Mimpi!!
Gara-gara mimpi itu, saya terseret sampai ke Jogja. Sekarang sudah 5 tahun,
tetapi mimpi itu masih belum terwujud juga. Saya sudah merasa sangat lelah untuk
menggapainya. Rasanya saya ingin tinggalkan mimpi itu. Namun bila diingat lagi,
sayang jika ditinggalkan begitu saja. Hanya tinggal selangkah lagi mimpi itu
akan terwujud, saya harus semangat, karena mimpi itu ada semangat hidup saya
saat ini.
Waktu kecil saya
bermimpi untuk menjadi wartawan. Saya melihat sosok wartawan itu sangat keren.
Bisa ketemu sama orang-orang hebat, artis, menteri, bahkan presiden. Saya ingin
memberikan sebuah inspirasi kepada siapa saja yang mau melihat atau
mendengarkan hasil repotase. Motivasi lainnya adalah bia jalan-jalan
gratis,hehehehe.
Sejak itulah
saya bertekad untuk menjadi wartawan. Langkah pertama saya harus kuliah jurusan
ilmu komunikasi kosentrasi jurnalistik. Usaha itu sudah saya lalukan untuk
rajin kuliah dan menyimak dosen mengajar (kalu lagi niat). Tetapi itu semua
bukan jaminan untuk cepat lulus. Perjalanan saya terhambat pada yang namanya
SKRIPSI. Sebenarnya saya sedang mengerjakannya dan hampir saja selesai. Cuma...jika
saya mulai mengetik lagi, entah kenapa kepala ini mendadak pusing, perut mual,
rasa kantuk mendera.
Tadi pagi, pas
ke kampus nggak sengaja ketemu sama Pak Rahmat, dia ini yang jadi dosen
pembimbing skripsi saya. Dia menegur untuk segera menyelesaikan skripsi yang
hampir rampung. Tak hanya itu saja, dengan terpaksa saya mendengarkan ceramah
dan nasehat bijak dari Pak Rahmat. Saya tau maksudnya dia baik, tetapi
ditelinga ini membuat panas karena dia menggunakan nada nyinyir. Sudahlah tak
usah dipikirkan omoangan dia.
Malam ini saya
bertekad untuk segera menyelesaikan skripsi yang sudah tertahan lebih dari
sebulan. Nggak boleh ditunda-tunda lagi. Sebenarnya bukan karena teguran Pak
Rahmat yang membuat saya sadar sejenak untuk mengerjakan skripsi. Tetapi karena
ultimatum ayahlah yang menggerakan jiwa dan raga untuk segera merampungkan
skripsi, jika tidak selesai semester depan ayah nggak akan membiayai
perpanjangan skiripsi, kost, dan lain sebagainya. Itu tandanya kiamat kecil
buat saya.
Sejak pulang
dari kampus, saya sudah menyiapkan amunisi, yaitu dengan tidur yang cukup untuk
lembur dimalam ini. Tadi sehabis Magrib juga sudah makan banyak.
Ayo semangat
kerjakan sekarang!! Saya hanya membatin untuk menyemangati diri sendiri. Laptop
yang ada di meja lipat sudah terbuka. Saya bergegas mencari folder yang berisi
skripsi di My Document. Disalah satu foldernya terselip bab 3. Sebenarnya bab
itu sudah rampung cuma perlu ada revisi dibeberapa bagian. Khususnya yang
analisis data. Saya mengklik nama file tersebut, berapa detik kemudian muncul
lah tulisan-tulisan yang membuat perut ini mendadak melintir dan mata mendadak
ngantuk.
Saya harus lawan
itu semua. Pokoknya harus tahan kantuk, ini cobaan pertama kalau udah buka
skripsi. Saya memperhatikan deretan tulisan yang ada di layar. Semakin lama
mata ini semakin berat. Tak usah hiraukan rasa kantuk itu, tetap fokus dan
fokus. Tidak berhasil juga, rasanya semakin lelah mata ini padahal baru berapa
menit.
Nyerah.....saya
mengalihkan perhatian dengan membuka beberapa blog untuk membaca artikel yang
sudah di bookmark. Setelah membuka laman blog itu, mata saya menjadi membaik,
tidak selelah tadi, padahal sama-sama membaca deretan tulisan. Saya amati dan
terfikir ternyata masalah pencahayaan. Blog yang ku baca backgroundnya gelap.
Saya kembali
membuka file yang tadi tertutup. Kecerahan cahaya laptop di atur ulang, di
setting menjadi lebih temaram. Barulah saya merasakan melihat tulisan yang ada
di layar laptop enak untuk di lihat dan nggak bikin lelah. Masalah mata lelah
sudah terselesaikan. Energi untuk mengerjakan skripsi kembali meningkat.
Sepuluh jari ini dengan lincah mengetikan huruf sampai pada suatu pembahasan
yang mengharuskan saya membuka buku.
Terpaksa saya
beranjak dari tempat duduk mencari buku. Tumpukan buku yang ada di meja saya
berantakin tetapi tak ditemukan. Beralih ke rak buku gantung yang ada di atas
televisi. Setelah diamati, tidak ada juga. Saya mulai frustasi, dimana buku
itu? Kenapa disaat yang genting seperti ini malah tidak ada. Segera saya
mengecek tas yang biasa dipakai untuk ke kampus, namun hasilnya nihil. Kali ini
bukan hanya frustasi tetapi sudah menjadi panik. Itu adalah buku mahal, bukan
itu juga masalahnya tetapi materi skirpsi saya ada disitu juga. Tidaaakkk!!!
Jerit saya dalam hati. Cobaan apa lagi ini?
Di sudut ruangan
kost yang berantakan saya kembali mengingat lagi rentetetan kejadian yang
membuat buku itu menjadi hilang. Terakhir saya memegang buku itu tiga hari
lalu, Aris datang ke kost mau pinjam buku. Berarti buku itu ada di tangan Aris
donk? Saya langsung lemas, udah semangat mau ngerjain skripsi eh malah bukunya
nggak ada. Mau ambil buku, males banget ke kost Aris yang jauh. Kenapa jadi
saya yang repot? kan dia yang pinjam harusnya dia juga donk yang balikin. Benci
dech!!! Pada suka pinjem tapi gak mau dibalikin, saya hanya bisa mengumpat pada
udara.
Demi masa depan
terpaksa aku menghubungi Aris. “Ris, kamu dimana? Buku “Dasar Jurnalis” di kamu
toh? Mau ambil buku nih, atau kamu balikin sekarang juga!!” Saya mencecar
beberapa pertanyaan dan di akhiri pemaksaan agar dia mengembalikan.
“Iya di aku koq
bukunya. Nih lagi aku tenteng. Ketemu langsung di Kalimilk Seturan ya,” kata
Aris di balik telpon. Saya sepakat untuk ketemu disana, padahal tempat ketemuan
itu lebih jauh dari pada saya ke kost Aris. Sekalian ngerjain skripsi dan
santai, apalagi ada Aris bisa tempat bertukar pikiran.
Perlu 15 menit
untuk sampai tujuan, apalagi lagi sekarang sedang jam makan malam pasti tambah
ramai khususnya daerah kostan mahasiswa. Meskti agak tersendat di jalan Solo
khusunya depan Plaza Ambarukmo tetapi sampai tempat tujuan tepat waktu sesuai
dengan perkiraan.
Dari parkiran
terllihat Aris sedang menyeruput susu. Di depannya ada dia cewek, saya
mengenalnya dengan nama Rahmi, anak komunikasi juga seangkatan tetapi dia ambil
periklanan. Saya menghampiri mereka yang sepertinya sedang sibuk diskusi.
“Hai! Lagi
ngomongin Pak Abror ya.” Sela saya
diantara obrolan mereka yang tanpa menyadari kedatangan saya.
“Hai.....” sapa
mereka kompak meski agak garing. “Tau aja nih lagi ngomongin Pak Abror,” kata
Rahmi sambil nyengir.
“Tau lah, itu
kebiasaan mahasiswa lagi frustasi dapet pembimbing dia yang super ribet,” balas
saya sambil menyeret kursi yang segera di tempati.
“Bukan gue aja
yang korban dia, Ndi.” Rahmi menatap saya dengan memelas.
“Aku juga,”
timpal Aris matanya berkilat seperti penuh dendam.
“So, sekarang
ini sedang ada pertemuan para mahasiswa frustasi sama skripsi?” canda saya
untuk mencairkan masalah.
Biar saya
jelaskan. Aris adalah sahabat saya, meski baru deket setahun ini, itupun
gara-gara kita sering ketemu pas bimbingan skripsi. Dia ini masuk kosentrasi
broadcasting. Skripsinya tentang peliputan berita, otomatis dia orang yang
sering banget pinjem buku tentang jurnalis pada saya. Sekarang ini Aris sedang
bingung dengan kelakukan dosen pembimbingnya yaitu Pak Abror. Kata mahasiswa
komunikasi, suatu bencana dapat pembimbing dia. Bisa dibuat mati gaya sama itu
dosen. Misalnya, bimbingan hari ini dia nyuruh apa, bimbingan berikutnya
disalahkan lagi dan disuruh bikin itu.
Inilah salah
satau penghambat lulusnya mahasiswa dari faktor dosen pembimbing. Awalnya saya
menyimpulkan itu masalah dari mahasiswa karena faktor malas atau emang nggak
bener pas ngerjain skripsi. Baru belakangan asusmi itu terpatahkan karena
banyak sekali mahasiswa yang bimbingan sama dia berkeluh kesah. Saya heran,
masalah seperti itu koq nggak ada teguran dari fakultas. Dosen yang kayak gini
memang perlu dididik ulang biar nggak labil lagi.
Sedangkan Ramhi
itu senasib dengan Aris yang mendapat pembimbing skripsinya Pak Abror. Rahmi
sedikit beruntung sebab Pak Abror bukanlah pembimbing utama. Saya sih nggak
begitu kenal dia karena nggak pernah satu kelas, selain itu jadwal bimbingnya
beda. Jika ketemu di kampus tetap say
hai buat keakraban sesama penghuni fakultas komunikasi. Saya pernah dengar,
Rahmi salah satu mahasiswi pintar. Dia telat lulus gara-gara semester lalu ikut
pertukaran pelajar ke Ausie.
“Sory ya gue
nggak bagian dari mahasiswi desperate skripsi.” Rahmi membela diri. Memang
benar juga. Rahmi baru saja mengerjakan skripsi, jadi belum mendapatkan dampak
dari betapa pusingnya ngerjain skripsi. Dia baru saja akan maju seminar
pertanggung jawaban bab 1. “Gue mau tanya-tanya sama Aris gimana mekanisme
seminar. Dan selama ini Pak Abror baik tuh sama gue,” kelakar Ramhi dengan
senyum menyeringai menyebalkan buat Aris yang merasa terdzolimi oleh Pak Abror.
Saya hanya
membatin dalam diri. Wajar saja Rahmi bilang gitu karena belum mendapatkan
“tamparan” skripsi. Waktu mengerjakan bab 1 saya lancar saja, optimis dalam
satu semester kelar tetapi nyatanya sekarang sudah semester kedua dalam
pengerjaan skripsi. Penyebabnya adalah pada bab 3. Bagian penyajian data dan
penelitian. Disinilah hampir semua ilmu yang kita pelajari dari awal sampai
akhir dituangkan. Sungguh beruntung buat
mahasiswa yang rajin mencatat. Nah buat saya dan Aris suatu bencana
karena malas mencatat, hasilnya sekarang keteteran mencari refrensi untuk
membahas penelitian.
Waktu mencari data mahasiswa sering dibuat
bingung oleh instansi tempat penelitian. Sering instansi itu melempar
mahasiswa. Misalnya begini, kepala cabang bilang perlu di urus oleh bagian
perizinan, dari situ di lempar ke tata usaha, nanti dilempar lagi ke entah
berantah. Itu baru mau izin penilitan belum lagi pas ambil data pasti nggak
kalah ribetnya. Ada yang alasan itu rahasia perusahaan. Terus bilangnya,
petugasnya orang baru belum ngerti banyak. Jika mahasiswa ingin pindah
penelitian bakal tambah repot lagi. Okay, sekian sesi curhat versi saya tentang
penelitian.
“Sebenarnya aku
juga nggak ada masalah sama skripsi!” Meskipun Aris berkilah tetapi kentara
sekali suara Aris geram, tidak bisa menyembunyikan kebohongannya. “Tetapi aku
bermasalah yang namanya Pak Abror. Kalau bukan karena dia mungkin aku sudah
wisuda semester lalu. Aku sampai nggak ngerti harus gimana lagi untuk bimbingan
sama dia.” Ternyata Aris masih membahas kekesalannya terhadap dosen
pembimbingnya yang dianggap terlalu menyusahkan.
“Sabar. Mungkin
ini seninya skripsi buat kamu. Jadi nggak cuma merangakai kata-kata ilmiah yang
indah. Ada seni yang lebih penting yaitu menaklukan ego orang. Itu penting
untuk dunia kerja nanti. Apalagi kamu lebih banyak berhubungan dengan client,”
cetus Rahmi untuk menghibur Aris yang sedang gundah dengan tabiat Pak Abror.
“Eh dengar gosip
gak? Katanya Siti pindah kampus,
gara-gara sudah nggak tahan bimbimbangan sama Pak Abror.” Saya menyampaikan
sebuah berita yang entah kebenarannya.
“Katanya gitu
sih, aku denger dari mbak Ayu resepsionis jurusan,” Aris menyahuti omongan
saya.
“Kenal
Jubedahkan? Anak periklanan angkatan diatas kita. Dia itu kalau mau bimbingan
sampai sholat Dhuha dulu, malemnya sholat Tahajud. Katanya biar diberi
kelancaran pas bimbingan. Bener loh usahanya nggak sia-sia, Pak Abror langsung
jinak,” kata Rahmi menampilkan mimik yang serius.
“Wah mesti ku
coba tuh. Sapa tau mujarab, dan semster ini bisa wisuda.” Aris berharap.
“Lu, sendiri kenapa sampai keteteran ngerjain
skripsi?” sebuah pertanyaan menohok dari Rahmi untuk saya. Itu adalah
pengalihan topik yang menyebalkan karena saya menjadi obyek yang tersudut.
“Mungkin ini
karena masalah konflik batin,” jawab saya dengan kalimat membundel. Saya
melanjutkan lagi berbicara, “maksudnya ini karena sifat malas saya,” saya
mengaku dengan malu-malu sampai wajah saya merona merah.
“Emang males
dalam rangka apa?” Rahmi sekali lagi bertanya dengan wajah tak berdosanya. Saya
sendiri bingung, sebenarnya Rahmi emang nggak ngerti atau cuma pura-pura
bersikap polos.
“Males ngetik, males bimbingan sebab kalau
udah sampai kampus liat wajah pembimbing udah mules, apalagi pas bimbingan kita
kena semprot rasanya tambah kebelet aja. Belum lagi males ke perpus cari
refrensi buku.” Penjelasan saya sudah cukup jelas untuk di cerna oleh Rahmi dan
semoga tidak ada lagi pertanyaan berikutnya.
“Oh ya nih
bukunya. Ntar kapan-kapan ku pinjem lagi kalau perlu.” Aris memberikan sebuah
buku yang lumayan besar dan tentunya berat. Berat di pelajari dan dilihat
karena menggunakan bahasa Inggris.
“Ok. Kita kan
friend harus saling bantu,” kata saya sambil memasukan buku kedalam tas. “Sory
nih, saya cabut dulu ya. Mumpung masih ada niat ngerjain skripsi.” Saya
berpamitan kepada dua teman ku. Tanpa persetujuan mereka, saya sudah
meninggalkan mereka.
Waktu perjalanan
pulang lebih singkat karena saya lebih memilih jalan memutar, menghindari
keramaian. Akhirnya sampai kost juga, saya ingin segera mengerjakan skripsi.
Tetapi terlihat dikamar dekat dapur sedang ada keramaian. Saya penasaran untuk
mampir kamar Pandu, dan terlihat teman-teman kost lain sedang pada asik
didalam. Nggak ada salahnya juga untuk mampir ke kamar Pandu. Ternyata setelah
di tengok, mereka sedang asik main kartu.
“Eh ada bang
Andi. Baru dari mana bang?” Yadi menyadari kedantangan saya dan langsung
bertanya seperti itu karena melihat saya mengenakan jaket ditambah menenteng
tas.
“Dari ambil
buku,” jawab saya singkat.
“Ayo bang ikutan
maen kartu.” Ajak Tyan yang sedang sandaran menunggu giliran.
Saya jadi
tertarik untuk mengikuti permainan kartu. Buat refreshing sejenak sebelum bertempur melawan skripsi. Kamar yang
berukuran 5x5 meter persegi ini terasa sumpek dijejali 10 orang lebih. Nggak
semuanya ikut main kartu juga ada yang sedang main Play Station ada juga yang
cuma berbaring sambil bercengkrama.
Kostan-kostan
yang saya ditempati 24 mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia.
Mereka juga nggak semuanya satu kampus. Kenapa saya dipanggil abang? Karena
saya salah satu penghuni tertua di kostan ini.
Bisa juga panggilan abang sebuah sindiran sebagai mahasiswa angkatan tua
yang belum lulus. Sebenarnya ada dua lagi teman seperjuangan di kostan ini yang
sedang bertarung melawan skripsi. Sama seperti saya, dua orang ini dipanggil
abang, namanya Ramli dan Fey.
Saya sudah mulai
terhanyut permainan kartu poker. Meski bukan yang paling jago tapi tidak pernah
kalah satu kalipun. Permainan ini membuat saya lupa kewajiban tentang
mengerjakan skripsi. Jangankan memikirkan untuk mengingatnya juga nggak.
Permainan kartu ini memang sebagai obat mujarab untuk menyegarkan otak. Sayang
amnesiaku terharap skripsi hanya sekejap. Saya kembali terjaga tentang skripsi
ketika Ramli masuk ke kamar Pandu untuk ikut
bergabung.
“Woy bang
Ramli,” sapa Pandu yang melihat Ramli masuk ke kamarnya. Serentak semua orang
melihat kearah dia, termasuk saya.
“Whats app,
bro?!! Balas Ramli ramah.
“Tumben bang
keluar dari tempat bertapa?” tanya Tyan penasaran. Ramli ini memang jarang
gabung sama anak-anak kost lain karena sibuk. Selama ini dia sibuk kuliah yang
keteteran akibat waktu “masa mudanya” sering bolos kuliah. Jadi banyak mata
kuliah yang harus diulang. Apalagi sekarang sambil ngerjain skripsi.
“Suntuk banget
dikamar. Sekali-kali keluarlah cari hiburan. Kelamaan dikamar bisa cepet tua
mikirin kuliah,” jawab santai Ramli sambil merebahkan tubuhnya di karpet. “Makanya
kalian kuliah yang rajin, biar nggak nyesel kalau udah semester tua.” Ramli
memberikan petuah kepada yang lain. Rata-rata penghuni kost ini baru pada
semester dua dan empat.
“Terus kalau
gitu, kenapa bang Andi nggak lulus-lulus?” pertanyaan dari bibir Pandu meluncur
tanpa perasaan pada ku.
Saya hanya
bengong mendengar pertanyaan seperti itu. Sebenarnya saya sudah sering
mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bahkan mungkin kuping ini terbiasa
mendengar pertanyaan nyaring “kapan lulus?”. Namun bibir ini tidak bisa
berkompromi. Selalu kelu untuk menjawabnya. Karena saya sendiri kadang masih
bingung untuk menjawabnya.
“Gara-gara
skripsi aja yang mandek,” jawab saya sekenanya. Sambil berharap tidak ada
pertanyaan lagi.
“Koq bisa lama
gitu sih mandeknya?” Yadi malah menambah obrolan yang semakin fokus terhadap
saya.
“Karena ada
berbagai macam hal. Mulai dari penelitian, dosen bawel, sampai rasa males
ngetik sambil mikir.” Tiba-tiba saja Fey nongol dan langsung menyambar untuk
menjawab. Itu adalah jawaban yang cukup bijak dan dapat menolong saya yang
sedang memikirkan jawaban.
Sekarang sudah
terkumpul tiga mahasiswa angkatan tua diantara para junior yang masih belum
mengerti penderitaan mengerjakan skripsi. Diantara kita bertiga yang paling
senior adalah Fey. Dia ambil jurusan teknik industri di universitas swasta
daerah timur Jogja. Penyebabnya telat lulus karena dia kuliah sambil bekerja.
Memang Fey cukup mandiri, sejak kuliah sudah bekerja, dampaknya kuliah menjadi
keteteran. Sekarang dia sedang fokus untuk skripsi, maka dari itu dia keluar
dari kerjaannya.
“Wih para senior
pada berkumpul,” celetuk Pandu. Aku hanya senyum tipis karena bagiku ini
bukanlah suatu pujian tetapi sindiran. Saya memang sedang sensitif, jadi yang
berbau kata senior, tua, lama adalah suatu penghinaan keberadaan saya yang
belum lulus kuliah.
“Skripsi mu
sampai mana Ram?” tanya Fey pada Ramli yang sedang baca tabloid Bola.
Ramli merubah
posisinya yang tadi senderan sekarang duduk tegak. “Baru kelar bab
pendahuluan.”
“Hah!! Selama
itu kah? Lah kamu mengurung dikamar ngapain aja?” saya kaget mendengar jawaban
Ramli.
“Emang skripsi
anak teknologi pertanian gampang?” Ramli tidak terima atas pernyataan sekaligus
pertanyaan dari saya. “Pusing juga tau, mana disini tuh jarang ada jurusan
teknologi pertanian. Cari refrensi susah, terpaksa browsing di internet. Belum
lagi bolak balik ke lab. Ini baru awal, nanti pas bikin alat pertanian juga
makin ribet. Jadi masih panjanglah,” Ramli malah berkeluh kesah mengenai
skripsinya. “Kamu sendiri sampe mana skripsinya?”
“Bab penelitian
sama pembahasan sudah kelar tinggal revisi tapi belum di ACC juga untuk lanjut
bab selanjutnya,” saya penjelaskan perihal skirpsi. “Buat kalian yang baru
semester dua nanti pas semester empat harus sudah siap-siap cari bahan skripsi
yang mau diambil. Jadi pas udah waktunya skripsi nggak bingung dan keteteran.”
Sepertinya saya benar-benar menjadi yang “tua”, telah memberikan wejangan pada
junior.
Saya baru
menyadari kesalahan besar itu. Kenapa nggak dari pas dulu aja ya pas semester
empat untuk memulai ancang-ancang ambil skirpsi. Dulu saya malah sibuk pada
organisasi dan kegiatan jurnalis diluar kampus. Saya memang tepat waktu untuk
menyelesaikan semua mata kuliah bahkan tidak ada yang perlu diulang. Meski
nilai-nilai yang tercetak di kartu hasil studi tidak semuanya baik. Hanya saja
saya telat pada skripsi karena kurang persiapan. Ketika sudah masuk masa
skripsi saya bingung sendiri, sampai perlu tiga bulan untuk memilih judul yang
tepat.
Andai saja waktu
bisa diputar. Saya akan melakukan apa yang dikerjakan teman-teman. Menjelang skripsi
sibuk mencari judul lalu dikonsultasikan secara informal pada dosen terdekat.
Tetapi sudahlah, saya juga tidak menyesali semua. Saya juga bangga bisa belajar
menulis berita yang baik. Dari sinilah saya merasakan suatu kejanggalan. Bila
saya repotase selalu menuliskan hasilnya dengan baik dan saya cukup senang
mengerjakannya. Lain lagi dalam mengerjakan skripsi, rasanya sungkan banget
duduk berlama-lama di depan laptop sambil mengetik karya ilmiah.
“Kamu skripsinya
sampai mana?” tanya saya pada Fey.
“Udah tinggal
kesimpulan. Satu atau tiga kali bimbingan kelar. Tetapi saya belum bisa wisuda
semester ini karena masih ada kuliah yang perlu diulang.” Diakhir kalimat nada
Fey terdengar lesu, mendapati kenyataan tragis ini. Saya terperanjat mendapat
informasi Fey segera merampungkan skripsinya. Itu adalah suatu kekalahan telak
buat saya. Meski Fey tidak bisa wisuda semester ini tetapi skripsinya telah melampaui
saya. Dia sudah berhasil menyelesaikan 4 bab dari 5 bab. Artinya bila dia
kuliah dijurusan saya mestinya sudah rampung mengerjakan skripsi.
“Berarti kalau
skripsi itu harus siap mental ya?” tanya Tyo polos.
“Ya!!” jawab
saya, Fey dan Ramli kompak. Lalu meluncurlah kata-kata curhatan dari Ramli.
“Siapin mental buat ngadepin dosen menyebalkan. Selain itu siapin duit yang
banyak buat bayar skripsi dan tetek bengek uang administrasi, belum lagi duit
buat transport dan beli kertas. Tapi yang utama adalah mental sih. Melawan diri
sendiri menghadapi iblis rasa malas.” Ramli mengucapkan itu dengan semangat
berkobar.
“Kalau gitu
kenapa nggak beli skripsi aja dari pada repot-repot?” sebuah pertanyaan yang
bagus dari Yadi.
Dengan segera
Fey langsung menjawab pertanyaan dari Yadi dengan tegas. “Sesuatu yang tolol
aja sampai beli skripsi gitu. Ngapain kita capek-capek berangkat kuliah kepanasan,
ngabisin duit jutaan cuma buat beli skripsi? Kalau gitu kenapa nggak sekalian
beli ijazah aja tapi kita nggak kuliah?”
“Lebih tepatnya
sih, skripsi itu mahakarya dari seorang sarjana. Ada kepuasaan tersendiri kala
kita berhasil menyelesaikan skripsi. Kita merasa menang, dari mengalahkan ego
dirikita sendiri, rasa malas yang menghampiri, ego dosen yang menyebalkan.
Tentunya kita pasti akan bangga pada hasil cipta karya sendiri. Ada pembuktian
bahwa kita mampu dan memang pantas menjadi sarjana,” kata-kata saya menambahkan
pendapat Fey. Saya melihat para junior hanya mengangguk entah itu menyetujui
pendapat saya atau hanya asal mengangguk saja. Saya yakin otak mereka belum
sampai pada memikirkan skripsi.
Seharusnya sejak
dini mereka diajarkan untuk tidak membeli skripsi. Membeli skripsi sama saja
kita belajar menjadi koruptor. Caranya memang mudah hanya menyetorkan uang berapa
juta rupiah, masalah selesai, mahasiswa jadi sarjana. Akan tetapi dampaknya
akan pada masa depan mereka ketika dihadapkan pada dunia nyata. Mereka akan
melakukan segala cara untuk membereskan kepentingannya. Generasi bobrok negeri
ini tidak akan berubah kalau begitu.
“Banyak hal
positif kita dapetin ketika mengerjakan skripsi.” Ramli ikut berpendapat.
“Paling penting adalah kita semakin memahami ilmu yang dipelajari selama
beberapa semester ini. Ilmu yang kita dapat dituangkan dalam karya ilmiah. Disamping
itu, bikin skripsi melatih kesabaran tingkat tinggi. Sabar nunggu dosen,
ngadepin dosen, penelitian, dan masih banyak lagi. Skripsi juga mempertajam
otak kita dalam dalam sisi ilmiah”
“Resiko
ketahuannya juga besar,” Fey memotong omongan Ramli. “Kalau ketahuannya pas
masih dalam pengerjaan skripsi sih cuma menanggung malu dan ngulang dari awal.
Mampus aja kalau ketahuannya pas udah lulus bertahun-tahun. Gelar sarjana kita
bisa dicabut. Bisa juga turun jabatan. Belum lagi dipenjara karena mencuri hak
cipta orang lain,” Fey membeberkan resiko jika mencontek skripsi.
“Ada tuh temen
seangkatan yang ketahuan nyontek. Sampai sekarang belum lulus, dia ngulang dari
awal dan tentunya dengan bimbingan lebih ketat. Udah gitu menanggung malu.
Gimana nggak malu, dia di sidang istimewa tempatnya di amphiteather. Semua
mahasiswa fakultas ngumpul,” kata saya sambil bergindik membayangkan betapa
malunya itu mahasiswa. Para junior hanya bisa bengong mendengarkan cerita saya.
Waktu itu saya
menghadiri sidang tersebut. Seluruh ruangan penuh oleh mahasiswa dan mahsiswi
yang penasaran dengan jalannya sidang istimewa fakultas. Mahasiswa tersebut
ketahuan mencontek skripsi orang, dapatnya juga dari orang yang bisnis jual
beli skripsi dan thesis. Menurut saya sih bodoh juga, dia beli skripsi dari
karya mahasiswa universitas yang ada di Jogja. Di Jogja ini hanya ada beberapa
saja yang punya jurusan ilmu komunikasi. Pastinya tiap universitas punya
database skripsi. Mungkin ini lagi apesnya mahasiswa plagiat itu, secara nggak
sengaja dosen pembimbingnya nemu skirpsi dengan judul yang sama waktu
bertandang ke kampus yang skripsinya dicontek.
Saya melihat
mahasiswa tersebut tertunduk lesu dihadapan para dosen, dekan dan rektor.
Berbagai cecaran dan hujatan diterimanya. Saya tidak bisa membayangkan bila
yang ada di kursi pesakitan itu saya. Ada rasa iba kepada dia, bisa jadi dia
adalah korban dari beribetnya ngurus dan ngerjain skripsi. Tetapi disisi lain
saya bingung juga, kenapa dia melakukan seperti itu? Padahal dia orang yang
cukup pintar. Hhmmm, entahlah tiap orang pasti punya permasalahannya sendiri. Siapa
yang melakukan harus siap bertanggung jawab.
Saya melihat jam
dinding yang tertempel di atas telivisi, ternyata sudah cukup malam sekitar jam
11 kurang sedikit. “Cabut dulu ya, mau ke kamar.” Saya memutuskan untuk
meninggalkan kamar pandu.
“Mau ngapain
bang? Kayak anak perawan aja jam segini mau tidur,” canda Pandu.
“Mumpung lagi
khilaf nih, ada mood nyelesein revisi skripsi,” jawab saya bercanda sambil
berdiri dan berjalan menjauh dari kamar. Spontan mereka tertawa mendengar kata
“khilaf”. Kata khilaf memang biasa diasumsikan sebagai bentuk pembelaan diri
setelah melakukan kesalahan.
Sekarang saya
sudah ada dikamar lagi. Tentunya kamar saya masih dalam keadaan berantakan
karena sebelum ditinggalkan saya telah mengobrak-ngabrik untuk mencari buku.
Untuk membuat suasana nyaman terpaksa saya membereskan kamar terlebih dahulu. Banyak
sekali kertas bertebaran dipenjuru kamar. Inilah suasana kamar kost mahasiswa
fotokopian,hehehehe. Kenapa bisa begitu? Saya mahasiswa yang malas mencatat
akibatnya setiap kali mau ujian pinjam catatan teman untuk di gandakan. Tetapi
setelah itu kertas itu tergeletak manis di sudut kamar tanpa disentuh lagi
setelah ujian.
Jujur ya, hampir
sebagian besar saya telah lupa materi kuliah yang telah diberikan. Lupa karena
saya mahasiswa fotokopian. Lupa karena saya tidak pernah membaca kembali apa
yang telah diberikan. Bukan saya tidak mengingatnya, hanya saja ketika dosen
mengajar, saya sibuk twitteran dan ngobrol sama teman lewat pesan instan
(whatsapp, BBM dll).
Masih ada materi
kuliah yang melekat di otak saya yaitu materi framing. Itupun saya mengingatnya
gara-gara skripsi. Coba kalau materi tersebut nggak saya jadikan skripsi,
dijamin saya pasti lupa kalau saya pernah mempelajarinya. Skripsi saya
meneneliti suatu perbandingan penyajian berita korupsi Indonesia di dua media
cetak nasional. Saya melihatnya salah satunya membela tersangka korupsi, tentu
satunya lagi berusaha menampilkan kelakuan buruk tersangka koruptor itu. Oh ya,
yang teliti bukan dari segi hukumnya karena itu sudah diluar ilmu saya. Saya
hanya meniliti isi pesan dari kedua media tersebut. Bingung? Saya juga
sebenarnya bingung. Sudahlah nggak usah
dibuat pusing. Sekarang langjut lagi.
Laptop sudah
menyala. Saya duduk dihadapannya dan mulai mengetik kembali, hanyut dalam
rangkaian kata ilmiah. Sesekali melihat buku untuk mengutip sebagai penguat
pendapat saya dalam penelitian. Semakin lama, kamar saya menjadi berantakan
kembali karena kertas-kertas itu kembali berhaburan ketika saya perlu membaca,
untuk mempertajam analisis. Inilah adalah suatu keajaiban skripsi. Selama saya
masih kuliah jarang sekali saya membaca materi kuliah karena sangat membosankan,
karena skripsi mau nggak mau saya terpaksa membacanya.
Terdengar suara
ketukan pintu. Saya langsung menengok kebetulan pintu kamar terbuka agar udara
sejuk masuk.
“Bang, pinjem
gunting ada nggak?” Ternyata yang datang Ryan, teman sebelah kamar saya.
“Ada.” Saya
beranjak dari tempat duduk mengambil gunting yang ada didekat saya.
Ryan sudah
pergi, saya kembali mengetik skrispi. Tetapi tidak lama muncul Galih. “Bang
punya gula nggak?” tanya Galih.
Tanpa menengok
saya bilang, “ada, ambil aja tuh di rak.” Galih mengambil gula yang ada di rak
dekat dengan lemari baju.
Belum sempat
untuk kosentrasi datang lagi tamu, kali ini Fandi. “Bang pinjem buku Psikologi
Komuniksi donk.”
“Tuh...” tunjuk
saya pada buku yang tergeletak dikasur.
Fandi masuk
kamar. Saya pikir setelah mengambil buku dia akan langsung pergi, ternyata dia
malah tiduran di kasur saya. “Lagi ngerjain skripsi ya bang?” tanya dia yang
sedang membuka-buka buku.
“Nggak nih. Lagi
bacok-bacok es batu,” balas sayang dengan ketus. Saya berharap dengan nada yang
jutek membuat dia sadar dan segera hengkang.
“Ouh..... Eh
bang, saya lagi bingung sama komunikasi interpersonal nih,” Fandi memulai
curhatnya. “Koq bisa ya bang, dengan kata-kata orang bisa mempengaruhi orang?”
tanya Fandi yang masih membolak balikkan buku. Fandi ini mahasiswa komunikasi
juga tetapi beda kampus dengan saya.
“Semua jawaban
ada di buku itu,” jawab saya singkat, sambil memandang layar laptop dan
berusaha konsentrasi. Tetapi sia-sia saja, saya tidak bisa memusatkan pikiran
saya pada skripsi gara-gara terganggu kedatangan Fandi dan kayaknya dia bakal
lebih lama. Lebih baik saya usir dari pada saya terganggu. “Dek Fandi. Abang
lagi mau kosentrasi ngetik ya. Bisa nggak tutup pintu kamar abang dari luar,”
ucap saya dengan halus untuk mengusir Fandi.
“Heheheehe,” Fandi
terkekeh mendengar kata-kata pengusiran dari saya. “Maap ya bang,” kata dia
sambil meninggalkan kamar. Tak ketinggalan menutup pintu kamar dari luar.
Semua sudah aman
dan terkendali. Jari saya kembali menari dengan lincah diatas tombol-tombol
hurus. Sudah tidak ada gangguan lagi dari teman-teman kost yang bertandang ke
kamar. Mungkin ini sudah menjadi peraturan tak tertulis, bila pintu kamar
tertutup itu tandanya sang penghuni kamar tidak mau diganggu.
Lumayan sudah
beberapa halaman yang berhasil saya revisi sesuai perintah dari Pak Rahmat.
Masih ada berlembar-lembar lagi yang perlu diperbaiki. Sebenarnya hampir semua
halaman bab 3 perlu direvisi. Gara-garanya ada banyak data yang nggak lengkap,
jadi perlu ada perombakan total. Inilah derita saya, hanya karena nggak teliti
sedikit tetapi banyak sekali dampaknya seperti mungulang dari awal. Untungnya
data yang saya butuh dengan mudah bisa didapatkan.
Satu jam
kemudian, rasa kantuk itu mulai menyerang. Rasa bosan itu menghinggap. Mata ini
berkunang-kunang melihat huruf-huruf dilayar laptop. Saya memutuskan untuk
istirahat sebentar. Tidur bukanlah cara yang tepat mendinginkan otak, bisa-bisa
saya tertidur dengan pulas dan malam ini gagal untuk menyelesaikan skripsi.
Pelarian
mengusir kepenatan ini dengan chating. Saya bertekad chatingnya hanya beberapa
menit saja. Saya membuka aplikasi chating yang ada di laptop. Seketika itu juga
saya terjun pada obrolan dunia maya. Meski sudah lewat tengah malam tapi masih
saja ada teman-teman yang on line. Jika mereka on line untuk mengisi waktu
insomia, saya chating untuk hiburan. Dengan chating saya dapt melupakan sejenak
skripsi.
Tanpa terasa
hampir dua jam saya chating dan saya benar-benar lupa kalau saat ini seharusnya
mengerjakan skripsi. Obrolan dichat room sangat mengasyikan sampai lupa waktu.
Saya tau mereka hanya ada di dunia maya dan pastinya nggak bisa bantu saya
secara langsung dalam skripsi. Tetapi mereka bermanfaat sebagai pelarian.
Sedang
seru-serunya chating tiba-tiba salah satu teman chating ada yang mengintkatkan
saya agar kembali berkutat dengan skripsi. Dengan enggan saya meninggalkan chatroom. Mata saya terbelalak karena
jam dinding menunjukan jam 2 lebih. Saya kembali bertekad untuk bergegas menyelesaikan
skripsi ini. Sudah tidak ada waktu lagi untuk bersantai. Saya harus segera
mewujudkan impian yang masih tertunda.
Untuk mencegah
kantuk saya meminum kopi hitam pekat satu gelas. Pokoknya malam ini harus sudah
kelar. Saya ingat perkataan dari Fey beberapa waktu lalu “Kalau kamu nggak suka
ngerjain skripsi cobalah untuk menikmatinya.” Memang benar, ketika saya mencoba
menikmatinya serasa mudah untuk menggabungkan huruf demi huruf menjadi satu
kalimat, satu paragraf, dan satu bab.
Saking menikmatinya
sampai tak terasa saya berhasil menyelesaikan revisi tepat jam 4. Dalam hati
saya bersorak, saya berhasil menaklukan diri sendiri melawan rasa malas yang
selama ini menggelayut. Saya tau ini bukanlah akhir, masih ada hari-hari
berikutnya untuk menyelesaikannya. Paling nggak malam ini saya berhasil
merampukan sebagian tugas. Mimpi saya masih terhampar didepan mata, dan saya
berharap bisa segera mewujudkannya. Semangat untuk hari esok!!! Saya tertidur
pulas bermimpi menjadi seorang wartawan yang handal.
No comments:
Post a Comment