Malam ini adalah terakhir kalinya Fanya
di Jogja namun ada kebencian di raut mukanya. Sebenarnya sudah tiga hari Fanya
di Jogja tetapi acara liburan berantakan dan jauh dari harapan. Kegiatan fanya
hanya berkliling Malioboro. Fanya jadi menyesal sekali datang ke Jogja padahal
Fanya ingin sekali berlibur ke Kamboja tetapi tetapi sudah kadung janji dengan
temannya.
Seharusnya Fanya berlibur dengan Rafli
tetapi itu hanyalah sekedar rencana nyatanya sampai saat ini Fanya belum
bertemu dengannya. Fanya berkenalan dengan Rafli dari chating, dari hari kehari
mereka semakin dekat dan menjalin persahabatan. Mereka sepakat akan bertemu di
Jogja karena letaknya di tengah Fanya yang tinggal di Jakarta sedangkan Rafli
tinggal di Denpasar.
Tragedi itu muncul 3 hari sebelum
keberangkatan. Pertengkaran itu terjadi masalahnya cuma sepele. Rafli sangat
kesal terhadap sikap Fanya yang heboh sendiri mungkin lebih tepatnya lebay.
Bagi Rafli Fanya itu nggak jelas, sedikit-sedikit ngambek semua account yang
berhubungan dengan Rafli di hapusnya entah itu Facebook, Twitter, Line, dan
nomer handphone dan bila merasa sudah marah di add kembali. Rafli belum lagi
Rafli kesal Fanya terlalu cemburu, bila Rafli ngobrol dengan wanita lain di
chatroom Fanya langsung ngamuk dan marah membabi buta.
Akibat keributan itu sekarang Fanya jadi
sendirian. Fanya juga tidak mau tau kabar Rafli, tidak keberadaan Rafli dimana.
Meskipun kangen tetapi terlalu gengsi untuk menghubunginya. Fanya berangggapan
bila dia menghubungi Rafli nanti dia jadi besar kepala. Setiap kali ada
permasalah Fanya lah yang telebih dahulu untuk mengontaknya kembali, sekarang
Fanya sudah enggan melakuannya lagi. Kalau Rafli memang masih cinta harusnya
dia donk yang memulai untuk berbaikan dulu. Kali ini Fanya juga ingin mengetes
apakah Rafli memang masih membutuhkan dirinya atau tidak.
Jam tanganya Fanya menunjukan jam 11
malam, Fanya merasakan bosan di kamar hotel cuma menonton televisi. Akhirnya
Fanya memutuskan untuk pergi ke warnet dekat hotel. Siapa tau Rafli ikutan on
line, walau on line juga nggak ngaruh. Apa pedulinya juga kalau Rafli on line
paling dia sedang menggoda cewek di chat room dengan rayuan dan tipu
muslihatnya. Sesampainya di warnet Fanya langsung membuka chatroom tempat
tongkrongannya. Ternyata tidak ada Rafli cuma ada beberapa teman ngobrolnya.
Waktu sedang asik-asik ngobrol di
chatroom ada query dari Yana, dia sahabat Fanya dan Rafli di dunia maya. Yana saat ini tinggal di Manado, dia seorang
cowok.
Jawab Fanya malas-malasan, sebenernya
Fanya lagi pengen ngobrol di room aja lebih enak disitu karena bisa ngobrol
rame-rame.
Fanya agak kesal oleh desakan Yana.
Emang segampang itu telpon Rafli, pake nyuruh-nyuruh segala. Dalam benak Fanya,
seberapa ngerti sih Yana tentang hubungan aku dengan Rfli seenaknya main
perintah.
Fanya kesal dengan serentetan postingan
Yana yang seakan menyudutkan dirinya lah pihak yang bersalah.
Fanya mengatakan seperti itu agar
kebawelan Yana cepat berakhir. Fanya mearasa sudah cukup diceramahi Yana.
Fanya mengakhiri chating dengan Yana.
Kata-kata chatingan tadi terngiang di benaknya. Setelah di pikir emang bener
Yana juga ya. Hubungan ini masih seumuran jagung pasti masih banyak belum tahu
tentang sifatnya dia. Lagian tujuan ke Jogja kan buat ketemu dia masa sia-sia
juga.
Perasaan Galau menghampiri Fanya
menghubungi Rafli atau membiarkan begitu saja. Fanya yakin pasti Rafli tidak
akan menghubunginya karenea sikap Rafli yang keras kepala. “Tapi kalau aku hubungin dia pasti dia ke GR
dan dia pasti jadi sok yang dibutuhin”
Tiba-tiba hp nya berbunyi tanda ada
Whatsapp masuk
From: Yana Bintjung
Mak, cuz udah gak usah di ratapi lagi
sms aja or telpon dari pada tar lo nyesel. Positif thiking aja, seenggaknya tau
kabarnya dia
Fanya malas membalas Whatsapp dari Yana.
Ternyata Yana tau benar apa yang dibenak Fanya, bahwa dirinya masih ragu untuk
menghubungi Rafli. Dengan penuh keberanian akhirnya Fanya SMS Rafli
To: Rafli
Hai. Lagi apa? Pa kabar?
Fanya mengirim sms itu ke Rafli tanpa mengharapkan balasan.
Fanya keluar dari warnet dan berjalan tiada arah. Seperti adegan sinetron saja
seorang gadis yang di campakan begitu saja oleh pacarnya di tengah jalan. Perasaan gusar menghinggapi Fanya, dan
berfikir betapa bodohnya mengikuti saran dari Yana. Benar juga kan Rafli tidak
akan membalasnya. “Ah ya sudah lah dia memang buka jodoh ku,” Fanya membatin.
Tanpa sadar Fanya sudah sampai di
Jembatan Sayidan artinya Fanya sudah cukup jauh berjalan tetapi tidak
dirasakannya. Rasa kaku menjalari kakinya, capek banget berjalan sendirian kaya
orang bego di kota yang tidak dikenalnya. Mungkin inilah perbuatan paling bodoh
yang dilakukan Fanya hanya karena cinta.
Saat sedang duduk di bahu jembatan
datang seorang pemuda atletis yang menggunakan motor dengan helm menutupi
seluruh mukanya. Fanya jadi langsung takut kalau dirinya akan jadi korban
perampokan atau apalah. Fanya langsung
berdiri dan bersiap kabur. Tetapi masih penasaran sosok yang didalam helm
tersebut. Pemuda tersebut merogohkan tangnnya ke dalam saku dan dalam imajinasi
Fanya pemuda tersebut akan mengeluarkan senjata.
Fanya langsung lari tunggang langgang
karena ketakutan. Kakinya lemas sekali bukannya lari tetapi malah berjalan
pelan karena saking capeknya. Dia mengumpat pada dirinya “Sial giliran genting
kayak gini malah gak bisa lari.” Fanya mendengar suara langkah kaki membuntuti
di belakangnya belum sampainya melewati jembatan pundak Fanya di tepuk oleh
pemuda tersebut.
Perasaan takut menjalar sekujur Fanya.
Dirinya sudah pasrah menjadi korban kejahatan di Jogja. Benar-benar liburan
paling menjengkelkan. Tetapi kenapa pria tersebut tidak bersuara dia Cuma
menepuk. Fanya mematung karena terlalu takut untuk menengok. Berhubung tidak
ada respon dari Fanya. Dua tangan mecengkram erat lengan Fanya. Fanya langsung
mengejamkan mata sebagai reaksi ketakutan yang berlebihan.
Cengkramann itu semakin kuat ketika
membalikan tubuh Fanya. Setelah membalik badan Fanya masih saja merem dan siap
akan berteriak.
“Fany…..Fanya…..” Panggil pria tersebut
suaranya berat terdengar maskulin.
Perlahan-lahan Fanya membuka matanya.
Fanya melihat sosok pria tesebut dengan sedikit jenggot di dagu dan pinggiran
pipinya. Fanya merasa belum pernah bertemu dengannya tetapi seperti mengenal
pria tersebut. Fanya langsung befikir keras siapa yang ada hadapannya.
“Ini aku Rafli, Fany,” Rafli
mengguncangkan badan Fanya untuk menyadarkan dari ketakutannya. “Aku Rafli,
katanya dia lagi.
Barulah Fanya memahami perkataan Rafi
dan menghela nafas dalam-dalam.
“Kamu koq tau aku disini” Tanya Fanya
heran.
“Bodoh,” Rafli menanggapi dengan ketus.
“HP kamu kan tersambung GPS. Tadi aku request your location dan kamu menanggapinya
jadi kelcaklah.” Rafli masih saja ketus menjawab pertanyaan Fanya.
“Sejak kapan kamu disini?” Tanya Fanya
mengintimidasi.
“Aku udah tiga hari disini.”
“Ouh pasti kamu asik masyuk dengan
“adek” mu itu.” ucap Fanya nyinyir sambil berusaha melapaskan tangan Rafli yang
masih mencengkrap lengannya.
“Koq kamu gitu sih?” Rafli kecewa atas
tanggapan dari Fanya.
“Aku benci kamu.” Fanya tampak geram
karena seperti tidak ada rasa penyesalan dari Rafli yang tampangnya datar-datar
saja. Air matanya tak kuat lagi bendung,
sakinng jengkelnya.
Lalu Rafli memeluknya erat dan tidak
peduli mereka berpelukan di tempat umum. Jalanan memag sudah sepi. Karena
sekarang sudah tengah malam.
“Jagan marah Fanya……” Rafli mencoba
menenangkan Fanya. “Maafkan aku,” pinta Rafli dengan gantleman.
“Aku benci, kenapa kamu tidak
menghubungi aku?” Tanya Fanya pelan, sambil menahan tangis. “Aku benci kamu
mengabaikan aku disini.”
Masih dalam pelukan Rafli mengucapkan.
“Maaf. Aku memang salah seharusnya aku menghubungi kamu karena kita memang
sudah janjian bertemu di Jogja.”
“Cuma itu?” Fanya masih ingin jawaban
lebih dari Rafli, lalu melepas pelukannya.
“Emang kamu saja yang bisa benci?” Sikap
Rafli berubah lagi menjadi jutek. “Aku sebel tau kamu yang suka ngambekan, kamu
yang suka delete nomer hp atau semua account.”
“Tapi selalu aku dulu kan yang
menghubungi mu. Kamu nggak pernah telpon aku dulu waktu kita marahan.” Fanya
tidak mau kalah dengan Rafli.
Rafli segera memeluk Fanya lagi dan
berusaha menenangkan. “Maaafff, mungkin dengan sejuta maaf belum pantans untuk
di maafkan. Tapi itu biar lah jadi masa lalu cerita kita. Kita bisa memulai
dengan yang baru. Jangan marah atau sedih lagi ya”.
Suasana romantic menggelayut di hadapan
mereka lampu biru temaram menghias perkampungan disisi sungai Code. Bulan
purnama menjadi saksi perdamaian mereka. Meskipun ini adalah pertemuan pertama
mereka tetapi seperti sudah sering bertemu mungkin ini akibat dari sudah
akrabnya di dunia maya.
Mereka tidak menyia-nyiakan waktu
pertemuan yang tersisa sedikit. Rafli ingin menghabiskan mala mini dengan
berdua saja dengan Fanya untuk menebus beberapa hari yang hilang sia-sia karena
ke egoisan tidak ada yang mau mengalah untuk memulai berkomunikasi terlebih
dahulu.
“Nih helmnya di pake.” Rafli memberikan
helm warna pink yang khusus dibawanya untuk Fanya.
“Koq warna pink sih, aku kan gak suka.”
Protes Fanya bibirnya manyun, kedua tanganya di umpetin ke balik belakang tanda
enggan menerima helm itu.
“Adanya ini,” balas Rafli jutek. “Kalau
nggak mau make juga nggak apa berarti nggak bisa jalan-jalan.”
Mau nggak mau dan tanpa memperdebatkan
lagi Fanya menerima helm yang telah dibawa oleh Rafli. Senyum manis Rafli
mengembang dan dibalas dengan senyuman pula dari Fanya. Tanpa ragu Fanya
langsung naik motor. Awalnya sih canggung karena ini pertama kali Fanya bonceng
sama orang di sukainya. Di atas motor Fanya masih saja senyum-senyum sendiri
karena hatinya girang bisa jalan Rafli. Dari balik kaca spion Rafli melihat
Fanya senyum jadi penasaran.
“Senyum-senyum sama siapa?” Tanya Rafli
heran.
“Ah… nggak.” Fanya jadi gelagapan,
ternyata Rafli dari tadi memperhatikan dirinya. “Badan kamu gede juga ya
ternyata.” Fanya sedang mengalihkan pembicaraan.
“Gede atau gemuk?”
“Besar, jadi enak tau di peluk.” Fanya hanya
memancing, initnya sih Fanya minta untuk memeluk Rafli. Kalau langsung peluk
nggak enak barang kali Raflinya risih.
“Koq ga dipeluk?” Rafli menangkap kode
yang di umpankan oleh Fanya. Secara nggak langsung Rafli mengijinkan Fanya
untuk memeluk dirinya.
Perjalanan malam ini dimulai dengan
keliling Kota Jogja. Tempat pertama yang disinggahi adalah Tugu Jogja. Masih banyak
orang yang nongkrong di samping Tugu Jogja kebanyakan sih masih pada seumuran
Rafli dan Fanya. Selain tempat nongkrong area ini jadi favorit untuk
berfoto-foto. Ada yang menganggap kalau ke Jogja nggak ada bukti foto di tugu
ini berarti hoax liburan di Jogja. Rafli memarkirkan motor di samping pos
polisi. Disitu sudah banyak motor berjejer.
“Ngapain kita kesini? Bosen ah.” Protes
Fanya.
“Tuh mau ngelapin tugu,heheheh.” Rafli
becandain Fanya.
“Ihhh ditanya bener koq. Udah tiga hari
ini lewat sini terus. Tempat yang lain keq.”
“Udah pernah megang tugu?”
Fanya hanya menggeleng yang tanda belum
pernah melakukan itu. Rafli menarik tangan Fanya mengajaknya mendekat Tugu
Jogja. Fanya pun pasrah mengikuti Rafli, meski nggak ngerti maksud Rafli untuk
memegang tugu. Sisi tugu sebelah barat yang menghadap jalan Dipenogoro terlihat
lengang.
Tangan Rafli menuntun tangannya Fanya
untuk menyentuh Tugu Jogja. “Kata orang kalau kita nyentuh Tugu Jogja bisa
balik lagi kesini.” Rafli menjelaskan arti dari menyentuh Tugu Jogja.
“Ouh gitu….. semoga sih. Tapi nggak seru
lah kalau sendirian ke Jogja apa lagi di sampe di cuekin.” Fanya mengungkit
kembali kejadian yang lalu.
“Nggak sendirianlah…. Kan kamu masih
bisa minta ditemenin aku.”
Fanya merasakan sentuhan yang berbeda
dari tangan Rafli. Entah kenapa jantung ini berdebar-debar. Apa mungkin ini
yang dinamakan transfer cinta? Dari hati lewat tangan menyambung ke hati lagi.
Meskipun telapak tangan Rafli agak kasar tetapi indra perasa meresponnya dengan
lembut, ternyata Rafli seorang pria yang lembut dibalik kesangaran tubuhnya.
Ada rasa sayang yang terselarukan.
Setelah selesai menyentuh Tugu Jogja, mereka
menyempatkan diri untuk foto-foto untu mengabadikan momen menyenangkan tentunya
sebagai tanda Fanya nggak boong liburan ke Jogja. Rasanya nggak lengkap kalau
foto sendirian. Rafli meminta tolong ke salah satu orang di situ untuk foto
berdua dengan Fanya.
Fanya langsung mengirim foto tersebut ke
Yana lewat Whatsapp, berapa detik setelah foto terkirim langsung dapet balasan
dari Yana.
Dari :
Yana Bintjung
Ke :
Fanya
Pesan :
Cie….yang lagi ngdate. Rafli ganteng dech, jadi naksir,hahaha. Eh itu gimana kalian
bisa ketemu? Inget ya pake “helm”
Fanya juga segera membalas Yana.
Ke :
Yana Bintjung
Dari :
Fanya
Pesan :
Besok aja dech ceritanya ok?! Btw makasih banget ya…..tar gwe kirim oleh2 buat
kamu.
Rute berikutnya adalah alun-alun
selatan.Meskipun sudah tengah malam keramaian masih terlihat jelas disini.
Banyak anak muda yang sedang nongkrong menikmati seduhan kopi disertai
kehangatan canda kawan. Becak yang di hiasi dengan kerlap kerlip lampu
berseliweran di jalan satu arah. Becak ini bukan becak pada umumnya, berisi 4
orang lebih dan semunya ikut menggenjot di sewakan 3 kali putaran. Jangankan 3,
1 putaran aja juga udah lemas. Anggap saja sedang olah raga tengah malam.
Tujuan utama Rafli mengajak Fanya kesini
bukanlah untuk naik becak tersebut. Tetapi nyobain masangin. Ritual ini salah
satu agenda wisatawan datang ke Jogja. Kita nyoba berjalan menembus diatara dua
beringin besar yang ada di tengah alun-alun siapa yang berhasil harapan kita
bisa terkabul, katanya gitu sih. Kalau cuma jalan aja sih nggak seru, ada
tantangnya yaitu menutup mata.
“Ngapain kita kesini?” Tanya Fanya.
“Tuh cabutin rumput,hahahha.” Rafli malah
membalasnya dengan becandaan tetapi dengan nada kesal. “Kenapa sih harusnya
tanya ngapain ke sini?”
“Ya kan aku nggak ngerti Jogja jadi
wajar donk tanya. Aku juga nggak tau disini ada keisimewaan apa.” Fanya juga
ikutan kesal atas tanggapan Rafli yang jutek seperti itu.
Rafli nggak jadi marah melihat Fanya
yang manyun kayak anak kecil jadi terlihat lucu. Rafli juga menyadari
kesalahannya. Rafli menggandeng tangan Fanya menyebrang jalan yang ramai oleh
lalu lelang becak hias. Di tepi lapangan sebelah utara mereka berdua berdiri
memandang dua pohon beringin yang besar. Nggak ada kesan angker karena
disekitar alun-alun sangat ramai. Masih banyak orang yang nyobain masangin.
Hanya segelintir orang yang bisa temubus ketengah sedangkan sisanya meleceng
kemana-mana.
“Itu ada ada dua beringin. Kalau kita
bisa jalan tembus ke tengahnya, keinginan kita terkabul tapi tutup mata.” Rafli
menjelaskan kenapa mengajak Fanya ke sini.
“Ah itu mah gampang, tinggal jalan lurus
aja kan?” Fanya meremehkan ritual masangin, yang dipikirnya sangat mudah.
“Kata sapa gampang, tuh liat aja orang
yang lagi pada nyasar kemana-mana.” Rafli menujuk beberapa orang yang sedang
melakukan masangin tetepi keluar dari jalurnya malah ada yang menyasar jauh
sekali dari tempat yang di tuju.
“Hahahaha.” Fanya tertawa melihat
orang-orang yang sedang kesasar. “Oke, kamu duluann ya….?” Fanya menantang Rafli
yang melakukan terlebih dahulu.
“Boleh dech,” Rafli menyanggupi
tantangna dari Fanya.
Fanya membantu Rafli menutup matanya
dengan slayer yang tadi di pakai Rafli sebagai pengganti masker. Setelah
dipastikan Rafli tidak bisa melihat, Fanya memutar-mutar badan rafli dan
memberhentikannya pada arah lurus ke tengah. Rafli mulai berjalan dengan lambat
tetapi penuh percaya diri menganggapnya lurus. Emang sih awalnya berjalan lurus
ke tengah tetapi setelah berjalan lima meter arahnya mulai melenceng ke kiri
tentunya tanpa disadari oleh Rafli. Rafli terus dan terus berjalan disisinya
Fanya menahan tawa. Bukannya berjalan menuju tengah tengah Rafli malah berjalan
membentuk huruf U alhasil kembali lagi ke tempat semula. Dirasa sudah cukup
lama, akhirnya Rafli menyerah lalu membuka penutup mata. Begitu tau kembali ke
tempat semula pecahalah tawanya. Rafli gagal make wish.
Sekarang giliran Fanya mencoba masangin,
Fanya merasa percaya diri bahwa dirinya pasti bisa melakukan dengan baik. Mata
Fanya sudah tutup dengan slayer. Posisinya juga sudah berada di tengah, Fanya
hanya berusaha jalan lurus saja.
“Awas ya jangan tinggalin aku,” ancam
Fanya karena khawatir Rafli meninggalkan dirinya.
“Kalo ku tinggal kamu pulangnya ngesot
aja,hehehe.” Goda Rafli agar Fanya manyun lagi.
Fanya nggak menghiraukan ocehan Rafli.
Dia berjalan meninggalkan Rafli yang sedah terkekeh. Bagi Fanya nggak ada
lucunya. Beberapa kali Fanya berhenti berjalan untuk memastian dirinya masih
pada jalur yang benar. Dibelakang Fanya ada Rafli yang terus membuntuti untuk
menjaga. Meski Fanya bertanya pada Rafli arah mana dia harus berjalan tetapi
Rafli tidak menghiraukannya. Fanya pun terus berjalan mengikuti intiusinya.
Dirasa sudah cukup jauh berjalan Fanya
tanya pada Rafli. “Fli udah boleh di bukan belum? Udah jauh jalan nih.”
“Ya udah buka ajah.”
Fanya membuka tutup matanya. Betapa
terkejutnnya Fanya berhasil menembus diantara kedua pohon beringin. Secara
sepontan Fanya melonjak-lonjak kegirangan.
“Selamat ya berhasil. Kamu make wish apa?” Tanya Rafli penasaran.
“Ada dech….tar kalo di omongin nggak
jadi kenyataan.” Kata Fanya ketus tanpa memandang Rafli.
Setelah berkeliling Kota Jogja mereka
menuju Bukit Bintang yang berada diselatan Kota Jogja. Agak jauh juga dari
pusat kota. Perjalanan kesana juga sudah sepi hanya ada beberapa kendaraan yang
lalu lalang. Disana mereka bisa memandang gemerlapnya Kota Jogja sambil
bersantai menikmati jagung bakar atau kacang rebus. Ada juga warung yang
menjual aneka macam makanan. Tempat tonkrongan ini sebenarnya berada pinggir
bukit tepatnya di bibir jurang. Jika siang hari langit cerah dari sini bisa
terlihat gunung Merapi. Tetapi sekarang sudah malam yang terlihat hanya kerlip
lampu jalanan yang mengarah ke puncak Merapi.
Fanya duduk samping Rafli dan menyandarkan
kepala di lengannya. “Teranyata aslinya kamu beda juga ya dari di foto, lebih
gateng di foto.” Ledek Fanya bercanda.
“Emang kamu cantik,weee” Rafli tidak mau
kalah dengan Fanya.“Kenapa sih kamu suka ngambek gitu?”
“Abisnya kamu selalu nyebelin, nggak mau
dengerin pendapat ku.” Bela Fanya. “Terus kamu juga nyebelin nggak ada insiatif
untuk memulai menjelaskan duduk perkaranya. Pasti dari Yana yang jadi
penengahnya.”
“Gimana mau jelasin tiba-tiba kontak BBM
kamu ilang, aku cari di chat room nggak ada.”
“Telpon keq, atau sms gitu lah kan kamu
punya nomer ku.” Fanya masih saja protes.
“Terus kenapa kalau kamu marah selalu
delete nomer atau segala bentuk
perantara komunikasi.” Nada Rafli agak meninggi sedikit.
“Tadi bilangnya lupakan masa lalu, kenapa
di ungkit lagi” Fanya berkilah menghindari perdebatan yang sebenarnya Fanya
juga nggak tau alasannya kenapa. Pokoknya pengen delete aja.
“Tapi kamu janji jangan mengulangi
lagi.” Pinta Rafli sambil menengok Fanya.
Fanya hanya mengangguk dengan
manja. Lalu megusel di bahu Rafli. Tapi
Rafli menampik dan menjauhkan bahunya dari Fanya.
“Aku belum mandi, masih bau kecut.”
Rafli memberikan alasan.
“Aku menyukai mu apa adanya, nggak saat
kamu sedang keadaan bagus saja.” Fanya berargumen, sambiil memndang lekat-lekat
mata Rafli. “Mau kamu sekarang dekil dan bau tetapi aku tetap menyukai. Aku
suka hatimu, aku suka sikap gantleman kamu, aku suka becanda kamu, aku suka
nasehat kamu, aku suka kedewasaan mu.” Rentetan kata keluar dari mulut Fanya
alasan kenapa suka dengan Rafli.
Seketika itu juga Rafli mengecup kening
Fanya. Melelehlah air mata kebahagiaan Fanya. Baru kali ini Fanya merasakan
kebahagiaan luar biasa, berada dekat sama orang yang disayangnya padahal ini
merupakan pertemuan pertama, tapi entah kenapa Fanya nyaman disamping Rafli.
Pelukannya Rafli memberinya kehangatan yang berbeda. Ada ketulusan yang
terlihat dari mata Rafli.
Fanya memang mengenalnya dari sebuah
chat room. Awalnya sih hanya sekedar mengobrol biasa saja itu pun di room umum
ngobrol bersama yang lainnya. Suatu hari Rafli tiba-tiba query. Hanya sekedar perkenalan lebih dalam biasa aja. Lalu
dilanjutkan dengan seringnya telpon dan ngobrol lewat whatsapp. Rafli sering
member perhatian apalagi kalau Fanya sedang curhat dia bisa setia mendengarkan
curhatan Fanya. Dari situlah tumbuh rasa suka.
Tapi ada sedikit ganjalan yang
mengglayut di pikiran Fanya yaitu kebiasaan Rafli yang suka godain cewek di
chat room apalagi mereka yang baru pertama kali gabung. Dulu pun Fanya kenal
Rafli gara-gara itu juga.
“Aku sebel sama kamu.” Tiba-tiba
perkataan Fanya menyentak Rafli.
“Ada apa lagi sih?”
“Jangan-jangan kamu mainin aku?”
“Mainin apa? Emang kamu mainan?” Rafli
berusaha menahan emosinya. Rafli juga nggak ngerti maksud dari Fanya.
“Kamu sering godain cewek di room.”
Fanya mengutarakan kekesalannya.
“Itukan becandaan aja di room.” Rafli
membela diri, sambil menatap Fanya.
“Jangan-jangan kamu beccandain aku
donk?” Mata Fanya berkilat penuh selidik.
“Nggak lah aku serius sama kamu. Entah
kenapa ada rasa sayang muncul. Aku ngerasain kamu beda sama yang lain. Bisa
ngobrol sama kamu, aku bisa happy. Kecuali satu yang buat sebel. Kamu suka
ngambekan.”
“Liat ntar aja dech.” Fanya mengakhir
perdebatan yang nggak ada habisnya.
Selanjutnya Fanya dan Rafli mengobrol
ringan saling mengenal lebih dalam tentang kepribadian. Cerita masa lalu waktu
masih kecil dan kebiasaan yang sering dilakukan. Setelah obrolan ini Fanya
semakin banyak menemukan pribadi Rafli yang mengesankan. Dibalik hobi dia yang
suka ngeggombal ternyata Rafli seroang pria yang bertanggung jawab.
Jam menunjukan Jam 03:00 mereka bergegas
pulang ke hotel karena pesawat mereka semuanya pagi. Pertama Rafli mengantar
Fanya ke hotel lalu Rafli ke hotelnya sendiri lalu menjemput Fanya dengan taxi
untuk sama-sama pergi ke bandara.
Di terminal keberangkat Fanya duduk
bersebelahan dengan Rafli. Raut kelelahan terpancar dari mereka tetapi hati
mereka sedang berbunga-bunga. Mereka hanya bisa diam karena bingung ingin
mengucapakan apa lagi semalam suntuk sudah mereka tumpahakan isi hati
masing-masing. Fanya merasa berterima kasih pada Yana mengikuti sarannya.
Dari pengeras suara jadwal
keberangkatan Fanya sudah tiba. Sebelum
ke apron Rafli sekali lagi mengecup keningnya dan mengataka “Kamu mau jadi
pacar ku?,” Rafli memberikan kalung yang sudah dipersiapkannya dari Denpasar.
“Tunggu saja jawabannya, nggak lama
koq.” Jawab Fanya sambil lalu berjalan
ke apron.
Di dalam pesawat sebelum take off, Fanya
kirim sms ke Rafli. Betapa girangnya hati Fanya mendengar ucapan Rafli.
Ah….harapan Fanya terkabul berkat berhasil dalam ritual masangin.
To: Rafli
“I Love You, Aku mau jadi pacar kamu.
Terima kasih Jogja untuk sebuah malam seribu bintang.”
No comments:
Post a Comment