Malam ini Nanda
akan melakukan balas budi pada seseorang yang nggak dikenalnya. Berkat orang itu
Nanda lolos dari maut. Cuma yang jadi masalah Nanda tidak tahu orang itu
tinggal dimana.
Nanda hanya
mengingat dirinya kecelakaan di jalan
arteri dekat daerah Kali Banteng. Dirinya ditolong oleh seorang remaja, dia
yang mengantarkan Nanda sampai rumah sakit dengan mengendarai motor. Kunci
motor Nanda pun dititipkan pada perawat rumah sakit. Nanda memenggapnya sebagai
malaikat betapa baiknya dia. Bila saja dia memang ada niat jahat bisa membawa
lari motor Nanda. Sebagai rasa terima
kasih Nanda bertekad untk membalas budi. Namun remaja itu sekarang entah ada
dimana, yang Nanda tau dia adalah anak punk.
Pencarian itu
dimulai dari sekitar jalan arteri, tetapi tidak ada, di lanjutkan ke Kali
Banteng hasilnya nihil juga. Beberapa kali Nanda memutari Tugu Muda, sama saja
suasananya sepi tidak ada anak jalanan. Tujuan selanjutnya jalan Pemuda sebelum
pasar Johar, ada beberapa kerumunan anak punk di terotoar. Nanda turun dari
mobilnya mencoba mendekati kerumunan anak punk tersebut, ternyata tidak ada
juga remaja yang di carinya. Kata mereka, kelompok punk lainnya suka ngumpul di
kawasan kota lama dekat stasiun Tawang.
Nanda bergegas
menuju Stasiun Tawang yang tidak jauh dari Pasar Johar. Baru sampai jembaan
Berok yang menju Kota Lama ada sekumpulan anak punk. Semoga ada anak tersebut,
harapan Nanda. Dari luar mobil Nanda mengamati gerombolan tersebut. Ada seorang
anak punk yang sadar kelompoknya sedang diamati, lalu anak tersebut menghampiri
Nanda.
“Ngopo mas
ndelok-ndelok –kenapa mas liat-liat-?” tanya anak itu penuh selidik.
Nanda jadi kaget
melihat reaksi anak itu yang biacaranya keras. “Nggak ada apa-apa saya sedang
cari anak punk, tetapi saya nggak tau namnya siapa,” jawab Nanda terus terang.
“Lah arep ngopo
karo de’e –mau ngpain sama dia-? anak punk tersebut semakin menelisik.
“Ada perlu sama
dia,” jawab singkat Nanda agar tidak semakin jauh perecakapannya. Nanda juga
sudah bersiap untuk meninggalkan kerumunan.
Langkah Nanda
terlambat karena anak tersebut mengeluarkan sebuah pisau, lalu di todongkan di
leher Nanda. “Ndi dompete -mana dompetnya-?“ keringat dingin Nanda mengucur
ketakutan, dirinya telah menjadi korban penodongan. “Cepetan!!” Anak tersebut
menggertak.
Tangan Nanda
gemetaran saat mencoba merogoh saku belakang calananya alhasil jadi meleset
terus. Sekalian buat mengulur watktu sambil memikirkan cara meloloskan diri,
namun tak ada ide yang menyangkut untuk kabur dari todongan pisau. Nanda
dikelilingi 5 anak punk jadi sudah tidak mungkin untuk meloloskan diri.
Disaat dompet
akan diserahkan, terdenger suara langkah lari yang menuju kerumunan tersebut,
tetapi Nanda tidak bisa lihat siapa yang datang karena terhalang para
berandalan. Salah satu dari mereka ada yang mengok, “Ono macan –ada macan-.”
Seketika itu juga mereka langsung lari tunggang langgang. Dalam batin Nanda
“Mampus sudah, para kucing ini lari malah yang datang macan pasti akan lebih
buruk.”
Langkah kaki itu
semakin medekat, dalam imajinasi Nanda pasti yang akan datang itu seorang
preman yang tinggi dan besar. Ternyata yang ada dihadapan Nanda seorang anak
remaja badannya sedang dan tidak begitu tinggi.
“Loh om koq
disini ngapain?” tanya anak itu heran.
“Syukurlah kamu
datang tepat pada waktu. Aku jadi hutang budi kamu dua kali.” Nanda segera
mengenali anak yang hadapannya.
“Its ok. Tetapi
kenapa om disini? dan kenapa berurusan sama anak-anak itu?”
“Saya sedang
cari kamu, saya mau membalas budi.”
Dahi anak itu
mengernyit, ”Balas budi untuk apa?”
“Pertama kamu
telah menolong aku waktu kemarin kecelakaan. Lalu sekarang kamu nolong aku
lagi.”
“Ouh itu, aku
iklas koq om. Beneran, sumpah!! Jadi nggak ada balas budi segala,” anak punk
ini menolak dengan halus.
“Tapi beneran
aku nggak enak sama kamu kalo kayak gini. Aku Cuma ngajak kamu makan malam di
rumah ku aja koq. Ayolah mau ya?” Nanda memohon sebenarnya sih memaksa.
“Baik lah.” Anak
itu menyanggupi ajakan dari Nanda.
Keduanya naik
mobil, lalu kembali berjalan menuju rumah Nanda yang ada di kawasan Papandayan.
Anak disebelah Nanda terlihat bajunya kumal tetapi yang buat heran kulitnya
bersih berwarna coklat terang. Berbeda dari para gelandangan lainnya yang
terlihat kotor. Jelas terlihat berbeda dengan gelandangan lainnya adalah
kelakuan dia yang baik hati.
“Oh ya nama kamu
siapa?” tanya Nanda.
“Bima, om.”
“Aku Nanda,
selamat kenal,” cetus Nanda. Bima hanya membalas dengan anggukan.
Sepanjang
perjalanan mereka hanya diam. Mungkin masih ada perasaan canggung untuk
mengobrol bagi Bima. Namun buat Nanda semua pertanyaan itu akan dimuntahkan
kalau sudah di rumah dan dalam kondisi santai. Diam-diam Nanda mempehatikan
Bima, dia bukan seperti anak punk lainnya meski memakai baju serba hitam tetapi
rambut dia tidak dibuat dengan gaya Mohawk. Sekilas Nanda melihat ada
smartphone di tangan Bima, pasti bukan anak punk biasa. Nanda menduga apa itu
hasil dari rampasan, tetapi sepertinya bukan karena dia bukan berandalan yang
nakal. Bila mau berbuat nakal bisa saja waktu kecelakaan Bima merampok dompet
atau motornya.
Akhirnya sampai
juga setelah 30 menit perjalanan. Sesampainya dirumah, Nanda memerintahkan
pembantunya untuk menyiapkan makanan. Sembari menunggu makanan disiapkan Nanda
mengajak ngobrol Bima.
“Kenapa waktu
itu kamu mau menolong saya?” Hal inilah yang selama ini menjadi pertanyaan
besar di benak Nanda.
“Waktu itu cuma
inget kakak. Dulu pernah kecelakaan motor dan akhirnya meninggal,” jawab dia. Kepalanya
tertunduk.
“Ouh, maaf. Tapi
makasih banget kamu udah nolongin saya.” Nanda jadi bersimpati pada cerita Bima
soal kecelakaan kakaknya. “Kalau boleh tau kecelakaan kenapa?”
“Biasalah
remaja, dia suka balapan liar. Di rumah nggak ada yang perhatiin.” Kepala Bima
mendongak tetapi tatapannya kosong seperti menerawang, membayangkan kakaknya
yang sudah meninggal.
“Sebelumnya
minta maaf. Saya mau tanya tetapi kalo Bima tidak berkenan untuk menjawabnya
nggak apa.”
“Tanya aja nggak
apa koq.”
“Kenapa waktu
itu setelah nolong saya motornya nggak di ambil aja?” Nanda langsung pada pokok
pertanyaan.
Bima menengok
kearah Nanda yang ada disebelahnya. Wajahnya memerah, sepertinya dia sedang
berusaha menahan marah. “Saya memang anak jalanan tetapi saya tida mau menjadi berandalan,”
intonasi Bima agak naik mungkin karena tersinggung pada pertanyaan Nanda. “Saya
juga ingin mendapatkan uang yang halal untuk tubuh ku ini.” Pada kalimat yang
kedua nadanya tidak setinggi yang pertama.
Keduanya kembali
membisu. Nanda takut kalau pertanyaan berikutnya akan kembali membuat dia kesal
bisa jadi dia malah kabur. Bima sendiri masih kesal kenapa hal itu di ungkit
lagi padahal sudah dijelaskan waktu awal kalau dirinya adalah anak jalan yang
berbeda dari yang lain. Tapi sudahlah namanya juga baru kenal pasti banyak hal
yang belum diketahui. Bima juga tidak ingin merusak suasana malam ini dengan
pertengkaran.
Pembantu Nanda
memberitahu makanan sudah siap santap. Nanda mengajak Bima menuju ruang makan
yang tidak begitu luas tetapi punya pemandangan yang indah karena langsung
menghadap kelip lampu kota Semarang yang ada dibawah. Rumah Nanda ada di tepi
tebing jadi bisa terliahat pemandangan kota Semarang.
Dimeja makan
mereka duduk berhadapan.
“Asal kamu dari
mana Bim?” Nanda memulai obrolan untuk mencairkan suasana.
“Dari Jogja om,”
Bima hanya menjawab dengan singkat.
“Udah lama jadi
tinggal dijalanan?” tanya Nanda hati-hati.
“Belom sih om,”
masih saja Bima menjawab dengan singkat.
“Pantas saja
kulitnya bersih, kirain ikut perawatan,hehehe” Nanda mencoba bercanda agar
tidak terlalu tegang.
Bima hanya
tersenyum, setelah dia selesai mengunyah diar baru ngomong. “Aku baru dua tahun
om tinggal dijalanan. Perawatan sih nggak hanya rajin mandi saja dan jarang
keluar siang.”
“Udah lumayan
lama donk di jalanan. Tapi bagus lah walau tinggal dijalanan tetap jaga
kebersihan.”
“Inilah kenapa
aku berbeda dengan yang lain om. Aku nggak mau jadi anak jalanan seperti yang
lain kumal, kotor, dekil dan lain-lain itu. Wajib untuk menjaga kebersihan biar
tetap sehat.”
Nanda jadi
terperangah mendapat jawaban Bima yang panjang mengenai konsep hidupnya dalam
kebersihan. Hal ini membuat Nanda semakin penasaran siapa sebenarnya Bima. Rasa
keinginan tahuan Nanda membuat nafsu untuk terus mengorek siapa sebenarnya
Bima. Sepertinya dia dari kalangan yang berada sebelum turun kejalanan.
“Kalau boleh tau
kenapa Bima keluar dari rumah?” sekali lagi Nanda bersiakap hati-hati karena
memumulai dengan topik percakapan yang baru dan sensitif.
“Hmmm” Bima
menggumam tanda sedang ragu untuk memutuskan akan bercerita atau tidak.
Kemudian Bima kembali mengluarkan suara lagi. “Hhhmm soalnya…..” Bima kembali
memotong ceritanya. Terlihat Nanda sudah antusias akan mendengar cerita yang
seru. Bima jadi tidak enak kalau membatalkan untuk tidak bercerita, “Aku hanya
nggak betah ajah dirumah gimana ya….., pokoknya nyebelin gitulah.”
Nanda bernafas
lega karena Bima sudah mau terbuka pada dirinya. Tetapi setelah mendegar cerita
dari Bima, jadi nggak enak hati karena seperti membuka luka yang mungkin perih
buat Bima. “Kenapa begitu?”
“Aku jujur ya
om. Aku anak orang kaya. Tapi…,” ucapan Bima terpotong.
“Om tau koq,”
Nanda menanggapi dengan enteng karena dugannya benar.
“Dari mana om
tau?”
“Tuh kamu punya
smarthphone.” Nanda menunjuk smarthphone yang ada di meja.”
Bima tersenyum
kecut sambil memasukan smarthphonenya kedalam saku baju. “Meski aku anak orang
kaya. Tapi sepertinya orang tua nggak pernah menganggap punya anak,” suara Bima
tercekat diakhir kalimatnya dan ingin memperbaikinya. “Aku sama kakak seperti
nggak pernah dapat perhatian dari mereka. Tugas mereka cuma memberikan materi
setiap bulan, kita dikasih uang jutaan tapiiii….” Bima tidak sanggup lagi untuk
bercerita lebih banyak. Nafsu makannya hilang seketika ketika mengingat orang
tuanya.
Nanda memandang
Bima dengan iba. Namun Nanda masih saja menanyakan hal yang sensitive. “Terus
apa yang membuat mu keluar dari rumah?”
“Aku benci sama
ayah,” intonasinya meninggi seperti ada kemarahan yang tertahan. “Waktu lulus
SMP aku ingin melanjutkan ke SMK seni tetapi dilarang dengan alasan nggak
jelas. Aku dimasukan sekolah favorit, dan distu aku di bully. Aku lapor ke ayah
tetapi ayah menganggapnya hanya sebagai kenakalan remaja.” Tampak ada sorotan
mata yang marah dari Bima.
“Kamu nggak
bilang sama ibu?”
“Sama kayak
ayah. Mereka itu jarang ada di rumah. Ayah keluar kota urusan bisnis sedang ibu
layaknya ibu-ibu sosialita hobi jalan sana sini nggak jelas. Dari situ aku
berfikir apa bedanya aku dengan anak jalanan, sama-sama nggak dapat perhatian
dari siapapun. Pikiran itu muncul setelah kakak meninggal, satu-satunya orang
yang perhatian sama aku pergi.” Emosi
Bima mereda ketika membicarakan kakaknya. “Kakak meninggal juga karena mereka.
Tidak ada yang memperhatikannya. Yang buat heran setelah kepergian kakak,
mereka nggak sadar, tetap saja mereka sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Terus kamu
memutuskan untuk pergi dari rumah?” Nanda masih saja belum puas cerita dari
Bima karena belum menemukan jawaban yang tepat.
“Iya, palingan
mereka juga nggak peduli kalau aku pergi. Di rumah aja nggak pernah dianggap
ada, pasti ya kalau pergi mereka nggak peduliin. Buktinya kakak meninggal
mereka masih cuek saja.”
“Setelah sekian
tahun kamu meninggalkan rumah. Apa kamu masih marah sama orang tua mu?”
“Rasa marah ada,
tapi….” Bima masih ragu akan ucapannya dan nampaknya akan memperbaiki namun
masih mencari-cari kata yang tepat. “Bukan gitu, mungkin sekarang sudah nggak
marah tetapi rasa kecewa itu masih membekas, jika ingat kakak gejolak marah itu
bangkit lagi.” Bima menghembuskan nafas panjang di akhir perkataannya
menganggap sudah benar apa yang barusan diucapkannya.
“Emang orang tua
kamu nggak pernah dirumah sekalipun?” Nanda masih saja menelisik kondisi
keluarga Bima.
“Aku ketemu ayah
sama ibu itu jarang banget om. Kadang seminggu tiga kali, malah pernah sebulan
cuma sekali, itu pun hanya sebentar aja. Misalnya mereka seminggu dirumah, kita
ketemu pas sarapan. Rasanya seperti sarapan direstoran, hidangan tersaji dengan
lezat tapi kita makan bersama orang yang nggak dikenal, karena diam seribu bahasa.
Kadang ada obrolan sih tapi juga bukan obrolan keluarga, malah membahas keadaan
ekonomi yang memburuklah, anggota DPR korupsi. Nggak pentingkan?”
Nanda tidak
menaggapi pertanyaan itu. “Kamu sekarang umur berapa?”
“Baru 17, aku
keluar rumah kelas 10, harusnya sekarang udah kelas 12.” Bima malah menjelaskan
lain, tapi tak apalah tandanya dia sudah benar-benar terbuka.
Rasa puas Nanda
baru setengahnya saja karena Bima sudah komplit menjelaskan alasan kenapa dia
bisa keluar dari rumah. Semakin iba mendengar cerita Bima. Remaja sebelia itu
sudah mendapatkan banyak masalah. Maaf diralat masalahnya sedikit tetapi karena
kurang perhatian dan merasa kesepian. Dia hanya mencari dunianya di luar tembok
keluarga.
Rencana awal
setelah makan malam usai Nanda akan mengantarkan Bima ke tempat awal bertemu,
namun niat itu ditunda karena Nanda masih penasaran kehidupan Bima di jalanan.
Sepertinya bakal ada yang lebih menarik lagi mendengarkan cerita putualangan
Bima. Sekarang Nanda menggiring Bima ke teras rumah dengan pemandangan kelip
lampu kota Semarang. Sengaja Nanda membawa kesini agar lebih santai untuk
bercerita.
Di teras mereka
duduk bersebelahan yang dipisah meja kecil untuk menaruh minuman dan cemilan
yang sudah disediakan oleh pembantunya Nanda. Terlihat Bima mengagumi
pemandangan yang ada hadapannya, akan tetapi tatapannya kosong seperti
memikirkankan sesuatu.
“Hei, koq
ngelamun,” Nanda membuyarka lamunan Bima. “Mikirin apa emang?”
“Cuma kangen
sama kakak aja. Entahlah berapa hari ini selalu mimpi kakak,” Bima menjawab
pertanyaan Nanda. Matanya masih kosong.
“Itu berarti
kakak pengen di tengokin Bima,” Nanda menanggapi seadanya saja.
Sekilas senyum
Bima mengembang, “Gitu ya? udah lama juga sih nggak ke kuburan kakak.”
“Kamu deket ya
sama kakak?”
“Nggak juga sih,
tapi waktu kecil selalu main sama dia.”
“Oh ya gimana
rasanya setelah Bima ada di jalanan?” Nanda membelokan topik karena masih
penasaran kisah Bima di jalanan.
Sebelum memulai
cerita, Bima minum teh hangat terlebih dahulu. Mungkin sebagai pelumas kerongkongan
,dan bisa jadi bakal ada cerita yang panjang. Disamping Bima ada Nanda yang
antusias siap mendengarkan aksi petualang dari Bima.
“Apa yang kamu
rasakan setelah keluar dari rumah?” Nanda mengulang pertanyaan lagi.
“Pertama
bingung, mau ngapain juga dijalanan. Tetapi aku merasa bebas,” Bima memulai
ceritanya, diakhir kalimat ada senyum kemenangan. “Saya sempat terkatung-katung
berapa hari terus ada segerombolan anak punk ngajak gabung. Jadilah aku ikut
mereka keliling pulau jawa.”
“Bebas gimana?”
Nanda masih belum mengerti maksud “bebas” bagi Bima.
“Ya bebas, bisa
menjadi diri sendiri tanpa bayangan dari ayah.”
“Terus untuk
biaya hidup gimana?” tanya Nanda.
“Awalnya aku
pakai uang tabungan tapi saya nyadar lama-lama akan habis jadi mending di
simpen saja. Terus ya saya kerja ngamen atau jadi tukang parkir.”
“Bukannya di
jalanan itu hidupnya keras?”
“Dari situlah
saya sadar ,bully disekolah itu ternyata belum seberapa di banding dengan bully
di jalanan.” Wajah senang itu lenyap. Mungkin Bima masuk ke cerita kelamnya
lagi. “Di jalanan itu hidup lebih keras. Saya pernah, maaf bukan pernah lagi
tapi sering di palak waktu baru terjun di jalan.”
“Terus apa yang
kamu lakukan?”
“Siapa yang bisa
bertahan dialah harus berani. Saya nekat untuk melawan, awalnya babak belur tetapi
saya mencoba bangkit lagi dan terus berusaha menjadi penguasa.” Ingatan Bima
kembali kemasa lalu. Masih ingat betul ketika Bima habis menghitung uang hasil
jerih payah mengamen seharian tiba-tiba didatangi dua orang preman dengan
tampang beringas merampas uang yang ada ditangan Bima. Awalnya takut untuk
mengambil lagi namun perut sudah keroncongan dengan kenekatan Bima memungut
balok yang ada di dekatnya lalu mementung kedua preman tersebut. Itulah titik
balik dari keberanian Bima menantang kerasnya hidup.
“Berarti
sekarang kamu jago berantem donk?” Nanda penasaran kehebatan Bima.
“Nggak juga lah
om, saya berantem kalau terpaksa saja. Saya nggak ingin jadi pereman om.” Bima
hanya merendah. Memang tujuan Bima turun kejalanan bukan untuk jadi preman. Hidup
dijalanan menuntut jago berantem, hanya sekedar membela dan melindungi diri.
Nanda mengangguk
setuju dengan pemikiran Bima, meski hidup dijalanan tetapi tidak harus menjadi
preman. Masih banyak yang bisa dilakukan selain jadi preman. Nanda masih ingin
tau kegiatan Bima. “Maaf sebelumnya kalau kamu nggak jadi preman apa yang kamu
lakukan untuk dapetin duit?” Nanda menanyakan dengan hati-hati karena takut
akan menyinggung Bima lagi.
“Ya jadi seniman
jalanan.” Bima tersenyum pada Nanda tanda tidak tersinggung. “Awalnya saya jadi
pengamen terus pas di Bandung saya diajak teman ke rumah singgah. Dari situ belajar
main musik dan main teater juga.”
“Wih keren donk
jadi pemain teater, pasti sekarang jago acting,” puji Nanda untuk menyenangkan Bima
maksudnya sih biar Bima semakin terbuka.
“Dulu kan saya
maunya masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sekarang jadi SMK N 1
Kasihan) jurusan teater tapi bokap sama nyokap ngelarang. Terus pas di bandung
malah dapet latihan teater gratis.” Ada kesenangan dibalik suaranya, sepertinya
Bima telah menemukan dunianya.
Memang dari kecil
Bima suka sekali dengan akting semaking besar bertambah pula cinta dengan seni
peran. Bagi Bima sudah lelah menjadi dirinya saat itu yang terkekang oleh
kehendak orang tuannya, apa yang dimau orang tuanya harus dilaksanakan tanpa
memperhatikan apakah Bima menyukai atau tidak. Dengan berakting Bima menjadi
karakter orang lain sesuai dengan perannya atau Bima juga bisa menentukan peran
apa yang dimau terlepas dari Bima yang sesungguhnya. Di teater Bima bisa
melepas energi negatifnya bila sedang marah bisa mengambil peran antagonis yang
bisa membuatnya marah-marah secara nggak langsung.
“Bagus lah,
pernah manggung dimana aja?” Nanda masih saja bersemangat mendengarkan cerita,
seakan mengikuti petualangan bersama Bima. Nanda juga enggan berkomenatar
terlalu banyak karena takut salah ucap membuat Bima tersingnggung.
“Banyak sih om,
panggung kita tuh trotoar. Kita bermain teater mengeksprisikan kegetiran orang
pinggiran sebagai kritik sosial. Tapi sayang juga para pejabat busuk itu nggak
ngeliat yang ada malah kita diuber-uber Satpol PP. Untungnya dari dewan seni
Jawa Barat malah mendukung kita, kita sering diajak pentas keluar daerah. Dari
situ saya dapat uang meski cuma seberapa tapi cukuplah,” Bima menceritakan
pengalaman bermain teaternya dengan semangat.
Berkat teater
juga Bima setengah keluar dari dunia jalanan karena setiap malam sanggar
tersebut tutup jadi tidak bisa tiduran disitu. Latihan teater juga tidak setiap
hari kecuali kalau mau ada pentas. Tempat Bima berteduh lainnya adalah masjid
atau tempat umum apa saja yang bisa. Itulah dunia jalanan yang Bima lalui,
bersaing mencari tempat untuk berteduh. Sering kali disaat sudah mendapatkan
yang dirasa nyaman, di tengah tidur yang lelap di usir. Terpaksa Bima berpindah
tempat mencari lagi tempat yang dirasa nyaman.
Di luar cerita
kelam Bima yang berjuang mencari tempat yang nyaman untuk tidur Nanda sudah
sangat mengagumi Bima. Nanda melihat kegigihan Bima untuk mencapai mimpinya
menjadi seorang aktor meski mengorbankan hidup nyaman di istana megahnya di
Jogja. Nanda jadi berfikir, belum tentu dirinya dapat menjalani kehidupan liar
di jalanana apalagi diusia sebelia itu. Waktu seumuran Bima, Nanda malah sedang
memperssiapkan kuliah di luar negeri.
Lamunan Nanda
buyar ketika Bima menggilnya, “eh kenapa?”
“Nggak apa om
ngelamun gitu kirain gak dengerin aku.”
“Dengerin koq. Tadi
lagi merenung, aku belum tentu sekuat itu untuk hidup dijalanan. Jangankan di
usia kamu yang masih muda, sekarang pun saya belum tentu bisa melakukannya,”
Nanda memberi alasan sambil memandang kagum pada Bima.
Bima hanya
tersenyum kecil. “Siapapun bisa
melakukan kalau sudah kepepet dan nggak ada pilihan.”
Kata-kata yang
barusan di ucap Bima merasuk dikalbu Nanda. Memang benar apa yang dikatakan
Bima, jika sudah kepepet pasti kita bisa melakukan. Sering kita menyebutnya itu
adalah suatu mukzizat karena secara nalar manusia hal tersebut tidak bisa
dilakukan, tapi berkat Tuhan semuanya menjadi bisa. Nanda jadi merasa beryukur
waktu remaja nggak mengalami masalah sepelik yang Bima hadapi.
“Saya rasa berat
banget ya kehidupan kamu?” Nanda mengambil kesimpulan dari cerita Bima.
“Memang berat
tapi mau gimana lagi, ini udah jadi keputusan saya. Mau mundur nggak bisa, sory
bukan nggak bisa tapi saya nggak mau. Jadilah saya jalani dengan senang hati,”
Bima hanya memberikan tanggapan seadanya saja. Pada kenyataannya memang seperti
itu, jika hadapi dengan senang pasti nggak akan terasa berat.
Bima bangkit
dari tempat duduknya berjalan menuju kolam renang yang ada hadapannya. Tanpa
canggung lagi Bima melepas baju dan celana panjangnya lalu loncat ke kolam
renang. Dari kejauahan Nanda hanya senyum pada Bima. Membiarkan merasakan
sejuknya air kolam renang, sapa tau Bima bisa merasa lebih rileks. Bima
terlihat sangat senang, wajar saja kerena selama ini dia mandi ditempat umum
atau tetesan air hujan yang membasahi tubuhnya karena tidak mendapat tempat
untuk berteduh.
Sepertinya seru
juga ikutan gabung dengan Bima. Sapa tau dengan berenang dapat menyegarkan
pikiran, Nanda juga merasa penat dengan masalah yang dihadapi. Nanda bergegas
melepas bajunya lalu loncat ke kolam renang. Kedua orang tersebut sekarang
sedang bersenang-senang melepas kegundahan hatinya sementara.
Nafas Nanda
terengah-engah karena sudah tidak kuat lagi untuk lomba renang. Sekarang hanya
bersandar ditepian dinding kolam. Bima yang berdiri di seberang Nanda berenang
kembali menghampiri Nanda.
“Gimana udah
segar?” tanya Nanda.
“Lumayan om,
maklum belum mandi dua hari,hahahaha,” jawab Bima sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Saya mau tanya
lagi boleh nggak?” Nanda minta izin untuk bertanya, untuk menjaga perasaan Bima
yang mungkin merasa terintrogasi.
“Tanya aja,”
Bima mengizinkan Nanda, tanpa ketinggalan senyum itu mengembang lagi.
“Apa yang kamu
dapetin setelah hidup di jalanan?” raut wajah Nanda serius. Inilah inti dari
semua percakapan yang tadi berlangsung.
Bima tidak
langsung menjawabnya. Matanya menerawang kosong mungkin sedang mencari jawaban
yang tepat. Nanda juga memberi waktu pada Bima untuk memikirkan jawabannya.
“Hhhmmm,” sepertinya Bima sudah siap untuk menjawab pertanyaan. “Banyak sekali
pelajaran yang aku dapetin dari “perjalanan” hidup,” Bima terlihat senyum
sendiri. “Yang jelas saya bisa mersakan hidup sebenarnya berjuang keras untuk bertahan hidup. Memahami
kejamnya hidup ini. Mungkin itu semua jawaban klise. Saya banyak belajar dari
orang-orang yang saya temui. Pada awalnya saya merasa orang paling nelangsa
dengan kehidupan menjadi orang kaya tetapi haus kasih sayang, namun ternyata
apa yang kurasakann itu nggak ada apa-apanya dibanding mereka yang dari lahir udah jadi orang miskin.
Dari bayi mereka sudah merasakan
kejamnya dunia. Berkat mereka juga, saya belajar untuk bersyukur masih diberi
kehidupan walau dengan cara “seperti ini”.” Perkataan Bima bernada tegas seolah tegar telah
menghadapi berbagai macam rintangan dalam hidupnya.
“Waw,” hanya itu
tanggapan dari Nanda karena saking kagum dan bingung mau berkomentar apa lagi.
“Terus rencananya Bima mau ngapain lagi?”
Bima mengangkat
kedua bahunya tanda tidak mau melakukan apalagi, “belum tau om mau ngapain.
Pengen keluar bertualang ke kota lain lagi cari pengalaman lain pasti seru
dech.”
“Bima di Semarang
ngapain?”
“Ya itu cari
pengalaman kan kemaren abis dari Surabaya terus ngikut kereta nyampe sini.
Mampir ke rumah singgah yang di Semarang. Ternyata disini jauh berbeda
kegiatannya kurang, rencana sih mau disini dulu, mau bantu-bantu rumah singgah
biar lebih bagus lagi.”
“Ouh gitu bagus
lah… Semoga sih apa yang kamu usahakan bermanfaat, nanti saya bantu sebisanya,”
cetus Nanda tulus. Berkat Bima anggapan Nanda tentang anak jalanan telah
berubah. Awalnya Nanda berfikir semua anak jalanan itu pasti preman, namun Bima
telah merubah persepsi seperti itu. Ternyata masih ada anak jalanan yang baik
dan mau membantu orang lain untuk lebih baik lagi.
Kini keduanya
diam karena Nanda sudah kehabisan pertanyaan. Setelah semakin dekat dengan
Bima, ada keinginan Nanda untuk membantu anak jalanan. Mereka masih punya mimpi
untuk hidup lebih baik meraih mimpinya, tetapi mereka terkendala oleh biaya. Buat
makan saja susah apalagi untuk sekolah, jadi yang ada mereka mengubur
cita-cita. Mereka hanya bisa memandang orang-orang yang berlalulalang yang
dianggapnya telah sukses. Sebenarnya mereka bisa maju bila mereka punya
pendidikan tetapi sayangnya di Indonesia untuk menjadi berpendidikan harus
mengeluarkan uang yang banyak. Memang sekarang sekolah negeri gratis tetapi
mereka juga tidak bisa mengenyam pendidikan itu karena mereka di paksa orang
tuanya untuk bekerja, mengais rupiah untuk kebutuhan orang tuanya.
“Om tinggal
sendirian disini?” tanya Bima membuyarkan lamunan Nanda.
“Ehh, iya,
sendirian,” Nanda menjawab singkat karena kaget. “Sebenarnya cerita kamu hampir
sama yang saya alami,” ucap Nanda memulai cerita masa lalunya. “Saya merasa
terkekang nggak bisa ngapa-ngapain. Rasanya iri lihat teman bisa asik bermain
kesana kemari, sedangkan saya hanya di rumah belar dan mengikuti berbagai macam
kursus yang tak pernah kusuka.”
“Terus om
ngapain?” tanya Bima penasaran kisah dari Nanda.
“Ya nggak
ngapa-ngapain. Karena saya nggak bisa memberontak seperti kamu. Saya ikutin
saja apa kata orang tua,” suara Nanda lirih seakan pasrah pada keadaan yang
telah membelenggunya. Waktu itu Nanda hanyalah remaja biasa yang belum tahu
apa-apa jadinya menurut apa kata orang tua. Dirinya tidak berani memberontak
karena akan mendapat hukuman dan itu adalah suatu bencana buat Nanda. Dia
membayangkan bila hukumannya di usir dari rumah ,pastilah tamat riwayatnya.
Itulah imjanasi yang berlebihan dari masa remaja Nanda.
“Terus apa om
bahagia mendapat perlakuan seperti itu?” tanya Bima serius sambil memandang
Nanda.
“Apa sekarang
kamu bahagia setelah keluar dari rumah?” Nanda malah balik bertanya pada Bima.
“Hhmmm,” Bima
masih memikirkan jawabannya sambil memandang kedepan. “Entah lah om. Sekarang
sih merasa bebas saja,” jawab bima ragu.
Nanda menengok ke Bima, di ikuti juga Bima
memandang Nanda. “Begini, kita bisa merasa bahagia ketika sudah iklas melakukan
sesuatu dan bersyukur meski hasilnya kurang memuaskan, lebih baik lagi sih
kalau hasilnya bagus juga,” Nanda menjelaskan arti kebahagiaan menurut versinya
sendiri. Dilanjutkan Nanda cerita tentang masa lalunya, “saya merasa awalnya tertekan dengan perlakuan
orang tua seperti itu, tapi saya berusaha menikmati alurnya. Dan sayang
berusaha berfikir positif, orang tua
melakukan seperti itu untuk kebaikan saya juga. Saya bersyukur bisa sekolah di
tempat bagus apalagi diluar negeri. Saya merasa bahagian itu sekarang. Ketika
masa berat itu telah terlewati karena saya mendapat hasilnya sekarang.”
Bima hanya
mengangguk saja, tetapi otaknya sedang mencerna apa yang barusan dikatakan
Nanda. Ada sedikit ketidak setujuan dengan Nanda, “tapi om, gimana saya bisa
iklas kalau keinginan saya tidak dituruti dan saya hanya harus mengikuti
instruksi orang tua?”
“Seharusnya kamu
nikmati saja, intinya kamu harus merasa bersyukur dulu bahwa kamu masih bisa
sekolah di tempat bagus,” Nanda mendebat komentar Bima. “Kamu lebih enak Bim,
orang tua kamu cuma nyuruh kamu disekolah itu selebihnya orang tua kamu cuek.
Harusnya kamu bisa memanfaatkan itu. Waktu luang kamu bisa buat latihan teater
di sanggar seperti yang kamu lakukan sekarang.”
“Tapii……” Bima
berusa membalas argumen Nanda tapi katanya-katanya terpotong lagi.
“Tapia pa?”
tanya Nanda memotong perkataan Bima. Nanda melanjutkan bicaranya, “kita sering
menganggap orang tua kita rese, menyuruh-nyuruh kita seenaknya saja. Padahal
itu adalah untuk kebaikan kita. Tapi sayangnya kita belum bisa berfikir kedepan
maksud dari perintah orang tua kita.
Orang tua kadang juga kurang memahami apa mau kita. Terjadilah miss
communication, kayak kamu sekarang alami. Harusnya sih suatu permasalahan bisa
di bicarakan dari hati ke hati,” Nanda melempar senyum pada Bima agar tidak
terkesan sedang mengguruinya. Bima sendiri terlihat hanya menunduk.
Bima sedang
merenungi semua perkataan Nanda. Ternyata dirinyalah yang telah egois, hanya mengikuti apa yang dimau tanpa
mendengar kata hati yang dalam. Memang waktu membulatkan tekat keluar rumah,
kondisi Bima sedang emosi karena perkataannya tidak didengarkan oleh orang tua.
Bima sendiri waktu itu bingung akan mengadu kepada siapa, jadi Bima hanya bisa
menyimpulkan permasalahannya seorang diri. Keputusan Bima untuk keluar dari
rumah tidak sepenuhnya salah karena masih ada hal positif yang bisa diambil
oleh Bima, dirinya bisa belajar tentang arti kehidupan.
“Bim,” Nanda
mengguncang badan Bima yang terpaku tatapanya nanar dan kosong seperti sedang
menyesali perbuatan yang sangat bersalah. “Are you oke? Maaf bila kata-kata
saya salah,” Nanda jadi tidak enak hati karena telah menasehati Bima.
“Nggak apa koq
om. Semuanya baik-baik saja,” ada senyum menghiasi wajah Bima. “Makasih om udah
membuka hati saya,” kata-kata Bima seperti tercekat karena menahan tangis.
“Bukan salah
kamu, Bim. Tuhan memberikan cara yang berbeda-beda untuk manusia bisa
“belajar”. Bisa jadi ini adalah metode yang tepat untuk kamu “belajar”,” kata-kata
Nanda begitu lembut untuk menenangkan Bima yang sedang kalut.
“Iya om,” jawab
Bima pelan. Ada air mata yang tumpah dipipinya.
Nanda membiarkan
Bima menangis karena dengan cara itu bisa meluapkan emosi yang selama ini
tertahan. Wajah Bima semakin pias ketika air matanya meluncur deras dipipi.
Nanda mengerti apa yang dirasakan Bima saat ini. Ada penyesalan yang
menggelayut dibatin Bima yang telah melarikan diri dari masalah.
“Apa kamu nggak
ingin pulang?” tanya Nanda hati-hati karena ini adalah hal yang sensitif buat
Bima.
Bima menjawabnya
dengan menggeleng. “Kalaupun pulang percuma ayah tidak mau menerima anak yang
nakal seperti saya.”
“Itukan hanya
pemikiran kamu saja. Setiap orang tua pasti nggak mau kehilangan anaknya,”
Nanda menanggapi dengan diplomatis.
“Buktinya
setelah kakak meninggal mereka biasa saja,” meski masih terlihat sedih ada
intonasi meninggi di suara Bima.
“Mereka hanya
nggak ingin memperlihatkan kesedihan itu pada mu, Bim. Saat ini mereka juga
pasti sedih anak semata wayangnya meninggalkan rumah,” Nanda berusaha
membalikan fikiran Bima yang masih agak sedikit marah. “Coba dech kamu telpon
rumah sekarang.”
Nanda keluar
dari kolam renang sambil menarik Bima yang bergeming. Bima masih memikirkan
masalahnya yang pelik. Rasa menyesal itu bercampur pada rasa marah. Dengan
pasrah Bima menuruti Nanda yang setengah memaksa menarik Bima. Sebelum telpon
mereka mandi dulu. Nanda memberikan baju bekas milik keponakannya yang seumuran
Bima.
“Nih telponnya.
Masih ingetkan nomer telpon rumah?” tanya Nanda sambil memberikan telpon tanpa
kabel.
“Masih,” jawab
Bima yakin. Bima diam sesaat lalu dilanjutkan memencet nomer telpon dengan
perlahan. Setelah tuntas memencet, gagang telpon tersebut dilekatkan di pipi.
Bima masih saja diam menunggu telpon diangkat, 10 detik kemudian sepertinya
telpon itu Bima sudah diangkat. “Yah, ini Bima,” tiga kata yang terucap dari
mulut Bima, setelah itu Bima terdiam mendengarkan suara dibalik telpon. Nanda
sendiri tidak bisa mendengarnya. Namun ekspresi Bima tidak terlihat jelas
apakah itu senang, sedih, marah atau apapun. Tatapannya kosong, tubuhnya kaku.
Bima terus mendengarkan suara dibalik telpon itu dan tumpah lah air mata Bima.
Tak lama kemudia Bima mematikan telpon tersebut padahal lawan bicaranya belum
selesai bicara.
Bima nggak tahan
suara tangis ayahnya dibalik telpon. Bukan lagi rasa marah yang menghinggap
Bima, namun sudah berganti pada rasa sedih dan menyesal telah melakukan hal
bodoh meninggalkan rumah. Bima sudah tidak sanggup lagi untuk berfikir
macam-macam.
“Om, saya ingin
pulang,” ucap Bima pilu.
“Oke, sekarang saya
antar kamu ke Jogja,” senyum bahagia terlihat jelas dari Nanda, baginya telah
berhasil membalas budi pada Bima.
No comments:
Post a Comment