Mereka bedalih ingin
hidup sehat dengan joging. Mereka juga sebenernya sedang cuci mata dan
mengharapkan bisa bertemu pangeran impian sayangnya itu hanyalah harapan
mereka. Gimana pangeran mau datang kalau ngeliat mereka aja kucel, bau rokok
dan, mata panda. Kita emang belum pulang sejak keluar dari tempat dugem,
tepatnya pukul 3 pagi. Setelah itu kita nongkrong nggak jelas di sekitar Tugu
Jogja. Mereka adalah homo yang sedang desperate,
dari awal sampai bubar acara nggak ada cowok yang nyantol. Jadi mereka pindah
lokasi ke sini.
Jam di smartphone menunjukan pukul 5.00 tetapi
suasana stadion sudah ramai orang
joging. Beberapa orang ngeliat kita dengan pandangan aneh. Mungkin dalam benak mereka ada tiga banci yang salah kostum untuk joging. Atau bisa juga ada tiga banci yang semaleman nggak laku dan masih mengharapkan pelanggan yang khilaf. Suka-suka merekalah mau mikirin apa.
joging. Beberapa orang ngeliat kita dengan pandangan aneh. Mungkin dalam benak mereka ada tiga banci yang salah kostum untuk joging. Atau bisa juga ada tiga banci yang semaleman nggak laku dan masih mengharapkan pelanggan yang khilaf. Suka-suka merekalah mau mikirin apa.
“Ben...gimana kabar
mas kamu yang waktu itu kenalan di Starbucks?” tanya Bin yang sambil sandaran
di mobilnya Ban. Matanya jelalatan memandang cowok yang lewat sedang joging.
“Kamu masih lanjut
sama dia?” Ban nambahin pertanyaan. Dia pun sama dengan Bin kepalanya mengikuti
langkah cowok yang sedang berlari kecil.
“Namanya Iw, gue
manggilnya aa Iw,” gue menyebut nama cowok yang sedang deket sama gue.
Rencana pengin gue jadiin boyfriend.
“Oh namanya Huta,”
ulang Ban. “Dia seksi loh, keliatan lakik gitu dengan jambangnya.”
“Terus waktu itu elo
ML gak?” tanya Bin to the point. Kali
ini dia nengok ke arah gue dengan pandangan menyelidik.
Gue yang tadi
sebelahan sama Bin masuk ke dalam mobil. Gue agak risih dengan tatapan Bin yang
seakan sedang mengitrogasi maling ayam. Gue masuk mobil juga sebagai antisipasi
menutupi rasa malu. Karena setelah gue jawab pasti dua homo ini bakal heboh
sendiri.
“Iya, kemaren kita
ngewi di hotel,” jawab gue berbisik.
“Huaaaa.........” Bin
dan Ban teriak kenceng, dan terlihat girang banget. Hampir semua orang
disekitar ngeliatin mereka berdua. Mungkin mereka pikir dua homo ini sedang
orgasm kali.
Mereka juga langsung
masuk mobil memepet gue. Posisi gue yang duduk bagian tengah kabin mobil, sebelah
kanan ada Bin dan kiri gue Ban. Mereka tampak antusias sekali mendengar cerita
gue selanjutnya. Mereka memang selalu antusias dengan cerita ML.
“Ichh keren ya kalian
mainnya di hotel,” komentar Ban. “Hotel mana Ben?”
“Di Royal Ambarukmo.
Dia itu lagi visit ke Jogja karena
ada kerjaan.”
“Jadi one night stand donk?” tanya Bin.
Matanya sudah kembali menerawan ke arah luar, liat mas-mas yang nggak pakai
baju sedang istirahat abis lari. “Trus gimana Mlnya jago gak?” Bin nambahin
pertanyaan lagi.
“Ya untuk sementara
ONS, tapi gue ngarep bakal ada lagi,” jawab gue nggak yakin.
“Tapi masih keep contactkan?” tanya Ban iba.
“Masih. Tapi........”
jawab gue dengan perkataan ngambang.
“Tapi dia PHPin kamu?”
samber Bin cepat.
“Nggak. Tapi dia udah
punya monyet.” Suara gue tercekat diahir kalimat. “Dia bisexual.
Sekarang gantian gue
yang desperate dan merana. Gue emang
harus menghadapi kenyataan ada wanita dikehidupan aa Huta. Dia bercerita kalau
dirinya adalah suami dan seorang ayah dari dua jagoan. Dengan kata lain dia
adalah bisexual. Gue emang tahu dari
awal waktu dia melambaikan tangan, karena ada cincin yang tersemat di jari
manis. Tapi nggak ada salahnya untuk dicoba dalam satu malam saja cukup, pikir
gue waktu itu. Kenyataannya sekarang gue mengharapkan lebih dari satu malam.
Karena dia masih menghubungi gue dan berkata manis dia tiap pesan instan dan
Skype.
“Macam itu ya
bisexual?” Ban menunjuk sepasang kekasih antara cowok agak melambai dengan
cewek lumayan cantik. Cowok tersebut tanpa putus memandang Ban yang sedang
senyum kepada tuh orang. Yup, bener banget Ban sedang menjalankan gaydarnya
secara langsung tanpa perantara teknologi.
“Ban gaydar elu makin
hebat aja. Sudah bisa mendeteksi mana yang homo dan bisex,” komentar gue dengan
antusias atas kemajuan Ban.
Bin menengok sebentar
dan nampak nggak semangat. “Menurut gue, nggak ada yang namanya bisexual,” ucap Bin dengan nada ketus.
“Gue nggak percaya sama yang ngaku-ngaku bisexual.”
“Tapi mereka itu ada,”
sanggah Ban. “Tadi kamu lihatkan ada cowok yang lagi pacaran meskipun matanya
ganjeng ngeliatin kita. Terus contohnya lagi aa Huta, cemcemanya Ben dia udah
nikah tapi tetep aja ngewe sama lakik. Bisex
juga kan?” Ban menunjukkan contoh dari orang yang bisexual.
Gue diem aja diantara
perdebatan mereka. Gue diem karena gue bingung pendapat dari Bin ada benarnya
juga meskipun gue belum tahu alasan dari Bin. Disisi lain gue juga percaya sama
Ban karena bukti itu sudah nyata di depan mata gue sendiri. Gue juga diem
karena budeg dengerin suara yang memekakkan dua telinga, mereka kalau ngomong
bagaikan pakai TOA, apalagi mereka duduk disamping gue.
“Gue agak setuju sama
Bin,” akhirnya gue bersuara. Jeritan dalam hati untuk membenarkan diri
menghadapi kenyataan bahwa aa Iw sudah menikah. Itu membuat gue ngerasa dia
sebagai bisexual jadi-jadian. “Gue
anggap itu yang bisexual adalah gay denial.
Mereka yang nggak bisa menerima dirinya gay. Mereka melarikan diri dari kenyataan
dengan menikahi wanit,” lanjut gue beretorika. “Seorang dikatakan bisexual ketika dia ada dunia normal
yang jelas ada perempuannya, karena status dia untuk menarik perhatian cowok
dan cewek. Tetapi kalau misal di chatroom, Grindr, Twitter, nggak yakin
dia bisexual yang ada malah gay denial.”
“Salah satu pointnya
itu.” Bin ikut mendukung gue. “Sebenerna mereka itu orang-orang yang sedang KAMUFLASE.
Mereka menutup ke-gay-annya dari masyarakat dan kalangan homo dengan cara
memacaria tau menikahi monyet.”
“Ada pula mereka gay
yang mengaku bisexual karena menutupi
stereotype negative mengenai gay. Asumsinya
adalah yang berkembang di masyarakan dan kalangan gay itu sendiri pure gay itu orang-orang yang ngondek.
Nggak mau donk dianggap ngondek. Padahal mereka juga sebenernya MenLi,” gue
memberikan pandangan lain tentang bisexual.
“Mentel sekali......!”
pekik kita berbarengan. Sakali lagi kehebohan kita mengundang perhatian.
Mungkin mereka melihat kita adalah sekawanan bencong yang merana tidak yang
tidak mendapat kunjungan dari lelaki hidung belang. Tapi kita cuek saja
mendapat pandangan aneh seperti itu, karena sudah terbiasa menjadi alien di
masyarakat.
Yup!! Inilah yang
berkembang di kalangan antar gay sendiri. Mengaku-ngaku sebagai biseksual agar
nggak terlihat “i’m pure gay”. Pure gay samadengan ngondek atau tidak
samadengan lakik. Melainkan lekong, lelaki sekong yang gak bisa “ceng” liat
meki cewek. Gue nggak tahu pemikirian itu dari mana. Bisa jadi itu adalah
sebuah gengsi dimana kodratnya cowok emang bercinta dengan perempuan.
“Kalo gitu gue juga bisa ngaku-ngaku jadi bisexual,” cetus Bin sambil memikirkan
omongan ku. “Nggak usah ngaku-ngaku sebagai bisexual
kalau girangnya sama lekong, yang pere malah dianggurin.”
“Elu nggak pantes Bin
ngaku sebagai bisexual,” timpal Ban.
“Karena elu emang udah ngondek dari sananya. Lagian yang ada elu itu koleksinya
stempel cupang lakik. Mana ada stempel dari pere!! Jadi nggak ada yang percaya
elu bisex.” Ban terkekeh, sambil memperagakan gaya ngondeknya Bin.
“Mereka bisa ngewe
sama cewek, malah punya anak. Elu liat cewek bugil malah muntah.” Ban masih
ngeledek Bin. Gue cekikikan Bin dipojokin Ban. Tumben banget Ban bisa ngbully. “Gue sih percaya bisa disebut
bisexual kalau dia ngaceng waktu mau ngewe sama pere, dan sudah menikah apalagi
punya anak.”
“Gue juga bisa ngaceng
sama cewek, tinggal beli obat kuat atau obat Ki Sancang yang beredar di TL
Twitter,” sergah gue dengan cepat. “Berarti gue bisexual juga donk.hahahha”
“Gue baru percaya
kalau dia bisexual jika tuh orang
yang ngakunya bisexual bisa ngewi sama gue dan perempuan dalam satu waktu, satu
ranjang,” ucap Bin ketus. “Nah gue bisa lihat dia dominan menservice gue atau pere itu. Misalkan dia
lebih dominan sama gue berarti dia homo ngaku bisex. Tetapi kalau dia seimbang
berarti dia emang bisex.” Bin menyeringai dengan kejam bagiakan adegan sinetron
si antagonis merencenakan siasat jahat.
“Tapi masalahnya elu
sendiri mau atau kuat gak liat meki cewek?” tanya gue menggoda. “Lah wong elu
liat bokep yang ada ceweknya aja jijik kayak ngeliat bangke.” Gue dan Ban puas
menertawakan Bin sekaligus memadamkan retorika Bin.
Gue setuju sama Bin
soal ini. Untuk memastikan dia emang bisexual
sejati ketika dihadapkan pada dua kelamin yang berbeda. Dia akan “maruk” yang
mana apakah sama kenti beserta anal dari pria atau mekinya cewek. Jika memang pure bisexual
akan melah keduanya. Namun cowok itu malah lebih “menggarap” cowoknya berarti
dia bisex KW.
“Gue jadi ngerasa
kasihan sama mereka para gay bot yang pura-pura bisexual. Pasti ngerasa tersiksa biasanya mereka tinggal ngangkan
atau nungging, sama monyetnya bekerja keras biar bisa ceng,” ucap Ban dengan
polos. Matanya kosong. Mungkin sedang membayangkan bapak-bapak sudah keringetan
karena usaha keras ngocok kentinya biar ngaceng. Gue dan Bin jadi ikut
membayangkan dan tergelak keras.
“Gay top yang
pura-pura jadi bisexualpun akan
kesusahan,” samber gue sambil berusaha nahan tawa. “Pada dasarnya kan objek
sexualitas gay kan laki. Gay yang top pun objek sexnya adalah “lubang
kenikmatan” pria, mereka biasa memasukan kenti ke lubang itu pusat
kegairahannya ada tubuh pria. Pasti donk akan terasa beda jika yang ada
dihadapannya adalah perempuan, onderdilnnya pun beda, dan gay top itu menganggap sebagai “lubang
sengsara”.” Gue semakin terkekeh membayangkan kembali ada homo top yang sedang
kesusahan biar kentinya ngaceng. Pasti dia membayangkan yang dihadapannya
adalah cowok.
Berarti sesuatu yang
pura-pura termasuk bisexual
jadi-jadian akan mengalami kesusahan dalam aktifitas sex. Namanya juga homo pasti donk gairah sexnya pada lakik yang sebagai partner sex. Tiap homo pun punya fetishnya
masing-masing dari partner sexnya
yang pastinya seorang cowok. Mau
gimanapun usaha kamu jika psikologis kamu nggak nyampe, elu bakal kesusah
sendiri menghadapi cewek yang sudah glepar-glepar minta “dimasukin”.
Satu-satunya cara adalah minum obat Ki Sancang, untuk bikin ngaceng dan tahan
lama.
“Pointnya gak sekedar
ngewi aja. Ini bukan seorang verst yang bisa dengan mudah ganti role sex.” Gue mendorong Bin. Gue sumpek
dipepet sama kedua homo ini. Gue pengen menghirup udara segar dipagi hari. “Ini
juga masalah cinta bisexual. Gimana
seorang bisex harus bisa membagi cinta secara imbang antara ke monyet dan
cowoknya.”
“Apakah bisa menjadi
seimbang seperti itu?” tanya Bin yang dari tadi masih nggak percaya keberadaan bisexual.
“Gue nggak yakin juga
sih kalau bisa cintanya seimbang,” Ban menjawab dengan ragu. “Setidaknya dia
sudah berusaha menjalankan perannya sebagai suami dan ayah serta bisa menjadi
pacar dari lelaki homo,” lanjut Ban yang takjub permainan peran yang di lakukan
para bisex.”
“Iya juga ya. Gimana
pun juga mereka masih bisa membagi kasih sayang untuk banyak orang sekaligus
sesuai dengan kapasitasnya.” Perlahan pemikirian gue goyah mengenai bisexual itu adalah gay denial. “Terpenting dari bisexual
bisa berhubungan dengan dua insan yang beda kelamin dengan adil.”
“Gimana pun juga elo tetep
jadi nomor kesekesekian di kehidupan dia,” serang Bin nggak mau kalah. Matanya
berkilat senang telah menohok gue dan Ban.”
“Elo kan bitchy. Gunakan donk kemampuan dan
kelebihan elo itu untuk memikat pria yang sudah punya monyet. Jadilah elo yang
utama untuk dia.” Tampang gue dibuat binal mengarah ke Bin.
“Gue bukan pecun.
Tolol!” Bin menoyor kepala gue dengan sengit.
“Gue nggak nyebut elo
pecun!” balas gue dengna nyolot.
“Udah lah nggak usah
diributin.” Ban menjadi penengah diantara gue dengan Bin.
“Elo bisa ngelakuin
gitu karena elo sedang desperate
bercinta dengan lelaki suami orang. Dan elo ingin merebut perhatiannya,” lanjut
Bin yang malah memojokkan gue. “Gue tau, lelaki itu pasti takluk dengan sex. Tetapi apa iya elo mau cuma jadi
pelampiasan seksnya aja karena dia nggak
puas ngewe sama monyet. Ada sesuatu yang
lebih dari itu dari konsep bisex
seperti yang elo bilang nggak sekedar syahwat. Jangan jilat ludah elo sendiri.”
Gue terhenyak dengan
ucapan Bin yang menusuk ke relung hati gue. Betul juga apa yang diomongin Bin. Gue memang
sedang mabuk kepayang dengan lelaki yang statusnya sebagai suami orang. Gue
terlalu berlebihan sehingga menganggap dengan kepuasan sex yang lalu bisa
menggaet lelaki itu. Tubuh gue hanya jadi pelampiasannya saja. Gue nggak
dapetin cintanya dia. Sekarang giliran gue yang merana.
“Maksud gue bukan gitu
juga,” gue mengeluarkan suara dengan lirih. “Bukan dengan sex saja tetapi dengan cara lain. Kita bisa dengan perhatian, kasih
sayang, atau dengan 1000 cara lainnya,” gue berkilah. Tubuh gue lunglai setelah
diserang habis-habisan.
Ban mengelus punggung
gue sebagai bentuk perhatin atas keputus asaan sahabatnya. “Ben..... senyum
donk. Elu nggak usah nelangsa gitu.” Ban memandang Bin dengan galak, “elu sih Bin kasar banget gitu.”
Bin melihat gue yang
kelihatan ancur-ancuran menjadi iba. Bin kembali duduk disamping gue. Mungkin
dia sedikit menyesal telah mengucapkan hal yang kasar kepada gue.
“Sori Ben... abisnya
elu ngomongin bitchy sih. Gue emang bitch tapi gue punya harga diri buat
dapetin cowok.” Tuh kan tetep aja Bin nggak merasa bersalah. “Menurut gue sih
ya...tetep aja percintaan dari bisexual
itu rumit. Makanya gue nggak mau deket-deket sama makhluk berstatus bisexual.”
“Bin... cerita
percintaan itu selalu rumit, entah itu sesama gay, gay dengan bisexual. Antara straight pun juga rumit. Tetapi tergantung gimana kita menikmati
percintaan itu.” Bukan maksud gue mendebat, tetapi kenyataan seperti itu. Biar
Bin juga membuka mata hidup nggak sekedar berkutat di dunia gay dan membenci
sesuatu yang berkaita dunia kenormalan.
“Iya gue tau Ben.....
tetap aja bagi gue cinta dari seorang bisexual
itu absurd.” Bin tetep keukeuh dengan pendapatnya. “Disaat dia mencintai monyet bersamaan pula dia mencintai elo. Cintanya
terbagi dua, kosentrasinya pun dibagi juga. Seperti yang tadi gue bilang.”
Gue terpekur dengan
omongan Bin yang sekali lagi bener. Gue nggak bisa menyangkalnya. Gue memang
harus siap berbagi dengan monyet sahnya aa Huta. Berbagi cinta dan tubuhnya.
“Bin elu nggak bisa
ngejudge gitu donk,” Ban bersuara
dengan lirih. Dia masih pada posisinya sebagai penentang pemikirian Bin.
“Gue ngomong gitu
karena kenyataan seperti itu Ban.....,” Bin juga gemas jika pernyataannya gak
disetujui oleh sahabatnya.
“Apa elu udah interveiw atau udah merasakan dari
kebersamaan seorang bisexual?” tanya
Ban menyelidik. “Elu juga belum tau juga kan apa yang dirasakan oleh para bisexual.”
Bin tidak langsung
menjawab. Tatapannya lurus tapi kosong ke halaman parkir stadion yang luas. Dia
sedang memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan Ban yang seakan membungkam
dan mengaburkan pemikiran tentang bisexual.
“Gue emang emang bukan
bisexual jadi gue nggak ngerti apa
yang dirasakan,” jawab Bin terbata. “Gue juga belum pernah berhubungan yang
namanya bisexual,” tambah Bin.
“Nah kamu sendiri
belum tahu tentang mereka tetapi sudah menghakimi para bisexual itu sebagai makhluk terkutuk.” Gue berikap tenang dalam
menanggapi Bin.
Gue cuma berusaha
menenangkan diri. Gue nggak bisa menyalahkan Bin berpedapat dengan kasar walau
tanpa bukti. Kita memang masih belum berpengalaman dalam dunia perhomoan. Jadi
wajar saja kita punya asumsi berdasarkan pemikiran diri saja. Kue juga tahu Bin
dan Ban punya beda pendapat, tapi itu saling melengkapi. Bin hanya memparkan
sisi buruk dari bisexual sedangkan Ban menjabarkan sisi lain dari bisexual.
“Gue juga nggak tau
saat ini apa yang bisexual rasakan.
Termasuk dari perasaan aa Iw kepada gue atau monyetnya.” Gue menghampiri Bin
yang sedang melamun.
“Terus yang elu tahu
apa?” tanya Ban sambil keluar dari mobil dan berdiri disamping gue.
“Gue cuma tau mereka
sama seperti kita bingung dengan keadaan ini, tetapi mereka lebih bingung
kuadrat,” gue mulai menjelaskan perihal bisexual.
“Kita cuma bingung kenapa kita menyukai lelaki? Dan pada akhirnya kita hanya
dapat mendekat atau mencinta lelaki. Sedangkan mereka lebih bingung lagi kenapa
bisa suka sama perempuan sekaligus punya hasrat sex dengan lelaki?” gue menengok ke Bin dan Ban melihat reaksi
mereka selanjutnya.
Mereka berdua
terpekur, menerawang. Mereka seola-olah sedang membayangkan diri menjadi
seorang bisexual. Mungkin buat homo serasa simpel, menjadi galau pada saat
bocah lelaki menyadari bahwa dirinya adalah homo pada akhirnya hanya mencintai
atau menyukai lelaki saja. Berbeda dengan bisexual
yang sadar merangkap cintai lelaki dan perempuan dalam satu waktu. Mereka tidak
bisa memilih.
“Menurut gue, bisexual itu berkah. Bisa mencintai dan
merasakan ngewe dua jenis kelamin sekaligus,” ucap Ban yang matanya sudah
jelalatan melototin cowok sedang joging.
“Berkah yang membawa
petaka. Mereka terjebak pada lingkaran dimana tidak bisa secara total mencintai
lelaki atau perempuan,” timpal Bin dengan ketus. “Mungkin enak kali ya bisa
ngewe diantara dua kelamin itu. Tetapi pada dasarnya mereka menjerit mana yang
gue pilih untuk diseriusin? Jika melilih salah satunya pihak monyet atau
cowoknya akan ada yang tersakiti juga, termasuk dirinya.”
“Jadi, gay yang berhubungan dengan bisexual harus suda siap mengalah jadi
madu atau mengalah meninggalkan cowok itu. Mungkin pada saat bisexual itu belum menikah kita yang
menjadi only one, disaat sudah
menikah kita menjadi yang kesekian. Itu sudah resiko.” Gue menutup perdebatan
ini dengan menyimpulkan gay yang berhubungan dengan bisexual antara bahagia dan
merana.
“Jangan bangga mengaku
bisexual hanya karena sudah punya
monyet tapi nggak dinikahin juga,” ternyata Bin masih mengeluarkan pendapatnya.
“Jangan pula bangga ngaku bisexual
hanya karena sudah menikah tetapi kenyataannya nggak bisa ngaceng liat pere
glepar-glepar bugil.” Senyum bengis mengembang disudut bibir Bin. Kali ini dia
menutup diskusi sekaligus membuat kesimpulan.
Semua pilihan kita pasti
akan ada resikonya. Setidaknya sekarang gue sudah tau resiko bila tetap
berhubungan dengan seorang bisexual.
Gue bisa jadi bukan satu-satunya bagi dia. Bagi gue sendiri, dia juga bukan
menjadi sesuatu yang satu.
“Terus apa yang akan
kamu lakukan?” tanya Bin. Gue tahu pertanyaan itu mengarah pada aa Iw.
“Gue belum tahun Bin.”
Gue memangdang Bin dengan tatapan memelas, seperti orang sedang seakarat.
“Apapun yang elo
lakukan gue dukung elo, termasuk kalau elo pacaran sama aa Iw. Gue akan
seneng ngeliat elo bahagia sekalipun elo jadi duri,” jawab Bin sambil memeluk
gue. Sebenernya gue pengen jitak tetapi gue nggak mau merusak momen mengharukan
ini.
“Kalau ada apa-apa, gue sama Bin selalu ada untuk
elo. Karena kita emang homo yang desperate.”
Ban ikut memeluk. Jadi ada tiga homo yang sedang mengharu biru.
Dari saku celana smartphone gue bergetar seperti vibrator
yang membuat kenti gue bereaksi. Gue liat ada panggilan video lewat Line dari
aa Iw. Gue segera menutul layar smartphone
untuk menerima panggilan video. Terlihat aa Huta baru bangun tidur. Posisinya
sedang tiduran di kasur. Inilah sesuatu yang indah bagi gue ngeliat aa Huta apa
adanya tanpa sentuhan bahan kimia untuk membuat dirinya ganti. Saat orang
bangun tidur itulah sisi alaminya.
“Hai adek,” panggil
dia menuju gue.
“Hai A, baru bangun
ya?” tanya gue basa basi yang basi.
“Aa cuma mau bilang.
Met pagi buat adek,” so sweet banget
dech. Tetapi ada yang ngeselin. Backsound
aa Huta suara perempuan yang sedang ngedumuel, mungkin karena kelakuan anaknya
yang nakal.
“Aku tak rela bila aku
di madu, serahkan kan saja aku ke lekong yang lain.” Bin menyayi dengan
lantang. Gayanya pun ngondek abis. Gue tahu dia sedang menyindir aa Iw.
“Itu siapa dek?” tanya
aa Iw keheranan.
“Itu ada A ada waria
lagi putus asa semaleman gak dapet pelanggan!” jawab gue nggak kalah nyindir
Bin.
“BENCOOOOOONG!!!!”
pekik Bin kesal. Gue sama aa cuma ketawa saja. Ban sendiri malah sedang melongo
liat cowok sedang sit up tanpa baju.
TAMAT
TELAH TERBIT BUKU TEMA LGBT BERJUDUL KAMUFLASE. DI JUAL SECARA ON LINE. UNTUK PEMESANAN KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITAS MU DENGAN KAMUFLASE
No comments:
Post a Comment