Seperti biasa jalan
Pantai Kuta selalu ramai setiap harinya apa lagi sekarang akhir pekan tepatnya Jumat malam. Diantara ratusan mobil yang terjebak macet
ada sebuah sebuah mobil sedan, di dalamnya
ada Kadek wanita asli Bali, Nadia gadis keturuan Arab asli Solo dan Vero cewek
gaul yang berasal dari Bandung. Mereka sudah lama bersahabat, rutinitas mereka setiap
Jumat sepulang kerja menyempatkan diri untuk liat sunset di Pantai Kuta.
"Sebel dech kalo
long weekend gini pasti daerah sini macet," gerutu Kadek sambil merebahkan badanya di kursi mobil.
"Ich cerewet kaya
kamu yang nyetir aja," protes Vero
sambil menatap Kadek dengan memicingkan matanya tanda sebal.
"Ya udah sih sabar
toh, masih tetep bisa jalan koq. Lagian sapa juga
yang pilih ke sini? Tadi aku udah bilang mending di Renon saja ngopinnya."
Nadia yang tadinya mencoba menenangkan malah ikutan ngedumel.
Keadaan di mobil kembali
senyap tanpa obrolan hanya suara kicauan penyiar radio yang keluar dari sound
system. Meskipun mobil berjalan tetapi perlahan-lahan karena padatnya mobil
yang memenuhi jalan dan banyak taxi yang berhenti seenaknya di tengah jalan.
Kadek duduk dengan lunglai sambil menatap kemacetan dan Nadia asik dengan BBMan.
Baru saja mobil keluar
dari jalan Pantai Kuta dan sekarang menyusuri jalan Kuta Raya menuju Denpasar.
Jalanan masih dalam kondisi tersendat-sendat.
"Hmmm Vero aku
boleh minta tolong?" Kadek memecah keheningan.
"Tolong apa? Pinjem
duit?" Vero langsung to the point.
"Bukan itu, kan
habis gajian duit ku masih banyak,hahahha," Kadek
berkelakar nggak kalah hujaman Vero.
"Ada masalah apa
Dek?" tanya Nadia penuh kelembutan, sambil memasukan BB
ke dalam tas.
"Bisa nggak anterin
aku ke Rumah Sakit Kasih Ibu yang di Teuku Umar? Nanti aku pulang sendiri
dech" Kadek mengutarakan permintaan tolongnya. Wajah
Kadek menjadi agak pucat pasi seakan ragu untuk mengutarakan permintaan
tolongnya. Kadek meremas baju dibagian perutnya. Sebenarnya Kadek enggan
mengatakan tetapi hal ini sudah sangat mendesak. Kadek nggak tau lagi mau minta
bantuan siapa lagi. Saat
ini mungkin Vero yang bisa membantu.
Hanya kepada sahabatnya Kadek minta tolong. Lagian ini juga sekalalian jalan
pulang. Mereka sama-sama tinggal di daerah yang berdekatan di
Denpasar.
"Ngapain ke
sana?" cerocos Vero.
"Aku ada janji sama
dokter kulit," jawab Kadek
dengan yakin tetapi memalingkan wajahnya ke jendela samping.
"Bohong!!" tuduh Nadia.
Kadek semakin pucat dan
berusaha menutupi wajahnya dengan tetap menatap jendela. Kadek nggak berani
menengok wajah kedua temannya. Pastinya ada sebuah kebohongan besar yang
disembunyikan Kadek. Akan tetapi kedua sahabatnya tidak perlu tau apa yang terjadi. Kadek tidak berani menengok kearah
temanya takut kebohongannya terbongkar. Bisa bahaya kalau sampai mereka
tahu.
"Dokter kulitmu kan
bukan di rumah sakit itu," Vero mencecar Kadek.
"Aku pindah dokter
yang kemaren kemahalan, dan dokter yang baru prakteknya di situm" Kadek berusaha mengelak.
"Bukannya di rumah
sakit itu malah lebih mahal," Nadia mengomentari, dan
nggak yakin denga alasannya Kadek.
Vero mengecilkan suara
radio yang sedang mengalunkan lagu Some Like You dari Adelle. Sepertinya akan
terjadi dialog yang begitu pelik untuk di bahas. Mobil terhenti di perempatan
Sunset Road. Terlihat di depan antrian kendaraan di jalan Sunset Road dan yang
sepertinya akan masuk Kota Denpasar lewat jalan Imam Bonjol. Mau nggak mau
rombongan Vero akan melintasi kemacetan jalan Imam Bonjol.
Kadek memberanikan diri
menengok ke Nadia untuk meyakinkan bahawa ucapannya tidak bohong. Namunn raut
mukanya tidak bisa ditutupi, tersirat wajah putus asa dan tatapan matanya
kosong. Bibirnya juga bergetar seperti orang ingin mengatakan sesuatu tetapi di
tahan. Kadek juga hanya menengok beberapa saat tidak beranti menatap lama-lama.
"Yang aku tau yah
rumah sakit itu bagusnya untuk ibu hamil atau yang mau lahiran," Nadia kembali memancing Vero untuk mengintimidasi
Kadek. Nadia masih berusaha sabar memahami Kadek. Akan terlalu menyakitkan bila
langsung menghakimi temannya yang sedang susah.
"Jujur aja deh Dek,
loe hamil?" Vero yang emang nggak suka basa basi langsung menembak telak
ke kadek. Vero sudah nggak bisa nahan emosinya. Gregetan banget ngeliat tingkah
Kadek yang masih saja berkilah untuk menutupi kebohongan yang jelas-jelas sudah
muncul kepermukaan.
"Nggak," jawab Kadek berusaha tegar dan
menahan emosi sambil menatap Vero. Nada bicaranya berusa sedatar mungkin agar
tidak terlihat sedang berbohong. Sekuat tenaga Kadek bersandiwara. Bisa jadi ini adalah acting yang dalam
kehidupan nyata.
"Kalo emang nggak
biasa aja donk." Nadia merubah posisi duduknya yang tadinya senderan
sekarang memajukan duduk sambil menjulurkan kepalanya ke tengah sambil menatap
Kadek. Nadia sudah semakin tidak tahan dengan sikap Kadek yang masih saja
keukeh menutupi aibnya.
Kadek jadi semakin
terjepit dan bertambah gugup karena kedua sahabatnya menatap tajam padanya
bagai seorang polisi sedang mengitrogasi. Emang sih pada kenyataannya Kadek
sedang di cecar berbagai pertanyaan. Tentunya Kadek jadi semakin terpojok,
apalagi Vero sudah jelas-jelas melontarkan pertanyaan yang menohok. Dirinya
sudah tidak tahan, runtuh juga pertahanan Kadek.
"Ok ok ok aku
jujur, aku hamil. Ampuni aku Hyang Widhi," akhirnya Kadek membuat pengakuan.
Keheningan menerpa di
kabin mobil setelah Kadek mengucapkan pernyataan yang dari tadi disembunyikan.
Ada perasaan lega yang menghinggap Kadek. Ternyata mengatakan kejujuran adalah
hal yang sulit namun bila sudah disampaikan merasa lebih tenang. Tapi Kadek
belum tenang seratus persen karena pasti sebentar lagi Vero dan Nadia akan
bereaksi. Mau nggak mau Kadek sudah siap bila kedua sahabatnya menghujat.
"Puji
Tuhan.....kamu hamil, aku bakal jadi tante?" Vero menanggapi dengan suka
cita. Ketegangan yang dari tadi menghiasi wajahnya berubah
menjadi kebahagiaan. Senyum manis mengembang dari bibirnya. Kesangaran sikapnya
hilang seketika tanpa bekas.
"Astaghfirllah,"
Nadia tersentak kaget. Sebuah respon yang bertolak belakang dari Vero. Ketegangan
masih meliputi Nadia, meskipun ada sedikit kelegaan Kadek telah jujur. Tetapi
masih penasaran masalah yang mendera Kadek. "Siapa yang buat kamu
bunting?" Nadia segera melanjutkan introgasinya. "Ich kamu juga Ver,
temen lagi susah malah kamu malah seneng."
Pecahlah tangisan Kadek,
air matanya berurai deras melewati pipi. Nadia memeluk Kadek dari belakang
meskipun terhalang oleh kursi. Nadia berusaha menenangkan Kadek yang terlihat
marah, sedih, dan takut. Berbagai emosi bercampur menjadi satu pada diri Kadek.
Vero dan Nadia membiarkan Kadek menangis terlebih dahulu meluapkan seluruh
emosinya. Vero hanya bisa menggenggam tangan Kadek untuk memberi kuatan.
"Lakinya lah yang
menghamili, masa pere," Vero menanggapi pertanyaan Nadia setelah
Kadek sudah bisa tenang. "Ya seneng donk, anak itu rejeki harus di
syukuri. Lah wong udah hamil mo gimana lagi? Pokoknya jangan digugurin," pesan Vero dengan suara yang
tegas. Vero bilang seperti itu walau belum ada pernyataan dari Kadek untuk
menggugurkan. Sebagai antisipasi saja jika Kadek mempunyai niatan untuk
membunuh janinnya.
"Koq bisa sih
sampai kebobolan gitu?" Nadia jadi penasaran kenapa sahabatnya bisa sampai
hamil.
"Ya karena nggak
pake kondom," Vero yang menjelaskan. "Kalau nggak
pakai kondom keluarinnya diluar donk. Kalau di dalem ya jadi orok. Kalo nggak
langsung dibersihin. Pasti kamu langsung tidur ya?" tuduhan Vero sekali lagi mengena Kadek. Kadek sendiri hanya
pasrah tanpa perlawanan. Karena apa yang di ucapkan Vero memang benar.
Perjalanan berasa lama
bagi Kadek yang tidak berdaya. Pasti akan berlanjut rentetan pertanyaan yang
menghujam pada dirinya. Andai bisa dan berani akan lompat dari mobil. Tapi
masalah ini memang harus dihadapi bukan untuk di larikan. Kadek juga sudah
mulai merasakan temannya tidak membenci dirinya. Awalnya Kadek akan .
Perjalanan memang lama karena kemacetan masih mengular sepanjang jalan Imam
Bonjol. Derai air mata Kadek sudah berhenti tetapi di gantikan sesenggukan
akibat terlalu histeris menangis.
"Lalu orang tua mu
sudah tau?" tanya Nadia pada Kadek dengan lembut. Nadia hanya
tidak ingin Kadek jadi merasa orang paling bersalah sedunia.
"Sudah," Kadek menjawab singkat, karena malas bicara.
"Tanggapan mereka
gimana?" Nadia kembali mengorek kisah Kadek.
Kadek tidak langsung
menjawab, Kadek menghela nafas sejenak untuk ancang-ancang bercerita.
Dipalingkan wajahnya ke arah samping mengaarah pada Vero dan sempat menengok ke
belakang tempat Nadia duduk. Memastikan mimic kedua temannya sangar. Jika masih
kelihatan gahar akan semakin membuat malas bercerita. Untungnya Nadia dan Vero
berseri-seri senyum yang di paksakan.
"Hmmmmm, pastinya
mereka marah tapi mau gimana lagi. Ayah juga nampar aku. Seharian mereka nggak
ngomong sama aku," perkataan
Kadek tercekat menahan tangis. "Tetapi setelah mereka tenang kita
mendiskusikan lagi."
"Bonyok lu udah
ketemu Wayan?" tanya Vero singkat, Vero nggak bisa banyak
ngomong karena sedang kosentrasi nyetir apalagi di tengah kemacetan seperti ini.
"Udah," Kadek pun menjawab singkat.
"Kapan kalian akan
merit?" tanya Vero lagi melanjutkan obrolan.
"Nggak tau," Kadek benar-benar bingung untuk menjawab pertanyaan
ini.
Dengan reaksi cepat
Nadia yang penasaran, semakin ingin mengulik permasalahan sahabatnya. "Lah
ngopo gak ngerti kapan mau meritnya. perut mu cepat atau lambat bakal
besar."
"Tapi aku nggak
cinta sama dia.....," kata Kadek
sentengah berteriak meluapkan emosi. "Aku nggak mau merit sama dia," Nadanya semakin meninggi dibalik suara seperti ada
penyesalan yang dalam.
Vero dan Nadia tertegun nggak
tau mau komentar apa. Di benaknya masih ruwet jalan pikiran Kadek. Vero kembali
duduk lunglai dan terus menyetir mobil yang masih merayap. Nadia juga
merebahkan badannya ke sandaran kursi. Mungkin Vero dan Nadia sedang menyiapkan
amunisi untuk mencecar Kadek.
"Gila lu ya udah
bunting nggak mau merit, cuma gara-gara nggak cinta sama laki yang
buntingin lu," Vero kali ini naik pitam karena baginya
pemikiran Kadek yang aneh.
"Terus anakmu mau
diapain? kamu mau jadi single parent?" timpal Nadia
yang ikut gregetan.
Kadek yang merasa
terintimidasi jadi takut untuk melanjutkan cerita. Tetapi diam juga bukan suatu
pilihan yang tepat karena kedua sahabatnya akan terus merongrong dan mendesak
untuk cerita. Terpaksa juga Kadek meladeni ocehan mereka.
"Tapi aku nggak
cinta........" Kadek juga ikut gregetan karena susah untuk
mengungkapkannya. "Aku nggak mau tau kata orang, aku koq yang menjalani
hidup ini," Pembelaan Kadek.
"Dia udah mau
tanggung jawab loh...... Masa lu cuekin aja," Nadia
ikut nimbrung lagi. "Aku sih percaya kamu akan baik-baik saja, tapi apa
kamu nggak mikir buat kehidupan anak mu? Emang sih sekarang banyak yang single
parent tapi apa kamu bisa?" Nada Nadia tak setinggi Vero yang masih emosi.
Nadia berusaha menahan emosi dan berkata lembut, agar Kadek nggak merasa
terintrogasi.
"Eh bener juga ya,
gimana dengan anak ku ya nantinya? Terus kalau nanti dia tanya bapaknya gimana
ku jawab?" Kadek baru menyadari kebodohannya dan tertawa sendiri.
"Nah baru
nyadarkan, lu PA (pendek akal) sih.... Yang penting itu anak lu. Udah dech
jangan egois sama diri lu sendiri." Vero tambah gregetan Kadek menyadari
kebodohannya.
"Tapi aku kan gak
cinta, waktu itu cuma nafsu. Nanti kalo merit gimana? Apa bisa tambah baik atau
malah jadi berantakan," Kadek mulai lagi dengan kebimbangannya.
"Kayaknya aku perlu
lompat dech dari mobil ini," canda Vero yang sudah nggak tau lagi harus bagaimana
menanggapi Kadek. "Suka-suka kau lah Dek."
Kadek terbengong sikap
Vero yang berubah. Tadinya paling vokal untuk mengintimidasi sekarang malah
menyerah.
"Kamu koq gitu
Ver?" tanya Kadek.
"Aku pikir, lu tuh
dah sadar tapi ternyata masih tetep," jawab Vero Ketus.
“Kalau kata orang Jawa
ya tresno jalaran kulino, artinya cinta itu karena terbiasa. Mungkin sekarang
kamu nggak cinta tapi sapa tau dengan kamu terbiasa bertemu dengannya malah
bisa jadi cinta. Nggak usah mikir macem-macem, postif thinking aja,” Nadia juga ikut ngomentarin sikap Kadek yang konyol
seperti itu.
Didalam mobil kembali
tenang meskipun diluar sana berisik oleh suara klakson mobil yang pengemudinya
nggak sabaran. Masing-masing kepala di mobil tersebut sedang berfikir untuk
memecahkan masalah ini. Vero dan Nadia sebagai sahabat yang baik ingin memberi
pencerahan pada Kadek.
"Dek, kamu udah
yakin dengan single parents?" tanya Nadia, tapi sebelum di
jawab Nadia kembali ngomong, "Bli Wayan udah berani
tanggung jawab, emang tadinya cuma nafsu tapi itu juga bentuk sayang dia ke
kamu. Mungkin sekarang kamu nggak cinta. Tapi sapa tau setelah punya anak
kalian hidup bareng jadi cinta. Kalau emang nggak tahan ya udah cerai
saja."
"Wah Nadia bijak
ya...... " puji Kadek. "Tapi nggak mau juga aku kawin
cerai gitu. Mending jadi single parent. Nikah itu bukan untuk di coba-coba Nad.
Kasian juga nanti anak ku liat orang tuanya malah berantem mulu psikologisnya
pasti terguncang. Kalau dari kecil udah tau emaknya single parent dia akan
terbiasa juga kan. Liat ntar aja dech, aku perlu mikir 3 hari."
“Nih ada tapinya lagi ya,” Vero mencoba menambahi penyangkalannya terhadap omongan
Kadek. “Anak lu aja belom lair gimana tau perkembangan psikologis anak. Anak lu
tuh butuh bapak. Kayak lu butuh bapak mu sekarang juga kan?”
“Contohnya aku. Aku
berasal dari kelurga broken home tapi biasa aja tuh waktu abah sama umi cerai.
Pinter-pinternya kasih penjelasan aja sih. Sumpeh nggak enak banget hidup tanpa
orang tua lengkap. Kebetulan aku ikut umi, tapi aku juga nggak ngerasa
kehilangan abah karena hubungan kita masih dekat.” Nadia jadi menceritakan masa
lalunya.
“Hubungan anak sama
orang tuanya itu nggak bisa dipisahin Dek. Seorang ayah pasti mau ikut
membesarkan anaknya. Kecuali cowok brengsek dink. Tapi aku liat Bli Wayan
baek-baek aja koq apa lagi dia juga udah siap tanggung jawab.” Vero turut
menyumbang pemikirannya.
Tak terasa sudah hampir
sampai tujuan di RS Kasih Ibu. Perjalanan yang menegangkan akan segera
berakhir.
"Aku di drop aja,
Tuh bli Wayan udah nyampe. Aku pikirkan lagi untuk nggak merit sama dia. Makasih ya, love you
friends," kata Kadek sambil menunjuk Wayan yang ada di pinggir jalan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment