Sofi sudah cukup
jengan dengan omongan ibunya. Hampir setiap hari ibunya menanyakan calon suami.
Jangankan calon suami pacar aja belum punya. Hal ini yang membuat Sofi frustasi
kalau ibunya telpon. Semoga saja rengekan dari ibu cepat berlalu karena
sebentar lagi Sofi akan bertemu calon suaminya berkat acara perjodohan. Sofi
rela datang dari Jogja ke Denpasar hanya untuk acara ini.
Sebenarnya Sofi
belum tau siapa yang akan di jodohkan, dia hanya sebatas tau dari foto yang
diperlihatkan Tara. Rencanya berapa jam lagi Sofi akan bertemu calon suaminya
(semoga saja jadi) di sebuah restoran di Renon. Sekarang Sofi sedang bersiap,
dandan yang cantik untuk memikat calon suaminya. Tara juga sedang bersiap
menyiapkan diri, meratakan bedak.
“Tar, kamu yakin
dia pas buat ku? Sebenarnya udah berapa lamu kenal? Terus dia orangnya baik
nggak?” rentetan pertanyaan dari mulut Sofi menyembur kepada Tara. Nampaknya
Sofi belum siap perjodohan ini.
“Udah lumayan
lama kenal koq sama dia malah sebelum kamu. Untuk pertanyaan ketiga dia orang
baik-baik, dia pernah cerita bibit bobot bebetnya. Pertanyaan pertama, aku lah
yang selalu pas untuk mu Sof,” Tara menjawab satu persatu pertanyaan Sofi,
meski masih sibuk meratakan bedak.
Sofi menatap
dirinya sendiri di depan cermin. Di benaknya masih belum yakin atas acara
perjodohan yang direncanakan Tara. Tubuh agak chuby yang selalu membuat Sofi
minder untuk berkenalan dengan cowok. Padahal itu hanya asumsi sesat pikiran
Sofi. Menurut banyak orang badan Sofi nggak gemuk. Biasalah cewek selalu merasa
dirinya selalu gemuk, dan bila sudah gemuk menganggapnya nggak cantik.
Tetapi kali ini
dirinya pasrah saja, nggak ada salahnya untuk dicoba, toh ini baru ajang
perkenalan saja. Sudah cukup bikin stress dengan perdebatan dengan ibunya.
Paling nggak, nanti sudah bisa menjelaskan dirinya telah bertemu cowok yang
mungkin nanti jadi suaminya. Dan semoga saja dengan penjelasan seperti itu
mulut ibu bisa terbungkam.
“Kamu sendiri
yakin nggak?” tanya Tara.
Lamunan Sofi
buyar. “Aku sih nggak yakin, tapi aku cuma sudah pasrah saja. Liat ntar juga
lah,” seadaanya saja Sofi menanggapi Tara.
Sebenarnya malas juga buat membahas yakin atau tidak karena Sofi sendiri
masih ragu rencana gila ini. Kalau saja bukan karena ocehan ibunya pasti nggak
ada terjadi acara seperti ini.
“Percaya dech.
Masalah kamu itu bakal kelar. Kamu ketemu jodoh kamu, sekaligus emak mu itu
nggak bawel lagi,” Tara berusaha meyakinkan Sofi.
“Aku sudah
ketemu jodoh ku! Kamu tau itu kan Tar?” nada Sofi meninggi, dan sedikit nyolot
terhadap Tara.
“Terus ini
gimana, jadi nggak?” Tara jadi ikutan kesal.
Sofi hanya
mengangguk lesu. Tanganya masih sibuk merapikan rambutnya. Meski agak nggak
yakin juga apa yang barusan dikatakan telah menemukan jodohnya. Tapi dirinya masih
dikatakan jomblo oleh ibunya. Semuanya masih absurd, tak ada yang bisa di
yakini.
Tara memandang
Sofi, ada rasa menyesal juga membalasnya dengan keras juga. Tadi hanyalah emosi
sesaat. Sebenarnya Tara juga kalut, permasalahan yang dihadapi hampir sama.
Semua adiknya sudah menikah tinggal dirinya, tentu pertanyaan “kapan menikah?”
menghantui terus Tara. Tetapi Tara sendiri nggak ambil pusing.
“Maaf ya Sof,
ini buat kebaikan kamu juga kan?” Tara bersimpati pada Sofi sambil melempar
senyum.
“Its ok Tar.
Semoga semuanya lancar.”
“Tapi menurut
kamu gimana diliat dari foto?”
“Hhmmmm,” Sofi
mencoba memikirkan sesuatu. “Nice lah sesuai kriteria kalau dari fisik. Semoga
aja kelakuannya baik,” komentar Sofi sambil berharap.
“Pastinya donk.
Aku sayang kamu Sof. Aku nggak mau jatuh ke tangan yang salah,” sekali lagi
Tara meyakinkan Sofi, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sofi sudah agak
tenang ketika Tara mengatakan seperti itu. Selama ini Tara orang yang paling
dekat dengan Sofi. Mereka kenal sudah lama sekali sejak masih kuliah, apalagi
mereka dulu satu kost. Apa yang dimau Sofi pasti Tara memahaminya, begitu juga
sebaliknya. Mereka sudah mengenal luar dalam.
“Tar, kamu yakin
dengan cara ini hubungan kita baik-baik saja?” Sofi masih saja ragu, semua
penjelasan dari Tara ternyata belum sepenuhnya membuat tenang. Dengan yakin
Tara mengangguk agak kencang. Hal itu dilakukan agar nggak ada lagi pertanyaan
keraguan muncul dari Sofi.
Sekarang mereka
sudah siap pergi. Sofi tampak anggun dengan gaun pendek berwarna krem tanpa
lengan. Tidak ketinggalan high heelsnya putihnya ukuran 12cm semakin
memperlihatkan kaki Sofi yang jenjang. Untuk Tara mengenakan gaun berwarna hitam
dan rambutnya disasak. Ini adalah acara makan malam istimewa jadi harus tampil
istimewa juga. Dari awal yang baik pasti akan berkelanjutan baik juga.
Sepanjang
perjalanan perasaan Sofi tidak tenang seperti ada yang mengganjal tetapi Sofi
sendiri pun tidak memahami apa yang mengganjal dipikirannya. Perjalanan dari
hotel yang berada di Sunset Road menuju sebuah restoran didaerah Renon,
dihabiskan dengan melamun. Sofi sedang membayangkan tampang, kelakuan, dan
berbagai macam hal lainnya mengenai calon suaminya.
Sesamapainya di
restoran Sofi dan Tara bergegas berjalan cepat karena orang yang akan ditunggui
ternyata sudah datang lebih dahulu. Memang sih sudah pesan tempat jauh-jauh
hari untuk acara yang spesial ini. Langkah mereka semakin mendekat. Dari luar
tampak restoran tersebut sepi hanya ada beberapa bule yang sedang makan dan
beberapa pula orang lokal.
Tara celingak
cerlinguk di dalam restoran mewah tersebut mencari orang yang dicari.
Dibelakagkangnya ada Sofi yang terengah-engah karena berjalan dengan cepat,
apalagi susahnya minta ampun pakai sepatu hak yang terlalu tinggi buat Sofi.
Senyum Tara megembang ketika melihat orang yang dimaksud. Tangan Tara
menggandeng Sofi yang sedang kesusahan mengatur nafas.
Belum stabil
nafas Sofi sekarang malah bertambah sesak ketika sudah dihadapan dua cowok yang
ditemuinya. Bibir Sofi kelu, susah untuk berbicara mendapati kejutan sama
sekali nggak pernah terbayangkan. Tapi Tara tidak menyadari itu.
“Hai.... Sory
kita telat, biasalah cewek ribet dandannya,” kata Tara memaparkan alasannya
kenapa sampai telat. “Oh ya kenalin ini pacar ku Sofi,” ucap Tara sambil
tangannya menunjuk ke Sofi.
“Udah kenal
koq,” jawab santai pria yang memakai blazer hitam dihadapan Tara yang sedang
duduk, tanpa ketinggalan senyum jail. “Oh ya, kenalin juga ini Bagas pacar ku,”
pria tersebut memperkenalkan pacarnya yang ada disebelahnya.
“Kenal dari mana?”
tanya Tara sambil duduk . Di ikuti Sofi duduk disebelah Tara.
“Aji ini sepupu
ku, Tar,” Sofi menjelaskan dengan ketus. “Jadi kamu mau jodohin aku sama
sepupuku sendiri Tar?” tanya Sofi yang wajahnya masih di tekuk karena kesal.
Di sebrang Tara
ada senyum jail mengembang dari bibir Aji. “Nggak nyangka ternyata sepupu ku
lines,hehehe.”
“Ishhh, jangan
gitu donk,” Bagas mencoba meredam kejailan pacarnya, Aji.
“Alahhh kamu
juga maho,” Sofi malah membalas ledekan Aji.
Tiba-tiba saja
Sofi baru menyadari foto yang di tunjukan Tara beberapa waktu lalu berbeda apa
yang dihadapannya. Bukan pula Aji dan Bagas, lalu siapa yang ada di dalam foto
itu? Apa Tara membohongi pakai foto orang lain? Pokoknya harus segera
diselesaikan masalah ini. Sofi sudah cukup kesal bertemu sepupunya, apa kata
dia nanti kalau membocorkan pada ibunya kalau Sofi berpacaran dengan Tara. Otak
Sofi sudah buntu, rasanya ingin marah telah ditipu oleh orang disangnya yaitu
Tara.
“Kamu tega ya
Tar!! Udah bohongin aku!!” kata Sofi sengit.
“Bohongin apa?”
Dahi Tara mengernyit, belum mengerti maksud dari Sofi. Aji dan Bagas menatap
bengong melihat reaksi Sofi yang berlebihan. Padahal Aji itu hanya bercanda
tetapi Sofi menanggapi beda.
“Pertama kamu
nggak bilang, yang kita temui Aji. Kedua mana cowok yang fotonya kamu tunjukan
berapa hari lalu?” Sofi masih saja berang.
Tara lekat-lekat
mendengarkan Sofi. Begitu Sofi selesai berbicara, Tara tidak langsung
menanggapi malah tertawa. Terang saja Sofi semakin berang, bukannya menjelaskan
malah tertawa terbahak-bahak. Aji dan dan Bagas hanya tersenyum-senyum karena
sudah paham atas kesalahpahaman Sofi.
“Sori....sorriiii.”
Tara mengatur nafasnya untuk mengontrol rasa geli melihat Sofi marah nggak
jelas. “Aku nggak tau kalau Aji itu sepupu mu, kamu juga nggak pernah ngenalin
Aji ke aku. Lalu foto yang aku tunjukin itu Bagas.”
“Bagas?” seakan
Sofi masih belum percaya. Wajah Sofi mendekat ke Bagas dan memandang penuh
selidik. “Tapi beda banget sama yang ada di foto, Tar.”
Kali ini Bagas
dan Aji yang tertawa melihat Sofi yang kebingungan sekaligus menahan marah.
“Gini Sof. Foto yang kamu lihat itu beberapa hari lalu setelah Bagas cukur
jenggotnya. Sekarang brewoknya udah banyak lagi.” Bagas menjelaskan dengan
sabar.
Belum tuntas
rasa penasaran. Wajahnya kembli mendekati muka Bagas yang ada hadapannya.
Dengan teliti memeriksa setiap inci wajah Bagas yang tampak gagah karena ada
brewoknya. Tetapi setelah diperhatikan secara seksama ada kemiripan di mata dan
bibir antara Bagas dengan yang di foto.
Tangan Aji
mengahalau pandang Sofi yang sedang serius menatap Bagas. Lalu mengucapkan,
“Hus jangan kelamaan liat pacar ku nanti kamu naksir,hhhhh.” Bagas hanya senyum
saja melihat kelakuan jail Aji, mungkin sudah terbiasa Bagas di jahilin Aji.
Sofi sih sering juga kena jahil Aji tapi kan dalam kondisi yang berbeda pula.
Sofi langsung
duduk lagi. Sepertinya udah agak percaya kalau yang di depan adalah “calon
suami”nya. Fikiran Sofi kembali melayang orang yang ada di hadapanya adalah
bakal yang menjadi suaminya kelak, ya kalau jadi rencana gila itu. Dari pada
terus membanyangkan yang tidak-tidak Sofi langsung to the point pada
permasalahan.
“Jadi, Bagas ini
yang akan menjadi suami ku?” tanya Sofi tenang tetapi bernada agak mengejek.
Tara hanya
mengangguk. Aji sendiri tersenyum manis. Namun Bagas tidak terima atas
pernyataan sekaligus pertanyaan dari Sofi, “Belum pasti juga Sof, aku jadi
suami mu. Ini kan baru rencana yang menurut ku sedikit gila!! Slow down, kita
omongin bareng-bareng dengan pelan,” Bagas menanggapi dengan tenang, karena tau
Sofi masih belum bisa menerima rencana ekstrim ini.
“Iya, Sof.
Kemarin itu aku ngobrol-ngobrol sama Aji and then tercetuslah ide “kamuflase”.
Sekarang ini kita disini ngomongin mekanisme kamuflase,” Tara ikut menambahkan
omongan Bagas sekaligus memperjelas duduk permasalahannya.
Sofi semakin
pusing mendengar kata “mekanisme kamuflase”. Padahal dirinya juga belum
menyetujui ide ini. Dirinya hanya tau diajak Tara untuk ketemu yang mungkin
sapa tau jadi suaminya. Hanya untuk berkenalan saja, tidak lebih dari itu.
Tetapi sekarang yang ada dihadapinnya sudah menuju tahap mekanisme, seakan-akan
rencana ini akan segera dijalankan. Merasa terjebak itulah perasaan Sofi.
Terjebak suatu keadaan yang absurd.
MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase
No comments:
Post a Comment