Matahari
baru saja terbenam. Bu Alya masih saja
sibuk membereskan rumah, padahal masih terhitung rapih karena dia tinggal hanya
berdua dengan anak bungsunya yaitu Gio. Sebentar lagi teman-temannya Gio akan
berdatangan. Sekarang adalah hari istimewa untuk Gio, tentunya Bu Alya akan
memberikan yang terbaik untk anaknya.
Setelah
berkliling rumah memastikan semunya telah rapih Bu Alya masuk ke kamar Gio yang
berada di samping ruang keluarga. Bu Alya masih mendapati Gio berbaring dikasur
yang dibalut sprei putih bersih. Kamarnya rapih banget untuk ukuran kamar
cowok. Cat warna biru menyelubungi tembok kamar. Di samping ranjang ada dua
kursi.
“Gio….bangun,
bentar lagi teman-teman mu dateng.” Bu Alya membangunkan Gio dengan sentuhan
lembut di pipinya. Namun Gio masih memejamkan matanya.
“Gio
siap-siap ya pake baju yang keren, rambutnya di rapiin.” Ucap Bu Alya sambil
berdiri memandang Gio yang berbaring di kasur.
“Gio
betah amat tidur, pokoknya nanti kalo temen Gio dateng harus bangun ya.” Bu
Alya masih berusaha membujuk anaknya untuk bangun. Tapi Gio tetap bergeming.
Bu
Alya menghela nafas lalu keluar dari kamar. Gio sendiri masih tertidur pulas.
Bu Alya sangat sayang pada anaknya, tidak mau membangunkan secara paksa. Bu
Alya membiarkan anaknya untuk terbangun sendiri secara suka rela. Gio sendiri
paling sebel kalau tidurnya terganggu dan pasti marah-marah tetapi itu dulu.
Sekarang Gio masih saja tertidur.
Di
ruang makan Bu Alya menyiapkan piring dan lauk pauk untuk santap makan malam
teman-teman Gio. Mungkin ada sekitar 10 orang yang akan datang. Mereka semuanya adalah sahabat Gio waktu di
Jogja. Tidak semunya juga teman kuliah
ada yang tema bermain. Sudah sekitar 9 tahun mereka bersahabat dari dulu sampai
sekarang masih dekat. Bisa jadi ini adalah persahabat sejati antara Gio dengan
temannya.
Baru
saja Bu Alya duduk di sofa depan tv terdengar suara bel tanda ada tamu
berbunyi. Bu Alya langsung ke ruang tamu. sebelum membuka pintu melongok dulu
di jendela melihat siapa tamu yang datang. Di balik pintu tersebut ada dua
perempuan satu anak kecil dan dua pria. Diperkirakan usia mereka sama dengan
Gio.
Bu
Alya membuka pintu untuk menyambut kedatangan mereka.
“Teman-temannya
Gio ya?” Bu Alya menebak untuk memastikan karena dirinya belum pernah bertemu
dengan mereka.
“Iya
bu, kita temen Gio,” kata cewek berjilbab pink baju gaul ala hijabers. “Nama saya Dia, ini ada Nin.” Dia bersalaman
pada Bu Alya. Setelah itu dilanjutkan Nin yang bersalaman. “Ini ada Mas Tri
suami Nin dan ini Wahyu temen deket saya.” Dia menunjuk kearah cowok di samping
Nin sebagai Tri lalu menengok pria yang ada disebelahnya sebagai Wahyu.
Wajah
sumringah terpancar dari wajah Bu Alya karena teman Gio sudah mulai
berdatangan. Ada satu rombongan lagi datang dari belakang yang akan segera
muncul. Para rombongan yang sudah datang menengok ke belakang. Ada satu wanita
yang menggendong anaknya di ikuti 3 pria.
“Oh
itu Purbo sama Mas Wahyu suaminya, yang dua lagi Aga sama Yudi.” Dia
menambahkan nama orang yang baru pada dateng. Mereka juga segera bersalaman
dengan Bu Alya.
Setelah
bersalaman Bu Alya mengajak para rombongan masuk ke dalam. “Ayo masuk jangan
dipintu saja. Langsung saja ke kamarnya Gio. Dari tadi Gio sudah nunggu tuh.”
Bu Alya memimpin rombongan menuju kamar Gio.
“Hai
Gio…..ini loh Tia ponakan mu dari Batam dateng.” Kata Purbo seraya melambaikan tangan Tia yang
dipegannya.
“Gio
ganteng….” Sapa Dia. “Ini aku bawa calon suami, Alhamdulilah udah dapet restu
dari Umi.”
