Sepulang kerja setelah mandi
paling enak itu malas-malasan di kost sambil nonton televisi atau dvd. Kadang
ditemani secangkir kopi hitam bila harus melanjutkan pekerjaan yang di bawa
pulang. Itulah keseharian yang dilakukan oleh Tama sepulang kerja.
Kebetulan hari ini nggak ada
kerjaan yang di bawa pulang, jadi Tama lebih memilih menonton film masih ada
setumpuk dvd yang tergeletak di meja televisi. Saat ini Tama ingin menonton film remaja buatan dalam negeri jadilah yang
di pilih berjudul Radio Gaul FM, film yang sangat ringan. Tama sudah terlalu
pusing dengan urusan kerjaan dan tidak mau tambah puyeng menonon film yang
harus membuatnya berfikir lagi.
Disaat lagi asik nonton film,
handphone Tama berdering . “Siapa sih malam-malam gini yang telpon,” gerutu
Tama sambil beranjak dari kasurnya untuk
mengambil handphonenya yang ada tergeletak di samping televise.
Dilihatnya dilayar tertulis nama Romi, teman kerjanya. Sebenarnya Tama malas untuk mengangkatnya
tetapi barangkali panggilan ini penting soal kerjaan.
“Halo Rom, ada apa?” Tanya Tama
pada Romi. “Ah aku udah makan, lagian aku juga malas keluar lagi lagian udah
jam 10 malem,” Tama diam sejenak mendengarkan ocehan Romi di telpon. “Iya, aku
keluar sekarang, bukain gerbang.”
Tama jadi menyesal mengangkat
telpon dari Romi. Tadi di telpon Romi mengajak makan tetapi kayaknya ada tujuan
lain selain makan. Lebih mengesalkan ternyata dia udah ada di gerbang kost, mau
nggak mau Tama mempersilahkan sahabatnya masuk ke kost. Ini bukan yang pertama
kali Romi melakakuan seperti ini. Kelakuan kayak gini yang sering buat Tama
kesal.
Begitu masuk kamar, Romi
langsung menjatuhkan bandannya di sofa. Terlihat pakaian kerja masih melekat di
tubuhnya tetapi wajah segar masih terpancar. Tama hanya menduga pasti Romi
habis ketemu client malam ini pulangnya langsung ke sini. Dari gelagatnya akan
muncul nggak enak.
“Hari ini kan Rabu,” Romi mulai
berbasa basi melancarkan rencananya.
“So?” Tama menanggapi dengan
singkat, matanya masih terpana pada layar terlevisi. “To the poin aja dech.”
“Okey. sekarng Rabu Gaul, yuk
cabut ke Legian,” Romi mengedipkan mata
dengan genit ke arah Tama sebagai tanda rayuan.
“Ich jijik tau mata kamu.” Tama
melemparkan bantal ke arah Romi namun dapat di tangkisnya. “Ogah ah dugem gitu-gitu yang ada tepar.”
Tama segera menolak ajakan dari
Romi. Memang sih Tama sudah lama nggak dugem tapi malam ini rasanya malas
banget ke tempat seperti itu meskipun besok adalah hari libur.
“Ayolah….” Romi terus berjuang
mengajak Tama. “Gwe bayarin minum dech,” serangan rayuan kedua dari Romi.
Tama tetap saja cuek apa yang di
katakana oleh Romi. Matanya masih terpusat pada televisi. Lagian Tama sudah
berhenti merokok apalagi minum. Kalau sampai minum alcohol dietnya bisa
berantakan lagi. Alcoholkan bisa mengakibatkan perut buncit apalagi sekarang
Tama sudah berumur 30 sudah masanya perut membuncit bila kelebihan berat badan.
Romi sudah siap malancarkan
jurus berikutnya. “DJ-nya seru loh male mini gwe denger dari Ausie. “ Romi
sekarang beralih duduk di kasur bersebelahan dengan Tama. “Nanti juga banyak
yang mau gabung koq.”
“Siapa saja” Tanya Tama,
sepertinya ada sedikit ketertarikan mengikuti ajakan Romi.
Denga cekatan Romi segera
menjawab. “Tadi sih Dina sama Mita minta di jemput mereka kan satu kost. Frans
sama Piter nanti nyusul. Bastian sam Indri kayaknya udah nyampe dech.”
“Wih gokil……seru tuh. Ayo gih
kamu berangkat sana kasian Mita sama Dina udah nunggu.” Tama mendorong Rm
sebagai tanda pengusiran.
Tama masih tidak tertarik ajakan
dari Romi apalagi dengan sederet nama teman tongkrongannya ada diantara mereka
sebagai ratu dan raja clubbing.
“Ayo lah Tam…ikut…..” Romi masih
tetep bertahan di kamar Tama.
Handphone Romi berbunyi. “Dari
Mita,” kata Romi menunjukan nama di layar handphone kepada Tama. Tama hanya
melihatnya sekilas.
“Iye Mit, ni gwe masih di kost
Tama sabar ye… ni Tama susah banget di ajak. Bentar.” Romi memberikan
handphonenya kepada Tama.
“Ogah ah ngomong sama Mita, aku
gak ikut titik.” Tama semakin kesal pada ulah temannya yang masih memaksa
ikutan dugem.
“Bentar aja……ngomong dulu sama
Mita kalo loe gak ikut.”
Terpaksa Tama berbicara dengan
Mita di handphone. “Apa Mit?Hmmm, yaa……” Tama hanya menggumam mendengarkan
ocehan Mita. “Beneran ya…..janji….ok aku
ikut.”
“Yes!!!” Romi bersorak gembira
akhirnya Tama luluh juga oleh rayuan Mita. Sebenarnya Romi penasaran juga sih
apa yang di omongin Mita, Tama bis berubah pikiran.
Tama segera mengganti
pakaiannya. Pilihan Tama pada kemeja biru gelap dipadukn dengan jins hitam
ketat. Tidak ketinggalan rambutnya dilumuri dengan gel agar tegak berdiri.
Bubuhan parfum mengharumkan seluruh badan dan bajunya. Malam ini agar tidak
terlalu formal tama lebih memakai snekers warna putih.
“Ayo berangkat,” Tama menarik
Romi yang masih rebahan di kasur.
“Koq sekarang kamu jadi yang
semangat sih?” Tanya Romi keheran sambil berdiri dan berjalan ke pintu.
“Udah ah gak usah cerewet.” Tama malas membahasnya dan segera bergegas ke
keluar dari kamar berjalan menuju mobil Romi yang terparkir di depan kamar.
Mobil Romi meluncur di jalanan
mulus Kota Denpasar, tujuan berikutnya ke daerah Panjer tempat kostnya Mita dan
Dina. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kost Tama yang ada di daerah Renon.
Cukup dengan 5 menit sampai di kost Mita dan Dina, ternyata mereka sudah siap
bahkan sudah nangkring di denpan pagar kost. Rute berikutnya mereka menyusuri
jalan Sesetan dan By Pass Ngurah Rai menuju daerah Legian.
Sepanjang perjalanan mereka
lebih banyak ngegosipin salah satu teman mereka yang ketahuan selingkuh dan
biang gosipnya adalah Dina. Tama lebih memilih diam dan asik dengan game di
smartphonenya. Sesekali Mita berkaca mengawasi make up-nya dan bila ada dirasa
kurang segera di rapihkan. Mita lebih terliha glamour dengan mini dress ungu,
sepatu hak tinggi hitam mengkilat dipadu dengan tas tangan berwarna ungu. Dina
kebalikan dari Mita terlihat lebih simpel, hanya mengunakan calana jins ketat,
kaos berawarna pink ketat dengan belahan dada dipadu dengan kemben putih tidak
ketinggalan pakai sepatu hak tinggi.
Berhubung sudah malam dan
jalanan lengan. Hanya membutuhkan 15 menit perjalanan dari Panjer ke Legian.
Suasana tampak sangat jauh berbeda antara Legian dengan Denpasar dimalam hari.
Di sepanjang Legian suara hingar bingar di tempat hiburan membahana khsusnya
sekitar monument bom Bali. Tujuan Tama dan teman-temannya ke pub sekitar
monument Bom Bali.
Tama dan teman-teman segera
memasuki pub yang penuh dengan orang dari berbagai Negara, sebagian besar besar
tetapi banyak juga orang Indonesianya. Dentuman
musik menyeruak ke seantero ruangan termasuk menusuk telinga para pengunjung.
Sebagian pengunjung hanya duduk sambil minum bir ada juga yang berdisko ria mengikuti
alunan music di dekat bar. Ada juga pasangan yang sedang bermesraan.
“Eh itu Bastian,” Mitha menunjuk
cowok gendut yang sedang duduk di bar.
“Ya udah panggil aja dia kita
duduk di sana yang tempatnya lebih besar jadi bisa nampung kita semua.” Ucap
Romi sambil menunjuk sebuah tempat dipojok ruangan dengan meja besar
dikelilingi sofa.
Tama mengikuti langkah Romi
sedangkan Mitha berjalan ke Bastian untuk mengajaknya bergabung dengan yang
lain. Tama lebih memilih duduk paling
pinggir biar lebih leluasa kalau tiba-tiba ingin meninggalkan café. Buat Tama
ini merupakan tempat yang paling tidak nyaman, kalau bukan karena terpaksa
tidak mungkin ikut ajakan Romi dan Mitha.
Tak lama setelah kedatangan
mereka pelayan menyuguhkan beberapa minuman berakohol dengan kadar yang tinggi.
Langsung saja Dina menyeduhkan minuman tersebut ke gelas. Romi, Mitha, Bastian,
Indri menyambut mengambail gelas yang berisi alcohol.
“Nih buat lo,” Dina memberikan
satu gelas ke Tama, terpaksa juga Tama menerimanya karena nggak enak juga sama
tema-temanya yang sudah antusias untuk berpesta. Semua orang sudah memegang gelas.
“Cheeerrrssss” Teriak Dina lalu
disambut dengan yang lainnya. Gelas mereka berdeting akibat saling beradu.
Bastian langsung menengguk habis
minuman padahal terisi penuh. Tama sendiri hanya berpura-pura meminumnya. Pesta
sudah dimulai acara minum-minum segera berlanjut. Romi lebih memilih berdisko
di lantai dansa. Untuk menghilangkan rasa suntuk Tama merokok dan asik dengan
gadgetnya. Sebenarnya sudah tidak sabar ingin meninggalkan tempat ini tetapi
masih belum bisa menunggu janji dari Mita.
Sekarang sudah tengah malam,
pesta mereka semakin meriah apa lagi Piter dan Frans sudah bergabung. Dina dan
Romi sudah setengah mabuk, omongan mereka sudah agak melantur. Meskipun suasana
ramai Tama merasa bosan karena memang tidak minat pada acara seperti ini. Saat Tama
akan memutuskan pergi dari sekumpulan pemabuk ini muncul cowok ngondek dan
seorang wanita yang luamayan cantik wajahnya manis tubuhnya terlihat seksi.
Kedua orang ini menghampiri Mita. Mungkin inilah orang yang ditunggu Tama dari
tadi.
“Woy Tam, kenalin ini Raisa yang
tadi aku omongin di telpon.” Mitha memperkenalkan cewek itu kepada Tama.
Raisa langsung menghampiri Tama.
Tama bangkit dari duduknya lalu menjabat tangan Raisa dengan senyum.
“Hai….salam kenal,” ucap Tama
bersahabat.
Lalu mereka duduk bersebelahan.
Tama segera menyeduhkan minuman berakohol itu ke gelas yang masih kosong tanpa
ad yang punya. Gelas tersebut terisi setengah, sebagai tanda perkenalan mereka
berdua cheers lalu menenggak minuman tersebut. Sebenarnya Tama males banget
sampai minum alcohol tetapi ini demi sesuap nasi.
“GImana liburan di Bali?” Tanya
Tama basa basi, dan terpaksa agak setengah berteriak agar suaranya bisa
mengalahkan dentuman music.
“Seru, maka dari itu aku lagi
cari rumah di sini. Biar bisa nggak repot kalau ke Bali.” Raisa membalasnya
dengan berteriak juga.
Selanjutnya mereka bercengkrama
sambil teriak-teriak karena musik mengalahkan suara mereka. Tidak membutuhkanlama
untuk megakrabkan diri karena keduanya sama-sama lues dalam berteman. Mereka
juga semakin menghangat karena minuman.
“Pindah ajah yuk ke hotel ku,
capek disini ngomongnya teriak terus.” Ajak Raisa pada Tama.
“Jauh gak hotelnya?”
“Nggak koq deket sini tinggal
nyebrang situ.”
“Oke lah,” Tama mennyetujui
ajakan Riasa. “Eh aku cabut duluan sama Riasa,” Tama berpamitan kepada
kawan-kawannya.
“Jangan lupa pake ini.” Romi
menaruh sebutir pil berwarna pink dan kondom. “Have fun ya….”
Tama langsung saja pergi tanpa
mengambil barang yang diberikan oleh Romi. Suasana diluar pub masih saja ramai
padahal sudah lewat tengah malam. Sebagian dari mereka khususnya para bule
jalan sempoyongan karena mabok. Gadis-gadis cantik berpakaian minim berdiri
depan café sambil member salam mengajak wisataan yang lewat masuk ke dalam ada
juga yang membagikan selebaran.
Hotelnya Raisa memang cukup
dekat dari café tempat tadi berkumpul. Mereka berdua masuk kamar hotel. Tama
duduk diatas sofa yang empuk. Raisa sendiri begitu masuk langsung melepas
sepatu hak tingginya mungkin sudah terlalu capek tumitnya. Lalu ke kulkas
mengambil sebotol minuman alkhol tentunya langsug dituangkan ke gelas. Raisa
memberikan satu untuk Tama.
Raisa duduk di sebelah Tama,
dekat sekali. Sepertinya Raisa tertarik dengan Tama. Begitu pula dengan Tama
siapa sih yang nggak suka sama Raisa, cewek cantik dengan badan aduhai pasti
setiap pria normal nafsu sama dia.
“Oh ya kata Mitha kamu mau
rekomendasikan rumah,” Raisa memulai obrolan.
“Kalo saya rekomendasikan pasti
ditempat ku lah daerah Nusa Dua kalau nggak ya di Denpasar.”
“Menurut kamu lebih baik
dimana?”
“Di Denpasar karena banyak
kehidupan disitu. Kalau di Nusa Dua sepi gitulah tapi buat menenangkan diri
atau liburan cocok sih.”
“Ouh gitu,” Raisa mengangguk.
“Ayo donk di minum jangan di pegang saja.”
Tama meneguk sedikit minumannya
tanda menghormati tuan rumah. Bagi Tama ini sudah memasuki sesi pekerjaan. Tama
memang bekerja sebagai agen property, kerjaannya mencari orang yang bersedia
membeli rumah. Sejak pindah di Denpasar Tama menekuni profesi ini. Sebelumnya
di Semarang pekerja kantoran. Tama merasa bosa setiap hari aktifitasnya Cuma
dikantor. Lalu Tama mendapat tawaran pekerjaan di Denpasar, tanpa pikir panjang
Tama langsung menyetujuinya. Sekarang sudah hampir setahun tinggal di Denpasar.
Entah disengaja atau tanpa
sengaja minuman yang di pegang Raisa tumbah di baju Tama.
“Eh maaf tumpah,” ucap Raisa
sambil mengusap tangannya di dada Tama untuk mengeringkan air. Sebeneranya
tidak ada gunanya juga melakukan seperti itu karena baju Tama basah seluruhnya
di bagian depan.
“Gak apa-apa koq.”
“Lepas aja bajunya, aku ada kaos
cowok koq tadi sore baru beli.”
Tama mengangguk lalu segera
melepaskan bajunya. Sekaran terpangpang sebidang dada yang agak kekar dan perut
rata tetapi tidak kotak-kotak karena sudah lama sekali Tama tidak fitness.
Raisa masih saja duduk disebelah dan terkesima dengan badan Tama. Mata Raisa
berbinar-binar seperti menemukan permata.
Tama menjadi salah tingkah Raisa
menatapnya seperti itu. Di samping Tama ada bantal sofa lalu diambilnya untuk menutupi
dadanya. Tetapi Riasa menepisnya, “Dada kamu bagus kenapa harus malu.” Raisa
meraba dada Tama dengan jarinya, kukunya sangat indah panjang dan bercat ungu.
Saat akan menepis tangan Raisa,
tiba-tiba saja bibir Tama dilumat oleh bibir Raisa. Tama tak berdaya mendapat
rangsang seperti itu. Tidak ada tenaga untuk menolaknya. Pikiran sehatnya
hilang sekejap, yang ada dibenaknya bersyukur mendapatkan wanita secantik
Raisa.
Permainan liar itu berlanjut,
ditariknya Riasia oleh Tama lalu di banting ke kasur yang empuk. Posisi mereka
sekarang bertindihan. Bibir mereka masih saja beradu. Keduanya terhanyut oleh
bisikan setan yang durjana. Dengan sigap Raisa melepas gaun, begitu pula dengan
Tama. Kini dua manusia tersebut hanya mengenakan pakaian dalam.
Saat Rasia akan mempelorotkan
celana dalam Tama. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba merasuk Tama dan menjadi
sadar seketika. Tangan Tama berusaha menahan usaha Raisa. Mata terbelalak dan
seketika itu juga mencabut bibirnya yang sedang di lumat Raisa. Tama segera
bangkit tapi posisinya masih menduduki Raisa dan mematung, rasa shock menjalar
keseluruh tubuh. Masih belum percaya apa yang telah diperbuatnya.
“Kenapa Tam?” Tanya Raisa. Tama
langsung terbangun dari lamunannya.
“Maaf aku nggak bisa.” Ada rasa
bersalah dan penyesalan dalam nada suara Tama.
Tama menyesal telah melakukan
hal bodoh dan akan lebih merasa bersalah bila bersenggama tersebut dilanjutkan.
Tidak seharusnya Tama melakukan seperti itu, karena Tama sudah mempunyai Fitri.
Tama bangkit dari kasur dan
segera memungut celana panjang dan bajunya yang berserakan dilantai. Raisa
sendiri masih tergeletak di kasur dan masih ada rasa tidak percaya dirinya
dicampakan oleh Tama. Ada rasa marah berkecambuk di dada Raisa.
“Kenapa?” Raisa menanyakan
kembali karena penasaran kenapa tiba-tiba Tama menghentikan aktifitas itu.
“Aku tidak bisa,” jawab Tama
tanpa menjelaskan alasan.
“Iya tapi kenapa?” Raisa terus
mendesak.
“Aku sudah punya istri dan kamu
juga sudah punya suami kan?”
“Nggak usah munafik dech, kamu
juga “butuh” kan? ” Kata Raisa berang.
Sambil memakai celana menghadap
Raisa .”Aku memang “butuh” tapi aku bisa lakukan dengan istriku. Mungkin Romi
yang lebih membutuhkan itu semua sex dan uang.” Tama berusa mengontrol emosi
yang siap meledak.
“Jadi tujuan mu minta ketemu aku
buat ml bukan untuk beli rumah?” Tanya Tama sinis.
Raisa hanya diam karena tidak
bisa menjawab pertanyaan Tama. Namun didalam otak sedang berputar mencari
sesuatu untuk menyerang Tama dengan perkataan.
“Memang seberapa hebat apa
istrimu di ranjang,” desis Raisa dengan tatapan murka.
“Mungkin dia tidak sehebat kamu,
tapi dia bisa lebih mengerti aku.Apa kamu tidak memikirkan suami mu dirumah
yang sedang mencemaskan mu menunggu kedatangan mu.” Suara Tama sedikit
dipelankan tetapi setajam silet menyayat hati Raisa.
Mendapat penjelasan seperti itu
Raisa membumkam. Mungkin ada rasa penyeselannya juga telah menghianati
pernikhannya itu. Raisa menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Tama sendiri
sudah berpakaian meskipun masih terlihat acak-acakan.
“Maaf aku pulang dulu, terim
kasih” Tama berpamitan pada Raisa. Segera meninggalkan kamar hotel.
Saat itu sudah pukul 3, jalanan
agak lengang suara hingar bingar musik dugem sudah tidak seberisik waktu Tama
datang di kawasan Legian. Tama memberhentikan Taxi yang sedang lewat.
“Ke air port pak.” Pinta Tama
kepada supir Taxi tersebut.
Kepada : Mita
Dari : Tama
Pesan : Mit, Sory aku resign dari kerjaan besok aku kirim surat
pengunduran diri.
Kepada : Romi
Dari : Tama
Pesan : Makasih buat malam ini. Aku dapat kebahagiaan hidup.
Tama mengirimkan dua pesan
tersebut untuk kedua temannya. Hidup ini adalah suatu pilihan dan Tama
menyadari pilihannya bekerja di Bali tanpa di damping istri suatu kesalahan
fatal tetapi tidak menyesalinya karea ini adalah pengalaman hidup. Berkat Romi
juga Tama mendapatkan pelajaran hidup di mala mini.
Tama akan pulang ke Semarang
pakai pesawat paling pagi, meskipun belum membeli tiket pesawat dan tanpa
persiapan lainnya. Tama masih menyesal pada perbuatannya, perasaan itu
membawanya ingin segera pulang dan bertemu dengan keluarganya. Sepanjang
perjalanan itu memikirkan akan meninggalkan pekerjaanya di Bali. Ternyata dekat
dengan keluarga itu lebih baik, itu yang ada di benak Tama saat ini.
No comments:
Post a Comment