Monday 29 June 2015

DISCREET

pic dari screen shot me, My amiliar People
Gay Discreet

Nasib jomblo itu menyedihkan banget, terutama kita bertiga, kita? Bin dan Ban aja keleus. Gue? Bisa dibilang nggak jomblo karena sudah beberapa bulan ini  punya aa Iw, ada tetapinya dia jauh dan punya monyet juga. Jadi dengan kata lain gue sama aja ngenesnya seperti ke dua sahabat gue yang nestapa. Bedanya mereka itu jomblo yang nggak laku-laku, sedangkan gue punya pacar tapi HBL (haus belailan lelaki).

Kali ini mereka ngumpul di kost gue, yang tadinya rapih jadi berantakan gara-gara mereka keranjingan sama bokep yang baru gue dapetin dari warnet. Jajan pun bertebaran dimana-mana. Untung aja tisu sudah gue selamatkan dulu, kalau nggak kamar gue jadi bau amis.

Ban terpaksa ke kost gue karena katanya abis ketemuan sama anak satu kampus gue yang kostnya deket dari sini. Sedangkan Bin ngadem dulu setelah kuliah dari pagi, dia males pulang karena masih panas, takut jadi item padahal dia udah item dari sononya. Lagian Bin kan asli Bali jadi wajar aja sudah gelap dari lahir, terpapar sinar UV dari pantai Petitenget yang merupakan tempat ngumpulnya homo-homo.

Sebenarnya Ban lagi giat-giatnya cari jodoh. Nah, anak satu kampus gue salah satu gebetannya dari sekian banyak lakik buat dimangsa. Ban sedang berusaha pedekate, sapa tau cocok mau dijadiin pacar. Kalau nggak cocok ya tinggal cari yang lain. Katanya lagi sih ini bakal diseriusin, soalnya selain baik hati nih orang jago ML-nya. Udah dua mingguan dia sering ke kost gue setelah atau sebelum ketemu gebetan.

“Ban, elu seriusan sama yang ini?” tanya gue yang sedan perhatiin Ban lagi mupeng liat bokep.
“Maunya gitu sih.” jawab Ban sambil lalu.
“Koq. gitu sih? Katanya elu mau serius sama dia?” tanya gue lagi yang penasaran dengan kata “maunya gitu sih”.
“Abis dianya gitu sih.....,” balas Ban yang kayaknya ogah-ogahan.
“Emang maunya kayak gimana?” tanya gue lagi
“Ya gitu lah mau gue,” sekali lagi Ban jawab dengan kata “gitu”.

What the hell!!! Maksudnya apaan coba dengan “gitu?”. sebenernya secara nggak langsung gue ngerti apa yang dimaksud “gitu”. Intinya adalah Ban ngerasa nggak sreg dengan dia, dan sepertinya akan segera di khiri. Kata “gitu” adalah ketidak terus terangan atau sesorang yang malas menceritakan kejadian sebenarnya, ini salah suatu kebiasaan orang Indonesia selalu muter-muter jika sedang melacur (melakukan curhat).

“Ah elo ditanya nggak jelas banget.” Bin ngepruk kepala Ban karena gemas dengan jawaban “gitu sih”. Ternyata Bin juga memperhatikan percakapan antara gue dan Ban, meskipun mata Bin tetap menuju layar monitor komputer.
“Abisnya, gimana gue nggak kesel, tiap diajak jalan, nongkrong atau nonton dia nggak mau.” Kepala Ban memutar ke arah gue. Wajahnya terlihat senewen dan nada suaranya juga jengkel.
“Alasannya apa?” tanya gue menyelidik.
“Malas aja. Dia kasih alasan gitu. Nggak munggkin banget, lah wong gue liat di FB, Twitter, Path, Insta yang dia punya isinya cuma jalan-jalan,” cerocos Ban dengan tampang kesal.
“Dia malu kali jalan sama Banci,hahahaha,” ledek Bin dengan gaya centil.
“Sialan!!!” Ban melempar tas ke arah muka Bin penuh kemarahan.

Gue yakin pasti ada alasan lain. Masa orang narsis selalu jalan, malah malas diajak jalan sama yang katanya calon pacar. Gue perlu menyelediki lebih lanjut, gue nggak mau donk sahabat terbaik jadi semakin ngenes aja gara-gara lakik.

“Terus elu gak pernah nanya alasan lebih detail lagi?” tanya gue mendesak.
“Katanya sih malu kalau jalan ke tempat umum, barang kali ntar ketemu temannya atau saudaranya,” balas Ban dengan lesu.
“Gue nggak terima!!” pekik Bin tiba-tiba, seolah-olah marah. “Bagian mana coba dari bagian elu yang malu-maluin? Elu ganteng, pinter, modis, tajir dan kemaluan elu juga gedong, pasti dia doyan juga kan?” Bin terkekeh sambil memandang jahil Ban yang wajahnya tertekuk. “Kemungkananya ada dua, dia homo discreet atau dia cuma pengen ngewi sama kamu aja.” Bin memberi penekanan kata ngewi, artinya dia hanya memanfaatkan Ban untuk pelampiasan sex.
“ Kemungkinan dia discreet kali Ban, dia nggak mau orang-orang tau kalau dirinya gay.” Gue mengeluarkan asumsi mentah, sekaligus menghibur Ban yang wajahnya sudah hopeless dikatakan sebagai tempat pelarian sex . Dari sekian banyak jenis homo ada yang namanya homo discreet.
“Gue donk homo discreet,” samber Bin, wajahnya nyengir-nyengir nggak jelas mengaharap pembenaran.
“Gimana gue yakin kalau elu homo discreet. Elu aja suka ketimpringan di Grindr, Hornet, Manjam dan lain-lainnya.” Kelakar gue menyembur Bin. “Elu aja ada cowok ngajak ngewe, dengan senang hati menyediakan tempat di kamar elo sendiri.” Gue dan Ban tergelak setelah membully Bin.
“Gue pun nggak percaya elu discreet,” tambah Ban. “Mana ada orang discreet keganjenan pas dugem, tangan jelalatan toel sana sini. Suka arisan homo-homo Jogja pula.” Serang Bin nggak kalah telak sama gue. Sekarang gantian Bin yang merengut.
“Gay discreet itu nggak ngebeberin identitasnya. Apalagi tempat tinggalnya,” timpal gue dengan cepat.
“Tapi kan. Nggak banyak orang tau kalo gue homo,” kilah Bin, bibirnya nyengir  terbuka dengan lebar.
“Apaan, tuh homo Alun-alun utara kenal kamu, kan kamu sebagai ketua ganknya.hahaha.” Ban sekarang lebih puas dalam posisi kemenangan.
“Homo discreet juga nggak suka kumpul,” gue nambahi omangan Ban, sambil cekikian ngeliat ekspresi Bin yang kalah telak.

Ok. Gue jelasin ya, salah satu jenis gay adalah gay discreet. Dimana gay tersebut membatasi pergaulan dengan sesama gay. Disamping itu gay discreet juga nggak mau menampakkan atau bergabung dalam acara gay macam arisan, party, atau kopdar dengan segambreng orang. Intinya gak mau bertemu perkumpulan gay, cukup person to person. Bisa aja sih kopdar gitu tetapi dengan orang yang sudah cukup dia kenal.

“Kalu emang discreet kenapa dia ngebolehin gue tau kostannya, malah nyuruh main,” ucap Ban yang masih bingung dengan kelakukan gebetannya.
“Dia udah kebelet ngewe sama elu,” balas Bin dengan cepat tanpa mikir. “Sebenernya dia emang suka sama elu, tapi berhubung di tempat elu nggak bisa ngewe jadi dia ngundang elu ke kostnya,” nada Bin terdengar nyinyir, gue pikir itu adalah serangan balasan.

Gue senyum sendiri ngedengerin omongan Bin yang asal njeplak aja. Tapi bisa jadi emang gitu sih, kerena kepepet malah ngundang ke tempat tinggalnya.

“Terus elu tahu nama asli dia siapa? Atau identitas lainnya?” tanya gue lagi.
“Nggak. Gue juga nggak tau dia asli mana. Dia juga nggak mau jawab kalau gue tanya asli mana, malah bilangnya asli keturuan Jawa campur Betawi. Cuma gue tau plat nomer dia BG, berarti kan Sumsel.
“Emang elu ketemu dia dari mana?” tanya Bin ikut menyelidik.
“Gue nggak yakin, tapi kayaknya dari Facebook, coz gue nyebarin no hp di grup.” jawab Ban nggak yakin, wajahnya ikut mikir. “Apa gue yang kirim kasih no hp di komentarnya dia  dulu kali ya, pas dia bikin status ngajak ngewi,” lanjut Ban degan suara terdengar masih ragu-ragu.
“Berarti elu ketemu dia tanpa ngeliat tampang dia kayak gimana?” kali ini gue yang tanya.
“Dia nggak mau kasih. Tapi dia malah kasih foto kentinya,” ujar Ban dengan muka polos.

Gue semaking nggak ngerti aja tingkah gebetan Ban. Dia ingin bersembunyi tetapi juga mengundang untuk menampakkan diri. Gue salut aja sama dia, berani menampakkan hal yang intim buat menggaet calong mangsanya. Gue juga yakin kalo udah dikasih foto itu kebanyakan pada maunya untuk ketemuan.  Apa emang bener kata Bin, ah entahlah.

“Menurut gue sih ya dia antara discreet tapi nanggung juga,” gue mengambil kesimpulan meski nggak yakin.
“Maksud nanggung gimana?” tanya Ban dan Bin berbarengan.
“Dia pengennya nggak ada orang yang tau tentang keberadaan dia dimana. Tetapi dia malah ngundang Ban ke kostnya.  Dia juga kasih kamu Path, Insta dan lain-lain ya setelah kenal. Kalau emang discreet nggak bakalan kasih.”
“Mungkin dia cuma jaga privacy aja kali,” sahut Bin yang nggak yakin juga.
“Kemungkinan emang gitu seorang homo privacy, karena dia hanya menyembunyikan identitas inti.” Gue mendukung pendapat Bin yang kali ini benar, mungkin dia sedang kondisi waras.
“Yang gue tau sih gitu homo yang jaga privacy, mereka tetep ngeksis di dunia maya, tetapi ada batasan nggak ngumbar identitas pribadi yang detail. Mereka juga masih mau ikut acara ngumpul-ngumpul,” Ban ikut menyumbangkan suara mengenai homo privacy.
“Macam gue gitu lah.....” gue menunjuk diri sebagai homo privacy. “Lihat aja di sosmed, gue pasang foto tapi agak nggak jelas. Gue juga nggak akan jawab nama panjang sekaligus alamat asli rumah gue. Tapi gue masih aja ketemu sama temen-temen lain pas acara kopdar yang orangnya segambreng,” gue ngelanjutin.
“Gue juga donk?” tanya Bin, matanya mengerjap-ngerjap membutuhkan persetujuan.
“Apa yang elu jaga privacy? Kelamin aja elu umbar di PR, Manjam kadang ada di grup FB,” semprot Ban yang sekali lagi penuh dengan kemenangan. Muka Bin langsung cemberut lagi, bibirnya monyong lima senti.

Homo privacy masih bisa bersosialisasi dengan wajar. Mereka mau bertemu dimana saja tempatnya. Mereka nggak terlalu ribet untuk memberikan nomer hp, WA atau pin BBM, karena pada dasarnya mereka suka berteman. Ada pula gay privacy yang menyembunyikan foto wajahnya di sosmed, karena dia nggak ingin orang langsung mengenalnya lewat wajah. Mereka akan memberikan foto wajah ketika lawan bicaranya mengasih terlebih dulu fotonya.

Satu hal lagi gay privacy juga mudah untuk terbuka kalau sudah kenal cukup dekat. Nggak perlu susah untuk mengorek identitas pribadi lainnya. Mereka menjaga identitas pada awal untuk menjaga diri, barang kali orang yang berhubungan dengannya berniat jahat, tetapi setelah kenal, lambat laun akan terbuka secara pelan tapi pasti.

“Terus yang dianggap discreet kayak gimana?” tanya Bin.
“Yang jelas nggak sembarang ngewi kayak elo,” balas Ban dengan tangkas, telak sekali. “Elo mah di kebon jadi. Orang discreet pasti bakal mikir sejuta kali untuk memutuskan itu, dan ujunganya kagak bakal mau,” sembur Ban dengan nada nyinyir nan menyabalkan. Gue ngeliatnya hanya bisa senyum-senyum. Tadinya gue mau ikuta ngebully tapi liat tampang Bin yang macam orang mesum kepergok massa jadi gak tega.
Gue harus menghentikan adegan buylly ini, kalau kepanjangan bisa kayak sinetron Indonesia yang penuh dengan adegan bully, tak patut untuk ditonton. Gue melanjutkan sekaligus meluruskan sebelum melenceng jauh banget. “Gay discreet pasti akan menjaga dengan ketat privacynya. Dia nggak akan sembarangan kenalan sama homo. Jadi yang kenalan atau bisa deket sama gay discreet hanya orang tertentu saja yang dia percaya.”
“Maksudnya gimana?” tanya Ban polos.
“Dia bakal pilih-pilih dulu, homo mana yang pantas untuk dijadikan teman atau di kencani. Pilih mana yang bisa jaga privacynya, diajak sharing, biasanya mereka akan memilih pasangan yang discreet juga atau minimal homo yang nggak banyak pergaulannya. Kalau bisa untuk dijadikan teman untuk selamanya.”
“Terus gimana caranya mereka dapetin teman kencan?” tanya Bin, kali ini wajahnya serius. Mungkin dia akan menggaet mereka yang discreet.
“Mereka carinya lewat sosmed juga,” ujar gue enteng.
Dahi kedua sahabat gue mengernyit, mereka pasti nggak ngerti. “Lah pie toh, katanya mereka discreet koq malah main sosmed. Kan mereka menjaga pergaulan,” gerutu Bin, nadanya juga protes ke gue.
“Namanya juga manusia pasti tetep butuh media untuk bersosialisasi donk, tetapi mereka sangat membatasinya, dan jarang banget kasih acount tersebut ke orang lain.” jawab gue dengan tenang. Sekali kena pancing Bin, bakal uring-uringan terus. “Mereka biasanya tetep cari teman kencannya lewat sosmed dengan cara menscreening calon-calonnya. Mereka akan melihat dulu profile tuh orang. Selanjutnya mereka akan melihat postingan orang tersebut, jika kelihatannya tuh orang ember bocor dan suka posting marah-marah atau mengolok-olok orang nggak bakal menghubungi tuh orang apalagi untuk ketemuan. Di sosmed mereka nggak posting foto loh, jika pun ada cuma satu dan biasanya gak jelas, atau mereka pakai fake avatar. Mereka juga nggak bikin status macem-macem apalagi soal identitas diri, dimana dia sekarang berada dan sedang apa.” Gue mencoba menjelaskan apa yang gue tau.
“Terus gimana cara ketemuannya?” tanya Ban yang penasaran.
“Ini sebenernya agak repot, karena dia bakal susah ditemui. Gay discreet pasti bakal punya banyak pertimbangan, untuk memutuskan ketemu atau tidak. Bisa ketemuan kalau sudah merasa yakin orang itu bisa jaga rahasia atau tidak,” ujar gue penuh dengan keyakinan. Gue melanjutkan lagi setelah minum, “Kalau dia sudah cocok apa yang dilihat di sosmed, maka dia akan inbox, direct messege, PM dan lain untuk bekenalan mengenal lebih jauh dari korbannya. Jika sudah sreg dan yakin barulah mereka berani untuk ketemuan. Mereka yang akan menentukan tempat dan wakutnya.”
“Koq bisa gitu?” tanya Bin kebingungan.
“Ya kan mereka discreet nggak mau sembarangan apalagi ceroboh. Mereka pasti akan cari waktu dan tempat yang kemungkinan kecil bertemu dengan teman apalagi dengan keluarganya. Jadi jangan harap beretemu di tempat keramaian, yang terlalu umum. Pasti dia akan memilih yang agak jauh dari keramian. Kalau tujuan mereka cuma ngewi, berarti langsung di hotel, itupun nggak bisa barengan masuknya.”
“Ah gue mah ogah yang kayak gitu ribet banget,” komentar Bin yang berubah pikiran setelah mendengar penjelasan gue kalau gay discreet ribet.
“Iya, elu mah maunya yang instan, tinggal pasang foto binal di Grindr, tebar pesona kesana kamari, ada yang PM langsung dech ketemuan and ngewe,” semprot Ban dengan nada menghina. Secara nggak langsung mengaggap Bin sebagai homo murahan.
“Bukan gitu juga kali Banci!!” Bin memprotes Ban dengan galak. “Ribet aja mau kenalan atau pengen deket susah minta ampun, sok orang penting, sok orang terkenal yang harus dijaga kerahasiaannya. Kalau gitu mending nggak usah jadi homo. Mereka terlalu lebay dalam menjaga privacy.”
“Homo discreet itu emang orang penting dan terkenal atau yang masih mikirin reputasi. Kalau elu mah emang dasarnya udah bobor,hahahaha.” Gue menyindir Bin dengan lantang. “Biasanya juga yang discreet itu mereka GAY BISEX, yang sudah punya keluarga.”

Gue setuju sih sama pendapat Bin kalau berhubungan sama gay discreet emang ribet. Buat komunikasi aja kadang ada jamnya. Kita nggak bisa sesuka hati untuk telpon atau sekedar pesan instan, alasannya handphone sering dipegang istrilah, atau kalau jam segitu sedang waktunya sama kelurga dan berbagai macam alasan lainnya.

Untuk urusan ketemuan juga emang susah. Kita harus sabar banget, karena kita dituntut untuk menyesuaikan mereka. Waktu dan tempat yang mengatur mereka, nggak sembarangan tempat. Mereka akan memilih jauh dari keramaian bila perlu diluar kota, hal itu untuk mengihindari dari pertemuan nggak sengaja keluarga atau tema atau kolega. Misalpun bertemu di tempat umum kita diharuskan jaga sikap nggak asal becanda apalagi dengan gaya ngondek. Kebanyakan dari mereka pun akan memilih orang yang bertampang maskulin dan straight act. Pasti buat homo open dan ngondek hal kayak gitu ribet banget dan nggak praktis.

“Tapi sekarang banyak juga gay discreet gadungan, cuma hanya sebatas di bio Twitter, atau sekedar omongan di chatting.” Gue melanjutkan lagi tentang  gay discreet dengan jenis yang berbeda.
“Ada ya yang macam gitu?” tanya Ban polos, ditambah dengan tampang bloon.
“Banyak!!” jawab gue ketus. “Masa iya, di bio bilang discreet tapi dia pasang foto asli.”
“Bisa aja itu fake avatar,” Bin menyela omongan gue yang belum kelar.
“Gimana mau dibilang discreet dia aja pakai foto asli, lah wong liat TL aja foto half nakednya banyak, belum lagi kalo foto itu di retweet, semakin nyebarlah. Menyalahi kodrat homo discreet” timpal gue dengan cepat. “Jarang banget discreet pasang real avatar. Apalagi sampai posting foto dirinya di TL.”
“Mungkin dia discreet narsis,” balas Ban enteng, dengan muka lempeng.
“Mereka juga narsisnya gak di acount homo keleus,” ujar gue mata mendelik biar Bin nggak banyak protes. “Nyebelin dari mereka itu, katanya discreet tapi malah tebar pesona kesana kemari, mention orang buat ngajak ML atau malah nyebar PIN.”
“Eh iya banyak tuh yang kayak gitu, maksudnya apa coba?” protes Bin.
“Mereka homo discreet yang sudah desperate karena gak dapat lakik, mereka sudah inbox sana kemari nggak ada hasil. Jadinya mereka capek sendiri dan gregetan akhirnya membuka diri tapi lupa merubah bio-nya,” Ban menyalurkan pendapatnya.
“Tapi yang kayak gitu mending sih, mereka pada akhirnya terbuka.” Bukan maksud gue mendukung gay discreet yang kayak gitu, mungkin dia sudah lelah menjadi discreet. “Dari pada ada homo yang katanya discreet, dia emang gak pasang ava, tapi dia suka tebar pesona kesana kemari dengan mention atau dengan pesan pribadi ,atau komentar di FB. Tetapi ketika sudah akrab atau kenal banget mereka tetep nggak mau menunjukkan diri, minimal foto dech.”
“Kalau yang itu berarti homo denial atau homo munafik. Kayak gitu biasanya homo-homo newbie yang masih takut-takut terjun ke dunia maya homo,” ujan Bin dengan nada nyinyir. “Itu orang berarti egois.”
“Bener banget, dia sebenarnya udah sadar jadi homo tetapi, masih takut terjun langsung ke dunia homo. Tetapi bukannya sama aja dia mention sana sini tetep menarik perhatian pada akhirnya orang pun akan tau siapa dia. Gue anggap aja sih mereka homo penyebar PHP.” imbuh gue yang kesel sama homo macam itu.
“Nggak ada bedanya mereka yang menabur cinta dan benihnya dimana-mana tapi dia nggak memanen,” Ban melengkapi omongn gue.
“Seharusnya ketika sudah terjun ke dunia maya apalagi sosmed mereka sudah siap jika someday ada orang yang tau kalau dirinya gay. Kalau emang nggak mau dikenal ya lebih baik simpan rasa itu baik-baik didalam hati jangan di tunjukkan. Kalau mau jadi gay discreet pun harus bisa bersikap menyenangkan dengan membuka diri secara perlahan kalau emang sudah percaya, tentunya nggak banyak tingkah juga.” Kali ini Bin menyumbang pikirannya yang bener, sepertinya otak dia sudah di setting kembali pada pemikiran yang baik-baik.
Emang sih untuk menjadi gay discreet atau open bukan urusan Ban dan Bin apalagi gue. Gue bisa menghormati keputusan mereka yang discreet asalkan mereka juga bisa memegang konsep discreet yang benar. Nggak banyak ngumbar pesona ke tiap homo, selalu melakukan hati-hati, selain itu berjiwa adil dan bersikap jantan.

Kalau emang nggak siap menjadi gay discreet nggak usah ngaku-ngaku seperti itu. Gue sih sebernya gak peduli, tapi gue kasian aja sama orang yang nanggung kayak gitu. kayak gitu malah bisa merusak reputasinya sendiri. Bisa dibilang sebagai munafik atau gay denial yang ada nanti malah dijauhi orang. Nggak usah menarik orang kalau pada akhirnya kamu teralalu tertutup, bikin keki orang saja.

Ketika kita memutuskan terjun ke dunia gay kita pun harusnya sudah siapkan diri bila terjadi hal buruk, termasuk jika orang terdekat kita tau kalau kita gay. Kita memang perlu menjaga privacy apalagi terhadap orang baru kenal, tetapi nggak perlu lebay yang bikin repot sendiri yang ada kamu akan ditinggalin sama orang-orang.

“Kalo aa Iw termasuk discreet gak?” tanya Ban menyentak gue.
“Hmmm nggak tau ya,” gue gelagapan karena gue belum bisa mendifinisikan. Gue emang sudah jadian tapi belum mengenal banget siapa dia. Begonya gue gitu udah cinta yang penting bisa jadian dulu tapi nggak ngerti latar belakang tuh orang.
“Lah koq, gitu?” tanya Ban heran.
“Kalo elo mah dari awal udah rasanya ngewi sama dia enak, dan tuh orang wellcome sama elo pasti nggak mikirin dia discreet atau nggak.  Yang penting buat elu tetep keep contact kan?” Serasa ada yang menusuk relung hati. Omongan Bin emang ngena banget.
“Gue nggak pernah juga sih nanya-nanya mendetail, karena aa Iw juga cerita sendiri. Cuma dia nggak mau kasih alamat rumah, tempat kerjanya dimana, gue pikir itu hal yang biasa aja untuk menjaga privacy,” ujar gue yang masih ragu.
“Kamu tau nggak Insta, Path, Facebook, atau Twitter dia?” tanya Ban.
Gue jawab dengan menggeleng, artinya gue nggak tau sama sekali sosmed dia apa. Kan kenalannya waktu itu secara langsung. “Gue pernah tapi nggak dikasih yang ada gue dimarah-marahin karena mengganggu privacy orang.”
“Sebenernya dia macarin elu emang beneran cinta atau buat partner ngewe elu?” tanya Ban dengan wajah lempeng tanpa dosa tapi intonasinya tajam.

Sebelum gue jawab pertanyaan Bin, gue membuka pintu kamar karena ada yang mengetuk, ternyata ibu kost membawa kotak paket. Gue langsung terima saja, dan ngeliat nama pengerimnya aa Iw. Ban dan Bin langsung ngerubungin gue karena penasaran isi paketan itu. Tanpa buang waktu lagi gue buka isi paketan itu. Isinya ada amplop, lalu gue keluarkan isinya, ternyata tiket pesawat jurusan Jogja – Pangkal Pinang (Bangka), bolak balik. Hhuaaaaaa gue dapet tiket liburan. Nggak lama kemudia ada telpon dari aa Iw.

“Halo dek,” sapa aa Iw. Seblum gue balas aa Iw sudah ngomong lagi, “Paketnya udah sampai?”
“Udah A. Ini maksudnya apa?” tanya gue bingung dengan nada ketus. Siang bolong tiba-tiba dapet paket isinya tiket, tanpa ada konfirmasi dulu. Gue juga heran aa Iw dapat nomer KTP gue dari mana.
“Ya itu liburan kita dek. Aa ingin kita liburan berdua ketempat yang adek pengen,” jawab aa Iw dengan tenang. “Maap juga aa udah lancang buka dompet waktu itu untuk liat KTP adek. Aa emang udah niat lama mau liburan sama adek,” aa menjelaskan dengan hati-hati. Tadinya gue udah mau marah-marah langsung luruh juga.
“Tapi a.,” kata gue terpotong.
“Nggak usah tapi-tapi dek. Oh ya ntar kita ketemunya langsung di sana, buat jaga-jaga biar nggak ada yang liat kita di air port. Love you.” Aa Iw langsung matiin telpon.

Gue langsung nengok ke Bin yang sedang mukanya ditekuk, sedangkan tampang gue sumeringah pakai banget.
“Jadi elu, bisa ngartiin kan dengan bukti ini? Aa Iw emang discreet tapi dia cinta gue beneran.” Gue menyeringai sinis penuh dengan kemenangan. Tiket yang ada ditangan gue tampar-tamparin ke pipi Bin dan Ban.

“Huaaaaaaa. Dasar Bencong sundal......!” kedua temen gue yang homo histeris.

Tamat

Telah terbit buku bertema LGBT berjudul #Kamuflase. penjualan secara on line, pemesanan KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASET

Thursday 18 June 2015

Dua Dunia

pic dari screen shoot serial Room Alone

Minggu pagi jatahnya joging di Stadion Mandalakrida, bareng dua sahabat homo yang paling nyebelin. Pagi ini emang nyebelin, seharusnya gue sudah bisa tidur lelap setelah selamanan dugem acara Gay Night. Ban sama Bin malah nyeret gue ke sini dan gue gak bisa berkutik karena status gue nebeng.

Mereka bedalih ingin hidup sehat dengan joging. Mereka juga sebenernya sedang cuci mata dan mengharapkan bisa bertemu pangeran impian sayangnya itu hanyalah harapan mereka. Gimana pangeran mau datang kalau ngeliat mereka aja kucel, bau rokok dan, mata panda. Kita emang belum pulang sejak keluar dari tempat dugem, tepatnya pukul 3 pagi. Setelah itu kita nongkrong nggak jelas di sekitar Tugu Jogja. Mereka adalah homo yang sedang desperate, dari awal sampai bubar acara nggak ada cowok yang nyantol. Jadi mereka pindah lokasi ke sini.

Jam di smartphone menunjukan pukul 5.00 tetapi suasana stadion sudah ramai orang
joging. Beberapa orang ngeliat kita dengan pandangan aneh. Mungkin dalam benak mereka ada tiga banci yang salah kostum untuk joging. Atau bisa juga ada tiga banci yang semaleman nggak laku dan masih mengharapkan pelanggan yang khilaf.  Suka-suka merekalah mau mikirin apa.

“Ben...gimana kabar mas kamu yang waktu itu kenalan di Starbucks?” tanya Bin yang sambil sandaran di mobilnya Ban. Matanya jelalatan memandang cowok yang lewat sedang joging.
“Kamu masih lanjut sama dia?” Ban nambahin pertanyaan. Dia pun sama dengan Bin kepalanya mengikuti langkah cowok yang sedang berlari kecil.
“Namanya Iw, gue manggilnya aa Iw,” gue menyebut nama cowok yang sedang deket sama gue. Rencana pengin gue jadiin boyfriend.
“Oh namanya Huta,” ulang Ban. “Dia seksi loh, keliatan lakik gitu dengan jambangnya.”
“Terus waktu itu elo ML gak?” tanya Bin to the point. Kali ini dia nengok ke arah gue dengan pandangan menyelidik.

Gue yang tadi sebelahan sama Bin masuk ke dalam mobil. Gue agak risih dengan tatapan Bin yang seakan sedang mengitrogasi maling ayam. Gue masuk mobil juga sebagai antisipasi menutupi rasa malu. Karena setelah gue jawab pasti dua homo ini bakal heboh sendiri.

“Iya, kemaren kita ngewi di hotel,” jawab gue berbisik.
“Huaaaa.........” Bin dan Ban teriak kenceng, dan terlihat girang banget. Hampir semua orang disekitar ngeliatin mereka berdua. Mungkin mereka pikir dua homo ini sedang orgasm kali.

Mereka juga langsung masuk mobil memepet gue. Posisi gue yang duduk bagian tengah kabin mobil, sebelah kanan ada Bin dan kiri gue Ban. Mereka tampak antusias sekali mendengar cerita gue selanjutnya. Mereka memang selalu antusias dengan cerita ML.

“Ichh keren ya kalian mainnya di hotel,” komentar Ban. “Hotel mana Ben?”
“Di Royal Ambarukmo. Dia itu lagi visit ke Jogja karena ada kerjaan.”
“Jadi one night stand donk?” tanya Bin. Matanya sudah kembali menerawan ke arah luar, liat mas-mas yang nggak pakai baju sedang istirahat abis lari. “Trus gimana Mlnya jago gak?” Bin nambahin pertanyaan lagi.
“Ya untuk sementara ONS, tapi gue ngarep bakal ada lagi,” jawab gue nggak yakin.
“Tapi masih keep contactkan?” tanya Ban iba.
“Masih. Tapi........” jawab gue dengan perkataan ngambang.
“Tapi dia PHPin kamu?” samber Bin cepat.
“Nggak. Tapi dia udah punya monyet.” Suara gue tercekat diahir kalimat. “Dia bisexual.

Sekarang gantian gue yang desperate dan merana. Gue emang harus menghadapi kenyataan ada wanita dikehidupan aa Huta. Dia bercerita kalau dirinya adalah suami dan seorang ayah dari dua jagoan. Dengan kata lain dia adalah bisexual. Gue emang tahu dari awal waktu dia melambaikan tangan, karena ada cincin yang tersemat di jari manis. Tapi nggak ada salahnya untuk dicoba dalam satu malam saja cukup, pikir gue waktu itu. Kenyataannya sekarang gue mengharapkan lebih dari satu malam. Karena dia masih menghubungi gue dan berkata manis dia tiap pesan instan dan Skype.

“Macam itu ya bisexual?” Ban menunjuk sepasang kekasih antara cowok agak melambai dengan cewek lumayan cantik. Cowok tersebut tanpa putus memandang Ban yang sedang senyum kepada tuh orang. Yup, bener banget Ban sedang menjalankan gaydarnya secara langsung tanpa perantara teknologi.
“Ban gaydar elu makin hebat aja. Sudah bisa mendeteksi mana yang homo dan bisex,” komentar gue dengan antusias atas kemajuan Ban.
Bin menengok sebentar dan nampak nggak semangat. “Menurut gue, nggak ada yang namanya bisexual,” ucap Bin dengan nada ketus. “Gue nggak percaya sama yang ngaku-ngaku bisexual.”
“Tapi mereka itu ada,” sanggah Ban. “Tadi kamu lihatkan ada cowok yang lagi pacaran meskipun matanya ganjeng ngeliatin kita. Terus contohnya lagi aa Huta, cemcemanya Ben dia udah nikah tapi tetep aja ngewe sama lakik. Bisex juga kan?” Ban menunjukkan contoh dari orang yang bisexual.

Gue diem aja diantara perdebatan mereka. Gue diem karena gue bingung pendapat dari Bin ada benarnya juga meskipun gue belum tahu alasan dari Bin. Disisi lain gue juga percaya sama Ban karena bukti itu sudah nyata di depan mata gue sendiri. Gue juga diem karena budeg dengerin suara yang memekakkan dua telinga, mereka kalau ngomong bagaikan pakai TOA, apalagi mereka duduk disamping gue.

“Gue agak setuju sama Bin,” akhirnya gue bersuara. Jeritan dalam hati untuk membenarkan diri menghadapi kenyataan bahwa aa Iw sudah menikah. Itu membuat gue ngerasa dia sebagai bisexual jadi-jadian. “Gue anggap itu yang bisexual adalah gay denial. Mereka yang nggak bisa menerima dirinya gay. Mereka melarikan diri dari kenyataan dengan menikahi wanit,” lanjut gue beretorika. “Seorang dikatakan bisexual ketika dia ada dunia normal yang jelas ada perempuannya, karena status dia untuk menarik perhatian cowok dan cewek.  Tetapi kalau misal di chatroom, Grindr, Twitter, nggak yakin dia bisexual yang ada malah gay denial.”
“Salah satu pointnya itu.” Bin ikut mendukung gue. “Sebenerna mereka itu orang-orang yang sedang KAMUFLASE. Mereka menutup ke-gay-annya dari masyarakat dan kalangan homo dengan cara memacaria tau menikahi monyet.”
“Ada pula mereka gay yang mengaku bisexual karena menutupi stereotype negative mengenai gay. Asumsinya adalah yang berkembang di masyarakan dan kalangan gay itu sendiri pure gay itu orang-orang yang ngondek. Nggak mau donk dianggap ngondek. Padahal mereka juga sebenernya MenLi,” gue memberikan pandangan lain tentang bisexual.
“Mentel sekali......!” pekik kita berbarengan. Sakali lagi kehebohan kita mengundang perhatian. Mungkin mereka melihat kita adalah sekawanan bencong yang merana tidak yang tidak mendapat kunjungan dari lelaki hidung belang. Tapi kita cuek saja mendapat pandangan aneh seperti itu, karena sudah terbiasa menjadi alien di masyarakat.

Yup!! Inilah yang berkembang di kalangan antar gay sendiri. Mengaku-ngaku sebagai biseksual agar nggak terlihat “i’m pure gay”. Pure gay samadengan ngondek atau tidak samadengan lakik. Melainkan lekong, lelaki sekong yang gak bisa “ceng” liat meki cewek. Gue nggak tahu pemikirian itu dari mana. Bisa jadi itu adalah sebuah gengsi dimana kodratnya cowok emang bercinta dengan perempuan.

 “Kalo gitu gue juga bisa ngaku-ngaku jadi bisexual,” cetus Bin sambil memikirkan omongan ku. “Nggak usah ngaku-ngaku sebagai bisexual kalau girangnya sama lekong, yang pere malah dianggurin.”
“Elu nggak pantes Bin ngaku sebagai bisexual,” timpal Ban. “Karena elu emang udah ngondek dari sananya. Lagian yang ada elu itu koleksinya stempel cupang lakik. Mana ada stempel dari pere!! Jadi nggak ada yang percaya elu bisex.” Ban terkekeh, sambil memperagakan gaya ngondeknya Bin.
“Mereka bisa ngewe sama cewek, malah punya anak. Elu liat cewek bugil malah muntah.” Ban masih ngeledek Bin. Gue cekikikan Bin dipojokin Ban. Tumben banget Ban bisa ngbully. “Gue sih percaya bisa disebut bisexual kalau dia ngaceng waktu mau ngewe sama pere, dan sudah menikah apalagi punya anak.”
“Gue juga bisa ngaceng sama cewek, tinggal beli obat kuat atau obat Ki Sancang yang beredar di TL Twitter,” sergah gue dengan cepat. “Berarti gue bisexual juga donk.hahahha”
“Gue baru percaya kalau dia bisexual jika tuh orang yang ngakunya bisexual bisa ngewi sama gue dan perempuan dalam satu waktu, satu ranjang,” ucap Bin ketus. “Nah gue bisa lihat dia dominan menservice gue atau pere itu. Misalkan dia lebih dominan sama gue berarti dia homo ngaku bisex. Tetapi kalau dia seimbang berarti dia emang bisex.” Bin menyeringai dengan kejam bagiakan adegan sinetron si antagonis merencenakan siasat jahat.
“Tapi masalahnya elu sendiri mau atau kuat gak liat meki cewek?” tanya gue menggoda. “Lah wong elu liat bokep yang ada ceweknya aja jijik kayak ngeliat bangke.” Gue dan Ban puas menertawakan Bin sekaligus memadamkan retorika Bin.

Gue setuju sama Bin soal ini. Untuk memastikan dia emang bisexual sejati ketika dihadapkan pada dua kelamin yang berbeda. Dia akan “maruk” yang mana apakah sama kenti beserta anal dari pria atau mekinya cewek. Jika memang pure bisexual akan melah keduanya. Namun cowok itu malah lebih “menggarap” cowoknya berarti dia bisex KW.

“Gue jadi ngerasa kasihan sama mereka para gay bot yang pura-pura bisexual. Pasti ngerasa tersiksa biasanya mereka tinggal ngangkan atau nungging, sama monyetnya bekerja keras biar bisa ceng,” ucap Ban dengan polos. Matanya kosong. Mungkin sedang membayangkan bapak-bapak sudah keringetan karena usaha keras ngocok kentinya biar ngaceng. Gue dan Bin jadi ikut membayangkan dan tergelak keras.
“Gay top yang pura-pura jadi bisexualpun akan kesusahan,” samber gue sambil berusaha nahan tawa. “Pada dasarnya kan objek sexualitas gay kan laki. Gay yang top pun objek sexnya adalah “lubang kenikmatan” pria, mereka biasa memasukan kenti ke lubang itu pusat kegairahannya ada tubuh pria. Pasti donk akan terasa beda jika yang ada dihadapannya adalah perempuan, onderdilnnya pun beda,  dan gay top itu menganggap sebagai “lubang sengsara”.” Gue semakin terkekeh membayangkan kembali ada homo top yang sedang kesusahan biar kentinya ngaceng. Pasti dia membayangkan yang dihadapannya adalah cowok.

Berarti sesuatu yang pura-pura termasuk bisexual jadi-jadian akan mengalami kesusahan dalam aktifitas sex. Namanya juga homo pasti donk gairah sexnya pada lakik yang sebagai partner sex. Tiap homo pun punya fetishnya masing-masing dari partner sexnya yang pastinya seorang cowok.  Mau gimanapun usaha kamu jika psikologis kamu nggak nyampe, elu bakal kesusah sendiri menghadapi cewek yang sudah glepar-glepar minta “dimasukin”. Satu-satunya cara adalah minum obat Ki Sancang, untuk bikin ngaceng dan tahan lama.

“Pointnya gak sekedar ngewi aja. Ini bukan seorang verst yang bisa dengan mudah ganti role sex.” Gue mendorong Bin. Gue sumpek dipepet sama kedua homo ini. Gue pengen menghirup udara segar dipagi hari. “Ini juga masalah cinta bisexual. Gimana seorang bisex harus bisa membagi cinta secara imbang antara ke monyet dan cowoknya.”
“Apakah bisa menjadi seimbang seperti itu?” tanya Bin yang dari tadi masih nggak percaya keberadaan bisexual.
“Gue nggak yakin juga sih kalau bisa cintanya seimbang,” Ban menjawab dengan ragu. “Setidaknya dia sudah berusaha menjalankan perannya sebagai suami dan ayah serta bisa menjadi pacar dari lelaki homo,” lanjut Ban yang takjub permainan peran yang di lakukan para bisex.”
“Iya juga ya. Gimana pun juga mereka masih bisa membagi kasih sayang untuk banyak orang sekaligus sesuai dengan kapasitasnya.” Perlahan pemikirian gue goyah mengenai bisexual  itu adalah gay denial. “Terpenting dari bisexual bisa berhubungan dengan dua insan yang beda kelamin dengan adil.”
“Gimana pun juga elo tetep jadi nomor kesekesekian di kehidupan dia,” serang Bin nggak mau kalah. Matanya berkilat senang telah menohok gue dan Ban.”
“Elo kan bitchy. Gunakan donk kemampuan dan kelebihan elo itu untuk memikat pria yang sudah punya monyet. Jadilah elo yang utama untuk dia.” Tampang gue dibuat binal mengarah ke Bin.
“Gue bukan pecun. Tolol!” Bin menoyor kepala gue dengan sengit.
“Gue nggak nyebut elo pecun!” balas gue dengna nyolot.
“Udah lah nggak usah diributin.” Ban menjadi penengah diantara gue dengan Bin.
“Elo bisa ngelakuin gitu karena elo sedang desperate bercinta dengan lelaki suami orang. Dan elo ingin merebut perhatiannya,” lanjut Bin yang malah memojokkan gue. “Gue tau, lelaki itu pasti takluk dengan sex. Tetapi apa iya elo mau cuma jadi pelampiasan seksnya  aja karena dia nggak puas ngewe sama monyet.  Ada sesuatu yang lebih dari itu dari konsep bisex seperti yang elo bilang nggak sekedar syahwat. Jangan jilat ludah elo sendiri.”

Gue terhenyak dengan ucapan Bin yang menusuk ke relung hati gue.  Betul juga apa yang diomongin Bin. Gue memang sedang mabuk kepayang dengan lelaki yang statusnya sebagai suami orang. Gue terlalu berlebihan sehingga menganggap dengan kepuasan sex yang lalu bisa menggaet lelaki itu. Tubuh gue hanya jadi pelampiasannya saja. Gue nggak dapetin cintanya dia. Sekarang giliran gue yang merana.

“Maksud gue bukan gitu juga,” gue mengeluarkan suara dengan lirih. “Bukan dengan sex saja tetapi dengan cara lain. Kita bisa dengan perhatian, kasih sayang, atau dengan 1000 cara lainnya,” gue berkilah. Tubuh gue lunglai setelah diserang habis-habisan.
Ban mengelus punggung gue sebagai bentuk perhatin atas keputus asaan sahabatnya. “Ben..... senyum donk. Elu nggak usah nelangsa gitu.” Ban memandang  Bin dengan galak, “elu sih Bin kasar banget gitu.”

Bin melihat gue yang kelihatan ancur-ancuran menjadi iba. Bin kembali duduk disamping gue. Mungkin dia sedikit menyesal telah mengucapkan hal yang kasar kepada gue.

“Sori Ben... abisnya elu ngomongin bitchy sih. Gue emang bitch tapi gue punya harga diri buat dapetin cowok.” Tuh kan tetep aja Bin nggak merasa bersalah. “Menurut gue sih ya...tetep aja percintaan dari bisexual itu rumit. Makanya gue nggak mau deket-deket sama makhluk berstatus bisexual.”
“Bin... cerita percintaan itu selalu rumit, entah itu sesama gay, gay dengan bisexual. Antara straight pun juga rumit. Tetapi tergantung gimana kita menikmati percintaan itu.” Bukan maksud gue mendebat, tetapi kenyataan seperti itu. Biar Bin juga membuka mata hidup nggak sekedar berkutat di dunia gay dan membenci sesuatu yang berkaita dunia kenormalan.
“Iya gue tau Ben..... tetap aja bagi gue cinta dari seorang bisexual itu absurd.” Bin tetep keukeuh dengan pendapatnya. “Disaat dia  mencintai monyet  bersamaan pula dia mencintai elo. Cintanya terbagi dua, kosentrasinya pun dibagi juga. Seperti yang tadi gue bilang.”

Gue terpekur dengan omongan Bin yang sekali lagi bener. Gue nggak bisa menyangkalnya. Gue memang harus siap berbagi dengan monyet sahnya aa Huta. Berbagi cinta dan tubuhnya.
“Bin elu nggak bisa ngejudge gitu donk,” Ban bersuara dengan lirih. Dia masih pada posisinya sebagai penentang pemikirian Bin.
“Gue ngomong gitu karena kenyataan seperti itu Ban.....,” Bin juga gemas jika pernyataannya gak disetujui oleh sahabatnya.
“Apa elu udah interveiw atau udah merasakan dari kebersamaan seorang bisexual?” tanya Ban menyelidik. “Elu juga belum tau juga kan apa yang dirasakan oleh para bisexual.”

Bin tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus tapi kosong ke halaman parkir stadion yang luas. Dia sedang memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan Ban yang seakan membungkam dan mengaburkan pemikiran tentang bisexual.

“Gue emang emang bukan bisexual jadi gue nggak ngerti apa yang dirasakan,” jawab Bin terbata. “Gue juga belum pernah berhubungan yang namanya bisexual,” tambah Bin.
“Nah kamu sendiri belum tahu tentang mereka tetapi sudah menghakimi para bisexual itu sebagai makhluk terkutuk.” Gue berikap tenang dalam menanggapi Bin.

Gue cuma berusaha menenangkan diri. Gue nggak bisa menyalahkan Bin berpedapat dengan kasar walau tanpa bukti. Kita memang masih belum berpengalaman dalam dunia perhomoan. Jadi wajar saja kita punya asumsi berdasarkan pemikiran diri saja. Kue juga tahu Bin dan Ban punya beda pendapat, tapi itu saling melengkapi. Bin hanya memparkan sisi buruk dari bisexual sedangkan Ban menjabarkan sisi lain dari bisexual.

“Gue juga nggak tau saat ini apa yang bisexual rasakan. Termasuk dari perasaan aa Iw kepada gue atau monyetnya.” Gue menghampiri Bin yang sedang melamun.
“Terus yang elu tahu apa?” tanya Ban sambil keluar dari mobil dan berdiri disamping gue.
“Gue cuma tau mereka sama seperti kita bingung dengan keadaan ini, tetapi mereka lebih bingung kuadrat,” gue mulai menjelaskan perihal bisexual. “Kita cuma bingung kenapa kita menyukai lelaki? Dan pada akhirnya kita hanya dapat mendekat atau mencinta lelaki. Sedangkan mereka lebih bingung lagi kenapa bisa suka sama perempuan sekaligus punya hasrat sex dengan lelaki?” gue menengok ke Bin dan Ban melihat reaksi mereka selanjutnya.

Mereka berdua terpekur, menerawang. Mereka seola-olah sedang membayangkan diri menjadi seorang bisexual. Mungkin buat homo serasa simpel, menjadi galau pada saat bocah lelaki menyadari bahwa dirinya adalah homo pada akhirnya hanya mencintai atau menyukai lelaki saja. Berbeda dengan bisexual yang sadar merangkap cintai lelaki dan perempuan dalam satu waktu. Mereka tidak bisa memilih.

“Menurut gue, bisexual itu berkah. Bisa mencintai dan merasakan ngewe dua jenis kelamin sekaligus,” ucap Ban yang matanya sudah jelalatan melototin cowok sedang joging.
“Berkah yang membawa petaka. Mereka terjebak pada lingkaran dimana tidak bisa secara total mencintai lelaki atau perempuan,” timpal Bin dengan ketus. “Mungkin enak kali ya bisa ngewe diantara dua kelamin itu. Tetapi pada dasarnya mereka menjerit mana yang gue pilih untuk diseriusin? Jika melilih salah satunya pihak monyet atau cowoknya akan ada yang tersakiti juga, termasuk dirinya.”
 “Jadi, gay yang berhubungan dengan bisexual harus suda siap mengalah jadi madu atau mengalah meninggalkan cowok itu. Mungkin pada saat bisexual itu belum menikah kita yang menjadi only one, disaat sudah menikah kita menjadi yang kesekian. Itu sudah resiko.” Gue menutup perdebatan ini dengan menyimpulkan gay yang berhubungan dengan bisexual antara bahagia dan merana.
“Jangan bangga mengaku bisexual hanya karena sudah punya monyet tapi nggak dinikahin juga,” ternyata Bin masih mengeluarkan pendapatnya. “Jangan pula bangga ngaku bisexual hanya karena sudah menikah tetapi kenyataannya nggak bisa ngaceng liat pere glepar-glepar bugil.” Senyum bengis mengembang disudut bibir Bin. Kali ini dia menutup diskusi sekaligus membuat kesimpulan.

Semua pilihan kita pasti akan ada resikonya. Setidaknya sekarang gue sudah tau resiko bila tetap berhubungan dengan seorang bisexual. Gue bisa jadi bukan satu-satunya bagi dia. Bagi gue sendiri, dia juga bukan menjadi sesuatu yang satu.

“Terus apa yang akan kamu lakukan?” tanya Bin. Gue tahu pertanyaan itu mengarah pada aa Iw.
“Gue belum tahun Bin.” Gue memangdang Bin dengan tatapan memelas, seperti orang sedang seakarat.
“Apapun yang elo lakukan gue dukung elo, termasuk kalau elo pacaran sama aa Iw. Gue akan seneng ngeliat elo bahagia sekalipun elo jadi duri,” jawab Bin sambil memeluk gue. Sebenernya gue pengen jitak tetapi gue nggak mau merusak momen mengharukan ini.
“Kalau  ada apa-apa, gue sama Bin selalu ada untuk elo. Karena kita emang homo yang desperate.” Ban ikut memeluk. Jadi ada tiga homo yang sedang mengharu biru.

Dari saku celana smartphone gue bergetar seperti vibrator yang membuat kenti gue bereaksi. Gue liat ada panggilan video lewat Line dari aa Iw. Gue segera menutul layar smartphone untuk menerima panggilan video. Terlihat aa Huta baru bangun tidur. Posisinya sedang tiduran di kasur. Inilah sesuatu yang indah bagi gue ngeliat aa Huta apa adanya tanpa sentuhan bahan kimia untuk membuat dirinya ganti. Saat orang bangun tidur itulah sisi alaminya.

“Hai adek,” panggil dia menuju gue.
“Hai A, baru bangun ya?” tanya gue basa basi yang basi.
“Aa cuma mau bilang. Met pagi buat adek,” so sweet banget dech. Tetapi ada yang ngeselin. Backsound aa Huta suara perempuan yang sedang ngedumuel, mungkin karena kelakuan anaknya yang nakal.
“Aku tak rela bila aku di madu, serahkan kan saja aku ke lekong yang lain.” Bin menyayi dengan lantang. Gayanya pun ngondek abis. Gue tahu dia sedang menyindir aa Iw.
“Itu siapa dek?” tanya aa Iw keheranan.
“Itu ada A ada waria lagi putus asa semaleman gak dapet pelanggan!” jawab gue nggak kalah nyindir Bin.
“BENCOOOOOONG!!!!” pekik Bin kesal. Gue sama aa cuma ketawa saja. Ban sendiri malah sedang melongo liat cowok sedang sit up tanpa baju.

TAMAT

TELAH TERBIT BUKU TEMA LGBT BERJUDUL KAMUFLASE. DI JUAL SECARA ON LINE. UNTUK PEMESANAN KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITAS MU DENGAN KAMUFLASE



Wednesday 10 June 2015

Radar


pic dari screen shot serial Room Alone

Weekend telah tiba. Saatnya melepas penat setelah seminggu berkutat dengan tugas kuliah dan ngecengin dosen ganteng. Gimana nggak capek, udah gue kasih kode tapi dia nggak respon. Masa perlu gue glepar-glepar naked di depan dia, jangan gila donk! Gue tau tuh dosen homo juga, gay radar gue menangkap sinyal itu. Lagian menurut kabar burung tuh dosen emang homo.

Kabar burung  seharusnya gosip antara cowok sama cowok. Yang punya burung siapa coba? Cowokkan? Apalagi yang homo, tuh burung (dibaca kenti) pasti udah tempel sana sini, dari salam tempel itu akhirnya menyebar kemana-mana. Termasuk Penyakit Sex Menularnya :p. Katanya lagi sih tuh dosen punya burung yang gedong, gue percaya aja sih karena kenyataan gitu. Kalau ngajar selalu pakai celana slimfit ketat, pasti donk batang kenti dan bijinya tercetak jelas. Menurut gue sih itu bagian dari kode atau dia sedang mengirimkan sinyal untuk para mahasiswanya yang punya radar kehomoan.

Tapi ya sudah lah gue nggak bisa dapetin dia. Bagi gue yang penting bisa dapetin nilai bagus dari tuh dosen. Gue nggak mau ngulang dan ketemu dia lagi. Sekali lagi gue ngulang dan ketemu dia, dijamin iman gue ngggak guat. Bisa aja gue nekat grepe-grepein dia.hahahah. ups sory i’m bitchy.

Hari ini gue mau ngohan (dibaca ngopi handsome), bareng Bin dan Ban. Tapi kayaknya cuma gue aja dech yang handsome, jadi yang ngohan cukup gue aja. Sedangkan kedua temen gue ngocan, alias ngopi cantik. Coba aja lihat mereka kalo angkat cangkir kelingkingnya ngetril, sok cantik bangetkan kayak putri bangsawan. Padahal yang ada mereka adalah homo bangsatwan. Semua homo pasti bangsatwan, karena mereka lakik. nggak ada bangsatwati.

Demi kepraktisan bersama kita langsung ketemu di Starbuck. Mumpung lagi awal bulan dan lagi tajir gue menyanggupi ngohan di Starbuck Amplaz. Setelah itu ke esokan harinya gue bisa ngandalin makan di angkringan atau burjo atau nebeng makan di Ban dan Bin.

Gue nyampe Amplaz ketika kedua temen seperhoman udah dateng duluan. Kayaknya mereka juga baru dateng.
“Hai Banci.....” ucap gue tanpa suara sambil melambai ke Ban. “Hai Bincung....” salam gue tanpa suara pula pada Bin. Gue menyapa mereka nggak pakai suara demi ketertiban bersama. Gue bukan bagian dari homo heboh, tapi gue cuku sadar diri kalau gue bitchy.
“Haii.....Bencong.......” pekik mereka dengan kompak. Alhasil barista dan pengunjung lainnya ngeliatin gue sambil senyum-senyum. Sumpah mereka ngeselin banget buat harga diri jatuh sejatuh-jatuhnya mungkin udah gak ada harganya lagi.
“Sialan....” gue mengepruk mereka pakai tas. Tapi mereka malah nyengir doank.

Akhirnya kita pesan. Mereka pesan kopi. Berhubung gue gak doyan kopi jadi gue pesen hot dark chocolate, emang juara dech coklat disini. Sebenenya gue lebih doyan lagi sama baristanya karena gagah bange dan “batangan coklat”. Pasti liar dech kalau di kasur. Forget it, gue nggak mau ngarepin yang nggak pasti-pasti.

“Ehh... tuh cowok dari tadi ngeliatin elu dech Ben,” bisik Bin sambil curi-curi pandang ke cowok setengah gadun (sega) yang lagi duduk sendirian. Tepatnya arah jam 9 dari gue. He look manly dengan pakaian kantor.
“Dia pasti homo,” Ban ikut berbisik sok tahu.
“Tolol!!!” Gue menoyor jidat kedua orang itu. “Dia udah tau duluan kalau gue homo, gara-gara kalian teriakin bencong. Sekarang dia jadi perhatiin gue kan. Dia sebenernya lagi penasaran sama tiga bencong lagi ngocan.hheheeh,” kelakar gue dengan muka dijudesin.
“Ben noh dia ngeliatin elu lagi,” bisik Bin.

Secara reflek gue nengok ke arah sega yang dari tadi curi-curi pandang. Strike!! Kita beradu mata, alias saling menatap. Tanpa ragu lagi gue kasih senyuman manis, buat kodein dia. Namun sial! Boro-boro dia balas senyuman, dia langsung nunduk dan kemasin barang bawaannya terus ngacir.

“Dia takut sama bencong macam lu!!” ledek Ben.
“Sialan....!! gumam gue.

Nggak lama kemudian datang seorang pemuda. Kayakya seumuran sama kita. Menurut gue sih ganteng, modis, rapih. Keliatannya dari kalangan atas dan biasa nongkrong di sini. Melihat kehadiran cogan (cowok ganteng) itu, kedua temen gue langsung jadi homo jelalatan. Maklum selera mereka adalah cowok seumuran. Sedangkan gue lebih suka sama sega.

“Pasti dia homo,” Bin menebak dengan penuh keyakinan. Matanya nggak lepas mandangin cogan itu.
“Keliatan banget tuh homonya.” gue menunjuk ke arah cogan itu.
“Dari mana kalian tahu dia homo?” tanya Ban polos.
“Gaydar elu di pakai donk....” ucap Bin geregetan, pandangannya masih lurus ke arah cogan itu.
“Apaan tuh?” Dahi Ban mengernyit, tanda emang beneran nggak tahu.
“Gay radar. Tolol!!” kata Bin dengan nada menghina. Gue ngeliat Ben jadi manyun.
“Elu kan homo, pasti donk punya gaydar,” gue mau mencoba menjelaskan gaydar ke sohib gue yang sering kena bully. “Jadi gaydar itu suatu feeling yang mengatakan cowok yang elu liat itu adalah homo, kalau pun lagi sama monyetnya (dibaca pacar cewek) berarti dia bisexual.”

Ban manggut-maggut dengan serius. Bagi dia mungkin ini pengetahuan baru. Tapi kayaknya dia sudah bisa merasakan itu namun belum ngerti ada istilah gaydar. Buat newbie emang gay dar itu belum peka, bisa juga emang nggak bisa mendeteksi.

“Simpelnya gini,” Bin mencoba nambahin maksud dari gay dar. “Elu itu sebenarnya udah punya radar. Jika ada cowok yang mengeluarkan sinyal kehomoannya secara sadar atau nggak sadar radar elu bisa nangkep itu.”
“Ouuhh gitu.” Ben cuma manggut-manggut. Gue yakin Ben masih belum paham karena tatapannya kosong gitu. “Sinyalnya kayak gimana ya?” tanya Ben polos.

Bin garuk-garuk kepala yang gue yakin pasti lagi gak gatel, melaikan gemes sama kepolosan Ben. Gue pun ikutan gemes. Sebenarnyakan Ben juga udah lama jadi homo, tapi kenapa dia sering banget gak ngerti apa-apa tentang istilah perhomoan.

“Sinyalnya bisa dari fashion yang dia pakai, entah itu baju, celana atau aksoris lainnya.” Gue memberi jeda sebentar untuk menyeruput coklat panas yang sekarang sudah berangsur adem, dan masih rada penuh. “Bisa juga sinyal yang dia pancarkan berupa gesture tubuh. Elu bisa mengamati tanda-tanda tuh orang homo dari gayanya.”
“Elu udah tau kan tanda-tandanya cowok homo?” tanya Bin dengan pandangan menyelidik.

Ben yang merasa terpojok diem aja karena udah jiper duluan. Ben taktu kalau salah jawab kena bully lagi dari kita berdua. Ben juga sedang memikirkan jawaban yang tempat untuk memperlihatkan dirinya sebagai gay expert.

“Dari gayanya yang ngondek, terus bajunya yang cerah bagaikan bunga di kebun yang sedang bermekaran,” jawab Ben agak ragu.
“Emang bener juga, tapi ada yang bagian yang salah.” Tuh kan tetep aja bagi Bin ada yang salah. “Gak semua yang ngondek itu gay. Tapi emang kebanyakan yang ngondek bisa ditebak sebagai gay.”
“Kalau menurut kamu yang Ban. Sinyal mana yang dia kirim sebagai gay?” tanya gue untuk menguji gaydar Ban. Gue menunjuk cogan yang barusan dateng.

Ban nggak langsung menjawab. Dia sedang mengamati cogan yang sedang ngopi sendirian pojokan. Sesekali dahi Ban mengernyit seolah-olah serius sedang menafsirkan sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh cogan itu. Setelah itu Ban menyeruput kopi, sepertinya sudah siap untuk menjawab tantangan dari gue.

“Gue udah siap jawab,” kata Ban dengan lantang. “Tapi elu elu jangan ngebully gue kalau jawaban gue salah atau melenceng.” Tangan Ban menunjuk gue dan Bin, nadanya juga terdengar mengancam. Gue dan Bin mengangguk dengan semangat. Ban menghela nafas melihat ekspresi kita yang senyumnya dipaksain. Ban nggak yakin juga kalau kita bisa diem nggak ngebully.

 Pandangan Ban masih lekat mengamati cogan itu.  “Sinyal yang dia kasih dari gesturenya lihat aja cara dia pegang gelas plastiknya, jentiknya ngetril kaya kalian.” Ban nyengir pada gue dan Bin. “Terus cara dia duduk, satu kaki dipangku dengan gayanya dengan anggun. Kalau cowok tulen nggak seperi itu, pasti mbenggang, seperti mas-mas di sana.” Ban menunjuk cowok berperawakan gagah sedang duduk sendirian. Gue dan Bin secara reflek langsung nengok ke arah cowok yang di tunjuk Ban. Emang bener cara duduknya berbeda.
Kita kembali memperhatikan cogan itu ketika Ban melanjutkan analisa. “Dia juga suka tengak-tengok sana sini. Seperti sedang mencari sinyal dari homo-homo yang lain. Sekarang dia malah ngeliatin kita.”

Awalnya gue dan Bin nggak sadar sama omongan Ban. Gue sama Bin masih serius juga ngelitain coga itu, sampai mata dia beradu pandangan, secara bergantian cogan itu ngeliatin tingkah kita bertiga yang konyol. Lalu cogan itu malah senyum pada kita semua.

“Goblok!!” gue dan Bin kompak ngepruk kepala Ban. “Kenapa baru ngomong sih kalau dia perhatikan kita juga,” Bin ngedumel sama Ben yang masih meringis kesakitan.
“Sakit bego!!” Ban gantian ngepruk kepala kita berdua. “Kalian juga lebay perhatiin cogan gitu kayak gak pernah liat orang ganteng. Padahal jelas-jelas orang yang depan kalian ini sudah paling ganteng.” Ban menunjuk dirinya  dengan congkak.
“Elu emang gateng, tapi telmi alias telat mikir,” timpal gue dengan sadis. Bin malah cekikikan saja.
“Gue salut sama analisa elu Ban. Hampir semunya tepat,” Bin memuji Ban yang udah menjawab tantang gue.
“Apalagi pas dia senyum, keliatan homonya,” lanjut Ban yang sekarang jadi congkak sok ngerti sinyal homo.
“Eh orang Indonesia itu pada dasarnya ramah. Kalau elu senyum atau elu diliatin sama orang pasti bakal senyum,” gue mematahkan asumsi Ban.
“Gitu ya.” Wajah Ban jadi lesu lagi, dan tampak kecewa. “Eh kalau ngondek atau yang sok kecantikkan itu gampang banget ya ketahuan kalau dia gay. Terus yang lakik beneran tapi homo gimana kita bisa tau?” tanya Ban kembali antusias.
“Itu juga gampang,” jawab Bin dengan cepat dan sok paham betul dengan gaydar. “Coba elu liatin aja cowok yang lakik itu, kalau dia balas pandang elo dan ngeliain elo sampai lebih dari lima detik berarti dia homo.”
“Bisa aja dia emang lagi sakit mata,” sanggah gue dengan cuek. Padahal gue pun tau teori itu.
Bin dan Ban nggak gubris celetukkan gue. “Terus elu pura-pura cuek and then kamu coba ngeliatin lagi dia, kalau ternyata dia ngeliatin elu balik atau beberapa kali elu mergokin dia lagi curi-curi pandang ke elo, berarti dia positif homo!” cerocos Bin diakhir kalimat dengan mengangkat kedua tangannya tanda kemenangan.

Ban mengangguk saja seperti ayam sedang matok makanan. Ban emang selalu terkesima dengan hal pengetahuan gay yang baru, apalagi kalau gue dan Bin yang memberi soal itu, kita bagikan seorang expert yang sedang melatih newbie polos.

“Dari pada kita berdebat gak jelas, mending kita cek dia di Grindr,” gue menyampaikan ide. Demi kepastian, demi kebenaran, dan demi kemampuan gaydar Ban.

Bin langsung bergerak cepat mengambil Pad yang dari tadi bersemayam di tas. Jari Bin lincah banget menari-nari di touch screen. Sesekali terdiam ketika menunggu loading. Wajahnya tampak serius, mungkin karena saking penasarannya. Tak lama kemudia senyum penuh kemenangan mengembang dari bibir Bin yang bitchy.

Bin mengacungkan jarinya membentuk huruf V. “Positif dia homo.” Bin melirik ke arah cogan itu. Pad-nya diletekan di meja, terhampar kotak-kotak penuh dengan foto cowok dari aplikasi Grindr. Lalu menunjuk salah satu foto. Setelah diperhatikan dengan seksama emang mirip banget sama dia. Jarak yang terpangpang juga hanya berapa meter dari tempat kita duduk.

“Selamat ya...gaydar elu berjalan dengan semestinya,” gue menyalamin Ban sebagai bentuk penghargaan karena sudah tepat menilai orang itu homo atau bukan.
“Cuuzz PM dia,” usul gue dengan girang.
“Jadi kita nggak usah repot-repot ngandalin gaydar yang kita punya. Karena sudah ada Grindr yang secara akurat sebagai gaydar.” Bin mengangkat Pad-nya lalu menggoyangkan, seakan sedang pamer.
“Iya mending pakai Grindr aja. Tinggal tul tul tul dapet dech. Cocok langsung samperin,” Ban ikut nambahin persetujuan pendepat Bin.

Emang sih sekarang banyak aplikasi mengenai gaydar. Nggak cuma Grindr tetapi masih ada Male Force, Manjam, Planet Romeo dan masih banyak lagi. Kita tinggal lihat layar smartphone liat foto homo shirtless pamerin otot perut dan bishep. Kita juga tahu seberapa dekat atau jauh tuh homo-homo dari kita, karena sudah ada informasi kilometer. Bahkan ada yang langsung menujukan peta lokasi mereka.

“Tapi menurut gue, sebagai homo sejati harus punya gaydar alami yang kuat.” Gue berbeda pendapat sama kedua teman gue.
“Kalau ada ini ngapain repot?” Bin kembali mengacungkan Pad.
“Nggak semua orang punya aplikasi Grindr,” gue masih tetep keukeh bahwa gaydar alami yang terbaik.
“Tapi semua orang butuh kepastian orang itu gay atau nggak,” Bin terus menyerang gue. “Di Grindr sudah dipastikan dia gay, bahkan ada informasi bot, top atau verst.”
“Lagian nggak semua orang berani langsung nyamperin orang yang disangka kita gay,” Ban kembali nambahin untuk memperkuat serangan.

Gue speacless, apa yang diomongin Bin dan Ban bener. Meskipun gue punya gaydar kuat tapi gue tetep nggak berani nyamperin tuh orang. Meskipun gue tau dia gay, tapi tetap aja gue masih ragu, ujung-ujungnya mengurungkan niat untuk berkenalan. Jadi sekarang, sekuat gaydar kamu nggak bisa banggain karena ada aplikasi gaydar yang lebih canggih, kecuali kalau elu berani nyamperin secara langsung, baru bisa dibanggakan.

“Haiiiii trio B. Banci, Becong, Bincung.” Suara cempreng menggema ditelinga gue dan dua temen lain. Suaranya nggak kenceng banget tapi cukup mengundang perhatian sekitar.
                     
Kita bertiga serempak menengok ke sumber suara yang berasal dari pintu. Gue liat ada Nad. Salah satu sahabat gue dan Bin di kampus. Dia berkelamin betina. Dia emang udah tau kalau kita membentuk trio perhomoan, jadi otomatis Nad pun kenal Ban.  Dengan senyum sumeringah dan tangan melambai Nad mengahampiri kita.

“Sialan lu Nad!!” hardik gue pada Nad yang tanpa permisi langsung duduk. “Elu tuh udah buat kita nggak punya muka dibanyak orang.”
“Kalian kan emang pada muka pantat semua,” timpal Nad dengan cepat. “Gue lagi mau jalan sama Din dan Wid, tapi mereka belum dateng. Gue boring donk terus jalan eh malah ketemu para waria,” cerocos Nad memberi tahu alasan kenapa bisa sampai nyasar ke sini.
“Reputasi kita hancur......” ucap Bin memelas.
“Dari dulu kalian juga udah ancur,” balas Nad kasar. “Eh kalian disini pasti lagi ngecengin mas-mas, om om dan brondong itu.” Nad menunjuk beberapa orang yang ada di dalam Starbuck.

Gue, Bin, dan Ban mengikuti gerakan telunjuk Nad yang sedang nunjuk. Secara sekilas gue ngeliat orang-orang yang ditunjuk menunjukan indikasi sebagai homo. Nad seyum kemenangan telah berhasil menganalisa orang-orang itu.

“Buset...elu lebih jago dari Banci satu ini,” gue nunjuk Ban yang masih terkesima kehebatan Nad. Langsung drop dech Ban, keahlian yang baru dimiliki telah diungguli oleh Nad yang notabenenya betina dan dia straight.
“Eh elu koq bisa jago banget sih?” tanya Bin penasaran.
Nad terlebih dulu senyum congkak sebelum menjawab. “Gimana nggak jago setiap hari gue nongkrongnya sama homo-homo jelalatan macam kalian di kampus.” Mampus menohok sekali omongan Nad. “Noh di sana ada couple lagi pacaran.” Nad menunjuk pasangan gay yang sedang bercengkrama. “Itu yang bener malam minggu buat pacaran. Kalian bertiga jones sih ya, cuma bisa threesome ngocan.” Sekali lagi Nad kometar yang menusuk relung hati kita.
Nad mengambil smarthphone dari saktunya untuk melihat pesan instan. “Eh gue cabut dulu ya, mereka udah datang. Kita mau shoping, mawar ikatan tinta cinn?” mulai dech kumat lagi Nad pakai bahasa planet, mentang-mentang ketemu sama tiga homo bithcy. Seperti datangnya tadi kini Nad pun pergi tanpa permisi lebih lanjut.

Ok. Gue ambil kesimpulan. Siapapun yang gay atau biseks, sekalipun straight punya kemampuan gaydar. Gaydar bisa terbentuk karena kebiasaan. Seberapa sering kita berkumpul dengan makhluk-makhluk gay. Seberapa banyak kita bertemu dengan para homo. Jadi intensitas dan kuantitas akan membentuk gaydar kita menjadi kuat. Secara nggak langsung ketika kita bertemu sesama homo akan menganalisa gesture, fashion, percakapan yang ada di diri homo itu.

“Bin gue ngerasa sega itu ngeliatin gue terus dech,” bisik gue pada Bin sambil melirik sega yang berada tepat pada jam 11 dari arah gue.
“Ember....cus embat aja,” saran Bin.

Buat gue konyol bangget saran Bin gue jelas nggak berani tapi gue pengen membuktikan gaydar alami bisa diandalkan. Gue curi pandang ke sega itu. Beberapa kali gue  kepergok lagi ngeliatin dia. Gue masih penasaran juga sih. Pas lagi liat sega itu, dia malah balik mandang gue. Kesempatan ini nggak gue sia-siakan, bukannya gue berpaling tapi malah senyum ke arah dia. Eh dia malah balas senyum. Tangannya juga mengayun seperti kucing yang nangkirng di kasir toko yang pemiliknya Tionghoa. Gue tau itu simbol dari ajakan untuk mendekat. Gue ragu donk, gue memberi isyarat ke dia menunjuk dada gue lalu menunjuk dia lagi, artinya apakah gue yang elo maksud untuk ke situ? Dia membalas dengan senyum dan anggukkan.

Gue langsung menghampiri sega yang tadi sudah manggil gue untuk bergabung ngohan berdua. Dari kursi yang baru dan traktiran hot dark chocolate gue bercengkrama dengan sega itu. Tebakkan dan gaydar gue akurat banget, sega ini emang homo. Dari kejauahan gue ngeliat Bin ngutakngutik Pad, nggak lama kemudian cogan yang dari tadi kita tebak sebagai homo bergabung dengan Bin dan Ban.


Jadi pilihanmu adalah gunakan gaydar alami mu atau teknologi. Mana yang kamu percaya diri untuk mendapatkan pria yang kamu suka. 

TAMAT

Telah terbit buku tema gay berjudul #Kamuflase. Penjualan melalui On Line. Pemesana bisa KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN BERKAMUFLASE 

Cerbung: Cinta Segi Empat (Part 2)

Gue masih terkejut dengan kejadian kemarin. Bani sebenarnya naif atau pura-pura polos? Apa mungkin dia sedang mancing gue kali ya? Tapi menurut gue sih Bani emang gay dech. Dia ada ketertarikan sama cowok, buktinya dia mau diajak bermesraan. Tinggal disentil sedikit, ceng deh... bisa buat ML. Sial!! Pikiran gue mulai kotor. Bani oh Bani kenapa membuat fikiran ku jadi kacau.

 Setelah kemarin ngobrol-ngobrol sama Bani gue jadi sedikit lebih mengenal Bani. Dibalik perangainya yang kasar ternyata ada kelembutan dibaliknya. Dia tau betul gimana cara memperlakukan orang yang disayang. Gue iri sama cemcemannya Bani. Gue masih punya kesempatan nggak ya?

“Doorr!!!” Tepukkan tangan menyentuh pundak gue denga keras, dari arah belakang ada yang ngaggetin gue.
“Banci lu bancii!!! Pekik gue latah karena kaget. Gue tengok ke belakang, ternyata Papang yang ngaggetin gue.
“Parahhh nih anak ternyata latah,hahahha.” Papang tergelak puas ngetawain gue. “Ngelamunin mau jadi banci?”
“Apaan sih!!”  gue mendengus kesal. Tapi untung aja gue nggak nyebut Bani, bisa brabe donk kalau Papang tau gue mau pepetin Bani.

Papang duduk di sebelah gue. Senyumnya masih menghiasi di wajahnya setelah puas menertawakan gue. Tumben banget dia nyamperin gue. Biasanya dia nempel terus sama Dara. Saat ini gue lagi duduk di depan kelas sendirian.

“Eh tumben nyamperin gue?”
“Iya. Tadi aku liat kamu sendirian, jadi aku samperin,” jawab Papang, sebenarnya itu bukan jawaban juga karena ngambang. “Lagi ngelamunin apa sih? Kayaknya seru banget.”
“Lagi ngelamunin kamu.” Gue menengok ke arah Papang sambil senyum dimanis-manisin. “Kepo dech....” Gue balik lagi dengan intonasi judes.
“Ya udah dech, aku pergi lagi...” Papang sudah siap bangkit lagi. Gue segera menariknya lagi. Dia akhirnya duduk lagi. Mungkin yang tadi hanya gertakan saja.

Papang emang manis juga, nggak kalah dari Bani. Kalau Bani kelihatan bengal sedangan Papang lebih manis dan pintar. Meskipun tanpa Dara kita tetap akrab ngobrol lewat celotehan komentar di Facebook atau cuittan di Twitter. Gue belum mengindikasikan kalau Papang gay lewat sosial media karena kebanyakan di friendlistnya cewek. Dia juga sering bikin status galau pengaharapan cinta dari seseorang. Gue nggak tahu ditunjukan untuk cewek atau cowok.

“Gue lagi bingung Ar,” Papang memulai sesi curhat. “Gue suka sama orang yang baru gue kenal tapi.....” Papapang menghentikan ucapannya yang masih tergantung karena sulit unuk mencari kata yang pas untuk mengakhiri.
Tapi ada banyak kemungkinan untuk melengkapi. Bisa aja tapi dia terlalu cantik, dia beda agama. Gue sendiri ngarepnya tapi dia cowok, jadi gue ada kesempatan untuk memepetin. “Tapi apa?” gue tanya dengan tenang layaknya psikolog. 
“Tapi apa ya?” Papang menggaruk rambut yang sebenarnya nggak gatal. “Nggak ada tapinya sih.” Lanjut Papang menggantung.  Gue yakin ada tapinya karena diakhir kalimat ada kata siihhhh.
“Ya udah kamu langsung pdkt aja,” saran gue standar banget karena gue juga nggak tau harus ngapain juga. dia aja ceritanya setengah-setengah.
“Aku taku kalau aku nggak menarik di mata dia. Aku sama dia itu beda jauh banget. Dia orang yang gaul, sedangkan aku cupu kayak gini.” Omongan Papang cepat banget dalam satu tarikan nafas. Dia mencoba mengeluarkan isi hatinya.
“Nggak ada salahnya juga kan kamu deketin dia dulu. Nggak semua orang gaul harus pacaran atau temenan sesama yang gaul juga,” gue balas dengan bijak, sok psikolog. Nggak ketinggalan gue pegang tangan dia untuk menumbuhkan keyakinan. Padahal gue lagi cari kesempatan ngelus tangannya yang sedikit kasar.
“Kalau gitu makasih ya......” Kali ini Papang yang gantian meremas tangan gue. Tapi yang gue rasakan dia meremas-remas hati gue.
“Gue kenal nggak sih?” gue emang penasaran. Orang baru dan gaul, berartikan gue banget donk. Siapa tau emang ditunjukkan untuk gue. Papang membalas dengan senyuman. Gue menembak pasti gue kenal gebetan Papang. Apakah temen gue juga nggak ya? “Dia cewek atau cowok?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulu.
Dahi Papang mengernyit mendengar pertanyaan dari gue. “Maksudnya cowok?”
“Ya maap,” balas gue cepat, nggak enak hati aja nyeplos gitu aja. Mungkin di sini belum kelihatan biasa aja kali cowok pacaran sama cowok. “Kan udah biasa tuh cowok sama cowok malah pacaran,” lanjut gue untuk memancing.

Papang malah balas dengan senyum lalu langsung ngeloyor pergi tanpa pamitan. Ah sial!! Dia ninggalin gue dengan membebankan rasa penasaran. Gue mulai menganalisa sendiri. Jika dia cuma senyum aja berarti dia emang naksir cowok. Biasanya cowok normal langsung protes ketika ada pertanyaan “suka cewek  atau cowok?”. Sudah ada dua cowok yang terindikasikan gay.

Intinya sekarang gue tau, Bani udah positif suka cowok sedangkan Papang masih absud masih perlu dipastikan. Nggak ada salahnya untuk deketin mereka kan? Jika pun mereka deketin gue, nggak perlu gue tolak. Rejeki itu pamali kalau ditolak, nanti malah dijauhkan.

@@@

“Arya..... Arya.....” Dari belakang terdengar suara orang lari dan ada yang menyebut nama gue. Secara reflek gue nengok. Ternyata Bani yang manggil gue. Dia terlihat terburu-buru menghampir gue.

Gue mematung menunggu Bani. Gimana gak mematung, gue terkesemia sama badan dia yang bagus tanpa balutan baju. Sepertinya dia baru kelar main basket, tuh buktinya keringat mash bercucuran dari kening, badannya pun basah mengkilat. Gue harus tenang, jangan sampai kelihatan kalau gue lagi girang ngeliat body sebagus ini. Tapi gue nggak tahan pengen dech ngelap keringet dia atau langsung peluk dia. Hhuuaaaa!!!!

“Ada apa Ban?” tanya gue dengan tenang. Tapi jantung gue berdegub dengan kencang.
“Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau.......” omongan Ban ngambang. Sepertinya dia ragu untuk melanjutkan omongannya.
“Apa sih?” tanya gue penasaran nggak sabar apa yang akan diomongin Bani selanjutnya. “Kalu nggak ada apa-apa gue mau pulang.” Ancam gue sambil siap-siap mau pergi.
“Eh jangan pergi dulu.” Tangan Ban mencekal tangan gue. “Elu kan pinter ngarang.” Perkataan Ban kembali terputus.

Gue nggak ngerti maksudnya pinter ngarang. Apakah dia tahu kalau gue emang pinter “ngarang” cerita alias suka ngibulin? Absurd banget dech. Celaka juga kalau dia tau gue emang suka ngarang cerita buat dapetin cowok yang gue suka. Gue malah jadi khawatir Bani menjauh dari gue atau dia malah mau ninju gue.

“Aku mau minta diajarin ngarang untuk pelajaran Bahasa Indonesia,” lanjut dia dengan satu tarikan nafas.
Gue bernafas lega, ternyata maksudnya itu. “Ohh... Kapan dan dimana?” tanya gue to the point. Gue gugup saking senengnya.
“Kamu mau tunggu sebentar?” tanya Bani. Gue Cuma balas mengangguk. “Gue mau ambil baju terus langsung ke rumahku. Nanti aku antar kamu pulang ke rumah.” Tanpa ada persetujuan dari gue, Bani langsung ngacir ke lapangan basket.

Sekarang gue udah ada di kamar Bani. Gue nggak ngira kalau kamarnya bisa serapih ini. Buku pelajaran tertumpuk teratur, selimut terlipat, nggak ada kertas yang berserakan Padahal tampilan Bani sering acak-acakkan, baju dimasukin waktu pelajaran aja, rambutnya nggak pernah sisiran, kadang kancingnya kebuka satu.

Tiba-tiba Bani masuk ke kamar tanpa permisi, membuat aku kaget. Ya iyalah masuk ke kamarnya sendiri koq pakai permisi. Yang buat gue kaget adalah dia nggak pakai baju, dia cuma pakai bokser aja. Handuk masih membelit leher, rambutnya juga masih basah. Semoga saja dia langsung pakai baju.

Bani langsung duduk di hadapan gue. Satu tangannya terangkat mengibaskan rambutnya yang basah. Sialan!!! Bulu keteknya bikin mupeng aja. “Jadi gini Ar, aku dapat tugas ngarang. Tapi aku bingung mau cerita apa.” Bani langsung memulai membahas tugas mengarangnya.
“Iya buat aja yang apa yang sedang kamu pikirkan,” jawab gugup. Gimana nggak gugup di depan gue ada suguhan pemandangan indah gitu.
“Hhhmmmmm,” dia bergumam sambil memikirkan sesusatu. Kemudian dia merubah posisinya.

Sekarang Bani tidur terlentang. Kedua telapak tangan jadi bantal kepalanya. Posisi itu membuat aku semakin nggak tahan. Sudah puluhan kali aku menelan ludah mencoba mengendalikan birahi. Apalagi dengan posisi sekarang semakin terbuka saja bulu-bulu ketek halus itu berayun tertiup kipas angin.

Gue udah nggak tahan, gue nyerah. “Gue pulang dulu ya.” Gue lekas beranjak.
“Eh bentar donk....,” protes Bani. Dia langsung bangkit juga dan menarik ku.”Belum aja mulai koq udah pulang,” ujar Bani cuek.

Gue bergeming. Apa pula maksud belum mulai? Emang mau ngapain? Apa ini bukan sekedar bikin cerpen biasa. Atau ini adalah penjebakan. Akan ada hal lain yang akan terjadi. Gue harap sih ada acara pemerkosaan.hahahaha.

“Gue ada ide!!” pekik dia. Gue tahu dia sedang mencegah gue pulang.
Gue terpaksa duduk lagi. Menunggu dia cerita. “Kamu pakai baju dulu dech,” kata gue bersikap tenang.
“Kamu lagi nggak masa subur kan?” tanya Bani menggoda, senyum juga jahil banget.
Buset....dia ngomongnya gitu. jangan-jangan dia malah yang tahu duluan kalau aku yang gay. “Nggak!” jawab ku dengan intonasi agak tinggi dan gelagapan. Sial!! Bani malah meremas dadanya. “Ya udah dech aku pulang,” aku mengancam lagi.
Bani segera menghentikan aktifitas menggoda. “Iya dech maap.”
“Terus kamu punya ide apa?” tanya gue dengan ketus.
“Gue ada cerita. Kalau seseorang yang baru kenalan tapi udah ada rasa suka,” balas Bani dengan cepat karena dia tahu gue sudah agak kesal.

Gue serasa de javu. Gue antara ingat dan lupa, tetapi gue pernah dengar seperti ini. Kejadiannya belum lama. Gue bergeming sembari mengingat lagi kejadian berapa waktu lalu tetapi masih hari ini. Cerita ini pernah dikatakan seseorang tapi gue lupa siapa yang ngomong.

Ada tangan yang sedang berayun-ayun di hadapan gue. “Arya.... Ar..” ternyata Bani yang memanggil gue. “Kamu denger nggak sih apa yang aku ceritain? Kamu malah ngelamun.”
“Eh sory,” tukas gue cepat. “Gue dengerin elo koq,” kilah gue pura-pura perhatian sambil menatap matanya.
“Jadi elo bisa bantu aku?” tanya Bani. “Inti ceritanya si A itu kenalan sama si B karena ada masalah jadi suka B. Tetapi B nggak sadar kalau A suka dia,” celoteh Bani lagi untuk menyimpulkan cerita yang tadi gue nggak dengerin.


Gue baru inget. Cerita ini sama dengan Papang. Apa ini Cuma kebetulan atau keduanya sedang ngerjain gue? Kalau ngerjain gue, buat apa? Kalaupun kebetulan kenapa mereka cerita sama gue? Apa mungkin mereka suka sama gue tetapi dengan cara tersembunyi untuk mengungkapkannya. Gue harus gimana lagi??

Bersambung

Telah terbit buku tema Gay dengan judul #KAMUFLASE. Penjualan melalui On Line, pemesanan bisa KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITAS MU DENGAN KAMUFLASE