Perpisahan
Langit jinngga menggantung di Kota Tegal. Afan yang
mengenakan terlihat mencincing sarungnya dan Risma yang memakai mukena pun sama
terlihat menyincing mukenahnya. Mereka berlari sambil dengan raut muka
ketakutan. Mushola yang dituju sudah didepan mata namun mereka mengurungkan
niatnya malah berbalik arah menuju rumah. Semakin medekat rumah semakin kencan larinya,
wajah mereka juga panic.
Kedubrag…. Bunyi pintu yang di bating oleh Risma karena dia
yang terakhir berlarinya. “Papa………pa……..” Teriak Risma memanggil papanya.
Sedangkan Afan lebih meringkuk di atas sofa ruang keluarga.
Hans segera keluar dari kamarnya baju kantor juga masih
melekat di badannya. Secara sigap Hans menangkap putrinya dan langsung di
gendongnya. “Ada apa Ris? Koq kamu ketakutan gitu sih? Sini papa peluk.” Hans
mendekap Risma memberikan rasa aman, sambil berjalan ke Afan.
Afan masih saja meringkuk sambil menutup matanya. Hans duduk di sebelah Afan sambil salah satu
tangannya mencoba menggapai tangan afan yang menutupi wajah. “Ada Fan? Kenapa
kalaian berdua panik seperti itu?” Hans semakin khawatir karena belum
memperoleh jawaban dari kedua anaknya.
“Tadi kita lihat pocong, di pekaragan sebelah Mushola pah.”
Risma yang berumur 5 tahun menjelaskan ketakutannya pada Hans.
“Masa sih ada pocong?” Hans tidak mempercayai begitu saja
ucapan dari Risma.
“Beneran pah….. tadi Afan juga lihat, pocongnya keluar dari
pekarangan sebelah rumah Mbah Eni.” Afan jagoan kecil berusia 7 tahun
bersemangat menceritakannya.
“Itu mungkin mbah Eni kali Fan. Mbah Eni kan sering sholat
di Mushola dia keluar lewat pekarangannya.” Hans menjelaskan sesuai dengan
terkaannya.
Afan dan Risma bernafas lega. Risma segera turun dari
pangkuan Hans dan dudu sebelah kanannya. Afan juga juga tidak menutupi wajahnya
dengan tangan, tetapi berganti memeluk guling. Hans beranjak dari sofa.
“Ayo kita sholat bareng, tapi nanti setelah papah mandi ya.
Jangan takut ini kan rumah kalian sendiri.” Hans memastikan dirumahnya tidak
ada setan.
@@@
Setelah sholat.
Hans masih duduk bersila di ruang sholat. Setelah berdoa
Afan beralaman kepada Hans. Saat giliran
Risma, dia berkata “Pah kapan mamah pulang?”
Pertanyaa tersebut mengagetkan Hans. Memang Dania, istri
Hans yang sudah dinikahi 10 tahun tak kunjung pulang. Pernikahan mereka sedang
ada di ujung perjalanan. Ada berbagai masalah pelik yang tidak bisa selesaikan.
Dania lebih memilih meninggalka anaknya sementara waktu untuk menenangkan
pikiran. Dania pikir Hans cukup mampu untuk merawat anaknya dalam beberapa
bulan sambil menunggu keputusan dari Hakim, barulah nanti bagaimana mendidik
Afan dan Risma.
Hans tidak menjawab langsung pertanyaan Risma karena masih
bingung harus memulainya dari mana. Sebenarnya Hans mau tidak mau harus siap
dengan pertanyaan itu. Sambil memikirkan jawaban, Hans mengalihakan perhatian. “Risma berdoa aja sama Allah, minta biar mamah
cepet pulang.”
Keluarga kecil tersebut bergegas merapihkan sarung dan
mukenah. Mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton telivisi. Biasanya saat
seperti ini suasana riuh bercanda memenuhi ruangan. Namun sekarang hanya suara
televisi yang bergema. Afan dan Risma asik menonton DVD film kartun kebetulan
besok sekolah sudah libur jadi Hans memperbolehkan anaknya mentonton DVD.
“Pah, Risma kangen mamah.” Tiba-tiba Risma mengatakan hal
tersebut membuat hati Hans melengos.
“Papah juga kangen, kak Afan kangen. Tapi mamah kan belum
bisa pulang masih ada hal yang dikerjakan.” Jawab Hans sekenanya berharap Risma
tidak melanjutkan pertanyaan lagi.
“Tapi sampai kapan mamah pulang?” Tanya Risma lagi.
Hans bingung harus menjawab apa. “Ayo kita masak yuk, kalian
sudah laparkan. Kita masak bareng-bareng seperti dulu.” Hans segera ambil
tindakan untuk menjauhi pertanyaan lebih menelisik.
Hans segera beranjak ke dapur di ikuti keuda anaknya. Lalu
hans mengambil sayuran segar di kulkas dan menaruhnya di meja. Afan dan Risma
duduk di meja makan tempat Hans menaruh sayuran. Hans duduk disebrang anak-anak.
Hans mengambil sawi lalu mulai di irisnya.
Hans sudah mengambil ancang-ancang untuk menjelaskan tentang
perpisahannya dengan Dania.
“Adek bantu papah mengupas wortel ya ini.” Hans memberikan beberapa
wortel kepada Risma, Hans memang sengaja memberikannya agar perhatian Risma
tidak terpusat pada pembicaraan yang nanti akan berlangsung.
Risma mengambil satu wortel dengan wajah ceria dan mulai
mengupasya.
“Adek sama kakak kangen ya sama mamah?” Tanya Hans lembut kepada
Risma yang biasa dipanggil adek dan Afan yang lebih tua dipanggil kakak.
“Kangen…..” jawab mereka kompak.
“Sekarang papah sama mamah udah nggak bisa tinggal bersama
lagi,” Hans menjelaskan dengan hati.
“Papah cerai?” Kata Afan langsung menuju sasaran.
No comments:
Post a Comment