Thursday 18 June 2015

Dua Dunia

pic dari screen shoot serial Room Alone

Minggu pagi jatahnya joging di Stadion Mandalakrida, bareng dua sahabat homo yang paling nyebelin. Pagi ini emang nyebelin, seharusnya gue sudah bisa tidur lelap setelah selamanan dugem acara Gay Night. Ban sama Bin malah nyeret gue ke sini dan gue gak bisa berkutik karena status gue nebeng.

Mereka bedalih ingin hidup sehat dengan joging. Mereka juga sebenernya sedang cuci mata dan mengharapkan bisa bertemu pangeran impian sayangnya itu hanyalah harapan mereka. Gimana pangeran mau datang kalau ngeliat mereka aja kucel, bau rokok dan, mata panda. Kita emang belum pulang sejak keluar dari tempat dugem, tepatnya pukul 3 pagi. Setelah itu kita nongkrong nggak jelas di sekitar Tugu Jogja. Mereka adalah homo yang sedang desperate, dari awal sampai bubar acara nggak ada cowok yang nyantol. Jadi mereka pindah lokasi ke sini.

Jam di smartphone menunjukan pukul 5.00 tetapi suasana stadion sudah ramai orang
joging. Beberapa orang ngeliat kita dengan pandangan aneh. Mungkin dalam benak mereka ada tiga banci yang salah kostum untuk joging. Atau bisa juga ada tiga banci yang semaleman nggak laku dan masih mengharapkan pelanggan yang khilaf.  Suka-suka merekalah mau mikirin apa.

“Ben...gimana kabar mas kamu yang waktu itu kenalan di Starbucks?” tanya Bin yang sambil sandaran di mobilnya Ban. Matanya jelalatan memandang cowok yang lewat sedang joging.
“Kamu masih lanjut sama dia?” Ban nambahin pertanyaan. Dia pun sama dengan Bin kepalanya mengikuti langkah cowok yang sedang berlari kecil.
“Namanya Iw, gue manggilnya aa Iw,” gue menyebut nama cowok yang sedang deket sama gue. Rencana pengin gue jadiin boyfriend.
“Oh namanya Huta,” ulang Ban. “Dia seksi loh, keliatan lakik gitu dengan jambangnya.”
“Terus waktu itu elo ML gak?” tanya Bin to the point. Kali ini dia nengok ke arah gue dengan pandangan menyelidik.

Gue yang tadi sebelahan sama Bin masuk ke dalam mobil. Gue agak risih dengan tatapan Bin yang seakan sedang mengitrogasi maling ayam. Gue masuk mobil juga sebagai antisipasi menutupi rasa malu. Karena setelah gue jawab pasti dua homo ini bakal heboh sendiri.

“Iya, kemaren kita ngewi di hotel,” jawab gue berbisik.
“Huaaaa.........” Bin dan Ban teriak kenceng, dan terlihat girang banget. Hampir semua orang disekitar ngeliatin mereka berdua. Mungkin mereka pikir dua homo ini sedang orgasm kali.

Mereka juga langsung masuk mobil memepet gue. Posisi gue yang duduk bagian tengah kabin mobil, sebelah kanan ada Bin dan kiri gue Ban. Mereka tampak antusias sekali mendengar cerita gue selanjutnya. Mereka memang selalu antusias dengan cerita ML.

“Ichh keren ya kalian mainnya di hotel,” komentar Ban. “Hotel mana Ben?”
“Di Royal Ambarukmo. Dia itu lagi visit ke Jogja karena ada kerjaan.”
“Jadi one night stand donk?” tanya Bin. Matanya sudah kembali menerawan ke arah luar, liat mas-mas yang nggak pakai baju sedang istirahat abis lari. “Trus gimana Mlnya jago gak?” Bin nambahin pertanyaan lagi.
“Ya untuk sementara ONS, tapi gue ngarep bakal ada lagi,” jawab gue nggak yakin.
“Tapi masih keep contactkan?” tanya Ban iba.
“Masih. Tapi........” jawab gue dengan perkataan ngambang.
“Tapi dia PHPin kamu?” samber Bin cepat.
“Nggak. Tapi dia udah punya monyet.” Suara gue tercekat diahir kalimat. “Dia bisexual.

Sekarang gantian gue yang desperate dan merana. Gue emang harus menghadapi kenyataan ada wanita dikehidupan aa Huta. Dia bercerita kalau dirinya adalah suami dan seorang ayah dari dua jagoan. Dengan kata lain dia adalah bisexual. Gue emang tahu dari awal waktu dia melambaikan tangan, karena ada cincin yang tersemat di jari manis. Tapi nggak ada salahnya untuk dicoba dalam satu malam saja cukup, pikir gue waktu itu. Kenyataannya sekarang gue mengharapkan lebih dari satu malam. Karena dia masih menghubungi gue dan berkata manis dia tiap pesan instan dan Skype.

“Macam itu ya bisexual?” Ban menunjuk sepasang kekasih antara cowok agak melambai dengan cewek lumayan cantik. Cowok tersebut tanpa putus memandang Ban yang sedang senyum kepada tuh orang. Yup, bener banget Ban sedang menjalankan gaydarnya secara langsung tanpa perantara teknologi.
“Ban gaydar elu makin hebat aja. Sudah bisa mendeteksi mana yang homo dan bisex,” komentar gue dengan antusias atas kemajuan Ban.
Bin menengok sebentar dan nampak nggak semangat. “Menurut gue, nggak ada yang namanya bisexual,” ucap Bin dengan nada ketus. “Gue nggak percaya sama yang ngaku-ngaku bisexual.”
“Tapi mereka itu ada,” sanggah Ban. “Tadi kamu lihatkan ada cowok yang lagi pacaran meskipun matanya ganjeng ngeliatin kita. Terus contohnya lagi aa Huta, cemcemanya Ben dia udah nikah tapi tetep aja ngewe sama lakik. Bisex juga kan?” Ban menunjukkan contoh dari orang yang bisexual.

Gue diem aja diantara perdebatan mereka. Gue diem karena gue bingung pendapat dari Bin ada benarnya juga meskipun gue belum tahu alasan dari Bin. Disisi lain gue juga percaya sama Ban karena bukti itu sudah nyata di depan mata gue sendiri. Gue juga diem karena budeg dengerin suara yang memekakkan dua telinga, mereka kalau ngomong bagaikan pakai TOA, apalagi mereka duduk disamping gue.

“Gue agak setuju sama Bin,” akhirnya gue bersuara. Jeritan dalam hati untuk membenarkan diri menghadapi kenyataan bahwa aa Iw sudah menikah. Itu membuat gue ngerasa dia sebagai bisexual jadi-jadian. “Gue anggap itu yang bisexual adalah gay denial. Mereka yang nggak bisa menerima dirinya gay. Mereka melarikan diri dari kenyataan dengan menikahi wanit,” lanjut gue beretorika. “Seorang dikatakan bisexual ketika dia ada dunia normal yang jelas ada perempuannya, karena status dia untuk menarik perhatian cowok dan cewek.  Tetapi kalau misal di chatroom, Grindr, Twitter, nggak yakin dia bisexual yang ada malah gay denial.”
“Salah satu pointnya itu.” Bin ikut mendukung gue. “Sebenerna mereka itu orang-orang yang sedang KAMUFLASE. Mereka menutup ke-gay-annya dari masyarakat dan kalangan homo dengan cara memacaria tau menikahi monyet.”
“Ada pula mereka gay yang mengaku bisexual karena menutupi stereotype negative mengenai gay. Asumsinya adalah yang berkembang di masyarakan dan kalangan gay itu sendiri pure gay itu orang-orang yang ngondek. Nggak mau donk dianggap ngondek. Padahal mereka juga sebenernya MenLi,” gue memberikan pandangan lain tentang bisexual.
“Mentel sekali......!” pekik kita berbarengan. Sakali lagi kehebohan kita mengundang perhatian. Mungkin mereka melihat kita adalah sekawanan bencong yang merana tidak yang tidak mendapat kunjungan dari lelaki hidung belang. Tapi kita cuek saja mendapat pandangan aneh seperti itu, karena sudah terbiasa menjadi alien di masyarakat.

Yup!! Inilah yang berkembang di kalangan antar gay sendiri. Mengaku-ngaku sebagai biseksual agar nggak terlihat “i’m pure gay”. Pure gay samadengan ngondek atau tidak samadengan lakik. Melainkan lekong, lelaki sekong yang gak bisa “ceng” liat meki cewek. Gue nggak tahu pemikirian itu dari mana. Bisa jadi itu adalah sebuah gengsi dimana kodratnya cowok emang bercinta dengan perempuan.

 “Kalo gitu gue juga bisa ngaku-ngaku jadi bisexual,” cetus Bin sambil memikirkan omongan ku. “Nggak usah ngaku-ngaku sebagai bisexual kalau girangnya sama lekong, yang pere malah dianggurin.”
“Elu nggak pantes Bin ngaku sebagai bisexual,” timpal Ban. “Karena elu emang udah ngondek dari sananya. Lagian yang ada elu itu koleksinya stempel cupang lakik. Mana ada stempel dari pere!! Jadi nggak ada yang percaya elu bisex.” Ban terkekeh, sambil memperagakan gaya ngondeknya Bin.
“Mereka bisa ngewe sama cewek, malah punya anak. Elu liat cewek bugil malah muntah.” Ban masih ngeledek Bin. Gue cekikikan Bin dipojokin Ban. Tumben banget Ban bisa ngbully. “Gue sih percaya bisa disebut bisexual kalau dia ngaceng waktu mau ngewe sama pere, dan sudah menikah apalagi punya anak.”
“Gue juga bisa ngaceng sama cewek, tinggal beli obat kuat atau obat Ki Sancang yang beredar di TL Twitter,” sergah gue dengan cepat. “Berarti gue bisexual juga donk.hahahha”
“Gue baru percaya kalau dia bisexual jika tuh orang yang ngakunya bisexual bisa ngewi sama gue dan perempuan dalam satu waktu, satu ranjang,” ucap Bin ketus. “Nah gue bisa lihat dia dominan menservice gue atau pere itu. Misalkan dia lebih dominan sama gue berarti dia homo ngaku bisex. Tetapi kalau dia seimbang berarti dia emang bisex.” Bin menyeringai dengan kejam bagiakan adegan sinetron si antagonis merencenakan siasat jahat.
“Tapi masalahnya elu sendiri mau atau kuat gak liat meki cewek?” tanya gue menggoda. “Lah wong elu liat bokep yang ada ceweknya aja jijik kayak ngeliat bangke.” Gue dan Ban puas menertawakan Bin sekaligus memadamkan retorika Bin.

Gue setuju sama Bin soal ini. Untuk memastikan dia emang bisexual sejati ketika dihadapkan pada dua kelamin yang berbeda. Dia akan “maruk” yang mana apakah sama kenti beserta anal dari pria atau mekinya cewek. Jika memang pure bisexual akan melah keduanya. Namun cowok itu malah lebih “menggarap” cowoknya berarti dia bisex KW.

“Gue jadi ngerasa kasihan sama mereka para gay bot yang pura-pura bisexual. Pasti ngerasa tersiksa biasanya mereka tinggal ngangkan atau nungging, sama monyetnya bekerja keras biar bisa ceng,” ucap Ban dengan polos. Matanya kosong. Mungkin sedang membayangkan bapak-bapak sudah keringetan karena usaha keras ngocok kentinya biar ngaceng. Gue dan Bin jadi ikut membayangkan dan tergelak keras.
“Gay top yang pura-pura jadi bisexualpun akan kesusahan,” samber gue sambil berusaha nahan tawa. “Pada dasarnya kan objek sexualitas gay kan laki. Gay yang top pun objek sexnya adalah “lubang kenikmatan” pria, mereka biasa memasukan kenti ke lubang itu pusat kegairahannya ada tubuh pria. Pasti donk akan terasa beda jika yang ada dihadapannya adalah perempuan, onderdilnnya pun beda,  dan gay top itu menganggap sebagai “lubang sengsara”.” Gue semakin terkekeh membayangkan kembali ada homo top yang sedang kesusahan biar kentinya ngaceng. Pasti dia membayangkan yang dihadapannya adalah cowok.

Berarti sesuatu yang pura-pura termasuk bisexual jadi-jadian akan mengalami kesusahan dalam aktifitas sex. Namanya juga homo pasti donk gairah sexnya pada lakik yang sebagai partner sex. Tiap homo pun punya fetishnya masing-masing dari partner sexnya yang pastinya seorang cowok.  Mau gimanapun usaha kamu jika psikologis kamu nggak nyampe, elu bakal kesusah sendiri menghadapi cewek yang sudah glepar-glepar minta “dimasukin”. Satu-satunya cara adalah minum obat Ki Sancang, untuk bikin ngaceng dan tahan lama.

“Pointnya gak sekedar ngewi aja. Ini bukan seorang verst yang bisa dengan mudah ganti role sex.” Gue mendorong Bin. Gue sumpek dipepet sama kedua homo ini. Gue pengen menghirup udara segar dipagi hari. “Ini juga masalah cinta bisexual. Gimana seorang bisex harus bisa membagi cinta secara imbang antara ke monyet dan cowoknya.”
“Apakah bisa menjadi seimbang seperti itu?” tanya Bin yang dari tadi masih nggak percaya keberadaan bisexual.
“Gue nggak yakin juga sih kalau bisa cintanya seimbang,” Ban menjawab dengan ragu. “Setidaknya dia sudah berusaha menjalankan perannya sebagai suami dan ayah serta bisa menjadi pacar dari lelaki homo,” lanjut Ban yang takjub permainan peran yang di lakukan para bisex.”
“Iya juga ya. Gimana pun juga mereka masih bisa membagi kasih sayang untuk banyak orang sekaligus sesuai dengan kapasitasnya.” Perlahan pemikirian gue goyah mengenai bisexual  itu adalah gay denial. “Terpenting dari bisexual bisa berhubungan dengan dua insan yang beda kelamin dengan adil.”
“Gimana pun juga elo tetep jadi nomor kesekesekian di kehidupan dia,” serang Bin nggak mau kalah. Matanya berkilat senang telah menohok gue dan Ban.”
“Elo kan bitchy. Gunakan donk kemampuan dan kelebihan elo itu untuk memikat pria yang sudah punya monyet. Jadilah elo yang utama untuk dia.” Tampang gue dibuat binal mengarah ke Bin.
“Gue bukan pecun. Tolol!” Bin menoyor kepala gue dengan sengit.
“Gue nggak nyebut elo pecun!” balas gue dengna nyolot.
“Udah lah nggak usah diributin.” Ban menjadi penengah diantara gue dengan Bin.
“Elo bisa ngelakuin gitu karena elo sedang desperate bercinta dengan lelaki suami orang. Dan elo ingin merebut perhatiannya,” lanjut Bin yang malah memojokkan gue. “Gue tau, lelaki itu pasti takluk dengan sex. Tetapi apa iya elo mau cuma jadi pelampiasan seksnya  aja karena dia nggak puas ngewe sama monyet.  Ada sesuatu yang lebih dari itu dari konsep bisex seperti yang elo bilang nggak sekedar syahwat. Jangan jilat ludah elo sendiri.”

Gue terhenyak dengan ucapan Bin yang menusuk ke relung hati gue.  Betul juga apa yang diomongin Bin. Gue memang sedang mabuk kepayang dengan lelaki yang statusnya sebagai suami orang. Gue terlalu berlebihan sehingga menganggap dengan kepuasan sex yang lalu bisa menggaet lelaki itu. Tubuh gue hanya jadi pelampiasannya saja. Gue nggak dapetin cintanya dia. Sekarang giliran gue yang merana.

“Maksud gue bukan gitu juga,” gue mengeluarkan suara dengan lirih. “Bukan dengan sex saja tetapi dengan cara lain. Kita bisa dengan perhatian, kasih sayang, atau dengan 1000 cara lainnya,” gue berkilah. Tubuh gue lunglai setelah diserang habis-habisan.
Ban mengelus punggung gue sebagai bentuk perhatin atas keputus asaan sahabatnya. “Ben..... senyum donk. Elu nggak usah nelangsa gitu.” Ban memandang  Bin dengan galak, “elu sih Bin kasar banget gitu.”

Bin melihat gue yang kelihatan ancur-ancuran menjadi iba. Bin kembali duduk disamping gue. Mungkin dia sedikit menyesal telah mengucapkan hal yang kasar kepada gue.

“Sori Ben... abisnya elu ngomongin bitchy sih. Gue emang bitch tapi gue punya harga diri buat dapetin cowok.” Tuh kan tetep aja Bin nggak merasa bersalah. “Menurut gue sih ya...tetep aja percintaan dari bisexual itu rumit. Makanya gue nggak mau deket-deket sama makhluk berstatus bisexual.”
“Bin... cerita percintaan itu selalu rumit, entah itu sesama gay, gay dengan bisexual. Antara straight pun juga rumit. Tetapi tergantung gimana kita menikmati percintaan itu.” Bukan maksud gue mendebat, tetapi kenyataan seperti itu. Biar Bin juga membuka mata hidup nggak sekedar berkutat di dunia gay dan membenci sesuatu yang berkaita dunia kenormalan.
“Iya gue tau Ben..... tetap aja bagi gue cinta dari seorang bisexual itu absurd.” Bin tetep keukeuh dengan pendapatnya. “Disaat dia  mencintai monyet  bersamaan pula dia mencintai elo. Cintanya terbagi dua, kosentrasinya pun dibagi juga. Seperti yang tadi gue bilang.”

Gue terpekur dengan omongan Bin yang sekali lagi bener. Gue nggak bisa menyangkalnya. Gue memang harus siap berbagi dengan monyet sahnya aa Huta. Berbagi cinta dan tubuhnya.
“Bin elu nggak bisa ngejudge gitu donk,” Ban bersuara dengan lirih. Dia masih pada posisinya sebagai penentang pemikirian Bin.
“Gue ngomong gitu karena kenyataan seperti itu Ban.....,” Bin juga gemas jika pernyataannya gak disetujui oleh sahabatnya.
“Apa elu udah interveiw atau udah merasakan dari kebersamaan seorang bisexual?” tanya Ban menyelidik. “Elu juga belum tau juga kan apa yang dirasakan oleh para bisexual.”

Bin tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus tapi kosong ke halaman parkir stadion yang luas. Dia sedang memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan Ban yang seakan membungkam dan mengaburkan pemikiran tentang bisexual.

“Gue emang emang bukan bisexual jadi gue nggak ngerti apa yang dirasakan,” jawab Bin terbata. “Gue juga belum pernah berhubungan yang namanya bisexual,” tambah Bin.
“Nah kamu sendiri belum tahu tentang mereka tetapi sudah menghakimi para bisexual itu sebagai makhluk terkutuk.” Gue berikap tenang dalam menanggapi Bin.

Gue cuma berusaha menenangkan diri. Gue nggak bisa menyalahkan Bin berpedapat dengan kasar walau tanpa bukti. Kita memang masih belum berpengalaman dalam dunia perhomoan. Jadi wajar saja kita punya asumsi berdasarkan pemikiran diri saja. Kue juga tahu Bin dan Ban punya beda pendapat, tapi itu saling melengkapi. Bin hanya memparkan sisi buruk dari bisexual sedangkan Ban menjabarkan sisi lain dari bisexual.

“Gue juga nggak tau saat ini apa yang bisexual rasakan. Termasuk dari perasaan aa Iw kepada gue atau monyetnya.” Gue menghampiri Bin yang sedang melamun.
“Terus yang elu tahu apa?” tanya Ban sambil keluar dari mobil dan berdiri disamping gue.
“Gue cuma tau mereka sama seperti kita bingung dengan keadaan ini, tetapi mereka lebih bingung kuadrat,” gue mulai menjelaskan perihal bisexual. “Kita cuma bingung kenapa kita menyukai lelaki? Dan pada akhirnya kita hanya dapat mendekat atau mencinta lelaki. Sedangkan mereka lebih bingung lagi kenapa bisa suka sama perempuan sekaligus punya hasrat sex dengan lelaki?” gue menengok ke Bin dan Ban melihat reaksi mereka selanjutnya.

Mereka berdua terpekur, menerawang. Mereka seola-olah sedang membayangkan diri menjadi seorang bisexual. Mungkin buat homo serasa simpel, menjadi galau pada saat bocah lelaki menyadari bahwa dirinya adalah homo pada akhirnya hanya mencintai atau menyukai lelaki saja. Berbeda dengan bisexual yang sadar merangkap cintai lelaki dan perempuan dalam satu waktu. Mereka tidak bisa memilih.

“Menurut gue, bisexual itu berkah. Bisa mencintai dan merasakan ngewe dua jenis kelamin sekaligus,” ucap Ban yang matanya sudah jelalatan melototin cowok sedang joging.
“Berkah yang membawa petaka. Mereka terjebak pada lingkaran dimana tidak bisa secara total mencintai lelaki atau perempuan,” timpal Bin dengan ketus. “Mungkin enak kali ya bisa ngewe diantara dua kelamin itu. Tetapi pada dasarnya mereka menjerit mana yang gue pilih untuk diseriusin? Jika melilih salah satunya pihak monyet atau cowoknya akan ada yang tersakiti juga, termasuk dirinya.”
 “Jadi, gay yang berhubungan dengan bisexual harus suda siap mengalah jadi madu atau mengalah meninggalkan cowok itu. Mungkin pada saat bisexual itu belum menikah kita yang menjadi only one, disaat sudah menikah kita menjadi yang kesekian. Itu sudah resiko.” Gue menutup perdebatan ini dengan menyimpulkan gay yang berhubungan dengan bisexual antara bahagia dan merana.
“Jangan bangga mengaku bisexual hanya karena sudah punya monyet tapi nggak dinikahin juga,” ternyata Bin masih mengeluarkan pendapatnya. “Jangan pula bangga ngaku bisexual hanya karena sudah menikah tetapi kenyataannya nggak bisa ngaceng liat pere glepar-glepar bugil.” Senyum bengis mengembang disudut bibir Bin. Kali ini dia menutup diskusi sekaligus membuat kesimpulan.

Semua pilihan kita pasti akan ada resikonya. Setidaknya sekarang gue sudah tau resiko bila tetap berhubungan dengan seorang bisexual. Gue bisa jadi bukan satu-satunya bagi dia. Bagi gue sendiri, dia juga bukan menjadi sesuatu yang satu.

“Terus apa yang akan kamu lakukan?” tanya Bin. Gue tahu pertanyaan itu mengarah pada aa Iw.
“Gue belum tahun Bin.” Gue memangdang Bin dengan tatapan memelas, seperti orang sedang seakarat.
“Apapun yang elo lakukan gue dukung elo, termasuk kalau elo pacaran sama aa Iw. Gue akan seneng ngeliat elo bahagia sekalipun elo jadi duri,” jawab Bin sambil memeluk gue. Sebenernya gue pengen jitak tetapi gue nggak mau merusak momen mengharukan ini.
“Kalau  ada apa-apa, gue sama Bin selalu ada untuk elo. Karena kita emang homo yang desperate.” Ban ikut memeluk. Jadi ada tiga homo yang sedang mengharu biru.

Dari saku celana smartphone gue bergetar seperti vibrator yang membuat kenti gue bereaksi. Gue liat ada panggilan video lewat Line dari aa Iw. Gue segera menutul layar smartphone untuk menerima panggilan video. Terlihat aa Huta baru bangun tidur. Posisinya sedang tiduran di kasur. Inilah sesuatu yang indah bagi gue ngeliat aa Huta apa adanya tanpa sentuhan bahan kimia untuk membuat dirinya ganti. Saat orang bangun tidur itulah sisi alaminya.

“Hai adek,” panggil dia menuju gue.
“Hai A, baru bangun ya?” tanya gue basa basi yang basi.
“Aa cuma mau bilang. Met pagi buat adek,” so sweet banget dech. Tetapi ada yang ngeselin. Backsound aa Huta suara perempuan yang sedang ngedumuel, mungkin karena kelakuan anaknya yang nakal.
“Aku tak rela bila aku di madu, serahkan kan saja aku ke lekong yang lain.” Bin menyayi dengan lantang. Gayanya pun ngondek abis. Gue tahu dia sedang menyindir aa Iw.
“Itu siapa dek?” tanya aa Iw keheranan.
“Itu ada A ada waria lagi putus asa semaleman gak dapet pelanggan!” jawab gue nggak kalah nyindir Bin.
“BENCOOOOOONG!!!!” pekik Bin kesal. Gue sama aa cuma ketawa saja. Ban sendiri malah sedang melongo liat cowok sedang sit up tanpa baju.

TAMAT

TELAH TERBIT BUKU TEMA LGBT BERJUDUL KAMUFLASE. DI JUAL SECARA ON LINE. UNTUK PEMESANAN KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITAS MU DENGAN KAMUFLASE



No comments: