Sunday 26 April 2015

KUCING


Weekend ini gue sama Ban ada acara ngumpul-ngumpul sama gank rempong. Isinya homo-homo Jogja dari berbagai kalangan. Sebenernya mereka temennya Ban. Gue akui Ban lebih banyak bersosialisasi dengang kalangan homo dengan cara meet and  rumpik. Gue sendiri suka bertemu secara personal alias berduaan saja.

Gue juga makhluk sosial yang masih perlu sosialisasi, bukan berarti gue jadi emak-emak sosialita juga. Acara kumpul-kumpul memang masih perlu untuk berdiskusi. Untuk acara orgy gimana? Kalau itu terserah kalian,hahahhaa. Jadi sesuaikan saja tujuan kalian untuk berkumpul-kumpul.

Sekarang lagi acara ngumpul di Dixie, tempat nongkrong anak gaul Jogja jaman dulu. Hampir semunya gue kenal mereka karena sebelumnya emang udah pernah ngumpul bareng. Ada pasangan yang sedang pacaran, ada yang pacarnya nggak dibawa sisanya adalah jomblo ngenes, termasuk gue dalam golongan itu.

“Rese dech sekarang Grindr jadi tempat jualan,” Andi membuka topik obrolan sambil menggeser-geser jempol di smarthphone. Wajahnya juga keliatan kesal.
“Idih... masih pake gituan, hahahaha,” ledek Ban, diikuti yang lain juga.
“Alaaah elu juga pake koq.” Gue langsung merebut smarthphone Ban yang tergeletak di meja. Kebetulan masih belum ke kunci jadi dengan gampang gue bisa pamerin ke lainnya kalau Ben pakai aplikasi tersebut. Gue ngeliat Ban cuma nyengir kecut.
“Bener tuh disitu udah kayak etalase toko “kucing” aja,” Ta’ul ikut membenarkan pendapat Andi.
“Ganteng sih, tapi tetep aja belagu. Mending beli “kucing” langsung di Pak Hasan,” Yoga ikut nimbrung obrolan ini.
“Gantengkan emang buat modal jualan. Di Pak Hasan pun ganteng-ganteng juga kan?” timpal Wahyu.

Tampaknya akan ada obrolan yang cukup menarik, topiknya pun sesuatu yang hot. Sebelum kepanjangan mereka ngobrol, gue mau jelasin satu persatu. Pertama dari Grindr, yaitu aplikasi sosial media yang khusus gay. Aplikasi ini tersemat di smarthphone, fitur unggulannya adalah gay dar, jadi bisa melacak homo yang ada disekitar kita berdasarkan sistem GPS antar sesama pengguna Grindr. Sekarang kalo elo yang katanya punya gay dar alami sudah nggak bisa dibanggakan lagi karena telah digantikan oleh Grindr :p.

Pak Hasan adalah germo yang menyediakan “kucing”. Upz ini bukan kucing beneran tapi tanda kutip, maksudnya adalah cowok yang kerja dibagian pelayanan prositusi, istilah kasarnya adalah pelacur cowok. Gue juga sampai sekarang nggak tau kenapa disebut kucing. Sekarang balik lagi ke obrolan.

“Makanya sekarang gue males buka Grindr isinya cuma gitu-gitu aja. Mending main MIRC. Di Grindr kalau nggak kucing ya homo rasis (<== klik artikel homo rasis),” gue ikut menanggapi betapa menyebalkan itu.
“Gu pernah ketipu sama Grindr. Di situ tampangnya sih cucok ya, udah gitu body ok. Eh pas ketemu malah gitu dech,” Ta’ul ikutan curhat.
 “Itu masih mending ya cuma ketipu tampang,” seloroh Ban, “Temen gue ada yang ketipu, untungnya nggak parah. Dia dapat kenalan dari Grindr, ngajak ketemu, biasalah untuk ngewe. Terus dia ketemu, eh ternyata yang ditemuin itu kucing, pas lagi siap-siap mau ngewe tuh kucing malah nanya mau bayar berapa. Bikin keki gak tuh?” lanjut Ben bercerita dengan semangat.
“Untung tuh belum ngewek. Ada temen gue juga udah ngewe giu oh yes oh no, pas udah kelar eh malah ditagih malah mintanya maksa pula, pakai ngancam kalau nggak bayar teriak-teriak. Dia akhirnya bayar juga 300ribu cuma buat gituan. Fuck benerkan!!,” Dion yang dari tadi diam akhirnya ngomong juga, apalagi dengan gaya yang frustasi.
“Eh kayaknya itu pengalaman kalian dech,” celetuk gue dengan tampang dipolos-polosin. Disambut lainnya dengan gelak yang heboh. Gue ngeliat Ben dan Dion cemberut.
“Jadi mending kita nggak usah pakai aplikasi itu,” Andi mengambil kesimpulan sepihak.
“Iya, di Grindr itu banyak jebakan batman,” Ta’ul ikut mendukung Andi. “Yang bikin nggak kuat itu juga rasisnya, elu nggak cakep atau body gak ok, elu mau kayang sambil glepar-glepar pun nggak bakal ditanggapin,” imbuh Ta’ul agak kesal. Nampaknya Ta’ul pernah mengalami pengalaman buruk juga.
“Kalau kata gue ya,” gue mulai mengambil perhatian. “Gue sih anggep yang salah bukan Grindr, itu cuma aplikasi sosial media biasa aja koq sama seperti Fb, Twitter, Google Plus, atau yang lainnya. Toh di sosmed yang lainnya juga sama aja seperti itu ada yang “jualan”, buat beda adalah kalian user acitve di aplikasi tersebut. Kalian juga menganggap lewat Grindr cara termudah dapetin kencan. Usernya yang menyalah gunakan fasilitas itu...” gue menutup pidato dengan mengacungkan telunjuk ke udara sebagai penekanan.
“Kaya gini sih contoh nyatanya adalah alun-alun utara di situ kan sebenarnya tempat umum, tapi di situ juga buat tempat nongkrong gay dan ada yang “jualan” juga, nggak sedikit yang ngelakuin gitu. Akhirnyakan tempat itu malah jadi prostitusi terselubung juga kan? Padahal di situ juga masih ada homo yang baik-baik juga. Grindr pun sama seperti itu, nggak semua user jualan,” Ban nambahin omongan gue, yang lain cuma manggut-manggut takzim menyetujui pendapat Ban.

Kalo menurut gue sih nggak ada yang salah dengan sosmed apapun itu namanya. Media sosial ka memang untuk bersilaturahmi, menjalin persahabatan di lain tempat. Kita juga sering dapat manfaatnya juga kan? Ketemu teman yang lama banget nggak ketemu. Kita juga sering denger berita ada reuni keluarga gara-gara dapat info dari sosmed dan masih banyak contoh kebaikan lainnya.

“Di Grindr juga lebih aman untuk “jualan”. Gampangannya seperti tempat lokalisasi tapi dalam dunia cyber. Aman dari keluarga kita, kalo di Facebook, Twitter, Path, dan lain-lain keluarga kita masih bisa mengakses dan sapa tau malah kelink,” Dion memberi penjelasan lain kenapa prostitusi marak di Grindr. Suatu penjelasan yang masuk akal buat gue.
“Kalo misal tiba-tiba nongol bokap di Grindr, berarti bokap homo juga donk,hahaha,” celetuk gue dengan gelak diikuti yang lainnya untuk mencairkan suasana.
“Nama juga escort gimana punya juga punya cara biar dagangannya laku, pasti dia pun punya acount  di Manjam, Planet Romeo (PR), Hornet dan sebangsanya itu,” timpal Dion santai sambil siap-siap makan spageti.
“Setidaknya di PR sudah jelas, di situ sudah ada kolom escort, jadi kucing-kucing sudah ditempatkan pada kamar khusus. Orang-orangpun otomatis yang mau “jajan” kesitu,” Yanto mengambil alih pembicaraan, “Coba aja di Fb, Twitter dan Manjam serasa absurd. Apalagi yang Fb escortnya pun abal-abalan.”
“Curcol ya Yan?” gue kembali nyeletuk, ditambah lagi dengan senyum jahil. Mendengar sentilan gue, yang lain pada ketawa ngakak. Gue ngeliat mata Yanto mendelik galak.

Gue boleh mengakui sosmed merupakan tempat yang tempat efektif untuk menjual diri, karena disitu terhubung dengan bermacam-macam orang. Sosmed sudah jadi “etalase toko”, toh sekarang sedang trend toko on line. Prostitusipun mengikuti trend yang ada di masyarakat, menawarkan jasanya lewat on line. Kita tinggal mengintip mereka  untuk melihat barang yang dijual (kalau yang dijual kucing, pasti akan menampilkan badan yang setengah bugil, ditambah quote untuk lebih menyakinkan produknya memang bagus), kalau ada yang cocok kita tinggal private messege, untuk menanyakan harga dan service apa yang akan didapat. Mereka akan bertemu kalau sudah sama-sama cocok. Simpelkan? Kalau nggak cocok kita tinggal gerak-gerakkin jempol di smarthphone untuk cari lagi. Lihat foto kece, tinggal ditutul lagi.

Oke kayaknya gue nemu pembahasan baru lagi, yaitu escort. Bagi gue ada yang janggal mengenai pengertian escort, di Indonesia artian ini telah bergeser dari pada arti sesungguhnya yang ada didalam bahasa Inggris, nanti gue jelasin.

“Bentar dech.... ada yang janggal,” gue menyela omongan sebelum ada orang yang merebut jadi pemibacara berikutnya. “Sebenernya apa sih arti dari escort?” gue mencoba membuat topik baru..
“Kucing!!!” jawab, Yanto, Andi, Ta’ul, dan Dion secara bersamaan. Suara mereka lumayan keras, jadi pengunjung lain secara reflek nengok ke arah rombongan homo yang lagi rumpik. Di manapun berada rombongan homo emang selalu mencari perhatian kerena heboh. Gue harus membiasakan diri jadi tembok kalau jalan sama mereka.
“Bukan!!” pekik Ban agak keras, membuat yang lain melongo. “Escort itu dalam kamus bahasa Ingris artinya pendamping, pengawal, atau pengiring.” Ban menjelaskan dengan lugas dan penuh penekanan.
“Tapi tetep aja mereka kucing atau ayam (pelacur cewek), pendamping yang bisa jasa plus plus,” Ta’ul masih merasa yakin kalau escort sama aja dengan pelacuran.
“Iya tuh... coba aja liat staus atau kata-kata pembuka kucing-kucing di bio-nya, pasti ada kata-kata escort,” Andi yang merupakan pacar dari Ta’ul ikut membenarkan pernyataan pacarnya.
Ban diam sesaat sedang mengutak-ngutik smartphone untuk mencari bukti mematahkan asumsi mereka. “Nih bukitnya.....” Ban menunjukan layar smartphone ke arah Ta’ul dan Andi secara bergantian. Senyum Ban penuh dengan kemenangan.
“Jadi kalau di luar negeri sana menyebut escort itu ya arti positif, sebagai pendamping biasa aja nggak pake mesum. Kalau mau kucing, mereka tetep menyebutnya sebagai gigolo,” gue sebagai pendukung Ban turut membantu menjelaskan arti escort sebenarnya.
“Ah elu Ben, mentang-mentang sohibnya Ban belain dech,” Dion mendengus kesal. Dion adalah pendukung Ta’ul yang beranggapan escort sebagai kucing.
“Terus kenapa di sini pada akhirnya berubah menjadi kucing?” tanya Yanto yang penasaran.

Gue dan Ban saling berpandangan. Kita hanya memastikan atau secara nggak langsung membuat kesapakatan siapa yang akan menjelaskan. Gue sama Ban punya pemikiran yang sama dalam persepsi escort.

“Menurut gue sih ya, di sini artinya menjadi beda karena terpengaruh dari Planet Romeo, disitu ada kolom khusus untuk escort. Bagi orang Indonesia beranggapan yang di situ orang yang bisa dibayar untuk ml,” Ban menjelaskan menurut asumsinya sendiri.
“Bisa juga dari situ dan menyebar kelainnya. Sebenarnya itu adalah kaprah dan masyarakat mengamininya. Alasan lainnya juga pada istialah lady escort yang biasa ada di karokean. Sebenarnya mereka itu pendamping orang nyanyi biasa aja. Cuma mereka bisa diajak ml dengan bayaran lebih, jadilah arti escort pun berubah,” gue ikut nambahin sedikit. Gue ngeliat mereka ikut serius menyimak juga.  
“Ouhh gitu.” Mereka cuma menganggukan kepala sebagai tanda memahami apa yang barusan gue dan Ban jelaskan.
“Bisa juga sih kata escort untuk memperhalus suatu istilah. Coba aja kalau kita udah denger kucing atau gigolo, pasti kita akan membayangkan macam-macam lebih cenderung ngerikan?” Dion yang sudah berubah pemikirannya ikut beropini. Dion telah menyepakati kalau arti escort adalah pendamping.

Satu lagi diskusi yang menarik telah dibahas, tapi sayang hanya sebagian kecil saja yang tau arti escort sebenarnya. Masih banyak orang-orang yang nggak tau atau salahkaprah dalam memahami escort. Mereka bisa juga jadi agen penyebar untuk memperbaiki kesalahan ini. Mungkin kamu juga sudah paham kan? Jadi beda donk antara escort dan gigolo.

“Terus menurut kalian para kucing ini gimana?” gue membuka topik baru, tapi tetep masih berkaitan dengan dunia perkucingan homo.
“Mereka tuh sama aja sampah, kayak nggak ada kerjaan lain,” pendapat pertama dari Tau’ul dengan frontal, bernada menghina.
“Mereka itu menjijikan, ngobok-ngobok kesana kemari. Mereka juga diobok-obok,” komentar Dion, nadanya juga sama dengan Ta’ul.
“Masih mending mereka langsung dapet duit, lah elu diobok-obok sana mari nggak dapat duit,hahaha.” Ban menyindiri omongan Dion, yang lainnya malah tergelak. Dion  jadi mengkerut mendapat sindiran pedas.
“Kucing itu mengerikan, mungkin hampir sama dengan apa kata Dion dan Ta’ul. Mereka mengerikan karena kadang cara mereka yang suka menjebak, belum lagi banyak kasus pencurian. Korban mereka waktu habis ngewe lagi mandi terus barang-barangnya diambil.” Andi ikut menyumban suaranya.
“Buat gue ya, mereka semacam wabah aja. Mereka pasti akan mengajak temannya untuk melakukan hal yang sama,” ujar Yanto sambil menggetarkan badannya sebagai tanda bergindik ngeri.

Ok hampir semuanya berkomentar negatif. Itu bagian kecil contoh pendapat kucing dari masyarakat. Mungkin di tengah masyarakat akan lebih pedas lagi mengomentarin atau menghina mereka. Hal itu terbentuk karena sudah ada stigma negatif di masyarakat kita yang katanya memegang adat ketimuran, yang masih memegang kesopanan, bersusila baik, beragama dan lain-lainnya. Jujur ya gue masih nggak ngerti adat ketimuran seperti apa? Karena toh di masyarakat kita khususnya di kampung-kampung marak juga dangdut keliling yang goyangannya mengundang laki-laki ngaceng. Banyak sekali bokep-bokep beredar dengna kualitas 3gp yang pelakunya pejabat atau orang terkemuka. Jadi Ada yang bisa jelasin adat ketimuran seperti apa?

“Lah menurut kamu gimana?” tanya Andi pada gue.
“Kalau gue sih ngeliatnya menyedihkan dan kasihan. Gue berpendapat mereka terjebak pada pemikirian yang keliru dalam memaknai pilihan hidup mereka untuk mencari uang,” kata gue sambil pura-pura mengusap air mata untuk menambah kesan drama.
“Ye..... apanya yang dikasihanin. Itu kan pilihan mereka, sebenarnya mereka bisa koq cari pekerjaan yang halal,” Dion secara frontal menyerang gue.
Secara taktis Ban langsung berpendapat, sebelum ada perang argumen antar gue dengan Dion. “Buat gue, kucing-kucing itu hebat. Mereka bekerja berani mengambil resiko, bisa saja mereka malah jadi korban kriminal, customornya yang ngambil barang mereka. Mereka menyerahkan hidup mereka untuk terserang penyakit, nggak semua orang mau safe sex. Mereka orang yang tegar dalam menjalani kehidupan di masyarakat yang kejam, mereka tahan atas cibiran orang-orang, padahal yang mencibir pun belum tentu lebih baik dari kucing itu.” Ban mengluarkan pendapat yang berbeda dari pada yang lain.
“Tapi tetep aja, mereka salah cara kerjanya,” Andi menginterupsi omongan Ban yang belum kelar dan tetep ngotot membela Ta’ul dan menyalahkan pendapat dari Ban dan gue.
“Bentar toh, lah wong aku belum selesai ngomong koq,” Ben merasa kesal sama Andi yang telah memotong omongnannya. “Mereka yang hebat itu yang kucing profesional. Mereka yang benar-benar memberikan jasa terbaik mereka. Kamu aja belum tentu bisa kan membuat partner kamu puas ngewe, atau kalian yang malah egois maunya diservice. Modal mereka juga besar untuk perawatan tetep ganteng, belum lagi biaya fitnes mereka.” Di akhir kalimat Ban menyentil kita semua dengan kata-kata pedas.
“Nah itu makanya ada istilah profesi gigolo, mereka orang yang berkompeten untuk urusan syahwat. Mereka pun pasti punya teknik untuk memuaskan tamunya. Susah loh untuk bisa seperti itu, apalagi mereka melayani tamu dari berbagai kalangan, dan fetish yang aneh-aneh. Mereka melawan egonya sendiri demi memuaskan tamu untuk mendapat bayaran tambahan.” Gue menambahkan pendapat dari Ban. “Tapi sayangnya image mereka dirusak oleh kucing abal-abalan, yang suka mencuri, menyebarkan fitnah, yang nggak profesional.”

Gue bukan berarti membenarkan juga loh, ini hanya pendapat tentang profesinalisme dari pekerja seksual baik yang cewek atau cowok. Kadang kita melupakan itu, sebuah profesionalisme dari suatu pekerja, bagaimana secara bersungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik.

“Mereka nggak takut dosa?” tanya Yanto dengan polos.
“Elu jadi homo pun sudah dosan.” Dion mengepruk kepala Yanto dengna pelan untuk membuyarkan pikiran Yanto yang buntet. Tapi celutukkan Dion membuat kita tergelak, mencairkan suasana yang sudah agak tegang.
“Itu bukan mereka yang mau,” Ban menggumam. Gue pikir dia cuma ngomong pada diri sendiri.
“Itu yang mereka mau,” timpal Ta’ul yang mendengar gumaman Ban. “Mereka melukkan itu karena mau. Kalau nggak mau ngapain juga jadi kucing, toh masih banyak pekerjaan lain. Kecuali mereka korban trafficking, mereka disekap di gedung terus jadi lonte yang dipaksa.” Ta’ul sukses mematahkan pendapat Ban.
“Menurut gue sih ya,” gue mulai mengutarakan pendapat. “Mereka terjebak pada pemikiran yang salah. Mereka menganggap uang dan materi lainnya adalah segalanya. Cara yang mendapatkan uang yang gampang dengan menjual diri seperti itu, selesai melayani customor mereka langsung mendapatkan uang. Kalian mendapat uang nunggu sebulan.” Gue berhenti sejenak untuk mengambil nafas. “Masyarakat kita sudah menjadi hedon, buat sebagian orang yang nggak bisa mengikuti gaya hidup seperti itu bukan bagian dari orang keren. Kalian pasti berfikir gitu juga kan, dengan mamakai barag bermerk pasti terlihat keren, tetapi kalian masih punya pikiran yang waras, itu bedanya kamu sama mereka.”
“Ya itulah pilihan mereka untuk bekerja seperti itu, hormati pilihan mereka. Selama nggak merugikan kita kenapa nggak,” cetus Andi dengan bijak.
“Terus solusinya gimana?” tanya Ta’ul.
“Kita bikin lapangan kerja dengan cara membayar mereka secara harian. Tenttunya bayarannya pun sebesar harga mereka mediakan jasa. Intinya adalah mereka Cuma pengen punya uang secara cepat. Apa kamu sanggup?” gue menutup diskusi dengan pertanyaan yang susah untuk dijawab.

Jadi menurutu gue adalah apapun profesinya harus kita hormati meskipun itu salah dimata Tuahan dan masyarakat. Percuma kalau kita Cuma menghakimi mereka kalau tanpa solusi. Rezeki memang sudah diatur sama Tuhan, tapi kita sendiri yang bisa memilih profesi yang kita jalani. So bersyukurlah buat kalian yang punya kerjaan bagus, dengan hasil yang menggiurkan. Jangan lupa sebagian penghasilan mu untuk dibagikan untuk amal.

telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE

Saturday 25 April 2015

Buku/Novel Gay (LGBT): KAMUFLASE


Segala Puji Syukur untuk Allah.

Akhirnya buku ku terbit juga, setelah sekian lama berusaha. Lebih dari dua tahun mengusahakan untuk menjadi penulis, finally kesampaian juga. Perasaannya seneng banget, sebuah karya telah beredar dimasyarakat khususnya untuk kalangan Gay lebih luasnya LGBT. Buku yang aku terbitin emang beberapa cerita dan mini novel yang bercerita tentang kehidupan lesbian gay, biseksual, dan transgender.

Buku ini berjudul Kamuflase, diambil dari salah satu cerpen. Garis besar dari buku ini adalah kamuflase dari kehidupan (LGBT) untuk berkamuflase di masyarakat. Mereka berpura-pura menjadi normal, dengan cara menikah atau mempacari lawan jenisnya untuk menutupi ke-gay-annya. 

Buku ini menjelaskan, sebuah rencana kamuflase dari pasangan gay dan lesbian. Sebuah diskusi yang alot untuk melaksanan rencana kamuflase. Mereka saling beradu argumentasi apa saja yang harus dilakukan dalam pernikahan kamuflase. Akibat apa saja yang akan terjadi jika melakukan Kamuflase. 

Dicerita lainnya menceritakan  kehidupan pasangan gay yang sudah melakukan kamuflase. Mereka seperti terjebak pada kehidupan yang salah. Mereka bingung untuk menjalani kehidupan ini, untuk mengakhiripun tidak bisa begitusaja. Sebuah kehidupan yang membingungkan, bagi mereka.

Bagi siapa saja pasti tidak ada yang bercita-cita menjadi transgender dikala kecil. Ada yang menuntun kita yang nggak kita sadari menjadikan manusia transgener. Mereka berusaha tegar menjalani kehidupan yang kejam. Mereka juga berusaha untuk menyamankan dalam berkehidupan. inilah cerita mereka yang transgender. 

Di bagian kedua cerita pasangan remaja yang sedang mencari jati diri. Mereka berusaha dengan keras saling memahami perasaan dirinya sendiri dan sahabatanya.  Mereka berusaha menolak kalau dirinya gay tetapi disisi lain saling mencintai. 

so dari pada penasaran mending baca saja bukunya sudah tersedia lewat on line. klik saja Link ini => Pemesanan Buku Kamuflase. Dengan #Kamuflase kita temukan Identitas diri. 





Saturday 11 April 2015

Deadline

11.  DEADLINE

Terjatuh saat bahagia, dengan begitu lah kita bisa merasakan esensi hari-hari.
Hanya satu saja tidak apa-apa, semuanya akan terhubung.
Saat kau tahu arti pentingnya setiap hal, lihat…semua nya berubah menjadi warna. (One ~ Aqua Timez)


Tanggal 17 (bulan dan tahun terserah)
Aku bukan mau upacara bulanan setiap tanggal 17.
Aku juga bukan mau sunatan.

Setiap bulannya pasti bertemu dengan tanggal 17. Hari yang mengerikan untuk aku dan dan temen-temen yang bekerja di Skolah Magz. Karena hari ini adalah DAEADLINE!! berlangsung selama sehari atau 2 hari. Dua hari tersebut semuanya jadi gila. Satu hari untuk melengkapi artikel yang sudah ada atau membuat artikel baru yang lupa di buat atau bisa juga liputan dadakan. Hari kedua waktu bertempur  layouter. Syukur satu hari langsung jadi.

Pagi-pagi jam 7 aku sudah bangun, bahkan bagi ku itu terlalu pagi, karena aku bangun jam 8.00 setiap harinya. Berhubung hari ini istimewa jadinya terpaksa bangun pagi. Banyak hal yang harus dipersiapkan antara lain:
  1. Pakaian kerja yang santai. Hari ini aku memutuskan pakai celana jins pendek dan atasan kaos tanpa lengan. Pasti hari ini “panas”, untuk antisipasi gunakan pakaian yang paling nyaman. Lagian hari ini aku cukup di kantor. Sebenarnya kita ngantor terserah mau pakai baju apa, kalau nggak ada rencana liputan aku pakai celana pendek aja ke kantor.
  2. Makan yang banyak. Mau nggak mau aku menjalankan aktifitas sarapan, karena hari ini bakal jadi hari yang berat bakal menguras energi. Aku nggak mau pingsan melewatkan moment dramatis selama deadline.
  3. Menyiapkan mental. Hari ini bisa jadi seluruh penduduk Skolah Magz jadi gila, dan aku nggak mau jadi gila. Tapi kalau nggak ikutan gila nggak seru. kayaknya setiap hari emang harus menyiapkan mental dech menghadapi Bos yang freak. Pada akhirnya aku ikutan gila juga, ternyata penyakit gila itu menular pada saat deadline.

Oke semua udah siap lahir batin. Yuk sekarang berangkat ke kantor.
Tumben banget jam 8.30 kantor sudah ramai. Temen-temen AE juga masih di kantor sedang briefing sama mbak Tari yang sebagai ME di teras. Para AE sih hari ini mereka udah nyantai karena deadline mereka sudah kelar dari kemarin.

Aku langsung masuk ke ruangan redaksi yang masih sepi, cuma ada Preti di dampingin Bos, palingan lagi diskusi penempatan halaman. Daripada menyapa mereka nanti kena cuap-cuap mending langsung duduk di kubikel dan nyalain komputer. Sebenarnya kerjaan ku sudah kelar semua dari kemarin, semua rubrik dan artikel ku udah jadi semua, namun aku juga harus siap-siap revisi. Belum lagi kalo ada artikel yang udah ku buat terus disuruh ganti.

Satu persatu pekerja redaksi datang, ada Uyun yang berangkat bareng dengan Liya lalu disusul oleh mas Dita. Semua sudah siap bertempur dan mereka burusaha hari ini enjoy. Sebelum kerja seperti biasa kalau deadline ada briefing dulu.

“Temen-temen briefing dulu yuk,” ajak Bos.
Semua ngumpul di teras depan, para AE sudah kembali keruangannya. Teras depan itu multi fungsi bisa jadi ruang tamu, ruang lepas lelah, ruang rapat pun jadi.

“Hari ini kan deadline, udah pada siap? Gimana kerjaan kalian.” Bos membuka rapat. “Laporan pertama dulu dari para reporter Entong dan Liya.”
Aku? Kok aku dulu sih, ni juga lagi enak-enak nikmati teh manis panas. “Liya dulu Bos, nih nanggung mau nyeruput teh dulu”
“Udah semua sih bos yang liputan, tinggal diketik. Tapi yang rubrik tetap udah jadi semua” Liya berusaha hati-hati meberikan laporannya.
“Liputan apa belum diketik? Itu liputan apa aja dan dari kapan?” haduh si Bos mulai dech nyolot.
“Liputan advertorial yang kemaren Bos, kan AE baru deadine kemaren.” Liya memberi jawaban hati-hati.
Kan kamu bisa langsung ditulis, sekarang jadi numpuk kan? AE juga dari kemarin udah nyerahin materi.” Nada si Bos makin tinggi aja nih.
“Tapi kemaren aku juga ngetik kerjaan yang kemarennya lagi,” Liya juga nggak mau kalah nih sama si Bos, tapi nadanya satu oktaf lebih rendah dari Bos.
“Nggak mau tau pokoknya hari ini harus sudah kelar. Kamu Tong gimana?” Si Bos nyerah sama berdebat sama Liya dari pada berdebat nggak kelar kerjaan.

Jadi nggak nikmat nyeruput teh manis yang enak ini. “Udah kelar semua tuh, barusan tadi nyerahin artikel talent,jawab ku enteng.
“Tapi Tong ada satu testimoni yang belum kamu serahin yang masalah kenakalan remaja,imbuh Preti.
“What!!! Perasaan udah. Liat dech di pageplaner itu udah aku isi tanggalnya.”
“Mana? Nyoh nggak ada,” Preti menunjukan page planernya.
Weks ku terperanjat. Koq bisa masih kosong gitu? Perasaan udah dech. Udah aku tulis apa ku lupa kasih ke Preti kali ya. “Tar dech ku cek ulang lagi di file ku.
“Terus apa yang lagi yang belum?” tanya Bos meragukan diriku, pasti banyak yang belum kelar.
“Kayaknya cuma itu dech Bos, nanti ku cek lagi dech,” jawabku nggak yakin.
“Oh ya Tong tulisan mu itu banyak yang kacau, suka nggak nyambung antar kalimat. Harusnya satu paragraph itu ngomongin satu tema tapi kamu ngomongin banyak tema. Tanda baca juga di perhatikan. Buat Liya juga!.” Mata Bos yang dari tadi meneror diriku beralih ke Liya. Semoga omelan yang ditujukan pada ku beralih ke lain orang. “Liya juga setiap pulang liputan harus langsung diketik, nggak pake ditunda. Jangan hobi liputan tapi nggak hobi nulis, kamu ini wartawan liputan ketik, liputan ketik bukan seorang novelis yang ngetik kalau lagi mood.aja.” Yippi perkataan Bos pedes banget ya, itu kalau rujak udah pakai cabenya 10.

Aku jadi merasa bersalah karena aku pun melakukan hal yang sama seperti Liya cuma bedanya aku ngga ketahuan si Bos,heheheh. Coba kalau ketahuan pasti kena semprot juga sama Bos. Sory ya Liya kamu jadi korban. Selagi Bos sedang “tausyiah” yang lain termenung dalam lamunan masing-masing dan aku yakin mereka cuma mendengar telinga kanan lalu dibuang telinga kiri.

“Terus kerjaan kamu gimana Ta? Sudah berapa persen yang kelar di layout?” Bos mengalihkan perhatian kepada Tatang sebagai layouter.
“Kurang sedikit sih paling nylesein liputannya Entong kemaren yang terakhir interview Agnes sama cast talent Cinta Monyet,Tatang memberi jawaban yang dipikir aman dengan alasan kurang sedikit. Coba kalau dia bilang kurang banyak pasti dia langsung kena semprot. Imbasnya ke reporter lagi dech. Good Job Tatang menyelamatkan kita.
“Oh ya…layout kamu koq turun lagi ya jauh malah? Ayo donk tampilkan lagi sisi remajanya yang warna warni menarik liat. Aku lihat beberapa kemarin yang sudah jadi datar, nggak enak dilihat. Kasih pernak pernik yang cute atau fun. Belajar dari majalah remaja yang lain, browsing ataung gimana keq.”
“Iya Bos,jawaban singkat dari Tatang, sepertinya dia mau membela diri tetapi di tahan karena nggak ada gunanya pasti bakal di tampik alasannya.
Uti gimana layout kamu?” Dari Tatang beralih ke mbak Uti.
“Maaf Bos, masih banyak yang belum terselesaikan karena minggu kemaren saya nggak kosentrasi soalnya Baby sakit,kata mbak Uti terbata untuk mengatur kalimat yang aman. Mbak Uti emang seorang single parent dari dua anaknya. Malah anaknya yang besar sering dibawa ke kantor.
“Nggak ada asalan pokoknya. Tolong pisahkan urusan kerja dan rumah.” Ini Bos lagi kesurupan kutilanak apa ya? Nggak ada jiwa keorang tuaan. Tobat dech bos.
“Hari ini pasti bisa selesai koq,mbak Uti meyakinkan Bos.
“Harus!!! Kalau besok belum pas mau naik cetak belum jadi kena SP.” Ancam Bos kepada mbak Uti. Kita semua hanya tertunduk lesu tanpa daya mau protes juga takut bisa-bisa langsung kena pecat ditempat.

Tausyiah untuk mbak Uti selesai kemudian mencari korban selanjutnya tinggal Uyun dan Preti. Mas Dita selalu pada posisi aman karena hasil fotonya sudah memuaskan.
“Yun, lain kali cari model lebih keren sedikit donk. Ini kurang menarik yang putih keq atau bule sekalian. Temanya Jepang koq item,” Bos menunjukan hasil printout rubrik foto fesyen cowok.
“Bos, waktu itu sudah dapet talentnya tapi tiba-tiba dia batalin malam sebelum pemotretan dan emang urgent banget,” Uyun berkelit. Tapi emang beneran sih talent cowoknya tiba-tiba membatalkan.
“Harusnya kan ada cadangan. Besok-besok jangan samapai terulang kita sudah punya konsep harus dipertahankan gimana pun caranya. Kalau cari talent mendadak juga jangan sampai lepas dari konsep.” Balas Bos yang emang nggak mau kalah dari karyawannya.
“Preti, gimana pun caranya hari ini semua artikel sudah jadi. Halamannya sesuai yang tadi pagi. Saya tunggu laporannya malam ini jam 7.” Bos menutup tausyiah pagi ini sembari mengingatkan Preti.

Kenapa Preti ngga kena semprot ya? Ah ngapain aku mikirin hal kayak gitu, mungkin Preti setiap hari sudah kena “tausyiah’ jadi khusus hari ini dia nggak kena omel. Acara Tausyiah pagi ini kelar, sepertinya Bos bakal tausyiah lagi di ruangan AE. Tadi pagi dia nggak ikutan briefing AE, jadi temen AE dapet tausyiah dua kali dari mbak Tari sama Bos.

Awak redaksi kembali lagi ke kubikelnya masing-masing. Baru saja pantat nempel kursi terdengar teriakan Preti.
“Entong buruan testimoni, rubrik school band, cast talent fesyen, revisi piknik, itu masih banyak yang belum jelas data historicalnya sama kurang greget petualangannya. Jangan lupa oh ya kamu juga lupa nulis isian testimoni tema alay.” Wew nama ku yang pertama kali disebut dan ternyata banyak juga tulisanku yang belum digarap. Mesti gerak cepat nih ngerjainnya bagaikan lomba triaton.
“Liya juga garap advertorialnya kurang 4, cast talent Cinta Monyet, hot news seleb barat, liputan event client,  liputan event sekolah,ternyata Liya emang lebih parah banyak banget yang belum dia garap. Pasti bentar lagi dia ngerengek minta bantuan berbagi artkel.
“Tong, tolong donk, lu garapin advertorial dua aja dech bahannya udah ada koq. Masing-masing satu halaman. Please…..!!!” tuh kan bener Liya langsung merengek.
“Ogah ah kalo advertorial. Aku garap seleb barat aja sama event sekolah.” Tawar ku dan mau nggak mau Liya menyetujuinya.
“Uyun…..kupasan fesyen artis dikelarin cepet ya. Oh ya kamu juga belum komentarin fesyen on the street. Tips fesyen ditambahin, masih terlalu sedikit masa Cuma lima.” Uyun pun terkena imbasnya juga. walaupun tinggal sedikit tapi termasuk rumit juga. harus ngapalin atribut fesyen.

Waw ternyata banyak juga yang belum ke garap. Untungnya tadi Preti diem aja, coba kalo dia ikutan cuap-cuap pas rapat tadi, bos tambah murka kalau anak buahnya belum pada kelar kerjaannya malah banyak banget yang belum jadi. Ternyata Preti baik banget ngelindungin temen-temennya.

Ruang redaksi kembali sunyi senyap masing-masing mengerjakan tugasnya yang belum kelar. Pertama ku kerjakan adalah mencari testimoni yang hilang. Ku aduk-aduk kumpulan file di folder nggak ketemu juga udah pakai searching eangin juga nggak ketemu.

Haduw  kabur kemana lagi ini file? Mau nggak mau terpaksa bikin lagi. Paling ribet adalah mencocokan isian testi dengan foto para alayers. Liat fotonya itu udah enek dech. Satu persatu kucocokan. Tapi ada satu yang menyebalkan Mas Dita nyimpen fotonya nggak urutan pas ambil foto. So ada satu pekerjaan lagi mengingat antara testi yang di tulis dengan fotonya, grrr buat emosi saja nih.

“Mas Diiitttaaaa!” teriak ku kenceng memanggil mas Dita yang lagi ngejailin Wedo.
“Opo toh?” Tampang inocentnya membuat samakin gedek dech.
“Iki loh….koq fotonya nggak urut sih? Aku bingung dia ini testinya yang mana?” Aku ngomel-ngomel sambil menunjuk foto cewek berjilbab yang berpose memonyongkan bibirnya
“Liat toh seragamnya itu ada tag namenya. Sing sabar toh jangan ikutan stress,hehehe” Mas Dita ini masih aja becanda.
“Ini baru satu mas. Masih ada 7 foto lagi yang harus di coc….” Belum selesai ku ngomong sudah disamber Mas Dita.
“Ini Devi, Ini Rian, Ini Mail, Ini……Bunga.” Mas Dita menujuk foto yang ada ada di layar monitor sambil menyebutkan namanya.
Weks semunya bener sesuai dengan catatan testimony. Mas Dita koq bisa inget semua ya? ah dia dibantu jin ifrit. Mas Dita emang punya daya imajinasi dan ingatan yang kuat. Masalah testimonial sudah selesesai. Masih ada tugas yang lainnya.
Masih harus ngerjain artikel advertorial yang bagaiannya Liya dan Preti. Semoga aja hasil wawancaranya lengkap jadi aku tinggal tulis dan reparasi sedikit. Kebanyakan yang bikin advertorial adalah universtias atau perguruan tinggi. Kesulitan dari buat advertorial adalah sebuah iklan dibikin sebagai artikel yang ringan dan menyampingkan sisi promosi tapi mengedepankan kehebatan itu universitas, nah loh bingung kan aku aja puyeng. Intinya gitulah kalau nulis advertorial.

Berkali-kali ku dengar mbak Uti sama mas Dita adu argument pemilihan foto atau mbak Uti protes sama hasil jepretan Mas Dita yang kurang ini lah kelebihan itu lah, otomatis mas Dita dapet kerjaan lagi untuk ngedit fotonya. Sedangkan Tatang sedang santai-santai saja kerena belum ada artikel yang masuk ke komputernya. Kalau Bos sampai tau mampuslah kita semua ada seorang karyawannya yang sedang berleha-leha disaat genting. Tapi emang bukan salahnya dia juga sih.

Kesibukan Uyun berbeda lagi dia kembali me-review tulisan pendukung foto fesyen kali aja ada salah kata atau ketik kan bisa malu-maluin donk majalah fesyen tapi bisa kesrimpet istilah fesyen. Belum lagi dia masih ada tugas ngomentarin fesyen selebritis, apalagi komentarnya suka pedes. Ngalahin pedesnya cabee jalapeno yang super pedes. Enak banget ya kerjaannya cuma ngomentarin untung artis luar. Coba kalau artis dalam negeri Skolah Magz bisa di banned kalau ada jumpa pers.

Setiap kali diantara kita ada yang sudah selesai mengerjakan tugasnya pasti bersujud syukur satu beban terlewat. Tapi bukan menjamin aman-aman saja penentuannya keberhasilan pas rapat evaluasi setelah semua artikel siap cetak.

Rambut Preti yang tadi pagi mengembang indah sekarang sudah seperti medusa rambut keritingnya sudah acak-acakan karena sering digaruk sebabnya adalah mengedit tulisan ku dan Liya yang lumayan bikin Preti setengah gila,hehehe. Tapi jangan sampai dia gila bisa berantakan acara deadine yang ada jadi mati masal.

Jam demi jam berjalan terasa lambat sekali selambat pekerjaan yang tak kunjung usai. Sebenernya kerjaan ku sudah kelar semua tapi jadi sok sibuk karena biar keliatan sedang kerja. Jika keliatan sedang nganggur pasti ditambah kerjaan baru lagi entah dari Preti atau dari Liya bahkan dari bos. Untuk mengantisipasinya open MS Word, atau pura-pura browsing apa aja, bila perlu ngetik untu edisi berikutnya.

Lagi asik berpura-pura sibuk si Bos lewat.
“Tong lagi pura-pura sibuk ya?” Mak jleb pertanyaan Bos menohok sekali. Dia duduk tepat di belakangku.
“Iya sih bos, hehehehe” Aku parsrah….
“Orang lain lagi pada pusing-pusing ngetik sama ngelayout ini malah main-main. Emang kerjaan kamu sudah kelar?” Haduw si Bos mulai dech sungutnya keluar.
Aku hanya diem seribu bahasa.
“Kalau kerjaan kamu sudah kelar semua emang kerjaan kamu beres? Itu masih banyak yang salah.” Makin dasyat aja nih marahnya.
“Slow down bos, tenang…tenang nanti kena stroke kalo marah-marah.” Aku coba menenangkan Bos yang sedang kesurupan. “Kan ada editor yang fungsinya untuk ngedit,hehehehe” ku ngeles.
Gagal untuk menenangkan bos. “Editor di sini hanya Preti dia nggak mampu ngerjain semua apalagi sekarang sedang deadline.”
Ku memberikan sebuah minuman yang sudah dijampi-jampi kata mas Dita pasti mujarab air comberan dari gunung Nglanggeran.
Setelah minum air comberan tersebut. “Kalau kerjaan sudah selesai boleh main-main, makan dulu sana.” Wew si Bos jadi jinak-jinak merpati.
Kenapa nggak dari dulu saja mas Dita menyuguhkan air itu setiap hari, jadikan kantor adem ayem tentram nggak berasa horror lagi. Seisi kantor juga terperenjat perubahan Bos yang marahnya hilang seketika.

@@@

Sekarang sudah jam 5 sebagaian besar kerjaan sudah kelar apalagi aku udah dari tadi siang selesai. Tinggal kerjaannya Preti yang masih ngedit tulisannya Liya, tetapi kali ini Bos ikut bantuin Preti ngedit kalau Preti sendirian kita semua bisa nginep dikantor.
Artikel terakhir sudah diserahkan Preti ke Mbak Uti, waktunya nunggu Mbak Uti menyelesaikannya. Ternyata hari ini bisa selesai semua dari ngetik artikel sampai layout.

“Bos semua sudah selesai,mbak Uti memberi tahu Bos yang berada duduk singgasanya di ruang AE.
“Oke, mana? Saya cek dulu semuanya. Bilang yang lain siap-siap rapat.”
Mbak Uti muncul di ruang redaksi. Awak redaksi yang lainnya sedang meluruskan tulang-tulang yang sudah bengkok.
“Siap-siap rapat woy!” teriak mbak Uti, yang mengaggetkan kita semua.
“Haduw baru saja seger malah rapat lagi,keluh Liya.
“Ayolah semangat biar cepet selesai. Siapin page planer sama chek listnya,” Preti mencoba memberi semangat dan mengingatkan persiapan rapat dateline.

Sebenernya inilah yang dinamakan deadline, malah bisa juga dead  beneran. Setelah selesai layout terakhir kita pasti ada rapat evaluasi, dan itu bener-bener siap-siap terkapar. Show time untuk bos mengluarkan taringnya. Dengan malas-malasan anggota redaksi menyiapkan page planer dan cek list artikel atau rubriyang telah dikerjakan dan beranjak dari ruang redaksi menuju teras depan yang sebentar lagi jadi ruang rapat.

Kita semua sudah siap duduk ruang meeting sambil menunggu bos dateng Cuma pada bengong menyiapkan diri dapat hantaman badai semburan maut dari bibir bos. (seseram itukah? Ups ini hanya majas hiperbola,hehehhe).

Bos keluar dari ruangan AE dan langsung duduk di kursi yang masih kosong.
“Saya sudah liat dan baca semua. Langsung evalusasi saja ya.” Bos membuka rapat sambil membawa tumpukan kertas print bakal calon majalah edisi bulan ini yang bakal terbit.
“Uyun, ini modelnya dari mana? Bagus nih, cari yang seperti ini terus. Pertahankan.” Senyum mengembang dari wajah bos. Tapi jangan berharap akan bertahan lama.
“Itu dari siswa pertukaran pelajar Bos. Masalahnya kalau nggak siswa pertukaran pelajar lagi gimana Bos?” Jawab Uyun hati-hati,
“Ya itu urusan kamu lah. Kamu kan yang cari talent-talent untuk semua pemotretan. Pasti adalah setiap bulannya kalau nggak yang bule yang indo aja dech gak apa-apa.” Bos masih datar mengomentari.
“Lanjut ke pemotretan rubric Cinta Monyet. Ini foto apa-apan? Masa kita nampilin adegan makan pakai nasi bungkus nggak elit banget sih?” Bos menunjuk sebuah foto yang ada di kertas tersebut.
Waks, Uyun dan mas Dita mati kutu speacless atas kesalahan besar itu. Mereka sudah siap kena semprot lagi nih.
“Kita kan sudah majalah besar trend setter remaja masa kaya gini. Budgetnya untuk menyediakan property sudah disedikan. Masa nampilin kaya gini?” Bos mencak-mencak.
“Itu Bos masalahnya budgetnya kurang. Budget pemotretan Cinta Monyet dan Fashion dijadikan satu itu nggak cukup Bos.” Uyun memberikan alesan. Padahal ya emang kurang sih.
“Nggak ada alasan itu kalau kurang kan nasi bungkus ini bisa hilangkan bisa diganti apa kek.” Rupanya Bos nggak mau kalah.

Ini baru beberapa halaman masih ada berpuluh halaman lagi yang bakal dikomentarin dan nggak ada yang luput dari semburan maut teresebut.

“Ini yang nulis gossip barat siapa?” tanya Bos sambil memandang antara aku, Liya dan Uyun.
“Aku bos,jawab Liya takut.
“Artis udah dewasa koq masih aja dipakai. Yang lebih remaja donk artisnya.” Omel Bos sambil menunjukan Kim Kadarshiah
.
Plis donk udahan keq udah satu jam lebih nih kuping kita sudah panas membara. Kalo ada pematik api pasti langsung nyala dech nggak bohong. Ajaibnya rapat ini aku bersih dari komentar. Apa mungkin energinya udah abis kali ya untuk “tausyiah” kepada Uyun, Liya, Preti dan yang lainnya. Kalau aku mah bisa kapan aja kena “tausyiah” lewat telpon. Jika Bos udah telpon dan mulai “tausyiah” jurus andalan ku biar nggak sakit hati adalah handphone aku hadap kan pada tembok, anggap aja Bos lagi ngomong sama tembok.hahahaha (sory Bos).

Dua jam sudah berlalu.

“Rapat evaluasi selesai. Edisi depan harus lebih bagus lagi. Nggak ada yang boleh males-malesan rajin ke kantor dan ngetik di kantor.” Akhirnya Bos menyudahi rapat dan mengakhiri hari yang gila, fuih. “Yuk kita makan-makan bakso. Panggil tuh bakso di depan.

Ya begitulh kegilaan berjamaah saat deadline. Semuanya bisa jadi gila oleh kerjaan yang mau nggak mau harus diselesaikan hari itu juga. Intinya jangan sampai numpuk tulisan kalau nggak mau mampus pas deadline. Jadi habis liputan wajibnya langsung dikerjakan. Telat sedikit ngerjain bisa berpengaruh semuanya dari editor, layout sampai pencetakan. Untung kejadian ini hanya sebulan sekali. Sebenernya ada juga sih deadline mingguan tetapi nggak sesangar deadline bulanan.

Tadi pagi di awali ketegangan ya iyalah kalo pagi emang tegang, upz…. Di akhiri dengan relaksasi. Selamat berkarya lagi.



Ben & Ban

pic dari potongan adegan di serial Hormones Season 2

Gue mau cerita tentang persahabatan gue. Tentunya persahabatan gue dengan Arga. Kalau ditotal kurang lebih udah 12 tahun. Cerita ini (label Catatan Guys)  merupakan perjalanan kita berdua dalam menapaki dunia persilatan homo. Kita jatuh bangun menghadapi getirnya kehidupan gay. Dari awal kita terjerumus dalam lembah hitam (dimana2 lembah itu hijau, banyak pohon dasarnya ada sungai kecil). Kita juga menggalau bersama meratapi bahwa ternyata kita memang gay, bercupu-cupu ria ke dugem, merana akibat cinta, gila-gilan di jalan kalau tengah malem. Dan masih banyak lagi.

Gue pertama kenal dia dari MIRC channel #gim. Waktu itu kira-kira kita masih kelas 2 SMA. Waktu itu gue masih berupa rasa penasaran aja gay itu seperti apa. Akhirnya gue cari-cari sendiri di internet. Akhirnya ketemu dengan namanya #gim. Hanya ada seratusan user, itu kira-kira tahun 2002an.

Singkat cerita gue kenalan sama Arga. Orangnya asik buat ngobrol walau sedikit kaku kalau buat bercanda. Berhubung jaman segitu handphone masih jadi barang mewah, maka kita masih pakai email untuk lanjut berkomunikasi. Oh ya selain Arga  gue kenal namanya Ian, Rino dan Inung, ternyata mereka berempat itu satu gank dan semuanya anak Jogja.

Awalnya gue nggak minat sama sekali buat kuliah di Jogja, karena capek jauh dan nggak ada saudara. Tetapi berhubung di Jogja ada jurusan yang gue mau dan sudah punya temen baik akhirnya gue pilih Jogja untuk menimba ilmu.

Pertama kali orang gay yang gue temuin adalah Arga. Ceritanya gue bingung karena mau daftar kuliah di Jogja tapi gue juga nggak punya sapa-sapa di sana. Lalu gue minta tolong Arga buat nebeng nginep satu atau dua hari. Sebenernya gue juga bisa minta tolong Ian coz kita emang mau daftar di kampus yang sama, cuma rumah Ian ke terminal Umbulharjo jauh banget, yang terdekat adalah Arga.

Gue belom punya handphone jadi nggak bisa berkomunikasi sama Arga. Gue cuma kasih tau jadwal keberangkatan ke Jogja. Terus Arga cuma kasih nomer telpon rumahnya. Saat itu mungkin belum banyak kriminal sesama homo kali ya jadi bisa saling percaya aja untuk kasih tau nomer telpon rumah. Sampai di Jogja langsung ke Wartel buat telpon Arga. Gue cuma kasih tau letak wartelnya dimana. Gue nunggulah di depan wartel.

Gue tunggu lama banget koq nggak muncul-muncul. Dia juga nggak punya handphone. Aku telpon balik ke rumahnya, katanya sudah pergi. Tapi gue curiga ada satu cowok di depan wartel duduk di atas motornya tapi diem aja. Dia curi-curi pandang ke gue. Tapi masalahnya dia pake masker, buat nutupin wajahnya dari debu (mungkin).

Udah malem gini, Arga koq jahat banget nggak jemput-jemput. Masa mau nggalandang disini. Mau telpon Ian juga bisa, dia nggak punya telpon rumah. Aku Cuma minta di jemput dari rumah Arga besok pagi. Rino pun sama nggak ada telpon rumah. Sudah pasrah dech jika memang mengglandang disini.

Gue bingung nih anak dari tadi liatin mulu, tapi nggak nyamperin. Aku juga nggak berani nyamperin barangkali salah orang. Gue cuma pernah liat Arga di fotonya aja, satu-satunya foto yang ada di facelink dia.

“Permisi..... kamu Arga?” gue memberanikan diri untuk bertanya sebelum dia kabur.
Dia melepas maskernya. Dan senyum ramah mengembang. “Kamu entong ya?”
“Iya” jawab gue menngguk.

Kita langsung berangkat ke rumahnya. Di jalan kita sempat ngobrol-ngobrol.
“Koq kamu nggak nyamperin aku?” tanya gue agak kesal.
“Lahh..... aku kan belum pernah liat kamu,” tampik Arga. “Kamu juga kenapa nggak nyapa aku dulu?”
“Gimana mau nyapa, lah kamu aja pake penutup muka gitu.” Gue nunjuk slayer yang masih nempel di wajah Arga. “Aku aja sebenernya diberaniin koq.”

Kita berdua diam karena canggung, tapi setelah itu tertawa terpingkal-pingkal karena kebodohan yang kita lakukan sendiri. Gue nggak pernah kasih foto gue ke dia. Dia juga bodoh orang baru pertama kali ketemu pakai masker. Itulah pertama kali gue ketemu Arga.

Lambat laun gue semakin deket sama Arga. Gue sering main ke rumah dia kalau akhir bulan buat nebeng makan. Kita juga sering jalan bareng, dia sebenernya anak rumah tapi gue sering ngeracunin buat nongkrong dan nonton ke bioskop. Sesekali kita juga nongkrong bareng sama temen-temen. Lebih tepatnya teman dia. Gue sama sekali jarang banget ngenalin temen ke dia.

@@@

“Eh cong....” dia panggil gue yang sedang asik buk friendster di laptopnya.
“Jangan panggil gue becong donk,” jawab gue kesel. “Gue emang homo tapi bukan bencong.”
“Elu emang bencong,” timpal dia terkekeh. “Mana ada lakik kayak gitu ketimpringan.” Dia nunjuk gue yang emang berbadan kurus. Tangannya suka uncontrol,
“Alah elu juga banci!!” serang gue ke Arga yang sedang tergelak puas tiba-tiba diam. Dan kini gue yang menang.
Seketika itu juga Arga diam medapat serangan balasan. “Eh mana ada gue banci, tampang ok gini koq. body muscle.” Arga memaerkan otot bishepnya sok muscle dengan.
“Elu mah badan aja tampak lakik, tapi kalau jalan geal geol kayak pere.” Gue tertawa terbahak-bawak membalas dengan bom atom. “Secara sekilas tampang elu juga cantik tau!” lanjut omongan gue yang masih tertawa puas kemenangan.

Gue ngelirik ke Arga dia masih cemberut karena gue menang telak. Arga emang orangnya sensitif tapi kita nggak pernah marahan apalagi sampai jambak-jambakkan. Dalam persahabatan kita nggak ada kata berantem berhari-hari.

“Jiah... gitu aja ngambek. Keliantan bancinya dech,hehehe,” gue masih ngeledekin dia yang semakin keki.
“Jangan gitu donk cong......” meski dia agak sedikit ngedumel tapi ada senyum di wajahnya. “Eh jangan panggil bencong donk. nanti orang luar ngertinya kita becong dan banci beneran.
“Gini aja dech, gue panggil lu Ban, elu panggil gue Ben jadi gak keliatan Bencong dan Banci kan?hahahaa.”
“Jiahh.. tetap aja artinya sama,” dia ikut tertawa.

Gue ngatur posisi duduk gue biar kelihatan serius. Tapi emang beneran mau ngmong serius juga sih. Masalah namaa juga penting dalam dunia perhomoan dan dunia maya internet.

“Ban... kita nggak bisa terus-terusan pakai nama asli dalam pergaulan homo,” gue mulai berdiskusi. “Nggak mau kan semua orang tau nama kita, gimana pun juga kita harus jaga privacy.”
“Eh gue belom sepakat dipanggil Ban,” protes Arga.
“Gak perlu kesepakatan. Pokoknya elu harus nurut,” gertak gue dengan mata melotot. Tapi yang ada Arga malah ketawa karena gue nggak emang nggak bisa melotot.
“Gue nggak tahan liat gaya elo sok galak gitu. elo tetep aja keliatan ketimpringan mana mata elu tuh sipit,wakakakak.”
“Setan lu ah.....” gue lempar buku yang ada di depan gue ke badan dia. “Serius donk banci.....” kini giliran gue yang manyun.

Arga menghentikan tawa ala ngondeknya karea melihat gue yang serius. Buat gue ini masalah pentig juga. jadi emang perlu diomongkan secara serius juga.

“Elu nggak mau juga kan kalau tiba-tiba elu terkenal di dunia perhomoan juga. ‘kamu kenal Arga yang kuliah di UGM gak? Ouh Arga yang jalannya ngondek kan, gue kenal’”. Gue langsung mencontohkan dialog ala gay yang sedang bergosip, nggak ketinggalan pakai gaya ngondek. “Nah gitu lah Ban,” gue mulai membiasakan diri memanggil sobat gue dengan sapaan Ban. “Jadi biarkan nama Arga itu untuk kehidupan normak kamu. Elu bisa ngeles keq dengan nma panjangnya Bani.”
“Ogah banget dech.... kalau semua orang tau kalau gue gay. Emang bener juga ya apa yang elo omongin. B-T-W koq elu tumben pinter? Biasanyakan elu jongkok IQ-nya,hahaha” masih aja dia ngeledekin gue.
“Iye...mentang-mentang elu masuk UGM jadi pinter.” Gue mendengus kesal. “Tapi sepakat gak dengan nama Ben dan Ban. Masa ia diajalan kita panggil BENCONG....BANCI,” gue memekik dikata bencong dan banci ditambah gaya ngondek.

Arga terdiam nggak langsung jawab usulan gue. Mungkin dia sedang menimbang-nimbang ide konyol gue yang kesekian kalinya. Bisa juga dia lagi nyari nama yang pas untuk namanya sendiri dalam dunia perhomoan. Gue tau, Arga adalah tipe orang yang pemikir dan penimbang maklum dia anak hukum. Gue anak komunikasi lebih yang ceplas ceplos.

“Gue sepakat dech... gue panggil elu Ban dan elu panggil gue Ben.” Arga mengangguk menyanggupi usulan gue. “Tapi.....” Ben ingin menambahkan sesuatu tapi kayaknya lebih kepada ancaman. “Tapi elu kalo manggil cukup dengan Ban aja nggak perlu Ci-nya diikut disambung.”
“Ok Ban....Ci,hahahah.” Gue tertawa puas menggoda dia.

Sejak itu gue sama dia sepakat mengganti nama dengan Ban dan Ben. Hal itu utuk menutupi identitas asli kita. Gimanapun juga kita harus tetap waspada di dalam dunia perhomoan, sapa tau orang yang kita kenal dan ember. Buat jaga-jagan aja sih melindungi kita dari hal yang nggak di inginkan. Kita juga nggak maukan sampai kelurga tau kalau kita gay.

telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE