“Papah cerai?” Kata itu meluncur dari Afan langsung menuju
sasaran dengan tatapan menusuk pandangan Hans.
Pertanyaan itu begitu telak dan menohok hati Hans. Kagetnya luar
biasa, sampai jari Hans teriris pisau. Hans tidak menyangka Afan yang berusia 7
tahun telah mengerti arti kata cerai. Entah dari mana belajar kata seperti itu. Risma yang asik mengupas menjadi
mematung tampaknya Risma juga telah mamahami arti kata cerai.
Hans tak berkutik lagi tetapi bagaimanapun juga masalah ini
harus diselesaikan. Otak Hans mulai berputar mencai istilah yang tepat untuk
menjelaskan perpisahan ini kepada anak yang masih berumur 5 dan 7 tahun. Darah
juga masih keluar dari jarinya, tetapi Hans tidak memperdulikannya. Suasana hening
menyelimuti rumah, Risma hanya bisa tertunduk, Afan terus menatap tajam Hans
berusaha bertahan meminta jawaban dari papahnya. Sedangan Hans, berusaha tegar
untuk menjelaskan semuanya.
“Sebentar, nanti papah jelaskan. Papah mau ambil bersihin
luka ini dulu sama ambil plester.” Hans segera beranjak dari tempat duduknya
sambil mengulur waktu agar bisa berfikir lebih jernih lagi.
“Papah nggak berusaha untuk kabur kan?” celetuk Risma, yang
ternyata diam-diam ikut mengintimidasi Hans.
Hampir saja Hans terjatuh karena kaget. Ternyata Risma pun
sudah dewasa karena bisa membaca pikiran papahya. Sebenarnya Hans punya fikiran
untuk menyudahi pembicaraan ini sepihak karena suasanya sudah tidak nyaman lagi
diluar dari rencana Hans.
Beberapa saat kemudian Hans kembali duduk jari telunjuknya
sudah dipleseter dan Hans sudah siap menghadapi kedua hakim yang gregetan untuk
mencecar Hans yang seakan-akan jadi terdakwa.
“Ok, papah jelasakan. Papah sama Mamah sudah tidak ada
kecocokan lagi.” Hans mencoba menjawab pertanyaan Afan dengan lugas.
“Ich emang Papah itu artis??” Tanya Afan yang matanya masih
menghunus Hans. Hans pun tak memahami maksud perkataan Afan. “Kan artis kalo
ditanya cerai jawabannya seperti itu.” Afan menlanjtukan perkataanya agar Hans
mengerti apa yang di maksudnya.
“Ouhh ya ya ya sekarang papah tau. Pasti kalian “belajar”
dari infotaiment ya? hahahaha” Hans tertawa karena lucu melihat polah tingkah
anaknya bukan seperti hakim yang ada di benaknya melainkan jadi wartawan
infotaiment.
Afan hanya bisa mengangguk, tetapi dia masih antusias untuk
mendengarkan penjelasan dari Hans menganai perceraian.
“Papah sama mamah sudah berbeda misi dan visi dalam
membangun rumah tangga ini, hhmm,” Hans tidak yakin penjelasannya bisa di
pahami anaknya dan segera meralatnya. “Begini, papah ingin A tetapi mamah ingin
B jadi kita berbeda pedapat.”
“Ouh gitu….tapikan kenapa papah sama mamah nggak tanya
pendapat kita?” Tanya Risma polos, mungkin dipikirnya ini masalah tersebut
hanya memilih baju mana yang bagus.
“Ayo lanjutin lagi Risma ngupas wortel, Afan motong brokoli.”
Hans menyuruh kedua anaknya untuk membantu masak agar suasana kembali cair.
“Afan sama Risma lebih senang papah mamah bertengkar terus
tapi satu rumah atau lebih suka kita akur tetapi beda rumah?” Hans kembali
mendiskusikan perceraian ini.
“Lebih suka akur.” Jawab Risma ragu “Tapi…..” Risma enggan
menyelesaikan masalahnya karena masih berfikir.
“Nggak dua-duanya.” Jawab Afan ketus.
“Afan dan Risma, mamah Dania dan Papah Hans kita semua masih
keluarga walau nanti mamah sama papah nggak serumah.” Hans mencoba menjelas
dengan hati-hati. Hans menghentikan kegiatanya. “Risma tetap jadi adeknya Afan,
Afan juga tetap jadi adeknya Risma. Dan kalian tetap jadi anak mamah papah.”
Hans beranjak dari tempat duduknya lalu bernjalan mengitari
meja makan menuju Risma da Afan yang duduk bersebelahan. Lalu di peluknya Afan
dan Risma sembagai tanda kita semua masih keluarga sampai kapan pun.
“Pah nanti adek sama kakak tinggal sama siapa dan dimana?”
Tanya Risma memelas.
Masih memeluk, Hans menjawab pertanyaan. “Kalian bebas mau
tinggal sama siapa, bisa seminggu sama papah lalu gentian sama mamah. Terserah kalian
juga.” Hans berhati-hati barang kali salah ucap. Hans juga bersikap netral
tidak membujuk anaknya untuk tinggal bersama. Hans yakin Dania juga akan
bersikap sama, karena tidak ingin semakin mengoyak perasaan anaknya yang
menjadi rebutan.
“Pah kenapa sih berpisah?” Ternyata Afan masih belum puas
jawaban dari Hans.
“Tadi kan papah udah jelasin.” Hans melepas pelukan dan
beralih jongkok di sebelah Afan. “Afan, kalau diterusin lagi nanti kan
menyakiti hati kita semua. Afan nggak
mau juga kan liat mamah papah berantem terus?” Hans berusaha memberi pengertian
kepada Afan.
“Lalu yang salah siapa?”
Tanya Risma ikutan menjadi wartawan infotaiment.
Hans mengernyitkan dahi, pikirannya kembali melayang mencari
jawaban yang tepat. “Nggak ada yang salah dan nggak ada yang benar. Papah sama
mamah punya pendapat sendiri-sendiri dan semuanya ada kekurangannya dan
kelebihan.” Hans berharap semoga cepat
berakhir diskusi ini.
“Papah sama mamah nggak ada yang selingkuh kan?” Hans
teperanjat mendapat pertanyaan dari Afan. Ternyata Afan lebih dewasa dari
dugaannya.
“Kenapa Afan menduga seperti itu?” Hans masih meredam
emosinya menanggapi Afan tetapi sudah ada rasa gregetan.
“Kan biasanya artis-artis gitu pah, alasan cerai karena
ketidak cocokan eh tau-tau dia selingkuh.”
Jawab Risma polos.
“hahahahaha” Hans sekali lagi tertawa karena kepolosan
anaknya yang tadinya sudah geram menjadi rileks lagi. “Nggak lah dek, gak ada
orang ketiga atau orang ke empat atau orang-orang lain yang ikut nimbrung.”
“Terus kalau kita pengen jalan-jalan gimana?” Risma
melanjutkan lagi pertanyaan yang ada dibenaknya,
“Kita masih bisa jalan berempat, yang bedakan papah sama
mamah nggak serumah lagi.” Hans mulai bosan dengan diskusi ini. Pasti akan ada
banyak pertanyaan kritis dari Afan dan pertanyaan polos dari Risma.
“Papah masih sayang sama mamah?” Afan bertanya dengan raut
memelas.
“Pastinyalah sayan sama mamah.”
“Tapi kenapa kalian berpisah? Katanya tadi saling menyakiti?
Berartikan nggak sayang.” Afan menembekan serentetan kata yang sekali lagi
membuat Hans tidak berkutik.
“Kakak sayang adek nggak?” Tanya Hans pada Afan.
Afan hanya bisa menganggukan kepala tetapi masih tidak paham
maksud dari Hans.
Hans bersiap melanjutkan penejelsannya. Dia berpindah posisi
kini kembali ketempat duduknya semula. Hans juga menyadari cara menjelaskan
sambil memask ternyata tidak efektif karena jadi terbengkalai.
“Kakak sama Adek saling sayang kenapa sering berantem?” Hans
mencoba memancing pendapat dari Afan.
Afan diam sejenak, memikirkan jawabannya. “Hhmmm abisnya
adek nyebelin sih, kakak minta apa adek gak kasih atau adek juga suka ngerebut
mainan kakak.” Afan menjawab dengan semangat.
“Ye…. Nggak ya….Kak Afan juga nyebelin suka nyuruh-nyuruh
adek padahal kakak kan bisa sendiri.” Risma nggak mau kalah dari Afan dan
membuat tuduhan lain tetang tabiat kakaknya.
“Tuh kan baru sebentar kalian sudah berantem. Iya begitulah
mamah sama papah saling sayang tapi suka berantem juga. Tetapi masalah mamah
sama papah sudah berbeda sama kalian.
“Tapi pah…….” Afan ingin melanjutkan pertanyaan lainnya
tetapi telunjuk Hans mengarahkanke bibir Afan tanda agar diam.
“Papah mau lanjutin masak lagi, kalian laparkan? Nanti
kalian pas kalian dewasa akan mengerti tentang perceran dan papah sangat
mengharapkan jangan sampai terjadi.” Hans mengakhiri pembicaraan ini sebelum
semakin panjang dan pertanyaan menyodok keluar dari Afan.
Bersambung
No comments:
Post a Comment