Trans
Jogja
Ujian Nasional sudah ku lewati dengan
mungkin baik, sebelumnya itu aku jungkir balik mengikuti serangkaian les yang
membuat kepala ingin ku pisahkan saja dengan tubuh. Bersyukur semua sudah ku
selesaikan. Sekarang aku baru saja sampai di Jogja akan melanjutkan pendidikan,
kata orang Jogja itu tempat paling nyaman untuk belajar. Apa benar?
Kedatanganku di Jogja disambut hujan
deras, tepatnya di Terminal Jombor. Aku turun dari bus sambil berlari-lari
menuju halte Trans Jogja. Seharusnya Mas Yofan yang menjemput, dia adalah
sepupu ku anaknya Pakde Imron. Berhubung hujan dia membatalkan rencana untuk
menjemput di terminal dan aku disarankan naik Trans Jogja Jalur 2A, baru di
halte tujuan dijemput olehnya. Tidak apalah lagian ini bukan pertama kali aku
naik Trans Jogja, apalagi ini adalah jalur favorit ku karena akan melewati
Malioboro.
Langit Jogja gelap bukan karena awan
mendung tetapi memang sudah malam. Di halte yang berukuran 3x10 meter persegi
dijejali banyak orang antara yang sedang berteduh dan para calon penumpang
Trans Jogja. Aku membayar tiket seharaga Rp3000 untuk sekali jalan, di ruang
tunggu aku duduk di kursi panjang yang kosong sedangkan orang-orang lebih
memilih berdiri dan berjejal di pintu penghubung bus Trans Jogja. Aku sudah
cukup capek untuk berdiri untuk ikutan berjejal dan aku juga percaya pasti
dapat kebagian tempat. Lagian jam operasionalnya masih lama.
Aku menerawang rintikan hujan. Aku
bahagia karena sebentar lagi menjadi mahasiswa. Lebih membahagiakan adalah bisa keluar dari rumah
yang seperti Azkaban (penjara dalam Hary Potter). Aku adalah anak bungsu yang
selalu merasa terpenjara karena aturan rumah yang mengharuskan aku ini itu,
salah satunya dengan jam malam. Aku ini cowok ngapain juga ada jam malam?
Tentunya aku bisa jaga diri donk. Lagian tinggal di kota kecil kalau klayaban
juga nggak jauh hanya sekedar nongkrong di rumah teman.
Sekarang aku bebas, aku ralat bukan
sekarang tetapi bulan depan. Saat ini aku masih menjadi anak mamah karena
setelah urusan di Jogja aku harus segera kembali kepangukuan mamah. Di halte
ini aku membayangkan besok menjadi seorang yang bebas tidak ada lagi jam malam
oleh aturan rumah karena nantinya aku tinggal di kost. Aku bisa pergi sesuka
hati dan pulang larut malam bahkan pagi tidak ada yang memprotesnya. Apa itu
yang ku harapkan tinggal di Jogja? Tentunya tidak hanya itu saja. Tapi apa itu
tujuan ku memilih tinggal di Jogja? Mungkin.
Tetapi kenapa aku pilih Jogja? Katanya
sih Jogja nyaman bahkan terlalu nyaman sampai banyak yang enggan meninggalkan Jogja
setelah lulus kuliah. Jadi pertanyaan nyaman yang seperti apa ya? Aku bisa
menemukan jawaban itu kalau aku sudah jadi penduduk sini kali ya. Katanya lagi
sih Jogja itu serba murah, ouh ya? Apa lagi kalo makan di angkringan, lebih
tambah murah lagi. Aku denger Jogja itu surganya anak muda, banyak sekali
aktifitas yang berhubungn dengan anak muda. Salah satunya dugem, aku belum pernah
ikutan dan aku mesti lakukan. Bukan itu
aja tetapi banyak lagi komunitas yang berhubungan dengan anak muda. Aku harus
ikut salah satunya.
Lantas tujuan utama ku ke Jogja apa?
Tentunya adalah ada kuliah mencari ilmu meraih cita-cita, Apa itu hanya
retorika belaka? Lihat saja nanti,hahahaha. Tetapi emang benarkan mencari ilmu
di bangku kuliah dan ilmu kehidupan di bangku masyarakat. Selama ini aku hanya
rumah menuju sekolah lalu tempat les balik lagi ke rumah. Tidak ada waktu untuk
bermasyarakat. Inilah kehidupan dari manusia individualis dan aku akan bertekat
merubahnya, Aku pernah baca jadi anak
kost itu asik punya banyak teman dan bisa bersosialisasi dengan baik.
Jadi mahasiswa itu bebas untuk kuliah
kita sendiri yang mengatur jadwalnya. Mahasiswa itu keren bisa berdiri di
mimbar tengah jalan sambil berorasi menyuarakan hati rakyat kecil karena
anggota DPR atau DPRD nggak bisa di harapkan lagi. Mereka pelaku revolusi
negeri ini, dan aku harus menjadi bagian itu, keren kan? Di kampus kita bisa
berdiskusi memecahkan suatu masalah dengan debat terbuka sesama mahasiswa. Kelas
tempat untuk belajar mencari ilmu dari buku.
Glegar suara petir mengagetkan ku dari
lamunan. Bus jalur 2A sudah ada di depan, serombongan orang masuk. namun sayang
ketika aku akan melangkah kaki ke dalam bus di tahan oleh kondektur yang ada
didalam dengan alasan sudah penuh. Selangkah aku mundur kebelakang pintu bus
tersebut tertutup secara otomatis lalu meninggalkan halte. Bus berikutnya tentu
masih lama. Tetapi tidak apalah aku juga tidak terburu-buru untuk sampai di
kostnya Mas Yofan. Aku duduk kembali ke tempat semula sekarang halte ini sudah
lebih lengang.
Hujan masih saja deras. Dari pintu loket
ada seorang pemuda mungkin berumur 23 tahun berjalan menuju tempat duduk ku.
Dia duduk disebelah ku, terlihat rapih dengan kemeja di padu dengan celana jins
serta sepatu kets, dia memakai tas ransel disalah satu tangannya ada sebuah
buku tebal. Aku hanya menduga itu mungkin mahasiswa, aku membayangkan nanti pun
aku menjadi seperti itu.
Aku rasa gregetan ingin bertanya padanya
tentang menjadi mahasiswa. Dari pada diem-dieman mending ku ajak ngobrol aja
kali ya lagian masih lama busnya.
“Masnya mahasiswa ya?” Aku memberanikan
diri untuk bertanya.
“Ouh iya. Kenapa dek?” Jawab dia dengan
sopan juga.
“Nggak apa sih cuma tanya aja. Kayaknya
seru aja jadi mahasiswa.” Aku menimpali dengan alakadarnya saja memancing
obrolan agar lebih panjang.
“Ouh calon mahasiswa ya adek?” Tanya dia
lagi, sepertinya dia antusias untuk melanjutkan obrolan ini.
“iya kak.” Jawab ku singkat tetapi aku langsung
menambahkan lagi. “Tapi aku juga belum daftar, ini rencananya mau muter-muter
terus sekalian daftar.”
“Aslinya mana dek?”
“Purwokerto mas.”
“Hayoo pasti pilih kuliah di Jogja pasti
ingin jauh dari rumah ya?”
Jleb…sebuah pertanyaan yang menohok ke
relung hati. Kenapa juga masnya bisa langsung tahu gitu. Apa ini orang punya
indra ke enam kali ya, hebat juga bisa baca pikiran orang. Aku belum sempat
jawab mas di sebelah ku udah nyerocos lagi.
“Saya juga dulu berfikir seperti itu.
Udah lulus SMA pengin lanjutin kuliah di luar kota yang jauh biar bisa bebas.
Tetapi sekarang baru tau betapa enaknya tinggal di rumah. Nggak ada tempat
senyaman rumah.” Mas mahasiswa ini malah curhat sendiri. Belum sempat untuk
menanggapi ceritanya dia malah melanjutkan ceritanya. “Jadi anak kost itu susah
hidup pas-pasan kecuali kalau kita punya penghasilan lain atau anak orang tajir.
Kita mesti pandai mengatur keuangan buat makan lah, transport, atau yang
lainnya belum lagi biaya praktek kuliah atau tiba-tiba pengeluaran tak terduga.
“Ouh gitu ya mas.” Aku menanggapi
seadanya saja memang karena nggak tau harus komentar apa.
Oke dalam benak ku harus ditambahkan
lagi jadi rantau ada nggak enaknya apa lagi kalau lagi kehabisan duit. Perlu
ada persiapan khusus nih pelajaran akutansi di berdayakan lagi bisa buat
pembukuan pemasukan dan pengeluaran jadi kan terkontrol. Itu terlalu berlebihan
melakukan seperti itu.
“Pokoknya enak di rumah dech kita mau
makan tinggal makan. Jadi anak kost mau makan aja perlu keluar dulu. Makan di
warung keluarin duit lagi dech. Belum lagi kalo harga makan naik tambah pusing
lagi, apalagi akhir bulan keuangan udah menipis bingung makan apa.” Nada orang
ini semakin memelas.
