Monday 29 June 2015

DISCREET

pic dari screen shot me, My amiliar People
Gay Discreet

Nasib jomblo itu menyedihkan banget, terutama kita bertiga, kita? Bin dan Ban aja keleus. Gue? Bisa dibilang nggak jomblo karena sudah beberapa bulan ini  punya aa Iw, ada tetapinya dia jauh dan punya monyet juga. Jadi dengan kata lain gue sama aja ngenesnya seperti ke dua sahabat gue yang nestapa. Bedanya mereka itu jomblo yang nggak laku-laku, sedangkan gue punya pacar tapi HBL (haus belailan lelaki).

Kali ini mereka ngumpul di kost gue, yang tadinya rapih jadi berantakan gara-gara mereka keranjingan sama bokep yang baru gue dapetin dari warnet. Jajan pun bertebaran dimana-mana. Untung aja tisu sudah gue selamatkan dulu, kalau nggak kamar gue jadi bau amis.

Ban terpaksa ke kost gue karena katanya abis ketemuan sama anak satu kampus gue yang kostnya deket dari sini. Sedangkan Bin ngadem dulu setelah kuliah dari pagi, dia males pulang karena masih panas, takut jadi item padahal dia udah item dari sononya. Lagian Bin kan asli Bali jadi wajar aja sudah gelap dari lahir, terpapar sinar UV dari pantai Petitenget yang merupakan tempat ngumpulnya homo-homo.

Sebenarnya Ban lagi giat-giatnya cari jodoh. Nah, anak satu kampus gue salah satu gebetannya dari sekian banyak lakik buat dimangsa. Ban sedang berusaha pedekate, sapa tau cocok mau dijadiin pacar. Kalau nggak cocok ya tinggal cari yang lain. Katanya lagi sih ini bakal diseriusin, soalnya selain baik hati nih orang jago ML-nya. Udah dua mingguan dia sering ke kost gue setelah atau sebelum ketemu gebetan.

“Ban, elu seriusan sama yang ini?” tanya gue yang sedan perhatiin Ban lagi mupeng liat bokep.
“Maunya gitu sih.” jawab Ban sambil lalu.
“Koq. gitu sih? Katanya elu mau serius sama dia?” tanya gue lagi yang penasaran dengan kata “maunya gitu sih”.
“Abis dianya gitu sih.....,” balas Ban yang kayaknya ogah-ogahan.
“Emang maunya kayak gimana?” tanya gue lagi
“Ya gitu lah mau gue,” sekali lagi Ban jawab dengan kata “gitu”.

What the hell!!! Maksudnya apaan coba dengan “gitu?”. sebenernya secara nggak langsung gue ngerti apa yang dimaksud “gitu”. Intinya adalah Ban ngerasa nggak sreg dengan dia, dan sepertinya akan segera di khiri. Kata “gitu” adalah ketidak terus terangan atau sesorang yang malas menceritakan kejadian sebenarnya, ini salah suatu kebiasaan orang Indonesia selalu muter-muter jika sedang melacur (melakukan curhat).

“Ah elo ditanya nggak jelas banget.” Bin ngepruk kepala Ban karena gemas dengan jawaban “gitu sih”. Ternyata Bin juga memperhatikan percakapan antara gue dan Ban, meskipun mata Bin tetap menuju layar monitor komputer.
“Abisnya, gimana gue nggak kesel, tiap diajak jalan, nongkrong atau nonton dia nggak mau.” Kepala Ban memutar ke arah gue. Wajahnya terlihat senewen dan nada suaranya juga jengkel.
“Alasannya apa?” tanya gue menyelidik.
“Malas aja. Dia kasih alasan gitu. Nggak munggkin banget, lah wong gue liat di FB, Twitter, Path, Insta yang dia punya isinya cuma jalan-jalan,” cerocos Ban dengan tampang kesal.
“Dia malu kali jalan sama Banci,hahahaha,” ledek Bin dengan gaya centil.
“Sialan!!!” Ban melempar tas ke arah muka Bin penuh kemarahan.

Gue yakin pasti ada alasan lain. Masa orang narsis selalu jalan, malah malas diajak jalan sama yang katanya calon pacar. Gue perlu menyelediki lebih lanjut, gue nggak mau donk sahabat terbaik jadi semakin ngenes aja gara-gara lakik.

“Terus elu gak pernah nanya alasan lebih detail lagi?” tanya gue mendesak.
“Katanya sih malu kalau jalan ke tempat umum, barang kali ntar ketemu temannya atau saudaranya,” balas Ban dengan lesu.
“Gue nggak terima!!” pekik Bin tiba-tiba, seolah-olah marah. “Bagian mana coba dari bagian elu yang malu-maluin? Elu ganteng, pinter, modis, tajir dan kemaluan elu juga gedong, pasti dia doyan juga kan?” Bin terkekeh sambil memandang jahil Ban yang wajahnya tertekuk. “Kemungkananya ada dua, dia homo discreet atau dia cuma pengen ngewi sama kamu aja.” Bin memberi penekanan kata ngewi, artinya dia hanya memanfaatkan Ban untuk pelampiasan sex.
“ Kemungkinan dia discreet kali Ban, dia nggak mau orang-orang tau kalau dirinya gay.” Gue mengeluarkan asumsi mentah, sekaligus menghibur Ban yang wajahnya sudah hopeless dikatakan sebagai tempat pelarian sex . Dari sekian banyak jenis homo ada yang namanya homo discreet.
“Gue donk homo discreet,” samber Bin, wajahnya nyengir-nyengir nggak jelas mengaharap pembenaran.
“Gimana gue yakin kalau elu homo discreet. Elu aja suka ketimpringan di Grindr, Hornet, Manjam dan lain-lainnya.” Kelakar gue menyembur Bin. “Elu aja ada cowok ngajak ngewe, dengan senang hati menyediakan tempat di kamar elo sendiri.” Gue dan Ban tergelak setelah membully Bin.
“Gue pun nggak percaya elu discreet,” tambah Ban. “Mana ada orang discreet keganjenan pas dugem, tangan jelalatan toel sana sini. Suka arisan homo-homo Jogja pula.” Serang Bin nggak kalah telak sama gue. Sekarang gantian Bin yang merengut.
“Gay discreet itu nggak ngebeberin identitasnya. Apalagi tempat tinggalnya,” timpal gue dengan cepat.
“Tapi kan. Nggak banyak orang tau kalo gue homo,” kilah Bin, bibirnya nyengir  terbuka dengan lebar.
“Apaan, tuh homo Alun-alun utara kenal kamu, kan kamu sebagai ketua ganknya.hahaha.” Ban sekarang lebih puas dalam posisi kemenangan.
“Homo discreet juga nggak suka kumpul,” gue nambahi omangan Ban, sambil cekikian ngeliat ekspresi Bin yang kalah telak.

Ok. Gue jelasin ya, salah satu jenis gay adalah gay discreet. Dimana gay tersebut membatasi pergaulan dengan sesama gay. Disamping itu gay discreet juga nggak mau menampakkan atau bergabung dalam acara gay macam arisan, party, atau kopdar dengan segambreng orang. Intinya gak mau bertemu perkumpulan gay, cukup person to person. Bisa aja sih kopdar gitu tetapi dengan orang yang sudah cukup dia kenal.

“Kalu emang discreet kenapa dia ngebolehin gue tau kostannya, malah nyuruh main,” ucap Ban yang masih bingung dengan kelakukan gebetannya.
“Dia udah kebelet ngewe sama elu,” balas Bin dengan cepat tanpa mikir. “Sebenernya dia emang suka sama elu, tapi berhubung di tempat elu nggak bisa ngewe jadi dia ngundang elu ke kostnya,” nada Bin terdengar nyinyir, gue pikir itu adalah serangan balasan.

Gue senyum sendiri ngedengerin omongan Bin yang asal njeplak aja. Tapi bisa jadi emang gitu sih, kerena kepepet malah ngundang ke tempat tinggalnya.

“Terus elu tahu nama asli dia siapa? Atau identitas lainnya?” tanya gue lagi.
“Nggak. Gue juga nggak tau dia asli mana. Dia juga nggak mau jawab kalau gue tanya asli mana, malah bilangnya asli keturuan Jawa campur Betawi. Cuma gue tau plat nomer dia BG, berarti kan Sumsel.
“Emang elu ketemu dia dari mana?” tanya Bin ikut menyelidik.
“Gue nggak yakin, tapi kayaknya dari Facebook, coz gue nyebarin no hp di grup.” jawab Ban nggak yakin, wajahnya ikut mikir. “Apa gue yang kirim kasih no hp di komentarnya dia  dulu kali ya, pas dia bikin status ngajak ngewi,” lanjut Ban degan suara terdengar masih ragu-ragu.
“Berarti elu ketemu dia tanpa ngeliat tampang dia kayak gimana?” kali ini gue yang tanya.
“Dia nggak mau kasih. Tapi dia malah kasih foto kentinya,” ujar Ban dengan muka polos.

Gue semaking nggak ngerti aja tingkah gebetan Ban. Dia ingin bersembunyi tetapi juga mengundang untuk menampakkan diri. Gue salut aja sama dia, berani menampakkan hal yang intim buat menggaet calong mangsanya. Gue juga yakin kalo udah dikasih foto itu kebanyakan pada maunya untuk ketemuan.  Apa emang bener kata Bin, ah entahlah.

“Menurut gue sih ya dia antara discreet tapi nanggung juga,” gue mengambil kesimpulan meski nggak yakin.
“Maksud nanggung gimana?” tanya Ban dan Bin berbarengan.
“Dia pengennya nggak ada orang yang tau tentang keberadaan dia dimana. Tetapi dia malah ngundang Ban ke kostnya.  Dia juga kasih kamu Path, Insta dan lain-lain ya setelah kenal. Kalau emang discreet nggak bakalan kasih.”
“Mungkin dia cuma jaga privacy aja kali,” sahut Bin yang nggak yakin juga.
“Kemungkinan emang gitu seorang homo privacy, karena dia hanya menyembunyikan identitas inti.” Gue mendukung pendapat Bin yang kali ini benar, mungkin dia sedang kondisi waras.
“Yang gue tau sih gitu homo yang jaga privacy, mereka tetep ngeksis di dunia maya, tetapi ada batasan nggak ngumbar identitas pribadi yang detail. Mereka juga masih mau ikut acara ngumpul-ngumpul,” Ban ikut menyumbangkan suara mengenai homo privacy.
“Macam gue gitu lah.....” gue menunjuk diri sebagai homo privacy. “Lihat aja di sosmed, gue pasang foto tapi agak nggak jelas. Gue juga nggak akan jawab nama panjang sekaligus alamat asli rumah gue. Tapi gue masih aja ketemu sama temen-temen lain pas acara kopdar yang orangnya segambreng,” gue ngelanjutin.
“Gue juga donk?” tanya Bin, matanya mengerjap-ngerjap membutuhkan persetujuan.
“Apa yang elu jaga privacy? Kelamin aja elu umbar di PR, Manjam kadang ada di grup FB,” semprot Ban yang sekali lagi penuh dengan kemenangan. Muka Bin langsung cemberut lagi, bibirnya monyong lima senti.

Homo privacy masih bisa bersosialisasi dengan wajar. Mereka mau bertemu dimana saja tempatnya. Mereka nggak terlalu ribet untuk memberikan nomer hp, WA atau pin BBM, karena pada dasarnya mereka suka berteman. Ada pula gay privacy yang menyembunyikan foto wajahnya di sosmed, karena dia nggak ingin orang langsung mengenalnya lewat wajah. Mereka akan memberikan foto wajah ketika lawan bicaranya mengasih terlebih dulu fotonya.

Satu hal lagi gay privacy juga mudah untuk terbuka kalau sudah kenal cukup dekat. Nggak perlu susah untuk mengorek identitas pribadi lainnya. Mereka menjaga identitas pada awal untuk menjaga diri, barang kali orang yang berhubungan dengannya berniat jahat, tetapi setelah kenal, lambat laun akan terbuka secara pelan tapi pasti.

“Terus yang dianggap discreet kayak gimana?” tanya Bin.
“Yang jelas nggak sembarang ngewi kayak elo,” balas Ban dengan tangkas, telak sekali. “Elo mah di kebon jadi. Orang discreet pasti bakal mikir sejuta kali untuk memutuskan itu, dan ujunganya kagak bakal mau,” sembur Ban dengan nada nyinyir nan menyabalkan. Gue ngeliatnya hanya bisa senyum-senyum. Tadinya gue mau ikuta ngebully tapi liat tampang Bin yang macam orang mesum kepergok massa jadi gak tega.
Gue harus menghentikan adegan buylly ini, kalau kepanjangan bisa kayak sinetron Indonesia yang penuh dengan adegan bully, tak patut untuk ditonton. Gue melanjutkan sekaligus meluruskan sebelum melenceng jauh banget. “Gay discreet pasti akan menjaga dengan ketat privacynya. Dia nggak akan sembarangan kenalan sama homo. Jadi yang kenalan atau bisa deket sama gay discreet hanya orang tertentu saja yang dia percaya.”
“Maksudnya gimana?” tanya Ban polos.
“Dia bakal pilih-pilih dulu, homo mana yang pantas untuk dijadikan teman atau di kencani. Pilih mana yang bisa jaga privacynya, diajak sharing, biasanya mereka akan memilih pasangan yang discreet juga atau minimal homo yang nggak banyak pergaulannya. Kalau bisa untuk dijadikan teman untuk selamanya.”
“Terus gimana caranya mereka dapetin teman kencan?” tanya Bin, kali ini wajahnya serius. Mungkin dia akan menggaet mereka yang discreet.
“Mereka carinya lewat sosmed juga,” ujar gue enteng.
Dahi kedua sahabat gue mengernyit, mereka pasti nggak ngerti. “Lah pie toh, katanya mereka discreet koq malah main sosmed. Kan mereka menjaga pergaulan,” gerutu Bin, nadanya juga protes ke gue.
“Namanya juga manusia pasti tetep butuh media untuk bersosialisasi donk, tetapi mereka sangat membatasinya, dan jarang banget kasih acount tersebut ke orang lain.” jawab gue dengan tenang. Sekali kena pancing Bin, bakal uring-uringan terus. “Mereka biasanya tetep cari teman kencannya lewat sosmed dengan cara menscreening calon-calonnya. Mereka akan melihat dulu profile tuh orang. Selanjutnya mereka akan melihat postingan orang tersebut, jika kelihatannya tuh orang ember bocor dan suka posting marah-marah atau mengolok-olok orang nggak bakal menghubungi tuh orang apalagi untuk ketemuan. Di sosmed mereka nggak posting foto loh, jika pun ada cuma satu dan biasanya gak jelas, atau mereka pakai fake avatar. Mereka juga nggak bikin status macem-macem apalagi soal identitas diri, dimana dia sekarang berada dan sedang apa.” Gue mencoba menjelaskan apa yang gue tau.
“Terus gimana cara ketemuannya?” tanya Ban yang penasaran.
“Ini sebenernya agak repot, karena dia bakal susah ditemui. Gay discreet pasti bakal punya banyak pertimbangan, untuk memutuskan ketemu atau tidak. Bisa ketemuan kalau sudah merasa yakin orang itu bisa jaga rahasia atau tidak,” ujar gue penuh dengan keyakinan. Gue melanjutkan lagi setelah minum, “Kalau dia sudah cocok apa yang dilihat di sosmed, maka dia akan inbox, direct messege, PM dan lain untuk bekenalan mengenal lebih jauh dari korbannya. Jika sudah sreg dan yakin barulah mereka berani untuk ketemuan. Mereka yang akan menentukan tempat dan wakutnya.”
“Koq bisa gitu?” tanya Bin kebingungan.
“Ya kan mereka discreet nggak mau sembarangan apalagi ceroboh. Mereka pasti akan cari waktu dan tempat yang kemungkinan kecil bertemu dengan teman apalagi dengan keluarganya. Jadi jangan harap beretemu di tempat keramaian, yang terlalu umum. Pasti dia akan memilih yang agak jauh dari keramian. Kalau tujuan mereka cuma ngewi, berarti langsung di hotel, itupun nggak bisa barengan masuknya.”
“Ah gue mah ogah yang kayak gitu ribet banget,” komentar Bin yang berubah pikiran setelah mendengar penjelasan gue kalau gay discreet ribet.
“Iya, elu mah maunya yang instan, tinggal pasang foto binal di Grindr, tebar pesona kesana kamari, ada yang PM langsung dech ketemuan and ngewe,” semprot Ban dengan nada menghina. Secara nggak langsung mengaggap Bin sebagai homo murahan.
“Bukan gitu juga kali Banci!!” Bin memprotes Ban dengan galak. “Ribet aja mau kenalan atau pengen deket susah minta ampun, sok orang penting, sok orang terkenal yang harus dijaga kerahasiaannya. Kalau gitu mending nggak usah jadi homo. Mereka terlalu lebay dalam menjaga privacy.”
“Homo discreet itu emang orang penting dan terkenal atau yang masih mikirin reputasi. Kalau elu mah emang dasarnya udah bobor,hahahaha.” Gue menyindir Bin dengan lantang. “Biasanya juga yang discreet itu mereka GAY BISEX, yang sudah punya keluarga.”

Gue setuju sih sama pendapat Bin kalau berhubungan sama gay discreet emang ribet. Buat komunikasi aja kadang ada jamnya. Kita nggak bisa sesuka hati untuk telpon atau sekedar pesan instan, alasannya handphone sering dipegang istrilah, atau kalau jam segitu sedang waktunya sama kelurga dan berbagai macam alasan lainnya.

Untuk urusan ketemuan juga emang susah. Kita harus sabar banget, karena kita dituntut untuk menyesuaikan mereka. Waktu dan tempat yang mengatur mereka, nggak sembarangan tempat. Mereka akan memilih jauh dari keramaian bila perlu diluar kota, hal itu untuk mengihindari dari pertemuan nggak sengaja keluarga atau tema atau kolega. Misalpun bertemu di tempat umum kita diharuskan jaga sikap nggak asal becanda apalagi dengan gaya ngondek. Kebanyakan dari mereka pun akan memilih orang yang bertampang maskulin dan straight act. Pasti buat homo open dan ngondek hal kayak gitu ribet banget dan nggak praktis.

“Tapi sekarang banyak juga gay discreet gadungan, cuma hanya sebatas di bio Twitter, atau sekedar omongan di chatting.” Gue melanjutkan lagi tentang  gay discreet dengan jenis yang berbeda.
“Ada ya yang macam gitu?” tanya Ban polos, ditambah dengan tampang bloon.
“Banyak!!” jawab gue ketus. “Masa iya, di bio bilang discreet tapi dia pasang foto asli.”
“Bisa aja itu fake avatar,” Bin menyela omongan gue yang belum kelar.
“Gimana mau dibilang discreet dia aja pakai foto asli, lah wong liat TL aja foto half nakednya banyak, belum lagi kalo foto itu di retweet, semakin nyebarlah. Menyalahi kodrat homo discreet” timpal gue dengan cepat. “Jarang banget discreet pasang real avatar. Apalagi sampai posting foto dirinya di TL.”
“Mungkin dia discreet narsis,” balas Ban enteng, dengan muka lempeng.
“Mereka juga narsisnya gak di acount homo keleus,” ujar gue mata mendelik biar Bin nggak banyak protes. “Nyebelin dari mereka itu, katanya discreet tapi malah tebar pesona kesana kemari, mention orang buat ngajak ML atau malah nyebar PIN.”
“Eh iya banyak tuh yang kayak gitu, maksudnya apa coba?” protes Bin.
“Mereka homo discreet yang sudah desperate karena gak dapat lakik, mereka sudah inbox sana kemari nggak ada hasil. Jadinya mereka capek sendiri dan gregetan akhirnya membuka diri tapi lupa merubah bio-nya,” Ban menyalurkan pendapatnya.
“Tapi yang kayak gitu mending sih, mereka pada akhirnya terbuka.” Bukan maksud gue mendukung gay discreet yang kayak gitu, mungkin dia sudah lelah menjadi discreet. “Dari pada ada homo yang katanya discreet, dia emang gak pasang ava, tapi dia suka tebar pesona kesana kemari dengan mention atau dengan pesan pribadi ,atau komentar di FB. Tetapi ketika sudah akrab atau kenal banget mereka tetep nggak mau menunjukkan diri, minimal foto dech.”
“Kalau yang itu berarti homo denial atau homo munafik. Kayak gitu biasanya homo-homo newbie yang masih takut-takut terjun ke dunia maya homo,” ujan Bin dengan nada nyinyir. “Itu orang berarti egois.”
“Bener banget, dia sebenarnya udah sadar jadi homo tetapi, masih takut terjun langsung ke dunia homo. Tetapi bukannya sama aja dia mention sana sini tetep menarik perhatian pada akhirnya orang pun akan tau siapa dia. Gue anggap aja sih mereka homo penyebar PHP.” imbuh gue yang kesel sama homo macam itu.
“Nggak ada bedanya mereka yang menabur cinta dan benihnya dimana-mana tapi dia nggak memanen,” Ban melengkapi omongn gue.
“Seharusnya ketika sudah terjun ke dunia maya apalagi sosmed mereka sudah siap jika someday ada orang yang tau kalau dirinya gay. Kalau emang nggak mau dikenal ya lebih baik simpan rasa itu baik-baik didalam hati jangan di tunjukkan. Kalau mau jadi gay discreet pun harus bisa bersikap menyenangkan dengan membuka diri secara perlahan kalau emang sudah percaya, tentunya nggak banyak tingkah juga.” Kali ini Bin menyumbang pikirannya yang bener, sepertinya otak dia sudah di setting kembali pada pemikiran yang baik-baik.
Emang sih untuk menjadi gay discreet atau open bukan urusan Ban dan Bin apalagi gue. Gue bisa menghormati keputusan mereka yang discreet asalkan mereka juga bisa memegang konsep discreet yang benar. Nggak banyak ngumbar pesona ke tiap homo, selalu melakukan hati-hati, selain itu berjiwa adil dan bersikap jantan.

Kalau emang nggak siap menjadi gay discreet nggak usah ngaku-ngaku seperti itu. Gue sih sebernya gak peduli, tapi gue kasian aja sama orang yang nanggung kayak gitu. kayak gitu malah bisa merusak reputasinya sendiri. Bisa dibilang sebagai munafik atau gay denial yang ada nanti malah dijauhi orang. Nggak usah menarik orang kalau pada akhirnya kamu teralalu tertutup, bikin keki orang saja.

Ketika kita memutuskan terjun ke dunia gay kita pun harusnya sudah siapkan diri bila terjadi hal buruk, termasuk jika orang terdekat kita tau kalau kita gay. Kita memang perlu menjaga privacy apalagi terhadap orang baru kenal, tetapi nggak perlu lebay yang bikin repot sendiri yang ada kamu akan ditinggalin sama orang-orang.

“Kalo aa Iw termasuk discreet gak?” tanya Ban menyentak gue.
“Hmmm nggak tau ya,” gue gelagapan karena gue belum bisa mendifinisikan. Gue emang sudah jadian tapi belum mengenal banget siapa dia. Begonya gue gitu udah cinta yang penting bisa jadian dulu tapi nggak ngerti latar belakang tuh orang.
“Lah koq, gitu?” tanya Ban heran.
“Kalo elo mah dari awal udah rasanya ngewi sama dia enak, dan tuh orang wellcome sama elo pasti nggak mikirin dia discreet atau nggak.  Yang penting buat elu tetep keep contact kan?” Serasa ada yang menusuk relung hati. Omongan Bin emang ngena banget.
“Gue nggak pernah juga sih nanya-nanya mendetail, karena aa Iw juga cerita sendiri. Cuma dia nggak mau kasih alamat rumah, tempat kerjanya dimana, gue pikir itu hal yang biasa aja untuk menjaga privacy,” ujar gue yang masih ragu.
“Kamu tau nggak Insta, Path, Facebook, atau Twitter dia?” tanya Ban.
Gue jawab dengan menggeleng, artinya gue nggak tau sama sekali sosmed dia apa. Kan kenalannya waktu itu secara langsung. “Gue pernah tapi nggak dikasih yang ada gue dimarah-marahin karena mengganggu privacy orang.”
“Sebenernya dia macarin elu emang beneran cinta atau buat partner ngewe elu?” tanya Ban dengan wajah lempeng tanpa dosa tapi intonasinya tajam.

Sebelum gue jawab pertanyaan Bin, gue membuka pintu kamar karena ada yang mengetuk, ternyata ibu kost membawa kotak paket. Gue langsung terima saja, dan ngeliat nama pengerimnya aa Iw. Ban dan Bin langsung ngerubungin gue karena penasaran isi paketan itu. Tanpa buang waktu lagi gue buka isi paketan itu. Isinya ada amplop, lalu gue keluarkan isinya, ternyata tiket pesawat jurusan Jogja – Pangkal Pinang (Bangka), bolak balik. Hhuaaaaaa gue dapet tiket liburan. Nggak lama kemudia ada telpon dari aa Iw.

“Halo dek,” sapa aa Iw. Seblum gue balas aa Iw sudah ngomong lagi, “Paketnya udah sampai?”
“Udah A. Ini maksudnya apa?” tanya gue bingung dengan nada ketus. Siang bolong tiba-tiba dapet paket isinya tiket, tanpa ada konfirmasi dulu. Gue juga heran aa Iw dapat nomer KTP gue dari mana.
“Ya itu liburan kita dek. Aa ingin kita liburan berdua ketempat yang adek pengen,” jawab aa Iw dengan tenang. “Maap juga aa udah lancang buka dompet waktu itu untuk liat KTP adek. Aa emang udah niat lama mau liburan sama adek,” aa menjelaskan dengan hati-hati. Tadinya gue udah mau marah-marah langsung luruh juga.
“Tapi a.,” kata gue terpotong.
“Nggak usah tapi-tapi dek. Oh ya ntar kita ketemunya langsung di sana, buat jaga-jaga biar nggak ada yang liat kita di air port. Love you.” Aa Iw langsung matiin telpon.

Gue langsung nengok ke Bin yang sedang mukanya ditekuk, sedangkan tampang gue sumeringah pakai banget.
“Jadi elu, bisa ngartiin kan dengan bukti ini? Aa Iw emang discreet tapi dia cinta gue beneran.” Gue menyeringai sinis penuh dengan kemenangan. Tiket yang ada ditangan gue tampar-tamparin ke pipi Bin dan Ban.

“Huaaaaaaa. Dasar Bencong sundal......!” kedua temen gue yang homo histeris.

Tamat

Telah terbit buku bertema LGBT berjudul #Kamuflase. penjualan secara on line, pemesanan KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASET

No comments: