
kasarnya adalah pelacur cowok. Gue juga sampai sekarang nggak tau kenapa
disebut kucing. Sekarang balik lagi ke obrolan.
“Makanya sekarang gue
males buka Grindr isinya cuma gitu-gitu aja. Mending main MIRC. Di Grindr kalau
nggak kucing ya homo rasis (<== klik artikel homo rasis),” gue ikut menanggapi betapa menyebalkan itu.
“Gu pernah ketipu sama
Grindr. Di situ tampangnya sih cucok ya, udah gitu body ok. Eh pas ketemu malah
gitu dech,” Ta’ul ikutan curhat.
“Itu masih mending ya cuma ketipu tampang,”
seloroh Ban, “Temen gue ada yang ketipu, untungnya nggak parah. Dia dapat
kenalan dari Grindr, ngajak ketemu, biasalah untuk ngewe. Terus dia ketemu, eh
ternyata yang ditemuin itu kucing, pas lagi siap-siap mau ngewe tuh kucing
malah nanya mau bayar berapa. Bikin keki gak tuh?” lanjut Ben bercerita dengan
semangat.
“Untung tuh belum
ngewek. Ada temen gue juga udah ngewe giu oh yes oh no, pas udah kelar eh malah
ditagih malah mintanya maksa pula, pakai ngancam kalau nggak bayar
teriak-teriak. Dia akhirnya bayar juga 300ribu cuma buat gituan. Fuck
benerkan!!,” Dion yang dari tadi diam akhirnya ngomong juga, apalagi dengan
gaya yang frustasi.
“Eh kayaknya itu
pengalaman kalian dech,” celetuk gue dengan tampang dipolos-polosin. Disambut
lainnya dengan gelak yang heboh. Gue ngeliat Ben dan Dion cemberut.
“Jadi mending kita
nggak usah pakai aplikasi itu,” Andi mengambil kesimpulan sepihak.
“Iya, di Grindr itu
banyak jebakan batman,” Ta’ul ikut mendukung Andi. “Yang bikin nggak kuat itu
juga rasisnya, elu nggak cakep atau body gak ok, elu mau kayang sambil
glepar-glepar pun nggak bakal ditanggapin,” imbuh Ta’ul agak kesal. Nampaknya
Ta’ul pernah mengalami pengalaman buruk juga.
“Kalau kata gue ya,”
gue mulai mengambil perhatian. “Gue sih anggep yang salah bukan Grindr, itu cuma
aplikasi sosial media biasa aja koq sama seperti Fb, Twitter, Google Plus, atau
yang lainnya. Toh di sosmed yang lainnya juga sama aja seperti itu ada yang “jualan”,
buat beda adalah kalian user acitve
di aplikasi tersebut. Kalian juga menganggap lewat Grindr cara termudah dapetin
kencan. Usernya yang menyalah gunakan
fasilitas itu...” gue menutup pidato dengan mengacungkan telunjuk ke udara
sebagai penekanan.
“Kaya gini sih contoh
nyatanya adalah alun-alun utara di situ kan sebenarnya tempat umum, tapi di situ
juga buat tempat nongkrong gay dan ada yang “jualan” juga, nggak sedikit yang
ngelakuin gitu. Akhirnyakan tempat itu malah jadi prostitusi terselubung juga
kan? Padahal di situ juga masih ada homo yang baik-baik juga. Grindr pun sama
seperti itu, nggak semua user
jualan,” Ban nambahin omongan gue, yang lain cuma manggut-manggut takzim
menyetujui pendapat Ban.
Kalo menurut gue sih
nggak ada yang salah dengan sosmed apapun itu namanya. Media sosial ka memang
untuk bersilaturahmi, menjalin persahabatan di lain tempat. Kita juga sering
dapat manfaatnya juga kan? Ketemu teman yang lama banget nggak ketemu. Kita
juga sering denger berita ada reuni keluarga gara-gara dapat info dari sosmed
dan masih banyak contoh kebaikan lainnya.
“Di Grindr juga lebih
aman untuk “jualan”. Gampangannya seperti tempat lokalisasi tapi dalam dunia cyber. Aman dari keluarga kita, kalo di
Facebook, Twitter, Path, dan lain-lain keluarga kita masih bisa mengakses dan
sapa tau malah kelink,” Dion memberi
penjelasan lain kenapa prostitusi marak di Grindr. Suatu penjelasan yang masuk
akal buat gue.
“Kalo misal tiba-tiba
nongol bokap di Grindr, berarti bokap homo juga donk,hahaha,” celetuk gue
dengan gelak diikuti yang lainnya untuk mencairkan suasana.
“Nama juga escort gimana punya juga punya cara biar
dagangannya laku, pasti dia pun punya acount di Manjam, Planet Romeo (PR), Hornet dan
sebangsanya itu,” timpal Dion santai sambil siap-siap makan spageti.
“Setidaknya di PR
sudah jelas, di situ sudah ada kolom escort,
jadi kucing-kucing sudah ditempatkan pada kamar khusus. Orang-orangpun otomatis
yang mau “jajan” kesitu,” Yanto mengambil alih pembicaraan, “Coba aja di Fb,
Twitter dan Manjam serasa absurd. Apalagi yang Fb escortnya pun abal-abalan.”
“Curcol ya Yan?” gue
kembali nyeletuk, ditambah lagi dengan senyum jahil. Mendengar sentilan gue,
yang lain pada ketawa ngakak. Gue ngeliat mata Yanto mendelik galak.
Gue boleh mengakui
sosmed merupakan tempat yang tempat efektif untuk menjual diri, karena disitu
terhubung dengan bermacam-macam orang. Sosmed sudah jadi “etalase toko”, toh
sekarang sedang trend toko on line.
Prostitusipun mengikuti trend yang ada di masyarakat, menawarkan jasanya lewat on line. Kita tinggal mengintip mereka untuk melihat barang yang dijual (kalau yang
dijual kucing, pasti akan menampilkan badan yang setengah bugil, ditambah quote untuk lebih menyakinkan produknya
memang bagus), kalau ada yang cocok kita tinggal private messege, untuk menanyakan harga dan service apa yang akan
didapat. Mereka akan bertemu kalau sudah sama-sama cocok. Simpelkan? Kalau
nggak cocok kita tinggal gerak-gerakkin jempol di smarthphone untuk cari lagi. Lihat foto kece, tinggal ditutul lagi.
Oke kayaknya gue nemu
pembahasan baru lagi, yaitu escort.
Bagi gue ada yang janggal mengenai pengertian escort, di Indonesia artian ini telah bergeser dari pada arti
sesungguhnya yang ada didalam bahasa Inggris, nanti gue jelasin.
“Bentar dech.... ada
yang janggal,” gue menyela omongan sebelum ada orang yang merebut jadi
pemibacara berikutnya. “Sebenernya apa sih arti dari escort?” gue mencoba membuat topik baru..
“Kucing!!!” jawab,
Yanto, Andi, Ta’ul, dan Dion secara bersamaan. Suara mereka lumayan keras, jadi
pengunjung lain secara reflek nengok ke arah rombongan homo yang lagi rumpik. Di
manapun berada rombongan homo emang selalu mencari perhatian kerena heboh. Gue
harus membiasakan diri jadi tembok kalau jalan sama mereka.
“Bukan!!” pekik Ban
agak keras, membuat yang lain melongo. “Escort
itu dalam kamus bahasa Ingris artinya pendamping, pengawal, atau pengiring.”
Ban menjelaskan dengan lugas dan penuh penekanan.
“Tapi tetep aja mereka
kucing atau ayam (pelacur cewek), pendamping yang bisa jasa plus plus,” Ta’ul
masih merasa yakin kalau escort sama
aja dengan pelacuran.
“Iya tuh... coba aja
liat staus atau kata-kata pembuka kucing-kucing di bio-nya, pasti ada kata-kata
escort,” Andi yang merupakan pacar
dari Ta’ul ikut membenarkan pernyataan pacarnya.
Ban diam sesaat sedang
mengutak-ngutik smartphone untuk
mencari bukti mematahkan asumsi mereka. “Nih bukitnya.....” Ban menunjukan
layar smartphone ke arah Ta’ul dan
Andi secara bergantian. Senyum Ban penuh dengan kemenangan.
“Jadi kalau di luar
negeri sana menyebut escort itu ya
arti positif, sebagai pendamping biasa aja nggak pake mesum. Kalau mau kucing,
mereka tetep menyebutnya sebagai gigolo,” gue sebagai pendukung Ban turut
membantu menjelaskan arti escort
sebenarnya.
“Ah elu Ben,
mentang-mentang sohibnya Ban belain dech,” Dion mendengus kesal. Dion adalah
pendukung Ta’ul yang beranggapan escort
sebagai kucing.
“Terus kenapa di sini
pada akhirnya berubah menjadi kucing?” tanya Yanto yang penasaran.
Gue dan Ban saling
berpandangan. Kita hanya memastikan atau secara nggak langsung membuat
kesapakatan siapa yang akan menjelaskan. Gue sama Ban punya pemikiran yang sama
dalam persepsi escort.
“Menurut gue sih ya,
di sini artinya menjadi beda karena terpengaruh dari Planet Romeo, disitu ada
kolom khusus untuk escort. Bagi orang
Indonesia beranggapan yang di situ orang yang bisa dibayar untuk ml,” Ban
menjelaskan menurut asumsinya sendiri.
“Bisa juga dari situ
dan menyebar kelainnya. Sebenarnya itu adalah kaprah dan masyarakat
mengamininya. Alasan lainnya juga pada istialah lady escort yang biasa ada di karokean. Sebenarnya mereka itu
pendamping orang nyanyi biasa aja. Cuma mereka bisa diajak ml dengan bayaran
lebih, jadilah arti escort pun
berubah,” gue ikut nambahin sedikit. Gue ngeliat mereka ikut serius menyimak
juga.
“Ouhh gitu.” Mereka cuma
menganggukan kepala sebagai tanda memahami apa yang barusan gue dan Ban
jelaskan.
“Bisa juga sih kata escort untuk memperhalus suatu istilah.
Coba aja kalau kita udah denger kucing atau gigolo, pasti kita akan
membayangkan macam-macam lebih cenderung ngerikan?” Dion yang sudah berubah
pemikirannya ikut beropini. Dion telah menyepakati kalau arti escort adalah pendamping.
Satu lagi diskusi yang
menarik telah dibahas, tapi sayang hanya sebagian kecil saja yang tau arti escort sebenarnya. Masih banyak
orang-orang yang nggak tau atau salahkaprah dalam memahami escort. Mereka bisa juga jadi agen penyebar untuk memperbaiki kesalahan
ini. Mungkin kamu juga sudah paham kan? Jadi beda donk antara escort dan gigolo.
“Terus menurut kalian
para kucing ini gimana?” gue membuka topik baru, tapi tetep masih berkaitan
dengan dunia perkucingan homo.
“Mereka tuh sama aja
sampah, kayak nggak ada kerjaan lain,” pendapat pertama dari Tau’ul dengan
frontal, bernada menghina.
“Mereka itu
menjijikan, ngobok-ngobok kesana kemari. Mereka juga diobok-obok,” komentar
Dion, nadanya juga sama dengan Ta’ul.
“Masih mending mereka
langsung dapet duit, lah elu diobok-obok sana mari nggak dapat duit,hahaha.”
Ban menyindiri omongan Dion, yang lainnya malah tergelak. Dion jadi mengkerut mendapat sindiran pedas.
“Kucing itu
mengerikan, mungkin hampir sama dengan apa kata Dion dan Ta’ul. Mereka mengerikan
karena kadang cara mereka yang suka menjebak, belum lagi banyak kasus
pencurian. Korban mereka waktu habis ngewe lagi mandi terus barang-barangnya
diambil.” Andi ikut menyumban suaranya.
“Buat gue ya, mereka semacam
wabah aja. Mereka pasti akan mengajak temannya untuk melakukan hal yang sama,”
ujar Yanto sambil menggetarkan badannya sebagai tanda bergindik ngeri.
Ok hampir semuanya
berkomentar negatif. Itu bagian kecil contoh pendapat kucing dari masyarakat. Mungkin
di tengah masyarakat akan lebih pedas lagi mengomentarin atau menghina mereka. Hal
itu terbentuk karena sudah ada stigma negatif di masyarakat kita yang katanya
memegang adat ketimuran, yang masih memegang kesopanan, bersusila baik,
beragama dan lain-lainnya. Jujur ya gue masih nggak ngerti adat ketimuran
seperti apa? Karena toh di masyarakat kita khususnya di kampung-kampung marak
juga dangdut keliling yang goyangannya mengundang laki-laki ngaceng. Banyak sekali
bokep-bokep beredar dengna kualitas 3gp yang pelakunya pejabat atau orang
terkemuka. Jadi Ada yang bisa jelasin adat ketimuran seperti apa?
“Lah menurut kamu
gimana?” tanya Andi pada gue.
“Kalau gue sih
ngeliatnya menyedihkan dan kasihan. Gue berpendapat mereka terjebak pada
pemikirian yang keliru dalam memaknai pilihan hidup mereka untuk mencari uang,”
kata gue sambil pura-pura mengusap air mata untuk menambah kesan drama.
“Ye..... apanya yang
dikasihanin. Itu kan pilihan mereka, sebenarnya mereka bisa koq cari pekerjaan
yang halal,” Dion secara frontal menyerang gue.
Secara taktis Ban
langsung berpendapat, sebelum ada perang argumen antar gue dengan Dion. “Buat
gue, kucing-kucing itu hebat. Mereka bekerja berani mengambil resiko, bisa saja
mereka malah jadi korban kriminal, customornya
yang ngambil barang mereka. Mereka menyerahkan hidup mereka untuk terserang
penyakit, nggak semua orang mau safe sex.
Mereka orang yang tegar dalam menjalani kehidupan di masyarakat yang kejam,
mereka tahan atas cibiran orang-orang, padahal yang mencibir pun belum tentu
lebih baik dari kucing itu.” Ban mengluarkan pendapat yang berbeda dari pada
yang lain.
“Tapi tetep aja,
mereka salah cara kerjanya,” Andi menginterupsi omongan Ban yang belum kelar
dan tetep ngotot membela Ta’ul dan menyalahkan pendapat dari Ban dan gue.
“Bentar toh, lah wong
aku belum selesai ngomong koq,” Ben merasa kesal sama Andi yang telah memotong
omongnannya. “Mereka yang hebat itu yang kucing profesional. Mereka yang
benar-benar memberikan jasa terbaik mereka. Kamu aja belum tentu bisa kan
membuat partner kamu puas ngewe, atau
kalian yang malah egois maunya diservice. Modal mereka juga besar untuk
perawatan tetep ganteng, belum lagi biaya fitnes mereka.” Di akhir kalimat Ban
menyentil kita semua dengan kata-kata pedas.
“Nah itu makanya ada
istilah profesi gigolo, mereka orang yang berkompeten untuk urusan syahwat. Mereka
pun pasti punya teknik untuk memuaskan tamunya. Susah loh untuk bisa seperti
itu, apalagi mereka melayani tamu dari berbagai kalangan, dan fetish yang aneh-aneh. Mereka melawan
egonya sendiri demi memuaskan tamu untuk mendapat bayaran tambahan.” Gue menambahkan
pendapat dari Ban. “Tapi sayangnya image
mereka dirusak oleh kucing abal-abalan, yang suka mencuri, menyebarkan fitnah,
yang nggak profesional.”
Gue bukan berarti
membenarkan juga loh, ini hanya pendapat tentang profesinalisme dari pekerja
seksual baik yang cewek atau cowok. Kadang kita melupakan itu, sebuah
profesionalisme dari suatu pekerja, bagaimana secara bersungguh-sungguh untuk
memberikan yang terbaik.
“Mereka nggak takut
dosa?” tanya Yanto dengan polos.
“Elu jadi homo pun
sudah dosan.” Dion mengepruk kepala Yanto dengna pelan untuk membuyarkan
pikiran Yanto yang buntet. Tapi celutukkan Dion membuat kita tergelak,
mencairkan suasana yang sudah agak tegang.
“Itu bukan mereka yang
mau,” Ban menggumam. Gue pikir dia cuma ngomong pada diri sendiri.
“Itu yang mereka mau,”
timpal Ta’ul yang mendengar gumaman Ban. “Mereka melukkan itu karena mau. Kalau
nggak mau ngapain juga jadi kucing, toh masih banyak pekerjaan lain. Kecuali mereka
korban trafficking, mereka disekap di
gedung terus jadi lonte yang dipaksa.” Ta’ul sukses mematahkan pendapat Ban.
“Menurut gue sih ya,”
gue mulai mengutarakan pendapat. “Mereka terjebak pada pemikiran yang salah. Mereka
menganggap uang dan materi lainnya adalah segalanya. Cara yang mendapatkan uang
yang gampang dengan menjual diri seperti itu, selesai melayani customor mereka langsung mendapatkan
uang. Kalian mendapat uang nunggu sebulan.” Gue berhenti sejenak untuk
mengambil nafas. “Masyarakat kita sudah menjadi hedon, buat sebagian orang yang
nggak bisa mengikuti gaya hidup seperti itu bukan bagian dari orang keren. Kalian
pasti berfikir gitu juga kan, dengan mamakai barag bermerk pasti terlihat
keren, tetapi kalian masih punya pikiran yang waras, itu bedanya kamu sama
mereka.”
“Ya itulah pilihan mereka
untuk bekerja seperti itu, hormati pilihan mereka. Selama nggak merugikan kita
kenapa nggak,” cetus Andi dengan bijak.
“Terus solusinya
gimana?” tanya Ta’ul.
“Kita bikin lapangan
kerja dengan cara membayar mereka secara harian. Tenttunya bayarannya pun
sebesar harga mereka mediakan jasa. Intinya adalah mereka Cuma pengen punya
uang secara cepat. Apa kamu sanggup?” gue menutup diskusi dengan pertanyaan
yang susah untuk dijawab.
Jadi menurutu gue
adalah apapun profesinya harus kita hormati meskipun itu salah dimata Tuahan
dan masyarakat. Percuma kalau kita Cuma menghakimi mereka kalau tanpa solusi. Rezeki
memang sudah diatur sama Tuhan, tapi kita sendiri yang bisa memilih profesi
yang kita jalani. So bersyukurlah buat kalian yang punya kerjaan bagus, dengan
hasil yang menggiurkan. Jangan lupa sebagian penghasilan mu untuk dibagikan
untuk amal.
telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE
telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE