Setelah makan usai Risma mengikuti kakaknya masuk kamar.
Hans sendiri masih membereskan meja makan dan akan mencuci piring.
Di dalam kamar, Afan tiduran di kasurna sedangkann Risma
duduk di meja belajar memandang gelapnya malam yang terlihat dari jendela. Akan
tetapi pikiran Risma masih melayang pada percaraian orang tuanya. Sebenarnya
ada banyak pertanyaan yang ingin disamapaikan tetapi bingung untuk mengucapkan.
“Kak, kenapa sih mama papah cerai?” Risma menengok abangnya
yang sedang asik membaca komik dengan nada sedih.
“Kan tadi papah dah jelasin.” Jawab Afan singkat matanya
masih tertuju pada komik.
“Maksud adek itu emang masalahnya rumit banget ya?” Risma
membalikan bada ke arah Afan agar kakaknya lebih peduli pada obrolan ini.
Afan menaruh komiknya di samping, sekarang Afan merubah
posisinya duduk menghadap Risma. “Adek Risma sayang……” Afan sengaja belum
menuntaskan kalimatnya karena masih bingung harus menjawab bagaimana. “Kakak
juga nggak tau dek masalah mereka pa.
Kan kakak belum dewasa jadi belum tau maslah orang dewasa seperti apa.”
Jawab Afan polos.
Sepertinya Risma masih belum puas dengan jawaban kakaknya.
Risma kembali memutar memusatkan pikirannya untuk berfikir lebih spesifik. “Kan
kalau orang nikah itu pakai cinta dan sayang. Tadi kata papah masih saling
sayang, berarti mereka udah nggak cinta donk?” Pikiran Risma semakin njlimet di
luar kapasitas anak umur 5 tahun.
“Mungkin” Jawab Afan singkat sambil menggerakan bahunya ke
atas tanda ragu dan tidak mengerti.
Risma mendekati Afan dan duduk di sebelahnya.”Kakak masih
sayang nggak sama adek?” Suara tertahan menangis keluar dari bibir Risma.
“Kakak sayang…….banget sama adek.” Afan jadi merasa iba
kepada adeknya yang masih kecil yang belum begitu mengenal dunia orang dewasa.
Sebenarnya Afan juga takut dengan perubahan ini. Tetapi dihadapan adiknya Afan
berusaha tegar. “Adek juga sayang kan sama kakak?”
Risma mengangguk pelan dan tumpah sudah derai air mata.
“Adek jangan cengeng donk. Adek harus kuat kayak kakak.
Kalau adek sedih cerita aja sama kakak. Pokoknya kita jangan terlihat sedih di
depan mamah papah. Nanti kalau keliatan sedih mamah papah ikutan sedih, lalu
kita jadi keluarga galau.” Afak menjadi sok dewasa demi adiknya untuk terus
berusaha kuat.
“Iya adek janji nggak cengeng lagi. Adek harus kuat seperti
kakak.” Ucap Risma sambil menyeka air matanya yang mengalir dipipi. “Mamah
kangen kita nggak ya kak?” Risma kembali melanjutkan pertanyaann.
Afan yang sudah memegang komik dan melanjutkan membaca,
membatalkan niatnya. Afan tidak mau meliahat adeknya dirundung kesedihan hanya
karena orang tuanya bercerai.
“Pasti kangen lah
dek. Mamah juga kan gak ninggalin kita selamanya. Nanti kalau udah beres semua
pasti kita bisa ketemu mamah bisa jalan-jalan, makan masakan mamah.” Afan
mencoba menghibur adiknya yang masih saja galau.
“Kakak janji ya jangan tinggalin adek. Pokoknya adek ikut
sama kakak terus.” Risma kembali meneteskan air mata, meminta Afan agar terus
menjaganya.
Afan mengangguk tanda sanggup.
@@@
Di balik pintu kamar Afan, Hans menempelkan kupingnya di
pintu untuk mencuri dengar pembicaraan kedua buah hatinya. Mendengar itu semua
hati Hans hancur tidak karuan. Dirinya telah merasa gagal membangun sebuah
keluarga yang harmonis dan jauh dari kata perceraian. Hans juga merasa berdosa telah
membuat menderita Afan dan Risma karena ke egoisan dirinya dan Dania. Di depan
pintu itu juga Hans menangis tersedu, berbagai macam perasaan berkecambuk
dihatinya.
No comments:
Post a Comment