“Cin….aku
juga dateng bawa Ifah, udah gede loh.” Nin mendekat ke arah Gio sambil
menggiring anaknya yang berumur 7 tahun. “Ifah juga sering tanyain kapan om Gio
maen ke Lombok lagi.”
“Gio,”
Aga dan Yudi melambaikan tangan pada Gio.
Gio
tidak menghiraukan kedatangan mereka. Masih saja Gio berbaring di kasurnya,
tidur dengan pulas dan tidak ada tanda menunjukan akan bangun. Matanya terpejam
dalam damai. Hari ini tepat satu tahun Gio tertidur koma setelah kecelakaan
yang menimpanya. Ada kerusakan di otak kecil, hanya keajaiban yang bisa
membangkitkannya lagi.
“Gio
apakabar?” Tanya Nin, “kita tuh kangen banget sama kamu. Cepet bangun ya.”
“Oh
ya tampan, katanya kamu pengen liat calon ku? ini loh aku udah bawain khusus
buat kamu. Bulan depan kita merit tapi di Jakarta” Dia lebih sering memanggil
Gio dengan sebutan tampan.
“Gio
kapan kita jalan tengah malem lagi? Dulu kita kan sering kelaparan tengah malem
terus kita ke burjo. Oh ya aku sekarang udah pindah ke Balikpapan” Kata Aga
sambil menggenggam tangan Gio yang hangat.
“Ada
salam dari Wid sama Arya. Wid gak bisa dateng soalnya abis melahirkan. Anaknya
lucu banget loh kayak bapaknya. Kalo Arya nggak bisa dateng katanya sih ya lagi
lamaran. Entah dilamar sama cowok yang mana,hahahaha” Nin meberikan informasi
sambil bercanda.
“What
Arya mau nikah?” Yudi langsung kaget mendengar informasi itu. sebenenya yang
lain juga ikut kaget teapi Yudi yang punya reaksi lebih cepat. “Jadi merit sama
penyanyi dangdut itu?”
“Nggak
tau juga sih ya yang mana.” Nin menaikankan bahu.
“Ada
yang cemburu nih,hahahha.” Timpal Purbo sambil melirik Dia. Semuanya juga
langsung tertawa.
Muka
Dia langsung memerah karena malu. “Yang jangan cemburu loh ya. Itu cerita masa
lalu. Dulu khilaf, ampun dech. Lagian diakan cowok yang suka cowok.” Dia
membela diri dihadapan calon suaminya.
“Begini
loh ceritanya dulu waktu kuliah Nin sama Dia sempat suka sama Arya. Tapi untung
nggak sampe jambak-jambakan untuk rebutan. Pada akhirnya mereka tau kalau Arya
sudah punya pacar cowok.” Purbo menambahkan cerita masa lalu ke tiga sahabatnya.
Purbo,
Nin, Dia dan Yudi adalah sahabat Gio kuliah waktu sama-sama belajar Ilmu
Komunikasi di Jogja. Sedangkan Yudi dengan Aga mereka sahabatan sejak SMA di
Jogja. Gio juga mengenal Aga sejak SMA perkenalannya waktu itu ada lomba teater
nasional. Pas Gio kuliah di Jogja jadilah persahabatan dengan Aga semakin
dekat. Bisa dikatakan Aga adalah sahabat terdekat dari Gio selama diperantauan.
“Dulu
tuh ya Gio yang sering nemenin aku facial di mall berjam-jam mana ada pacar ku
mau gitu.” Nin mulai menceritakan kenangan dulu sambil melirik suaminya. “Dia
juga yang bantuin ngerjain skripsi ku sampai pol, berkat dia aku bisa wisuda
nyusul kalian. Pernah semalam suntuk dia di rumah bantuin ngerjain skripsi.”
@@@
Waktu
itu Gio baru saja sampai di kostnya daerah Kusumanegara di Jogja. Rasa lelah
menghampiri sekujur tubuhnya. Untuk mandi pun males banget untuk bangkit dan
berjalan ke kamar mandi yang ada Gio terkapar dikasurnya melepas rasa capek
sembari ditemani lagu-lagu Mandarin. Hari ini adalah deadline jadi seharian di
kantor menyelesaikan artikel dan memang harus standby barangkali ada liputan
dadakan.
Terdengar
ada suara dari handphonenya tanda ada telpon masuk. terpaksa Gio bangkit dari
tempat duduknya mengambil handphone yang ada ditasnya. Di layar terlihat
tulisan Nin, tandanya Nin yang telpon padannya.
“Moshi
moshi.” Gio menjawab telpon dari Nin dengan menggunakan bahasa Jepang. “Lagi
nyante aja. Kenapa Nin?” Gio bertanya maksud Nin tumben telpon jam segini.
Biasannya kan jam segini Nin sedang asik main sama anaknya. “Ouh gitu…..ya udah
setengah jam lagi aku nyampe. Aku mau mandi dulu.”
Begitu
selesai menutup telpon mau nggak mau Gio beranjak dari tempat tidurnya menuju
kamar mandi. Tadi Nin telpon minta dibantuin skripsinya. Diantara sahabat yang
lainnya hanya Nin yang belum lulus karena berapa waktu lalu terhambat
mengandung dan melahirkan anaknya. Demi sahabat Gio melawan rasa lelahnya. Kasihan
juga Nin repot dengan skripsi sekaligus mengurus anaknya yang baru lahir.
Gio
meluncur ke rumah Nin yang jaraknya lumayan jauh karena rumah Nin ada di
pinggiran Kota Jogja. Sekitar setengah jam baru nyampe rumah Nin. Pintu rumah
sudah terbuka terlihat dari teras sudah banyak buku dan lembar fotokopian
berserakan di lantai. Nin juga sedang menggendong buah hatinya, sedangkan Tri
sedang nonton tv.
“Assalamualaikum
Bun,” Gio mengetuk pintu dan memanggil Nin dengan sebutan Bun alias bunda,
panggilan Ifah kepada Nin.
“Maap
ya ngerepotin kamu lagi,hehehehe. Pusing banget nih sama skripsi padahal ya
tinggal kesimpulan doank.” Nin menyambut kedatangan Gio dengan curhatan tentang
skripsinya.
Langsung
saja Gio masuk kedalam rumah dan memungut bendelan kertas yang terususun rapi,
itulah skripisi yang membuat sebagian besar mahasiswa menjadi gila seketika.
Gio membuka skripsi Nin di bab 4 yang memuat kesimpulan. Nin duduk disamping
Gio ikutan serius.
“Aku
nggak tau mau gimana lagi udah sering revisi tapi tetep aja dianggap salah.”
Keluh Nin dengan nada memelas.
Gio
tidak langsung menjawabnya karena masih baca apa yang telah di ketik sama Nin.
“Gini loh Bun….. kesimpulan mu itu belum lengkap. Disini kamu cuma memaparkan
hasilnya aja. Harus ditulis juga rumusan masalah dan metode penilitiannya juga.
“Ouh
gitu ya.” Nin hanya manggut-manggut. “Oh ya di meja makan ada cap cay makan
gih.” Nin juga mempersilahkan Gio makan. Kebetulan banget Gio belum makan
malam.
Sembari
Gio makan, Nin mengetik ulang skripsinya. Gio mau membantu Nin karena dirinya
juga pernah merasakan hal yang sama ketika menyelesaikan skripsi. Betapa
stresnya menghadapi dosen yang bawel, pusingnya merangkai kata ilmiah, belum
lagi mengeluarkan banyak biaya. Tidak jarang ada mahasiswa terpaksa melewatkan
wisuda karena tidak bisa menyelesaikan skripsi.
“Kenapa
sih harus ada skripsi?” Tanya Nin dengan nada mengeluh, matanya masih memandang
layar netbook yang ada di hadapannya.
“Ya
itulah masterpiece-nya mahasiswa, bukti kita intelektual.” Jawab Gio sekenanya.
“Tapi
buat pusing tau,” Nin malah tambah mengedumel.
“Sabar
bun… kita semua juga udah pernah melewati. Keep smile donk biar hasilnya juga
membahagiakan juga.” Gio berusaha memberi semangat biar Nin ngerjain skripsi
dengan tenang. “Kamu masih mending Nin, dulu aku penelitiannya di Brebes sana,
jadi kalo data kurang cocok balik lagi ke sana.”
Nin
kembali berkutat dengan ketikan skripsinya dan Gio melanjutkan aktifitas
menikmati cap cay. Gio jadi mengenang dulu waktu masih ngerjakan skripsi harus
bolak balik ambil data. Belum lagi instansi yang buat di teliti ribet banget
semakin menderita kala bimbingan banyak banget revisi. Ya begitulah namanya
skripsi.
Semalam
suntuk itu Gio menghabiskan waktu di rumah kontrakan Nin. Menenami Nin
ngerjajain skripsi ya sekalian yang ngecek ketikan Nin juga sih. Perlu beberapa
kali revisi tulisan dan pencocokan data dengan detail sampai dirasa sudah
benar. Gio sendiri terpaksa menginap karena pulang lebih dari tengah malam
sudah rawan rampok di daerah Ring Road.
@@@
“Paginya
itu aku bimbingan, Alhamdulillah langsung di ACC n di suruh daftar pendadaran,”
Nin menutup kisahnya.
Sebenarnya
masih banya lagi cerita diantara Nin dan Gio yang temen lain belum diketahui
tapi tidak enak saja Nin untuk memborong cerita. Nin mencoba menahan tangis
antara sedih dan senang karena berkat sahabatnya bisa ikutan wisuda.
“Sebenernya
paling seneng kalo di Gio bisa nemenin belanja.” Kata Purbo.
“Bener
banget dia bisa jadi setan, ngerayu kita untuk beli banyak baju,” timpal Nin.
“Wid
tuh yang sering jadi korban.” Dia ikut menambahkan.
Semuanya
diam sejenak memandang Gio yang terbujur di kasur. Purbo memijit tangan Gio
meskipun hangat badannya tetapi seperti tidak ada kehidupan. Terlihat dadanya
saja yang kembag kepis yang menandakan Gio masih hidup. Ada juga sih tanda
kehidupan lainnya yaitu layar monitor yang memantau kondisi Gio.
“Pah
masih inget gak waktu anak kita lahir yang nemenin juga Gio ka?” Tanya Purbo
pada Wahyu yang berdiri disampingnya, sambil memandang Kei yang sedang bermain
dengan Ifah.
@@@
Kejadiannya
itu sudah 3 tahun lalu. Waktu itu Gio masih sedang bekerja padahal sudah lebih
dari jam 10 malam. Ini adalah kerjaan mendadak, dan itu paling di sebelin sama
Gio harusnya sudah bisa istirahat malah masih bekerja. Malam itu harus mengejar
berita yang dipersembahkan buat penggemar Afgan. Sudah dua jam menunggu tetapi
belum ada tanda tuh artis nongol.
Udah
suntuk banget nunggu tanpa kejelasan kayak gini mending tidur aja. Ya beginilah
resiko jadi wartawan. Gio cengok sendirian dia belakang gedung duduk dilantai
seorang diri sambil bersandar pada tembok. Untuk menghilangkan rasa bosan Gio main
game yang ada di handphone. Lagi asik main ada telpon, dilihat dari namanya
Purbo.
“Yap
yap.” Gio menjawab telpon dari Purbo. “Oh Mas Wahyu, ada apa mas?” ternyata
yang telpon Mas Wahyu tetapi pakai handphonenya Purbo. Gio terdiam mendengarkan
suara Mas Wahyu ngomong dari balik telpon. “Ouh gitu…. Nanti aku langsung ke
situ dech, ini masih ada kerjaan.” Percakapan telah usai Gio menaruh
handphonenya disaku celananya lagi.
Mendengar
berita itu GIo semakin tidak sabar untuk cepat-cepat meneyelesaikan tugas yang
menyebalkan ini. Tadi Mas Wahyu mengabarkan Purbo akan melahirkan tetapi lewat
operasi caecar. Itu adalah berita yang menyenangkan sekaligus menyedihkan,
gimana nggak seneng kalau akan punya keponakan lagi tetapi sedihnya melihat
sahabatnya dioperasi caecar. Kalau bukan karena kerjaan ini penting mungkin Gio
sudah meninggalkannya.
Untung
tidak lama setelah menutup telpon Afgan beserta rombongannya datang. Buru-buru
Gio mengejarnya untuk interview. Ternyata nasib tidak beruntung berpihak pada
Gio karena dari pihak Afgan nggak mau di wanwancarai. Gio mencoba melobi pada
managernya tetapi tetap saja nggak dibolehin. Sebenarnya ada keberuntungan juga
karena Gio tidak perlu berlama-lama lagi di tempat itu.
Gio
bergegas ke rumah sakit internasional yang ada di ring road utara. Tidak
terlalu jauh sih dari tempat Gio liputan tetapi hawa dingin menusuk sekali. Gio
juga khawatir keadaan Purbo pasti sedang terguncang kalau proses melahirkannya
dengan caecar. Apalagi jauh dari orang tua dan saudara. Purbo juga ada-ada aja
dari Batam udah hamil 8 bulan perjalanan jauh pakai mobil ke Jogja. Purbo emang
ingin anaknya lahir di Jogja.
Sekarang
sudah sampai di rumah sakit. Gio tergesa-gesa berlari kecil menuju ruang
operasi. Berharap masih bisa ketemu Purbo sebelum menjalani operasi. Doa Gio
terkabul Purbo masih berada di selasar menuju ruang operasi di sebelahnya ada
Mas Wahyu. Gio menambalah kecepatan berlarinya untuk menghampiri Purbo.
“Sory
telat. Yang sabar ya……semangat. Aku disini terus koq sampai kamu lahiran.” Ucap
Gio terengah-engah sambil memegang tangan Purbo untuk menguatkannya.
Di
depan pintu operasi langkahnya terhenti karena dilarang masuk termasuk Mas
Wahyu. Terlihat dari kejauahan dibalik pintu kaca wajah khawatir bercampur
sedih dari wajah Purbo. Disitu dokter dan suster sedang menyiapkan operasi. Mas
Wahyu sendiri berdiri menempel pada pintu kaca.
Begitu dokter dan suster siap Purbo dibawa keruangan selanjutnya ruangan
operasi sebenarnya.
Gio
dan Mas Wahyu di antar suster menuju ruang tunggu operasi yang letaknya tidak
jauh mungkinn hanya bersebelahan dengan ruang operasi. Ruangan itu hanya
berukuran 3x3 meter. Rumah sakit itu terasa sunyi sekali hanya ada Gio dan Mas
Wahyu.
“Koq
jadinya operasi sih mas?” Tanya Gio
penasaran.
“Tadi
kita abis jalan-jalan muter kota aja. Terus kan lewat rumah sakit bersalin
tempat periksa kandungan, iseng aja masuk situ. Eh pas di periksa ternyata air
ketubannya sudah sedikit padahal perkiraan tiga hari lagi.” Mas Wahyu
menjelaskan.
“Untung
ya walau tadi iseng bisa ketahuan lebih cepet, jadi bisa langsung ditangani.”
Gio menanggapi. “Sabar ya mas. Walau operasi yang penting ibu sama anak slamet
semua.” Gio mencoba membuat tegar hati Mas Wahyu.
Selama
menunggu itu Mas Wahu bolak balik menuju pintu ruang operasi. Wajarlah seorang
suami yang menantikan calon anaknya. Seharusnya bisa menemani proses persalinan
tetapi apa daya karena operasi tidak bisa melakukannya. Dengan harap-harap cemas Mas Wahyu tidak
pernah melepas pandangannya kea rah ruang operasi. Gio sendiri hanya termenung di ruang tunggu
sambil maen game handphone.
Sudah
20 menit proses operasi berlangsung, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari
dalam ruang operasi. Wajah khawatir Mas Wahyu berubah menjadi kebahagiaan,
senyum mengembang dari bibirnya. Tidak lama kemudian ada seorang suster keluar
dari ruang operasi menghampiri Mas Wahyu yang ada didepan pintu. Tidak sengaja
Gio mendengar perkataan suster.
“Selamat
ya sudah menjadi bapak. Alhamdulillah anaknya sehat sama ibunya selamat. Tadi lahir
jam 23:58. Oh ya silahkan masuk pak barang kali anaknya mau di adzanin.”
Mas
Wahyu dan suster masuk kedalam ruang operasi. Sayup-sayup terdengar adzan. Gio
bersyukur semuanya selamat. Meskipun bukan ponakan kandung tetapi Gio cukup
senang karena punya ponakan baru lagi. Ini adalah pertama kali Gio menunggu
orang lahiran ada berbagai perasaan mengahampirinya dari perasaan sedih karena
melihat sahabatnya di operasi, khawatir juga. Ada pula perasaan senang semuanya
bercampur.
Begitu
Mas Wahyu keluar Gio langsung memberi selamat sekalian pamit pulang karena
sudah larut malam yang penting kan anaknya sudah lahir. Bisa besok setelah
pulang kerja mampir lagi. Lagian nungguin Purbo juga masih lama dia juga pasti
ingin istirahat lebih dulu.
@@@
“Om
Gio ini Tia sekarang udah besar. Om Gio bangun yaa…” Kata Tia disebelah telinga
Gio. Namun tetap saja tidak ada respon dari Gio.
“Coba
kalo nggak ada Gio pasti saya sudah stress, karena Gio jadi tenang ada yang
nemenin.” Mas Wahyu menambahkan cerita dari Purbo.
Bu
Alya masuk ke kamar. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Telihat Bu Alya
sangat senang karena Gio ada yang menemani terlebih lagi mereka adalah sahabat
terdekatnya.
“Itu
makan malam sudah siap, ayo di makan.” Bu Alya mengajak para rombongan makan
malam.
Di
meja makan sudah terihadang soto tauco khas Tegal. Ada juga sepiring tahu aci
Benjaran, tidak ketinggalan mendoannya. Sirup dingin teko gelas juga sudah siap
minum. Para rombongan ini sudah tidak sabar menyantapnya mereka dari tadi siang
belum makan karena masih dalam perjalanan.
“Bu,
kita boleh makan di kamar tidak sekalian nemenin Gio?” Dia meminta ijin pada Bu
Alya.
“Ouh
boleh sekali, udah lama juga Gio nggak makan rame-rame.” Bu Alya mempersilahkan
teman-teman Gio makan di kamar.
Setelah
ambil makanan mereka masuk ke kamar lagi menyantap soto tauco.
“Eh
inget nggak? Kalau kita minta rekomendasi makan pasti kita tanya Gio.” Kata
Yudi sambil melahap soto.
“Bener
banget, Gio tuh paling tau tempat makan. Padahal dia badan kecil tapi suka
makan dan menjelajah warung apa aja.” Aga ikut nimbrung. “Dulu tuh aku nggak
ngerti makanan enak di Jogja karena aku kan bukan anak kost. Terus Gio sering ngajakin wisata kuliner jadi
tambah ngerti dech.”
“Kalau
mau nongkrong pasti tanya Gio dulu. Kalau nongkrong nggak ada Gio juga nggak
enak.” Kata Nin di akhiri dengan nada sedih. “Dulu makan di kantin terus kalau
aku nggak habis pasti dia yang ngabisin makan ku.”
“Ngomong-ngomong
soal makan gwe punya cerita konyol sama Gio. Kejadiannya waktu kalian sudah
pada mudik liburan semester.” Dia menyela omongan Nin dan mulai bercerita.”
@@@
Waktu
itu susana kost Gio sudah sepi karena sebagian besar sudah pulang liburan
semester. Gio juga berencana mudik tetapi besok. Kalau malam gini biasanya cari
makan bersama teman kostnya tetapi berhubung sudah pada pulang Gio sudah
janjian dengan Dia untuk makan malam dekat kost.
Jarak
antara kost Gio dengan Dia nggak begitu jauh, dengan mengedarai motor pinjaman
temen kost Gio menuju ke kost Dia. cukup 3 menit sudah samapai, ternyata Dia
sudah menunggu dipagar kostan sambil mainin HP nya.
“Mau
makan dimana?” Tanya Dia.
“Belum
tau, kamu pengen makan apa?” Gio belum punya ide malah balik tanya ke Dia.
“Lagi
pengen makan ikan sih….”
“Kalau
gitu di deket sini ada koq daerah Gamping tempat baru sih aku belum pernah
kesana.”
“Oke.”
Dia langsung menyetujuinya.
Dia
segara naik motor yang di tunggangi Gio juga. Pertama mencari lokasinya daerah
sekitar belakang pasar Gamping. Pelan-pelan Gio menyisiri jalan itu takut
barang kali terlewati.
“Itu”
tunjuk Dia. sebuh warung tetapi lebih besar mungkin termasuk restoran. “Yakin
itu?”
“Iya
itu,” Gio membenarkan. “Terserah kamu sih mau apa nggak. Tapi kayaknya mahal
dech.” Nyali Gio menciut dirasa tempat makan tersebut mahal harganya.
“Ya
udah dech kita coba aja.” Dia mencoba nekat masuk. Gio pun menurutinya.
Gio
memarkirkan motornya dilahan parkir yang luas tetapi tidak ada satupun
kendaraan. Bangunan semi permanen dan besar ada dihadapan mereka. Sebenarnya
Gio sudah ragu sih tetapi melihat Dia percaya diri jadi yakin dech. Mereka
masuk bangunan lalu disambut oleh seorang pelayan. Mereka diantar ke sebuah
sebuah meja kecil. Gio dan Dia duduk berhadapan, pelayan tersebut memberikan
daftar menu lalu meninggalkan mereka.
Gio
dan Dia mulai membuka buku menu, semakin membalik halaman dahi bertambah
mengernyit. Matanya juga terbelalak.
“GIlingan
mahal-mahal banget,” Gio ngedumel perlahan.
“Yang
pilih sini siapa hayo?” Dia nggak ma disalahkan oleh Gio.
“Cabut
aja yuk…..” pinta Gio,
“Nggak
ah udah nanggung.”
“Tapi
aku nggak bawa duit banyak nggak ada yang cukup. Ada sih cuma karedok.” Gio
sedikit geram telah melakukan kesalahan fatal.
“Kalo
gitu kamu pesan karedok aku pesen nasi liwet.” Dia mencoba menegosiasi.
“Tapi
nggak ada duit buat beli minum.”
“Kita
barengan aja minumnya pake air mineral,hehehe” Dia masih saja bertahan.
“Ya
udah dech.” Gio menyerah pada serangan Dia.
Pesanan
yang Gio dan Dia sudah datang. Sepiring karedok tanpa nasi, satu porsi nasi
ayam liwet dan satu botol air mineral ukuran kecil. Ditambah senyuman kecut dari pelayan yang
sedang melayani mahasiswa kere.
Gio
udah lapar akut, langsung saja karedok yang ada dihadapannya langsung dimakan.
Tapi beberapa saat kemudian terjadilah kehebohan.
“Buset
ni karedok pedes banget ya, mana nggak ada kerupuk,” Gio megap-megap kepedesan.
“Eits
inget minumnya Cuma ada segini.” Dia mengingatkan Gio sambil merebut air
minumnya.
“Ni
restoran sengaja nyiksa orang kere ya, atau nggak iklas ngelayanin kita?” Gio
masih saja ngedumel.
Meskipun
kepedesan dan menitihkan air mata Gio tetap saja makan dengan lahap karena
sudah kelaparan akut. Biasalah anak kost makan sehari Cuma dua kali pagi
menjelang sing dan malam itu sudah jadi jadwal makan Gio, makanya dia tetap
kurus.
@@@
“Terus
kalian waktu bayar gimana?” Tanya Yudhi.
“Nggak
tau yang bayar Gio. Udah gitu mukanya di tekuk.”
“Hahahahaha”
semua teman Gio tertawa terbahak-bahak.
Suanan
ceria dan canda menyelubungi rumah Bu Alya yang biasanya sepi sekarang
terdengar suara berisik menyenangkan. Bu Alya jadi berfikir betapa bahagianya
Gio mempunyai sahabat yang baik dan sangat akrab. Berbagai momen kebersamaan
Gio terus dikenang para sahabatnya.
“Ngomong-ngomong
Gio kurus aku juga pernah manafaatin tuh,” Aga mulai bersuara. “Waktu itu kalau
nggak salah pulang dugem.”
“Ouh
jadi Gio suka dugem sama kamu toh?” Tanya Dia menghakimi.
“Nggak
sering juga sih,” Aga berbohong. “Sek toh cerita dulu.” Protes Aga yang
ceritanya dipotong oleh Dia. “Pulang dugem itu, Gio mau nginep dirumah ku.
sebenernya aku juga males nganterin dia pulang juga sih kostnya jauh banget.”
“Terus
gimana om?” Ternyata Ifah ikut menyimak cerita Aga.
“Sampai
rumah aku baru inget kalau nggak bawa kunci rumah ketinggalan dikamar. Semua
orang udah tidur nggak enak juga kan bangunin mereka. Kalian tau apa yang Gio
lakukan?”
“Ke
warnet,” tebak Yudhi.
“Ke
burjo, dia kan selalu lapar tengah malam.” Nin ikut menebak.
“Salah
semua. Yang benar dia manjat tembok.”
“Whaatt!!!”
Purbo kaget.
“Dia
kan kecil dan sedikit lincah, dia manjat pager dulu terus naik tembok ke teras
lantai dua. Aku di bawahnya.” Aga menjelaskan lagi.
“Terus
ada yang liat gak?” Tanya Dia yang juga serius nyimak.
“Pas
udah setengah manjat eh ternyata ibuku keluar. Kita berdua bengong jadi kayak
orang bego. Untung ibu ku nggak marah. Tapi ada yang lucu udah gitu dia
bukannya turun eh malah lanjutin naik udah gitu berhasil pula.”
Suara
riuh tertawa kembali terdengar setelah mendengar ke konyol Gio dari cerita Aga.
Sahabat mengenal Gio sosok yang suka konyol. Selain itu Gio juga jarang sekali
marah sama sahabatnya. Gio selalu membawa ceria dan setiap ada dia pasti ada
tertawa lucu. Yang tadinya sudah cape semua jadi semangat lagi.
“Coba
dech kalian inget pernah nggak liat Gio marah?” Tanya Yudhi ke semua orang
disitu.
“Kayaknya
yang ada kita terus dech yang marah-marahin dia.” Aga kembali mengingat
kejadian masa lalu.
“Udah
gitu dia nggak bales marah atau ngomong apa keq gitu.” Timpal Nin.
“Yah
itulah Gio, selalu murah ramah. Kangen sama Gio.” Dia jadi sedih kembali bila
mengingat kenangan lalu.
Mimic
semunya menjadi sedih, Purbo memeluk Dia sambil menahan air mata. Sahabat yang
dulu selalu ceria. Kapan aja dua puluh empat jam setia nemenin baik duka waktu
ada bencana apalagi waktu senang Gio tambah bersemangat lagi nemenin. Istilah
lainnya adalah Gio sahabat siaga. Kalau lagi pada kehabisan uang Gio lah tempat
terakhir untuk meminjam uang.
Malam
semakin larut. Sudah banyak cerita yang bergulir dari mulut teman-teman Gio.
Baik yang sedih sampai yang lucu-lucu. Ifah dan Kei juga sudah tertidur lelap
di kamar sebelah. Bu Alya ikut nimbrung ngobrol duduk disamping Gio. Bu Alya
sedari tadi senyum bahagia mendengar cerita tentang Gio dari temannya. Malah
merasa minder karena temannya lebih mengenal anaknya dari pada dirinya sendiri.
“Eh
dah malem pulang yuk,”kata Nin sambil melihat jam tangan. Memang sih sudah
hampir jam 12. “Kasihan ibu kelihatan sudah ngantuk.”
“Oh
nggak koq nggak apa.” Bu Alya
menyangkal.
“Nggak
enak juga bu sama tetangga.” Dia menambah alasan harus beranjak dari rumahnya
Gio.
“Eh
ya foto dulu donk bareng Gio.” Yudhi memeberikan usul.
“Pake
hape ku aja nih, tar tinggal di BBM ke kalian. Ibu tolong ya fotoin kita.” Nin
membirikan handphonenya ke Bu alya.
Semuanya
ambil posisi. Aga dan Dia di samping kiri sedangkan Yudhi dan Purbo di samping
kanan, Nin sendiri di depan Aga.
“1,2,3”
Bu Alya memberi aba-aba waktu memotret. “Bagus hasilnya, tuh Gio senyum.”
“Mana….mana”
Yudhi penasaran mencoba mengambil kamera terlebih dahulu dari tangan Bu Alya.
Bu Alya memberikan kamera tersebut pada Yudhi lalu senyum-senyum sendiri
melihat tingkah sahabat anaknya, yang lain juga ikut mengerubungi.
“Eh
iya Gio senyum, matanya juga melek.” Aga ngomong sekenanya tanpa sadar.
Dua
detik kemudian semua hening ketika menyadari omongan yang barusan keluar dari
Aga. Langsung saja mereka menengok kea rah Gio. Dan benar saja Gio sudah bangun
dari tidur panjangnya. Matanya melek dan senyum melihat sahabatnya berkerumun.
Bu Alya langsung memeluk sambil menitihkan air mata bahagia. Sedangkan para
sahabat cewek ikut menangis haru sekaligus senang.
Setelah
memeluk Gio, Bu Alya segera menelpon dokter yang menangani Gio. Suasan jadi
kembali ramai, namun Gio masih saja membisu karena bingung mau mengatakan apa.
Dia sedang mencoba berfikir kejadian yang berlangsung dalam rangka apa. Dan
mengingat kejadian sebelum dirinya koma. Gio hanya tersenyum melihat polah
temannya yang kegirangan.
Sekitar
30 menit kemudian dokter Farhat yang menangani Gio datang, dia langsung masuk
kamar dan memeriksa Gio. Pemeriksaan awal sudah selesai Farhat menemui Bu Alya
yang duduk di ruang keluarga tepat depan kamar Gio.
“Saya
ikut senang bu, akhirnya Gio bangun juga.” Kata dokter dengan tenang.
“Alhamdulilah,
tetapi gimana dok keadaannya?” Tanya Bu Alya sedikit khawatir.
“Nggak
apa-apa bu mending besok dibawa rumah sakit. Oh ya itu teman-teman Gio?”
“Iya
dok, mereka teman Gio waktu kuliah di Jogja. Semalaman mereka mengajak ngobrol
Gio.”
“Bisa
jadi Gio bangun kerena mereka juga. Cerita mereka terdengar Gio otaknya kembali
bekerja mencoba mengingat kejadian masa lalu. Selamat ya bu, tetap sabar karena
Gio masih perlu belajar lagi untuk kehidupan semula.
Bu
Alya merasa menjadi orang paling bahagia sedunia bisa melihat anaknya siuman.
Belum lagi pertama kali terbangun Gio sedang tersenyum. Bu Alya sudah siap
kembali mengajarkan anaknya dari awal lagi khususnya untuk fisio terapi. Bu
Alya akan terus menemani buah hatinya sampai kembali normal, itulah cinta kasih
seorang ibu. Buat teman-teman, dengan kembangkitan Gio merupakan kebahagiaan
tersendiri sahabatnya telah kembali untuk berbagi suka dan duka. Akan selalu
ada untuk Gio. Malam itu ada tawa disudut Kota Tegal.
No comments:
Post a Comment