Kayaknya perlu bawa beras sekarung buat
jaga-jaga kelaparan atau mie instan satu karton buat cadangan akhir bulan kalau
uang bulanan sudah kritis. Perlu persiapan apa lagi ya? jalan satu-satunya
adalah minta lagi dech sama orang tua tapi itu adalah senjata terakhir. Koq aku
dari sekarang malah pusing mikirin keuangan ya, Keterima di kampus mana juga
belum.
“Terus mas menanggulanginya gimana?” Aku
bertanya untuk mendapatkan trik penghematan uang makan.
“Biasanya sih berburu teman yang sedang
ulang tahun kita merayu untuk mentraktir. Terus deketin temen yang asli Jogja
dia kan tinggal di rumah, kita bisa nebeng makan di rumahnya dia. Kalau saya
untung punya temen kost yang kompak kita sering masak bareng bikin mie atau apa
ajalah nah beli bahannya patungan. Satu lagi kalau ini harus tahan malu karena kita
nebeng makan di acara kondangan orang yang nggak kita kenal. Hahahaha”Di akhir
kalimat mas mahasiswa ini malah tekekeh karena perbuatan kekonyolannya sendiri.
“eh bisnya dateng lanjutin di dalem aja yuk.
Aku membuntuti dia masuk ke dalam bus.
Kali ini tidak perlu berdesakan karena hanya sedikit penumpang yang masuk ke
dalam bus. Di dalam bus pun kosong penumpang tapi tetap saja aku tidak bisa
bebas memilih tempat duduk karena aku ingin medengarkan lanjutan cerita dari
mas mahasiswa yang belum ketahui namanya. Rupanya dia memilih duduk di kursi
paling belakang yang menghadap ke depan. Aku sendiri duduk disebelahnya, tas
ransel yang besar ku pangku agar aku bisa duduk bersender.
“Nah itu mas, aku pengin kost karena
biar bisa bersosialisasi. Sapa tau dengan kost kan bisa ngobrol atau jalan
bareng sama temen kost tuh.” Akhirnya aku mengutarakan niat ku untuk kost.
“Hhmmmm, nggak semua kostan bisa seperti
itu tergantung orang-orangnya aja sih. Banyak juga kostan yang penghuninya
sangat individual mereka hanya kenal nama tetapi nggak pernah ngumpul bareng
atau jalan bareng. Biasanya yang kayak gitu kostan elit atau kostan para
pekerja.”
Aduh, kalau gitu harus pinter-pinter
cari kost ya biar dapet kost yang nyaman dan temen-temennya bersahabat bisa
kompakan gitu. Nggak bangetkan dapet kostan yang penghuninya individual gitu,
nah loh kalo sakit minta tolong siapa kalau sesama penghuni kost nggak kenal.
Tetapi tergantung kita juga dink, kalau pandai bergaul pasti dapet temen yang
baik mau bantuin.
“Pokoknya enak tinggal di rumah lah, di
rumah itu kita bisa di jagain sama ortu.
Walau kita serinng sebel dengan peraturan ortu yang bawel ini itu tetapi
kalau di cermati maksudya baik loh. Coba kalau di rantau kita sering kebablasan
belum lagi kalau salah pergaulan tambah runyam.” Mas mahasiswa kembali
menambahkan betapa enaknya kalau tinggal di rumah dari pada di perantauan.
“Berarti tergantung diri kita sendiri
donk untuk mengontrol perilaku kita.” Aku menarik sebuah kesimpulan dari
pembicaraan yang sedang berlangsung.
“Bener banget, kita harus pandai cari
temen. Kita boleh saja banyak bergaul tetapi tetep harus waspada pada pergaulan
dan teman. Kalau bisa cari teman yang bisa memberikan dampak positif. Teman
bisa menjadi pengaruh besar dalam dunia perantauan. Kita nggak waspada bisa
terjerumus.”
Ribet juga ya jadi anak rantau kalau
gitu. Semuanya sendiri dari makan, cuci baju, ngatur keuangan belum lagi
pergaulan. Ich jadi serem jika nantinya jadi begundal bukannya serius belajar
eh malah jadi serius main-main bisa madesu (mas depan suram) nich. Pokoknya aku
harus bertekat untuk menjaga pergaulan. Kayaknya perlu berguru sama mas ini
supaya di perantauan tetap pada jalan yang lurus nggak belok-belok.
Selama obrolan dari tadi aku melihat
mahasiswa yang ku ajak obrol ini salah satu anak baik-baik. Aku nggak melihat
tampang begundal. Lihat saja penampilannya rapih kayak gitu, bajunya bersih
sepatu ketsnya tampak terawat dan wangi. Belum lagi dia bawa buku tebal seperti
itu pasti dia rajin belajar dan serius untuk kuliah. Dia juga sopan sama orang,
ah kalau itu mah sudah adatnya orang sini kali ya emang harus sopan. Perlu di
contoh kayak gini.
“Nama mas siapa?” Setelah banyak ngobrol
kesana kemari malah baru sekarang aku menanyakan nama.
“Oh ya lupa dari tadi kita belum kenalan
nama. Saya Haris aslinya Palembang. Kalau kamu?”
“Aku Teo, dari Purwokerto.” Kita saling
bersalaman tanda formalitas untuk berkenalan. “Mas kuliah dimana? Ambil jurusan apa?” Serentetan pertanyaan
muncul dari bibirku.
“Saya kuliah di UKDW ambil jurusan
Biologi. Rencananya kamu mau ambil jurusan apa?”
Aku tidak langsung menjawabnya karena
aku sendiri masih bingung ambil jurusan apa. Aku di SMA jurusan IPS pasti di
tempat kuliah makin sendikit jurusan yang bisa di ambil. Dan ku pilih sekarang
juga masih ada keraguan.
“Hhmm, orang tua sih nyuruh aku ambil
psikologi.” Aku menjawab dengan ragu.
“Kalau pilihan kamu sendiri apa?” Tanya
dia antusias sekaligus penasaran.
“Aku sih maunya sejarah atau
antropologi.” Kata ku masih dalam keraguan.
“Saran saya sih ikuti kata hati.” Hans
sangat bijak menanggapi permasalahan ku.
“Kata hati ku sih ya ambil sejarah lah,
sejarah itu dunia ku.” Aku menimpali dengan berapi-api.
“Ambil lah jurusan itu.”
“Tapi kan nggak boleh sama orang tua.”
Aku bersedih karena pilihan ku ditentang sama orang tua.
“Yang kuliah itu kamu bukan orang tua
kamu juga kan. Jadi yang merasakan nikmatnya kuliah itu kamu sendiri. Banyak
juga teman saya merasa salah jurusan akhirnya mereka jadi malas-masalan kuliah
karena nggak menikmati ada yang karena awalnya disuruh orang tua ada pula yang
kerna hanya ikutan teman. Jadi saran saya ikuti kata hati.” Hans semakin
terlihat bijak degan tutur kata lembut namun tegas.
Aku kembali berfikir untuk meninjau
ulang pada pemilihan jurusan psikologi emang sing punya prospek besar tetapi
bagaimana kalau aku tidak menikmati pekuliahannya pasti akan terbengkalai juga
kan kalau aku jadi males. Kita akan menjadi semangat kerana kemauan kita
terhadap ilmu yang dipelajari. Ah lagian sejarahwan juga masih sedikit pasti
prospeknya banyak juga toh. Pertama aku aku harus memberikan pengertian ke
orang tua bahwa aku mau kuliah kalau jurusan sejarah atau antropologi. Bener
juga mereka nggak bisa memaksa kehendaknya sendiri walau mereka yang membayar
kuliah tapi inilah jalan hidup ku, nantinya juga kan buat masa depan ku
sendiri.
Sekarang bus Trans Jogja sedang
menyusuri jalan Mangkubumi artinya sudah masuk pusat Kota Jogja. Lampu jalan
yang terang menghiasi jalanan yang lengang, banyak pengendara motor yang
memilih berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Saat ini masih saja hujan
mengguyur Kota Jogja. Tujuan masih jauh di jalan Veteran. Dari obrolan dengan Mas Hans dapat kesimpulan
meraih cita-cita itu harus dari sendiri dan bukan orang lain yang mengontrol
orang lain. Gemerlapnnya kota besar harus diwaspadai jangan sampai kita terlena
oleh hiburan yang mengiringi kota ini. Hidup diperantauan juga harus cermat
dalam mengatur keuangan dan pergaulan belum lagi permasalahan di dunia kampus.
Ah ternyata lebih complicated dari
pada yang ku bayangkan. Tetapi hidup ini adalah pilihan, dan aku ingin terus
maju meraih cita-cita aku.
Terderngar suara handphone aku pikir itu
punya ku tetapi ternyata punya Mas Hans. Mas Hans segera merogoh saku celananya
untuk mengambil handphone, lalu langsung di angkatnya. Tanpa sengaja aku
medengar ucapan Mas Hans.
“Halo, Oh elu Can. Gue masih di Trans
Jogja nih. Kenapa?” Hans diam sesaat karena mendengarkan lawan bicaranya. “Ouh
gitu pastinya donk gue ikutan partynya nanti di Bosche, pasti seru donk DJnya
gokil. Gue berangkat sama anak-anak dari Kafe Mirota. Lu ikutan gabung aja
sini.” Hans kembali diam memberi kesempatan orang dibalik telpon itu berbicara.
“ Ya udah deh nanti kita ketemu di sana aja, see you.”
Hati ku mencelos aku pikir Mas Hans ini
mahasiswa baik-baik. Mungkin inilah mahasiswa yang baik dalam berkamuflase.
Dari luar tampang mahasiswa rajin dan tidak suka pesta ternyata di kehdipuan
lainnya dia sebagai party goers. Ah ada-ada saja.
Trans
Jakarta.
Saat ini aku berada di Ibu Kota
Indonesia yaitu Jakarta. Setelah menamatkan kuliah jurusan Antropologi aku
mengadu nasib di Jakarta. Disini 40% perederan uang Indonesia, dan aku berharap
mendapatkan pundi itu untuk masa depan. Aku cukup bangga bisa bekerja disalah
satu gedung elite Jalan Sudirman, pusat dari kehidupan keuangan Indonesia
karena banyak perusahaan multi nasional dan internasional yang berkantor
disini.
Malam ini sebelum pulang ke kost di
daerah Gajah Mada aku makan dulu di Plaza Semanggi. Kebetulan ada teman yang
sedang ulang tahun dan mentraktir makan, apasalahnya juga ikutan gabung lumayan
dapat makan malam gratis. Aku disini tidak memakai kendaraan pribadi karena
malas harus ikutan terjebak pada arus macet. Aku lebih suka menggunakan angkutan
umum khususnya Trans Jakarta, yang mempunyai jalur sendiri jadi lumayan lancar
walau terkadang ikutan kejebak macet karena ulah para pengendara kendaraan
pribadi yang seenaknya menyerobot jalur Trans Jakarta.
Aku berjalan menyusuri trotoar menuju halte
Bendungan Hilir yang berada di depan Universitas Atma Jaya. Di trotoar ini
sebagian penduduk Jakarta mengadu nasib
menjadi pedagang kaki lima. Sebenarnya sangat menyebalkan karena mengganggu
pejalan kaki tetapi kadang dibutuhkan juga kala kita haus mereka menyediakan
minuman botol kemasan. Nggak bermasalah
juga selama masih menyediakan lahan untuk pejalan kaki. Pedagang kaki
lima ini semakin banyak di jembatan penyebrangan yang mereka jajakan juga
beraneka ragam mulai dari aksoris handphone sampai perkakas alat rumah tangga.
Yang ini sebenernya mengganggu karena pejalan kaki jadi sangat terganggu
sebagian besar tempat untuk area lapak mereka.
Dari jembatan penyebrangan terliahat
dengan jelas antrian di loket masuk halte. Ini memang jam pulang kerja jadi
wajar saja antriannya mengular panjang belum lagi di halte pasti suda berjubel
orang menunggu kedatangan Trans Jakarta. Sudah menjadi keseharian penduduk
Jakarta yang siap sedia bertarung memperubutkan tempat nggak melulu di Trans
Jakarta tetapi di kehidupan lain juga berebut memperoleh pekerjaan, yang sudah
bekerja berebut memperoleh jabatan penting dan seterusnya. Bahkan ada pula yang
sampai berebut tempat buka lapak di jembatan penyebrangan. Semuanya itu demi
mengisi perut agar terus hidup. Sebegitu beratnya kah perebutan di Jakarta?
Dalam otak ku mereka semua hanya mengisi
peluang-peluang yang tersedia. Tidak perlu membutuhkan kepintaran yang ber-IQ
super untuk medapatkan itu. Tidak perlu juga bersekolah dengan nilai fantastis.
Lalu apa yang dibutuhkannya? Kecerdikan dan keberuntungan. Kita memang harus
cerdik mencari peluang dengan memutar otak mencari peluang tersebut dengan inovasi
atau menciptkan hal baru. Keberuntunganlah selanjutnya sesuatu yang tidak
terduga itu bukan datang dari sendiri tetapi campur tangan Tuhan juga.
Akhirnya aku sampai pada antrian yang
cukup panjang. Tahap kesabaran awal untuk menunggu. Seperti halnya menuggu
pekerjaan datang. Kita sudah berusaha mengirim lamaran ke berbagai tempat
tetapi tidak kunjung datang panggilan tersebut. Dan pada akhirnya apakah kita
akan terus menunggu pada jalur yang sama atau berpindah jalur, pada akal yang
tidak sehat akan pindah jalur dengan cara curang yaitu menyerobot atau bisa
saja dengan menyogok.
Tetapi kita masih punya pilihan lain
kita bisa pindah halte untuk tapi belum tentu peluangnya dihalte lain lebih
besar, semuanya random dan hanya menebak syukur kalau kosong nah loh kalau
lebih penuh sama aja bohong malah peluangnya lebih tipis untuk mendapatkan
pekerjaan itu.
Ada cara ekstrim lagi yaitu banting
setir kita tidak perlu mengantri di loket tetapi kita bisa langsung naik yaitu
dengan naik metromini atau kopaja atau yang lainnya. Kita hanya perlu menunggu
saja kedatangan angkutan tersebut. Tetapi setelah naik kita masih perlu berjuang
dengan berjubelan belum lagi banyak copet dan tidak ada aturan untuk berlalu
lintas. Jika disamakan dengan pekerjaan. Kita akan mendapatkan dengan mudah dan
cepat tetapi banyak hantaman berbagai macam rupa meskipun itu berbahaya untuk
diri kita sendiri. Belum lagi kejadian tidak teduga kita bisa saja dalam
sekejap harta hilang oleh para copet. Mereka kasat mata tetapi mematikan.
Aku sendirri hanya pasrah dalam antrian
ini dan sabar. Pada waktunya juga akan sampai kalau sabar dan sudah pasti
antriannya terus bergerak. Aku melihat wajah orang-orang yang sedang mengantri
begitu datar tanpa ekspresi. Terpancar kebosanan di mukanya. Apa mungkin
ekspresi itu melekat di wajah ku? Aku tidak ada bedanya dengan mereka.
Bagaimana tidak bosan kalau setiap hari
melakukan rutinitas yang sama dan seperti itu saja, dari yang berbulan-bulan
sampai yang bertahun-tahun. rutinitas itu bangun pagi mempersiapkan pergulatan
dunia kerja yang keras. Berdesakan di jalanan menuju tempat kerja, pagi-pagi
sudah menjadi gila menghadapi kemacetan parah. Siang harinnya bergumul dengan
kertas pekerjaan yang semakin membuat stress membuat laporan. Kita hanya
istirahat sejenak untuk memulihkan stamina pada jam makan siang. Tapi apa
mental kita ikut pulih? Belum tentu. Malamnya yah seperti saat ini juga. Pulang
dari tempat kerja dengan kelelahan. Sudah tidak ada lagi waktu untuk
bersosialisasi. Pada akhirnya kita adalah sebuah robot melakukan hal sama terus
menerus.
Aku terbebas antrian loket tetapi masih
menunggu kedatangan bus, dan sekali lagi aku juga mengantri agar lebih tertib
waktu masuk bus. Memang semuanya harus perlu antri untuk lebih teratur tidak
perlu saling serobot karena pada akhirnya kita akan mendapat bagian. Kita bisa
belajar saling menghormati kita disini mempunyai kepentingan yang sama menaiki
transportasi yang sama pula untuk mencapai sebuah tujuan.
Lihat saja aku terjebak pada
manusia-manusia individualis mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Tak ada
senyum ke sesama manusia di sebelah atau atau sekitarnya. Mungkin bisa dianggap
gila bila tersenyum kepada orang yang tidak dikenalnya. Itulah salah satu
karakter individualis. Mata mereka tertuju pada satu layar kecil berkuuran 3
inci, ya mereka sibuk dengan smartphone
yang ada di genggaman tangannya.
Bermacam mimic yang terbingkai di wajah
mereka kadang mereka tertawa sendiri, marah, atau bahkan menangis. Apakah
mereka sudah gila? Sama saja halnya dianggap gila kala kita tersenyum pada
orang yang tidak dikenalnya. Semua orang punya dunianya sendiri disini, jadi
antara orang waras dan yang tidak waras menjadi abu-abu.
Kita menjadi orang individual karena
sudah tidak ada waktu lagi untuk mementingkan orang lain, bahkan keluarga
sendiri. Kita hidup untuk diri sendiri disini, setiap hari sudah dipusingkan
oleh pekerjaan. Selesai bekerja rasanya ingin cepat-cepat sampai rumah lalu
tidur dan setiap hari pun sama seperti itu.
Waktu bersosialisasi kita hanya waktu
jam pulang kerja itu pun dilakukan di kendaraan umum. Bukan bercakap-cakap pada
orang yang kita temui tetapi bercengkrama dengan orang yang sedang entah ada
dimana, menggunakan smartphone beragam fasilitias pesan singkat yang instan.
Sembari menunggu kedatangan Trans Jakarta kita membunuh kebosanan dengan bersosialisasi
instan. Karena kewarasan ini sudah pudar terjadilah emsional yang berlebihan
menangis, menertawakan, memarahi kotak kecil tersebut. Gila!!!
Bus Trans Jakarta sudah terlihat, dan
petugas halte juga sedang memberikan pengumuman bahwa Trans Jakarta jurusan
Kota akan segera datang. Orang-orang secara kompak memasukan smartphone ke dalam tas atau saku
celana. Antrian kembali menjadi rapih sudah siap untuk perebutan bisa masuk ke
dalam bus. Aku sendiri memilih antrian pintu masuk belakang bus karena yang
depan khusus untuk wanita atau wanita jadi-jadian. Pintu tengah dan belakang
untuk umum.
Begitu bus sudah sampai halte ketiga
pintunya berbarengan terubuka. Calon penumpang tidak langsung masuk karena
memberikan kesempatan pada orang yang turun dari bus terlebih dahulu. Begitu
orang yang sudah turun semua barulah orang-orang merangsek masuk. bus yang
tadinya sudah penuh bertambah berjubel dengan penumpang baru. Jadi sudah
dipastikan tidak ada lagi tempat duduk yang kosong.
Mau tak mau aku berdiri pasrah lagi pada
keadaan. Untung tak berapa lama aku berdiri karena ada penumpang yang turun di
halte Karet. Dengan sigap dan cekatan begitu orang itu berdiri meninggalkan
kursinya aku langsung menggantikannya. Akhirnya dapat tempat duduk yang empuk
juga. Kadang dari pertama masuk sampai keluar bus aku terus berdiri karena
kalah dalam perebutan menduduki singgasana. Dalam pekerjaan juga tidak jauh
beda berbagai cara untuk memperoleh kedudukan bisa saling sikut yang di
sebelahnya atau dengan sabar menunggu giliran.
Begitu sudah mapan dan nyaman. Aku
mengeluarkan buku Negarakertagama. Baru berapa baris tiba-tiba disamping ku ada
yang mengomentari, dia seorang lelaki tampaknya seumuran dengan ku. Ternyata
masih ada makhluk sosial di bus ini, mau bercengkrama dengan orang yang nggak
di kenalnya.
“Wih bacaanya kayak professor
sejarah.” Kata dia sambil menengok
sampul buku dengan memajukan kepalanya.
Aku memangkat buku ini. tersembul kepala
dia di hadapan ku. “Buat pengingat jaman kuliah dulu.”
“Ouh dulu ambil sejarah ya? Terus
sekarang kerjanya apa?” Rupanya dia antusias untuk KEPO.
“Iya dulu ambil sejarah. Sekarang jadi
editor.” Jawab ku singkat menandakan aku malas untuk obrolan lebih lanjut.
Dia kembali menegakan tubuhnya namun
kepala masih memalingkan kepada ku, sepertinya dia ingin melanjutkan obrolan
lagi. “Wah sayang banget tuh udah kuliah capek-capek kerjaan nggak sesuai sama
jurusnnya.”
Deg
aku jadi teringat beberapa tahun lalu. Ketika perdebatan degan orang
tua. Ayah menghendaki aku untuk masuk jurusan psikologi sedangkan ibu
menyuruhku ambil jurusan Ekonomi. Aku ngotot ingin mempelajari ilmu sejarah.
Akhirnya aku menang, bisa belajar ilmbu sejarah sekaligus menjadi lulusan
terbaik. Tetapi angan-angan ku menjadi sejarahwan makin menjauh karena tidak
lowongan kerja untuk penuntut ilmu sejarah. Jadi aku bekerja untuk sesuap nasi
dan kebutuhan lainnya.
“Iya sih sayang, tapi mau gimana lagi
adanya kerjaan ini. Semoga sih nggak selamanya dan segera dapat pekerjaan yang
sesuai dengan ilmu ku.” AKu menanggapi celotehan dia yang menusuk hati,
sekalian menghibur diri sendiri.
“Nyesel nggak sih mas ambil jurusan
itu?” Pertanyaan dia sederhana tetapi semakin menohok.
“Nggak lah, lah wong waktu kuliah aku
happy koq. Lagian dengan ambil jurusan ini aku jadi semakin bangga menjadi
orang Indonesia. Lalu sekarang aku juga enjoy dengan kerjaan ku.” Aku menjawab
dengan sedikit gusar.
“Sebenarnya aku juga sama kayak mas.
Kuliah jurusan apa kerjanya bidangnya jauh banget.” Dia malah curhat sendiri.
“Kadang nyesel sih kenapa dulu nurut sama orang tua ambil jurusan Hukum.
Padahal aku pengin Ekonomi.”
“Toh sekarang mas kerja di bidang
ekonomi kan? Harusnya seneng donk.” Kata ku ketus.
“Iya sih seneng tetapi aku bisa naik
jabatan karena kendala ilmu dan ijazah.” Ada nada kesedihan dibalik ucapannya.
“Nikmati saja lah mas. Sekarang udah
berasa cukup kan?” Aku mencoba menghibur dia.
Sekilas senyumnya mengembang dibalik
tubuh yang lelah setelah berkutat dengan pekerjaan. Tampaknya dia seorang yang
haus akan sosialisasi. Gerak gerinya ingin melanjutkan suatu obrolan lain. Aku
yang tadinya males-malesan menanggapi sekarang ikut antusias karena aku sendiri
sudah lama tidak mengobrol dengan seseorang diluar pekerjaan.
“Asli Jakarta mas?” Tanya ku megganti
topik awal pembicaraan.
“Bukan, gue pendatang koq. Aslinya
pedalaman Kalimantan. Kalo loe sendiri?” Jawab dia semagat. Hubungan ini
semakin menghangat dia sudah menunjukan sebagai “orang Jakarta” dengan
perkataan loe dan gue.
“Pendatang juga, Asli Jateng. Kenapa
nggak balik ke Kalimantan aja?” Tanya ku menelisik.
“Balik lagi ke sana artinya gue jadi
orang pedalaman lagi. Meski gue tinggal di kota Kabupaten tapi tetep aja di
keliling hutan. Enakan di sini,hehehhe”
“Ouh gitu, udah betah ya disini
berarti?”
“Iyalah, gue disini udah lama juga. Ogah
balik lagi.” Dia menyeringai, aku sendiri nggak mengerti maksud dari seringai
itu.
Ternyata Jakarta yang kejam ini masih
ada orang yang betah, bukan satu orang saja tapi jutaan. Padahal sebagian
mereka hidup tidak layak. Jakarta memang memikat tubuh para
pendatang hingga enggan kembali ke asalnya untuk membangun daerah. Atau
pembangunan ini tidak merata sehingga lapangan kerja hanya tersedia di kota
besar, khususnya Jakarta. Aku jadi penasaran kena dia betah tinggal di Jakarta.
“Kenapa betah disini mas? Padahal
macet.”
“Disini cari duit gampang, banyak
peluang. Gajinya gede dan apa-apa murah. Dibading sama daerah gue cari duit
susah udah gitu mahalnya selangit belum lagi kadang ada yang pake Ringgit.” Ada
suatu kegetiran di suaranya. “Loe sendiri betah nggak?”
Aku bingung untuk menjawabnya. “Nggak
tau ya, aku baru disini juga sih.” Jawab ku jujur.
“Meskipun baru tapikan loe udah bisa
ngerasain juga kan tingal di sini?” Dia terus mendesak ku.
“Iya sih. Kalau sekarang ya belum
ngerasa betah juga. Gila macetnya bikin stress, belum lagi tempat ku tinggal
rasanya nggak bisa gerak bebas. Belum lagi banjir bisa jadi waterpark raksasa.”
Aku menumpahkan tetek bengek masalah yang hampir semua dialami penduduk kota
ini.
“Ah itu mah biasa aja, lama-lama loe
juga terbiasa koq. Tapi loe sendiri suka kan tinggal disini?”
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan
dia, karena aku belum menemukan alasan yang tepat kenapa aku suka kota ini.
Kota ini memang indah dengan seribu macam wajahnya. Gedung pencakar langit di
kawasan Sudirman-Tamrin megah menandakan betapa makmurnya kota ini. tetapi coba
tengok di balik gedung itu. Ternyata itu hanyalah sebuah kamuflase masih banyak
rakyat jelata yang belum sejahtera.
“Gue suka kota ini karena megah,
semuanya ada, kota paling lengkap seindonesia, orangnya juga asik-asik nggak
rese kecuali FPI ya.” Dia menjabarkan semua alasan kenapa suka dengan Jakarta.
“Oh ya loe tinggal dimana?”
“Di Gajah Mada situ.”
“Wi sama donk, sebelah mananya?”
“Deket sama halte Mangga Besar.”
“Ouh, gue Sawah Besar. Boleh minta pin
loe gak?”
Aku kasih sederan nomer pin Blackberry
yang kupunya. Nggak ada salahnya juga kan kasih nomer siapa tahu emang bisa
buat jadi temen apalagi kostnya dia juga dekat dengan ku. Mendapatkan teman
yang benar-benar baik susah. Lebih gampang lagi mendapatkan teman yang
brengsek. Dan anggap saja tidak ada kawan disini karena semua punya peluang
jahat.
“Eh gue udah mau sampe nih, kapan-kapan
hangout bareng ya. thanks.” Dia berpamitan dan meninggalkan tempat duduknya
berjalan menuju pintu keluar.
Aku hanya mengangguk. Dan membiarakan
dia pergi begitu saja. Syukur kalau dia memang beneran ngajak jalan bareng.
Tetapi aku juga nggak berharap apa-apa. Halte Sawah Besar sudah dilewati halte
berikutnya aku harus turun.