Jadi mahasiswa itu ternyata nggak selama bisa santai.
Mendekati UTS tugasnya makin gila-gilaan segila cinta gue terhadap aa Iw, udah
tau punya istri tapi masih tetep aja dipacarin. Baru sekarang gue ngalamin
nyeseknya jadi madu di pernikahan orang lain. Apa ada daya gue sudah cinta
mampus sama aa Iw jadi dinikmati saja bersusaha selalu menjadi madu yang manis.
Ya sudah lah.......
Sudah lama juga gue nggak ngumpul bareng dua sahabat gue
yang homo, Ban dan Bin. Bukan karena kesibukan gue semata mengabaikan keduanya.
Toh hampir setiap hari gue juga ketemu Bin yang emang satu kelas sama gue. Bukan
Ban juga yang sok sibuk mentang-mentang kuliah di PTN sehingga kita nggak
ketemu dalam satu bulan. Gue sih masih sering main ke rumah Ban kalau lagi
butuh tebengan internet cari tugas. Jadi intinya gue sendiri yang ketemu dengan
Bin dan Ban tetapi kita bertiga nggak ngumpul dalam satu waktu dan tempat.
Masih ingat dengan acara kumpul di kolam renang? Itu hari
terakhir bertiga ngumpul. Ban dan Bin di kolam renang melakukan adegan konyol
sebagai cowok normal, tetapi hal itu sudah biasa dikalangan homo. Mereka
jambak-jambakkan bahkan cakar-cakaran sebabnya adalah Ban tau kalau Bin tidur
barenng dengan pacar barunya Ban.
Secara nggak sengaja Ban medengar bisikan Bin ke gue.
Setelah itu terjadilah kejadian paling epic dalam persahabatan kita. Awalnya cuma
adu mulut terus berlanjut dorong. Eh makin heboh aja jambak-jambakkan,
beruhubung Ban rambutnya pendek susah dijambak, Bin mengganti strategi dengan
mencakar. Sedangkan orang yang diributin llangsung ngacir, dasar homo nggak
tanggung jawab. Begitulah singkat ceritanya.
Sekarang gue bingung sendiri berada diantara mereka yang
sedang gencatan senjata. Merunut gue sih sudah waktunya untuk berdamai, nggak
baik jugakan sodara bisa brantem macam gitu. Gue nggak ngerti harus dari mana
untuk mendamaikan mereka. Tapi senggaknya mempertemukan mereka dulu ditempat
netral, yaitu kost gue.
Bin sengaja gue culik ke kost dengan dalih bikin tugas
bareng. Sedangkan gue menjebak Ban dengan alasan gue sakit, minta dianterin
bubur. Awalnya Ban ogah karena kejauahan ke kost gue, tapi gue berdalih pengen
banget bubur itu supaya cepet sembuh akhirnya mau juga.
Gua lagi asik browsing
bahan tugas, sedangkan Bin masih berkutat dengan buku pinjaman
perpustakaan. Tanpa ada kata permisi Ban nyelonong masuk. Gue kira cuma ada
adegan ini disinetron, tetapi dikehidupan nyatapun ada.
Ban bendiri dengan wajah memerah. Lalu membanting kresek
yang berisi satu cup bubur. “Jadi ini
maksud elo??” Ban menuding gue. “Elo njembak gue buat ketemu sama curut itu?”
Ban beralih menunjuk Bin.
Bin segera berdiri melihat kedatangan Ban yang sekarang
menjadi musuhnya. “Heh!! Elu tuh yang curut, sembarangan ngatain orang,” Bin nggak
terima dibilang curut. “Elo tuh jadi homo sok polos, jadi gampang diboongin
kan!!”
Waduh..... dua-duanya langsung frontal gitu ya, apalagi
menyebut kata homo dengan lantang. Semoga saja penghuni kost lain lagi pada
dengerin desah bokep dilaptopnya masing-masing.
Gue harus bertindak cepat sebelum lebih heboh dari jambak-jambakan atau
cakar-cakaran.
Ban sudah maju selangkah. Gue lengsung berdiri mencoba
menghentikan. Tetapi Bin malah ikut maju juga. Gue berada tempat
ditengah-tengah homo yang sedang murka. “Elu belain siapa?” tanya mereka
kompak. Ok sekarang gue bener-bener terjebak dengan rencana gue yang diluar
kendali.
Gue mendorong satu persatu dari mereka yang ternyata
lumayan berat. “Gue nggak belain kalian semua. Gue cuma mau mendamaikan
kalian!!” pekik gue.
Mereka langsung terdiam, mungkin karena terperangah
mendengar jeritan suara lelaki dari pita sura gue. Perlu dicatat, nggak semua
homo itu kalau teriak pakai suara valseto, OK! Bin dan Ban selangkah menjauh.
Wajahnya sih masih keliatan marah, tapi tetep takjub sama gue yang jadi lakik.
“Tenang.....tenang jaga mulut bencong kalian!!” gue
mencoba menenangkan merkea.
“Elu yang bencong!!!” teriak mereka bersamaan. Berarti
mereka mash terkendali.
“Kenapa sih kalian masih marahan saja?” tanya gue pelan
agar emosi mereka tidak tersulut.
Mereka tidak langsung menyahu tetapi mata mereka saling
berpandangan dengna bengis, mengisyaratkan kalau saling menyalahkan. Seesekali
Bin meledek dengan memajukan badannya seolah-olah siap duel. Untungnya Ban
punya kontrol sehingga tidak terpancing.
“Gimana nggak marah coba, bf baru gue diembat sama dia!!”
nada suara Ban terdengar marah, bahkan dendam kesumat.
“Pecuma gue jelasin, mulut gue berbusa juga dia nggak
bakal dengerin, kuping elo ketutupan pejong dia,” Bin menimpal segera nggak kelah
kesal. Gue tau Bin sudah berulang kali menjelaskan, tetapi Ban masih teteap
dengan pendiriannya bahwa Bin yang salah. “Lagian tuh ya cowok elu tuh yang
kegatelan.”
“Gimana gak kegatelan, elu sendiri yang nawarin buat
garukin. Elu juga pasti pasang muka pengen.” Ban nggak terima bekas pacarnya
disebut kegatelan. Status Ban dan orang diributkan sudah putus hari itu juga.
“Bukan salah gue donk, kalau dia tertarik sama gue yang
cakep gini,” kelakar Bin penuh kemenangan.
“Mana ada elu cakep, bitchy
sih iya,” serang Ban nggak terima.
Perang mulut semakin seru aja, bagaikan pertandingan
emak-emak adu mulu ditukang belanja gara-gara ngeributin suami yang selingkuh.
Kelakuan kedua sahabat gue yang homo hampir sama lah... kebiasaan homo yang
lagi berantem adalah perang mulut, siapa yang nyinyirnya paling pedas itulah
juaranya. Kalau sudah semakin brutal adu mulut, bisa dipastikan babak
selanjutnya adalah jambak-jambakkan.
Gue harus melerai pertempuran ini sebelum ke ronde
berikutnya. Bin sudah siap-siap mengasah kukunya untuk keperluan mencakar pipi
mulus Ban yang sudah dirawat dengan sari pati lelaki perjaka, tapi berhubung
“dipake” Ban keperjakaan lelaki itu luruh sudah. Gue juga nggak mau reputasi
lelaki terhormat hancur dimata teman-teman kost karena ketahuan punya teman
lelaki yang macam emak-emak komplek perumahan hobi ngeributin suami orang.
“Sudah......sudah!!”
teriak gue lagi untuk melerai keributan. “Kalian itu lakik atau homo
sih?” sebuah pertanyaan bodoh. “Kalau kalian merasa lakik, berantemnya itu
jotos-jotosan,” gue sedang menyadarkan mereka pada kodratnya sebagai lelaki
tulen.
“Dia yang mulai ribut,” Bin menunjuk Ban dengan sengit.
“Dia yang mulai merebut pacar gue,” balas Ban murka.
“Gue udah jelasin berkali-kali. Gue ML sama dia karena nggak
tau dia sudah punya pacar,” Bin kembali
menjelaskan lagi, kalau memang nggak bersalah.
“Gue nggak yakin, kalaupun elu tau dia udah punya bf
pasti elu tetep embat juga. Elu itu ratunya bitchy.”
Ban menyerang dengan frontal.
“Iya nggak gitu juga........,” jawab Bin ragu-ragu.
Mendengar jawaban seperti itu Ban semakin berang. “Tuh
kan bener elu tuh emang pecun....segalanya emang diembat,”
Tipe homo itu beda-beda ada yang kalem macam gue (itu
fitnah) ada pula yang agresif seperti Bin yang segala sesuatunya “dipakai”. Ini
yang perlu dikhawatirkan, homo yang kayak gini nggak peduli partnernya udah punya pacar atau belum,
yang penting bisa buat ngewe dan puas. Kebutuhan sex bisa melupakan akal sehat
dengan mengesampingkan perasaan pacar dari partner
sex atau pacarnya sendiri.
Sekarang gue mulai khawati, jangan-jangan pacar gue alias
aa Iw juga digoda sama Bin yang maruk kepada segala macam lelaki. Apalagi aa Iw
adalah lelaki produk unggulan, badan bagus, tampang ganteng, straitght act, mapan dan gaya bercinta
oke punya. Gue nggak bisa maapin kalau Bin emang godain lakik gue. harus
introgasi dia.
“Jangan-jangan elu juga goadain lakik gue?” tanya gue
dengan garang.
“Elu nggak usah nambah masalah dech!!” gertak Bin
jengkel.
“Gue tanya baik-baik,” ucap gue jengekel, mana pula tanya
baik-baik dengan intonasi sangar.
“Gue nggak ngerti otak kalian berdua dimana, nuduh gue
sembarangan,” Bin semakin jengkel dan frustasi.
“Bukan salah otak kita berdua,” sergah Ban sengit. “Salah
elu sendiri donk yang binal, semuanya mau,” tambah Ban lagi.
Bin tidak langsung menjawab. Malah terpekur memandang
kami lekat-lekat. Gue bisa membaca raut muka Bin anatara marah, tapi disisi
lain juga terlihat sedih. Semua rasa itu jadi satu diwajah Bin. Tiba-tiba saja
meleleh air mata.
Gue dan Ban kaget donk koq tiba-tiba Ban malah nangis.
Homo macam dia bisa nangis juga, gue pikir dia cuma bisa mendesah dan menggaet
pacar orang buat dijadiin partner ngewe.
Gue dan Ban saling pandang, melihat kejadian dramatis ini.
“Gue tau, gue binal dan libido gede,” ucap Bin dengan
berkaca-kaca.
“Iya kita semua tau koq tanpa elu bilang sendiri,” gue
dan Ban menyahut berbarengan.
“Meskipun gue binal, bitch,
suka ngewek tapi gue masih punya hati.....” Bin sesenggrukan, “Gue tau mana
yang gue mau diewe atau gak. Gue juga nggak mungkin nyakitin sahabat gue dengan
ngewe pacarnya.” Derai air mata Bin semakin deras saja.
Hati gue ikuta terenyuh menyaksikan adegan haru biru,
betapa sebenarnya Bin punya hati nurani yang mulia. Memang seharusnya sahabat
adalah saling menjaga kepercayaan dan tidak mencuri apa yang sudah dimiliki
sahabatnya. Gue mulai luluh.....
Ban menyikut gue, “Heh dia itu Cuma akting aja kali.”
Gue jadi mengamati Bin secara seksama. Apakah akting atau
memang nangis beneran dari lubuk hati yang paling dalam. “Elu gak usah
sandiwara gitu dech.....” gue mulai mempercayai Ban.
“Akting gue jelek ya?” tanya Bin sambil menghentikan
sandiwaranya. “Bagian mana yang jelek?”
“Mana ada orang nangis dari hati lubuk paling dalam malah
sibuk kucek-kucek mata, elu tuh cuma kelilipan.” Ban menunjuk Bin yang matannya
merahi. Disekitarnya juga ada remah kotoran dari atap.
“Tapi gue serius Banci.... gue nggak mungkin ngerebut
suami orang, apalagi suami sahabat gue sendiri,” ujar Bin serius dengan
mengacungan telunjuk dan jari tengah sebagai tanda swear.
“Elu tuh nggak ngerebut,” tandas gue percaya pada Bin.
“Tapi elu “make” pacar temen elu sendiri Bincung.”
“Terserahlah apa pun itu sejenisnya, yang penting gue
nggak ada maksud jahat sama elu Banci. Kalau gue tau itu sudah jadi pacar elu,
gue juga nggak mungkin ngewe sama dia.” suara Bin terdengar penuh penyesalan.
“Gue kenal dia dari Grindr. Dia yang pertama nyapa gue.” Bin menceritakan awal
kronologi bertemu dengan mantanya Ban.
“Terus elu emang daasar keganjenan langsung ngajak
ngewe,” tuduh Ban yang masih kesal dengan menebak kelanjutan kronologi.
Bin hanya menghela nafas, mencoba meredam emosi. Gue tau,
Bin sedang gregetan sama Ban yang nggak percaya setiap omongan yang keluar dari
Bin. Itu wajar aja sih kalau orang lagi marah pasti gak peduli apa yang
dikatakan pelaku kejahatan.
“Dia yang ngajak ngewek, awalnya gue nggak mau karena
sedang dalam program perngurangan ngewe. Tapi emang dasarnya setan itu selalu
pinter, akhirnya kena bujuk rayu apalagi dia pamerin foto bugilnya,” Bin terus
nyerocos tanpa memperdulikan Ban yang menyela omongan.
“Mana? masih ada gak fotonya? Gue liat donk,” gue
penasaran “barang” yang diributkan oleh kedua sohib gue, namaya juga homo
selalu aja penasaran dengan “barang” milik lakik, apalagi dia kategori bibit
unggul cakep. Gue langsung mendekat Bin.
“Heh nggak usah ikut-ikutan gatel ya kayak Bincung itu.”
Ban ngepruk kepala gue dengan gulungan koran, yang tadi gue beli di depan
kampus. Ada koran Rp.1000 lumayan murahkan. Bermanfaat pula buat ngelap pejong
berceceran di lantai. Gue membalas dengan nyengir.
Bin menyerahankan smarthphone
ke Ban sebagai barang bukti bahwa dirinya memang tidak bersalah. Semuanya
ada dalam percakapan di aplikasi Grindr. Awalnya Ban ragu untuk membaca karena
sudah yakin bahwa pelaku utamanya memang Bin yang suka kegatelan. Tetapi
setelah gue desak akhirnya mau juga membaca percakapan mesum antara Bin dengan
mantan pacarnya Ban.
Setelah membaca isi percakapan itu Ban terdiam sesaat,
entah apa yang dipikirkan. Apa mungkin jadi semakin marah atau merasa besalah
telah menjambak Bin. Sahabat gue yang satunya lagi sedang berharap-harap cemas,
mengharapkan bukti tersebut dapat meluruhkan prasangka buruk.
“Bin maapin gue ya? Udah nuduh elu yang nggak-nggak.
Merebut suami orang,” ucap Ban lirih menyesal pada perbuatannya. “Tetapi
tuduhan elu sebagai makhluk bitchy
emang benar adanya,” Ban tersenyum mengejek.
“Tuh.....kan.....!!” sekarang gantian Bin yang sewot.
“Makanya ada orang cerita itu dengerin dulu, jangan asal njambak gitu!”
“Iya maaf dech......gue yang salah,” Ban serius meyesali
atas kejahatan fitnah.
“Elu udah baca sendiri kan? Yang mulai duluan dia kan?
Elu juga mau-maunya jadian sama dia.” Bin semakin membara emosinya yang nggak
terima dituduh biang kerok penggodaan.
“Iya udah sih maap. Itu salah gue waktu itu gak kasih
pengumuman ke kalian semua kalau gue punya pacar dan gak kasih tau tampang foto
kayak gimana,” Ban menunduk takzim, pasrah dimarahin Bin.
Selanjutnya kita bertiga pelukkan, sebagai tanda
perdamaian. Adegah haru ala sinetron yang biasanya dalam persahabatan cewek
terjadi juga dalam kehidupan gay. Kita yang gay itu unik, cowok yang punya
sifat setengah lakik setengahnya lagi campuran perempuan yang PMS dan lakik
yang kekurangan hormon estrogen.
“Tapi lakik elu, jago dech,” Bin nyengir penuh
kemenangan.
“Jadi yang kamu bekasannya Bin?” sela gue mentap Ban.
“Atau elu Bin, bekasannya Ban?” gantian gue menatap Bin dengan jijik.
Kita bertiga saling menatap lalu tertawa terbahak-bahak.
Kita mengalami sesuatu yang absurd dalam dunia gay. Siapa saja bisa jadi bekas
dari kumpulan homo yang lain, karena dunia homo itu kecil dalam satu lingkup
kota. Dia bisa menjadi bekas gue lalu berpindah ke mereka-mereka yang haus sex.
Kita juga menertawakan kebodohan sendiri. Bahwa
persahatan dalam dunia gay memang rawan berantakan hanya karena urusan lelaki.
Jika ada satu lelaki direbutkan oleh dua orang sahabatan ini maka persahabatan
menjadi taruhan, siapa akan mengalahkan shanya untuk mendapatkan satu lelaki.
Persahabatan akan menjadi absurd ketika ada lelaki yang mencoba mempengaruhi
mereka. Sudah hal lumrah atau terlihat wajar saja ketika persahabatan bubar
karena pacarnya A berselingkuh dengan B. Bisa saja kejadiannya dibalik B yang
terlebih dahulu menggoda pacarnya A. Kebenaran cinta selalu menjadi kambing
hitamnya untuk melegalkan perselingkuhan. Akar dari perlingkuhan homo adalah
rasa penasaran sex.
Gue sendiri nggak tau harus gimana. Kalau pacar dikenalin
sahabat takut direbut sahabat sendiri, atau pacar gue yang menggoda sohib. Jadi
lebih baik cari sahabat itu yang beda selera cowok, jadi misalnya gue suka
gadun, kita cari sahabat yang suka brondong. Kemungkinan kecil untuk
jambak-jambakan karena rebutan cowok. Selain itu jagalah kepercayaan, karena
persahabatan lebih mahal dari pada satu lelaki murahan. Tapi kalau dudah ursan
sex semuanya jadi buram. Jadi pilihan elu adalah pilih sahabat atau hasrat mu?
“Jadi kalian sudah damaikan?” tanya gue pelan sambil
memandang Bin dan Ban. Mereka juga saling pandang.
“Gue sih udah nggak masalahin lagi,” jawab Bin kalem.
“Hhhmmmmm,” Ban menggumam masih mencari-cari uneknya.
“Udah dech nggak usah cari gara-gara lagi,” Bin mendengus
kesal, yang melihat Ban tampaknya belum mau mengakhiri pertengkaran.
“Gue masih sebel sama elo karena.......,” Ban sedang
mencari kesalahan Bin. “Oh ya elo belum balikin vibrator punya gue,” wajah Ban
tampak cerah setelah mengingat sesuatu yang tampaknya sudah lama dipendam. “Elu
juga belum balikin alat pompa, terus...... belum balikin kondom yang elu
semana-mena ambil,” Ban terus menyerocos barang-barang yang dipinjam Bin.
Sulit dipercaya Ban yang tampangnya kalem punya sebegitu
banyak alat “permainan”, what the hell.
Jujur aja gue kaget banget, dibelakang gue ternyata mereka suka pinjem-pinjeman
kayak gitu. Oh ternyata aku hanya tau permukaan mereka saja, masih banyak yang
gue belum tau tentang mereka. Emang sih sahabatan nggak semuanya perlu
diketahui, nggak semuanya juga perlu diceritakan. Persahabatan adalah misteri,
kita tidak akan pernah tau sahabat sejati kita seperti apa dan bagaimana,
padahal kita sudah lama mengenal.
Muka Bin merah padam, gue nggak tau antara marah atau
menahan malu dihadapan gue. Bin sudah siap-siap menyemprot Ban. “Elo tuh
ya.....emang ngeselin, cari-cari masalah.”
“Elu juga yang ngeselin pinjem barang nggak
dikembalikan,” nada suara Ban naik satu oktaf. Kayaknya bakal ada perang mulut
lagi.
“Masa iya kondom bekas gue pake ada pejong gue balikin ke
elo? Menjijikan sekali,” Bin bergindik ngeri.
“Ya itu barang-barang yang elo pinjem,” Ban berkilah.
“Oh sekarang main itung-itungan?” tanya Bin semakin
kesal. “Emang gue sebel apa sama elo? Tiap dugem minta bedak, belum lagi masker
gue sering elo pakai juga kan? Elu kalau pakai lulur gue banyak banget.”
Sekarang gantian Bin yang mengeluarkan unek-uneknya.
“Lah gue pikir nggak dipakai, masih banyak gitu padahal
sudah mau lewat tanggal kadularsa,” timpal Ban merasa tidak bersalah.
“Gue beli pas lagi diskon yang emang udah mepet
kadaluarsa, eh elu main embat aja.” Bin tambah murka aja atas pernyataan Ban,
apalagi ngomong sambil nyengir-nyengir.
“Ya dech nanti gue ganti........,” kali ini Ban yang
merasa bersalah.
“Eh baju gue yang pink, di pinjem elu gak?” tanya Bin
pada Ban menyelidik.
Ban menggelengkan kepala, tanda baju Bin tidak ada
dilemarinya. “Terus celana gue yang agak bitchy
di elo gak?” Ban balik bertanya pada Bin.
Bin menggeleng juga. lalu keduanya menatap gue. Tanpa
persetujuan gue mereka langsung mengacak-acak lemari gue. mereka mendapati
barang mereka kembali. Bukan maksud gue nggak mau balikin tapi belum sempat.
“Ya ampun ini kan G-String yang gue baru pake sekali
terus elo pinjem,” mata Bin berbinar-binar menemukan harta karunnya.
“Ini juga kan singlet kesayangan gue,” kali ini Ban yang
semangat.
“Elo nimbun pakaian kita ya?” tanya Bin sambil mata
mendelik.
“Nggak gitu, waktu itukan gue main ke tempat kalian nggak
bawa pakaian ganti, gue pinjem dech,” sekarang tersangkanya adalah gue.
Selanjutnya mereka packing
baju mereka sendiri yang gue pinjam. Gue pasrah aja ada perampokan di kamar
gue. Pertengkaran antar sahabat homo adalah hal remeh temeh tentang pinjam
meminjam yang nggak dikembalikan atau bisa juga lupa atau pura-pura lupa
mengembalikan. Kelihatannya sepele sih sih tetapi itu juga menentukan. Elo juga
nggak maukan barang kesayangan elo dipinjem terus nggak dibalikkin.
“Kita semua sudah impas kan? Nggak ada lagi
marah-marahan.” Gue menyimpulkan semua masalah telah kelar. “Maafin gue ya,”
gue menangkupkan kedua tangan, sebagai tanda permintaan maaf.
“Iya gue juga salah koq,” Bin ikut-ikutan.
“Gue udah suka nyusahin kalian,” sambar Ban.
Semua permasalahan elo bisa diselesaikan dengan baik-baik
asal ada niat untuk berdamai. Penyelesaian masalah dengan hati, bukan dari
emosi. Kalau kita sudah emosi semua bisa lepak kendali. Saling mendengarkan
untuk memahami dan menganalisa permasalahan. Jangan terpengaruh dari orang
luar. Biarkan kalian berdua yang menyelesaikan. Orang luar hanya sebagai
penengah dan tidak memihak. Persahabatan adalah hal yang indah, dimana
seseorang bisa menerima elo apa adanya tanpa protes. Mereka orang-orang
dibelakang kita yang selalu mendukung meskipun elo jadi orang yang salah, tapi
mereka berusaha menguatkan kita untuk tidak terpuruk.
“Gue juga udah lupain lelaki brengsek itu,” ucap Ban
menegaskan sudah tidak ada masalah lagi dengan Bin mengenai mantannya. “Gue
lagi pedekate sama anak PTN juga.”
“Cepet amat lu dapetin gebetan,” goda gue.
“Iya donk gerak cepat, udah perlu dijatah,” sesumbar Ban renyah.
“Gue juga lagi deket sama cowok, anak kampus biru juga,”
Bin memberi pengumuman, tetapi dengan nada khawatir.
“Anak teknik?” tanya Ban ikutan khawatir. Bin menjawab
dengan anggukan. “Asalnya dari Sumatera?” tanya Ban lagi. Bin sekali lagi
mengangguk. Kedua saling berpandangan kahawatir.
“Namanya Hamdan?” tanya Bin hati-hati.
“Bukan, namanya Gani,” jawab Ban. keduanya bernafas lega
karena cowok gebetan mereka berbeda nama.
“Bukannya nama panjang dia, Hamdan Ganiayasha?” tanya gue
menyela. “Yang ini kan fotonya?” gue menunjukan foto di smarthphone yang sudah terhubung dengna aplikasi Grindr. Kedua
sahabat gue langsung merangsek gue untuk melihat foto. Setelah melihat foto itu
mereka saling pandang.
“Itu punya gue.......,” pekik Bin histeris.
“Yee..... gue duluan yang kenal,” Ban nggak mau kalah.
“Tapi itu sudah gue tag,
nggak boleh ada yang lain,” Bin semakin histeris
“Nggak bisa gitu donk.... gue udah ngalah lepasin mantan
cuma buat yang baru ini,” Ban ngotot untuk mendapatkan gebetan barunya itu.
“Kemaren gue sebenernya udah ngalah elo dapetin lakik
brengsek itu, karena gue sudah ada penggantinya yaitu Hamdan!!” Bin membentak
di muka Ban.
Pertengkaran mereka semakin panas saja. Gue memperkirakan
bakal ada jambak-jambakkan episoe dua. Dan sudah nyata lelaki adalah perusak
persahabatan homo.
Bersambung
TELAH TERBIT BUKU BERTEMA LGBT. DI JUAL SECARA ON LINE. KLIK SINI UNTUK PEMBELIAN BUKU. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE