PIKNIK YUK
Menanggapi hal yang tidak serius dengan serius. Membuat hal serius
seakan tidak serius. Seperti sifat alamiah manusia yang tidak benar-benar
berubah (Namariiro no FICTION – Aqua Timez)
Saatnya refreshing, setelah sekian lama berkutat dengan tulisan dan liputan dikerubutin
para kimchil dan alayers. Perlu banget menyegarkan otak dengan jalan-jalan,
yang lebih enak lagi bertualang tetapi gratis, alias biaya dari kantor. Ngomongin jalan-jalan masih
ada satu rubrik lagi yang aku garap yaitu Piknik.
Rubrik ini berisi tentang tempat wisata atau serunya bertualang di
suatu kota .
Tempat pikniknya juga masih sekitaran Jogja atau Jawa Tengah, pengennya sih ke Raja Ampat, Pulau Derawan di
Kalimantan, Pulau Flores atau ke Singapura juga boleh tapi apa daya pembaca
kita para Kimchil
yang tersebar di Jogja dan Jawa Tengah jadi lebih baik menampilkan tempat
wisata yang dekat dengan mereka. Disamping itu perusahaan nggak kuat biayain repoter
gajebo seperti aku dan mas Dita.
Hari ini rencananya aku hanya mau ngetik di kantor. Sekalian mau
ngebahas rubrik Piknik bareng mas Dita dan Preti. Seperti biasa setiap pagi pasti ada saja
keributan di ruang marketing yaitu rebutan komputer dan printer, di ruang
marketing cuma ada 2 komputer padahal marketingnya ada 4 jadinya rebutan dan
computer anak redaksi pun di bajak mereka. Kulihat komputer ku sedang di
pakai mas XO, mending aku ngeteh dulu di teras lagian aku nggak buru-buru
ngetik (dibaca nggak pernah ngetik di kantor). Di teras juga ada mas Dita lagi ngopi sambil
baca majalah Vough.
“Mas Dita,” aku menyapa dia. Tetapi dia membalas dengan berdehem tapi tidak
mengalihkan perhatian ke aku. “Mas Dita, kapan kita piknik buat edisi depan? Mumpung
luang nih,
lagian tugas regulerku udah kelar semua.”
Mas Dita segera menutup majalah tersebut dan menaruhnya di kolong
meja. “Terserah kamu ja Tong, kan aku tinggal ngikut.”
“Ya sih, aku juga belum ngomongin sama Preti and Bos.” Preti yang baru sampai
kantor sebelum masuk ruang redaksi segera ku cegat. “Pret, rubrik Piknik
kemana nih?”
“Bentar donk, gue baru aja nyampe. Gue taro tas dulu.” Preti langsung ngeloyor
masuk ruang redaksi dengan muka di tekuk.
“Yang deket aja dech mas, jangan jauh-jauh dari Jogja. Kalau bisa sih yang di Jogja aja,” lanjutan diskusi ku pada
Mas Dita.
“Kamu pengennya kemana?” Mas Dita malah nanya balik ke aku.
“Tokyo ,hahahahah,” jawabku bercanda.
“Pengen banget bisa liat Aqua Timez konser bila perlu aku interview mereka.”
Aku malah menjelaskan alasannya ingin ke Tokyo .
Kulihat Bos keluar dari ruangan kayaknya sih mau pergi, dia udah pegang kunci
mobilnya. Dia mampir ke kubikelnya Preti, agak lama. Aku bisa menerka Preti
lagi kena “tausyiah” lanjutan, karena tadi aku liat wajah Preti ditekuk gitu,
pasti sebelum berangkat di telpon Bos disuruh cepet ke kantor untuk kembali
menyatap tausyiah. Dari raut muka Bos juga kayaknya serius banget. Dalam batin
ku, Preti
ngelakuin apa lagi ya? Rebonding rambut
kritingnya atau dia nyulap artikelnya jadi resep
makanan. Entah lah, kita kepoin aja setelah mereka berdebat. Mampus, Bos udah kelar
tausyiahin Preti sekarang sedang jalan keluar menuju teras. Segera aku nyiapin
mental barang kali kena epilepsi mendadak. Dia semakin mendekat dan mendekat
akhirnya keluar juga dari ruangan redaksi. Yang aku harapin dia langsung menuju
mobilnya dan langsung kabur dari kantor tetapi kenyataannya dia malah duduk
kursi teras bergabung dengan aku dan mas Dita.
“Kerjaan kamu sudah selesai semua?” tanya Bos memulai percakapan, nadanya datar wajahnya
juga sedatar tembok.
“Udah Bos, tinggal beberapa aja yang belum selesai diketik, itu juga liputan kemarin,” jawab ku meyakinkan
agar emosi dia stabil, padahal kenyataannya masih banyak artikel yang belum ku
ketik. Aku nggak mau pagi yang indah ini terusik oleh tausyiah dari Bos. “Sama
ini Bos kurang rubrik Piknik, bingung mau kemana,” aku mengalihkan percakapan
agar tidak terjebak soal benimbunan tulisan yang belum ku ketik.
“Terserah kamu aja kemana, keluar kota aja sekalian.”
Aku diam sesaat, aku berharap dengan diam dia akan segera melanjutkan kegiatannya,
tapi dia masih tetep duduk menunggu jawaban ku. Tapi sempat girang juga sih di
usir keluar keluar dari Jogja buat liputan kesempatankan buat jauh-jauh dari
kantor yag horror.
“Aku sih penginnya liputan beberapa museum yang ada di Jogja,” aku mengusulkan ide untuk rubrik Piknik.
Mata dia langsung terbelalak dan menarik nafas dalam siap
menyemburkan perkataan yang belum ku tau apa yang akan terucap. “Apa museum?
Dimana nilai jualnya? Museum gitu-gitu aja nggak ada istimewanya cuma majang benda-benda
aneh gitu. Jangan itu ganti aja, kecuali kalau museum itu mau ngiklan”
Mampus aku kena juga seumburan mautnya mungkin ini sisa-sisa dari
amukan dia ke Preti. “Sapa bilang museum nggak ada istimewanya? Ni dodol amat
kalau nggak ada museum kita nggak bisa belajar untuk masa depan. Museum nambah
pengetahuan, remaja jangan di cekokin hedonis mulu. Mereka harus tau karya
nenek moyangnya,” untung perkataan tersebut terucap dalam hati. Aku menghela
nafas “Nggak semua museum seperti itu kali Bos. Pilih yang bagus.”
“Nggak, pokoknya nggak cari yang lain saja,” Bos keukeh menolak usulan ku.
Mas Dita diem aja, aku tau dia paling males ngadepin Bos yang lagi
berkoar nggak jelas. Aku nggak mau kalah pokoknya tetep museum. “Ke museum kereta
aja dech di
Ambarawa itu kan menarik, museumnya out dor dan banyak obyek wisata lainnya disana. Ada rawa pening dan ada
benteng peninggalan Belanda”
Bos terdiam tanpa jawaban, dan aku hanya menerka membaca pikirannya
biasanya pas berdepatan lalu diam sejenak berarti dia akan setuju. Jika dia
langsung cuap-cuap tandanya dia nggak setuju. “Ok ke Ambarawa,” jawab dia singkat sambil
mengambil ancang-ancang akan berdiri. Bos melanjutkan perjalanan ke mobilnya.
Aku hanya tersenyum kemenangan sambil melirik mas Dita. Akhirnya bisa
keluar kota
juga piknik gratis. Mas Dita juga membalas senyum. Setelah itu aku buru-buru
masuk ruang marketing menuju mejanya Wedo yang berprofesi sebagai sekretaris
perusahaan.
Kulihat Wedo sedang nelpon pesen air gallon. Aku duduk dihadapannya
nggak sabar menunggu Wedo mengakhiri telponnya. Mungkin dia tau kali ya apa
yang ada dipikiranku dia langsung menutup telpon tersebut. “Apa? Pasti mau
nanya minggu ini Bos keluar kota apa nggak.”
“Bener banget, kok tau sih?” Aku cengar cengir.
“Tau lah kamu kan pasti kalau ke sini pasti nanyain kaya gitu kalau
nggak minta duit buat bayar klaim.” Ternyata Wedo sudah hafal kebiasaan ku.
Wedo segera membuka buku agenda. “Besok dia ke Solo dua hari, hari Kamis dia
nggak ada jadwal keluar kota sampai Rabu minggu depan.”
“Ok, arigatau Wedo-chan,” aku segera beranjak dari meja Wedo, dan berjalan menuju mas Dita yang masih
ngejogrok di kursi teras. Ruangan marketing juga masih ada keributan jadi males
berlama-lama disini
“Mas Dita kita berangkat hari Kamis ya pas Bos ada di kantor. Males
banget kalau ada dia,hehehe. Nanti aku bilang Preti semoga dia setuju, tiga
hari ini pengen di kantor mumpung nggak ada dia biar aku bisa kerja dengan
tenang dimeja ku sendiri”
“Aku sih manut kamu aja.”
“Ada
apa nih mau jalan-jalan ya?” Liya langsung nyamber aja.
“Iya, ni mau liputan ke Ambarawa buat rubrik Piknik,” jawab Mas Dita.
“Ikut donk…..kan aku libur hari Kamis?” rengek Liya.
“Jeng Liya, hari Kamis kan
kamu libur Ya. Mending kamu males-malesan di kost atau facial atau ngapain lah. Kalau kamu ikut malah jadinya kerja juga gimana?” Jegal ku melarang
Liya ikutan. Coba kalo ikutan pasti bakal ribet, dia lebih rewel lagi dari pada
Preti. Pasti dia ogah jalan jauh apalagi sampai mblasuk-mblasuk sawah. Padahal
biasanya aku sama mas Diki suka nyleneh kalau piknik cari jalan beda.
Mas Dita segera menambahkah alasannya. “Nanti Mbak Tari curiga koq
klaimnya banyak banget yang kena kita juga.”
“Yah koq gitu sih? Aku bayar sendiri dech,” teknik Liya memelas. Namun
kita sudah biasa menghadapinya.
“Mending duitnya buat beli baju tuh, bentar lagi ada midnight sale di Centro. Kamu
ajakin Uyun pasti dia juga mau.” Aku semakin mencari alasan.
“Liya…..buruan artikel gosip seleb baratnya…” teriakan Preti memekakan
telinga, menyuruh Liya segera bekerja kembali. Syukurlah Preti menyelamatkan
kita.
“Belum kelar ya, nanti siang kita bahas lagi atau besok.” Mata Liya
mendelik tanda menggertak sambil ngeloyor masuk kantor.
@@@
Hari Kamis
Hari ini bangun pagi-pagi dengan segar dan ceria meskipun udara dingin
banget tetapi anggap saja hangat karena hari ini nggak perlu ngantor tetapi
jalan-jalan. Tadi malem aku udah SMS Preti dan Bos kalau hari ini mau liputan
ke Ambarawa bareng mas Diki jadi nggak ngantor. Bos langsung menyetujui kalau aku nggak
ngantor.
Aku sudah janjian sama mas Dita ketemuan di Terminal Jombor. Kabut pagi tipis ku terjang
dengan kebahagiaan. Lalu lintas kota Jogja belum ramai, jadi cukup singkat perjalanan ke terminal.
Sampai sana aku
langsung menitipkan motor dan langsung ke agen bus Nusantara lalu membeli dua tiket.
Tak perlu menunggu lama mas Dita datang juga. Kita hanya saling menyapa lalu langsung naik
bus.
Aku dan mas Dita duduk deretan ke tiga sisi kiri, kenapa pilih sisi kiri karena
kalau sisi kanan panas karena sinar matahari langsung menyinari. Tepat pukul 7
bus berjalan menuju Ambarawa. Selama perjalanan ku pakai untuk tidur karena
hawa ngantuk masih menyelimuti mata. Seperti biasa tiap kali perjalanan di
temanin lagu-lagunya Aqua Timez yang keluar dari headphone. Sepertinya Mas Dita
juga masih ngantuk jadinya ikutan tidur
“Ambarawa…..Ambarawa….Ambarawa.” Suara Kondektur yang tambun membahana di bus
menganggetkan sebagian penumpang yang terlelap tidur termasuk aku dan mas Dita. Nggak perlu
menyadarkan diri berlama-lama aku langsung menyurung mas Diki untuk segera
berdiri karena kita sudah sampai. Untung bapak kondektur baik hati membangukan
penumpangnya coba kalau nggak bisa-bisa kita turunnya di Semarang .
Kita turun tepat di depan tugu Palagan Ambarawa yang merupakan saksi
bisu tempat pertempuran Indonesia melawan Belanda. Kita segera berjalan menuju
museum yang letaknya 800 meter dari jalan raya. Fuih meskipun kota ini ada di ketinggian 500m dpl, tetapi
matahari menyengat sekali di kulit. Serasa jauh sekali perjajalan ini.
“Tong dimana toh museumnya?” ternyata mas Dita sudah merasa kelelah juga. Mungkin nggak
tahan sama teriknya matahari.
“Itu udah deket koq, sebelum rel kreta belok kanan.” Ku tunjuk perlintasan
kereta api yang ada didepan.
“Lah Mas Dita belum pernah po ke sini?”
“Kamu tau kan kalau aku nggak pernah jalan-jalan di Jawa Tengah jadi
mana pernah ke sini,” Ya sih mas Dita asli Bali, dari lahir sampai besar di Bali jadi nggak pernah
jalan-jalan ke Jawa Tengah.
Kita masih terus berjalan dan belok ke kanan, dari kejauhan sudah
terlihat Museum Kereta Api Ambarawa. Museum tersebut berbentuk stasiun yang
tidak terlalu besar. Rasanya udah nggak sabar pengen cepet nyampe biar bisa
ngadem.
Ahkirnya nyampai juga aku langsung duduk lunglai di kursi yang
panjang kayaknya dulu ini kursi untuk menunggu kereta lewat. Di stasiun ini
adem banget padahal terbuka seperti ada dinding yang menahan hawa panas. Ini
salah satu museum yang terawat, cat tembok yang masih bagus dan yang
menakjubkan semua peralatan perkereta apian jaman Belanda kondisinya masih
bagus, kata bapak petugas masih bisa di pakai. Di sini ada 3 ruangan ada yang
dipakai untuk kantor museum ada juga yang di pakai untuk ruang pameran.
Energi sudah kembali normal saatnya berjalan-jalan. Kalau aku sih
lebih suka ngelihat foto-foto yang ada di ruang pameran, sedangkan mas Dita entah kemana,
mungkin dia sedang motret lokomotif yang teronggok di sisi kanan peron. Aku
menduga dulu stasiun ini stasiun yang besar dan ramai dilihat dari foto yang
tertempel di dinding. Dulu nama stasiun ini adalah Willem 1 diambil dari nama
raja Belanda. Stasiun ini berfungsi untuk keperluan militer karena kota Ambarawa tempat
tangsi militer.
Aku jadi membayangkan kalau pada zaman Belanda dulu waktu stasiun
ini masih berfungsi pasti stasiun ini salah satu yang sibuk di pulau Jawa, apa lagi disini basis
militer Belanda. Kalau nggak ada Belanda belum tentu pulau Jawa ada perlintasan
kereta api. Sampai sekarang jalur kereta yang masih terpakai adalah karya orag
Belanda.
Sebenernya sih kalau liputan rubrik ini sama aja aku nganter mas Dita hunting foto
karena aku sendiri nggak ada interview sama pengelola. Pernah dulu mau
interview sama pengelola eh ternyata ribet harus ada surat liputan. Jadi untuk bahan tulisan aku
cukup observasi dan melongok dari internet,hehehehe.
Setelah berkeliling, aku kembali lagi duduk menunggu mas Dita menyelesaikan
foto-foto. Biasanya saking keasikan ngambil gambar Mas Dita sampai lupa waktu
jadi aku harus turun tangan untuk ngingetin.
“Mas Dita ayo cabut yuk kita ke benteng Belandanya.”
Mas Dita mendekat.”Kamu tau nggak tempatnya dimana?”
“Nggak,” jawab ku cuek. “Ya nanti sambil jalan kita tanya lah, tuh tanya dulu sama bapak petugas.”
Setelah mas Dita tanya sama bapak petugas museum kita langsung berangkat.
“Jauh nggak toh mas bentengnya?”
“Katanya deket koq”
kita keluar museum berjalan ke arah jalan kita masuk tadi sampai
mulut jalan kecil kita belok kanan melintasi rel kereta api. Aku pikir setelah
belok akan menemukan benteng tetapi ternyata ada sebuah lapangan yang luas
banget. Mana pula nih bentengnya?
“Mana toh mas bentengnya?” Kali ini aku mengandalkan mas Dita karena aku sama
sekali nggak ngerti.
“Bentengnya ada di belakang tugu itu, jauh kan? Mau lanjut nggak?
”Wew, panas-panas gini jalan jauh banget pake acara muterin lapangan
pula. Setelah sekian detik memikirkan. “Lanjut aja dech mas udah tanggung, tapi
beneran ada di balik situ?”
Mas Dita mulai meragukan apa yang tadi di ucapkan. “Kata bapaknya
sih gitu Tong.”
“Ok, tancap gas mas,” aku menyemangati diri sendiri dan mas Dita.
Sambil jalan aku dan mas Dita ngobrol-ngbrol
“Aku nggak habis pikir dech kenapa usul ku di tolak mentah, yang
liputan museum.” Aku menghela nafas dan rasa sebel itu bergejolak kembali.
“Ya namanya orang kolot mas. Taunya dia museum cuma gitu-gitu aja,” kata mas Dita sambil sibuk
membidik objek, entah apa yang dia potret.
“Aku tau pasti dia tuh nggak pernah jalan-jalan ke museum pasti
mikirnya di museum itu hanya ada benda usang.” Emosi ku turun sejenak.
“Seharusnya kita yang bekerja di media harus mempublikasikan museum. Banyak
museum yang nelangsa karena nggak ada pengunjung ya karena nggak ada publikasi kan . Orang-orang jadi
nggak tau apa yang ada di dalem museum tersebut.” Emosiku meningkat sedikit,
tapi mas Dita masih cuek saja.
Matahari yang terik membuat emosi semakin meletup-letup. Hawa pegunungan
yang sejuk dapat dikalahkan pancaran panas matahari yang menghujam bumi dan
menusukan panasnya pada ku. Berhubung masih pengen ngedumel aku terus ngoceh
sendiri kaya orang gila, abisya mas Dita sibuk motret pemandangan yang indahya
pake banget.
“Padahal tuh ya kalau kita ke museum kita pasti akan tumbuh rasa
kebanggaan bahwa nenek moyang kita hebat nggak kalah sama negara barat. Kita
juga punya tambah pengetahuan,” aku masih terus aja nyerocos meskipun mas Dita nggak peduliin omonganku. “Harusnya
majalah kita jadi gerbang agar para Kimchil dan Alayers itu sadar nggak cuma ke
mall mulu tapi ke museum juga perlu. Sapa atau dengan ke museum mereka jadi
tobat.”
“Mas kalau Kimchil sama Alayers tobat terus yang beli majalah kita
sapa?” kata mas
Dita menanggapi omelan ku.
“Heh! Bener juga ya kita hidup dari mereka ya,” aku menyadari
kekeliruanku. “Mas mana bentengnya? Kita udah di ujung jalan,” aku juga menyadari
kenapa belum sampai.“
“Ikuti aja jalan ini terus setelah asrama katanya.”
Makin pasrah aja dech ngikutin Mas Dita mau balik lagi udah
nanggung. Kembali pada topic semula.
“Padahal masuk museum tuh murah banget ada yang 700 rupiah, tapi
masih aja tetep sepi,” aku mulai ngedumel lagi.
Kali ini mas Dita langsung menanggapi. “Yak karena mereka nggak tau mas. Dan
image dari museum udah kaya gitu. Untuk merubah image tersebut siapa?”
“Media,” jawab ku langsung. “Bener juga ya media itu bertugas memberikan image
kalau datang ke museum itu menyenangkan.”
“Tapi tong semua keputusan liputan kan ada di tangan bos. Jadi kalau
otak bos media lain cetek, sama aja juga boong repoternya menggebu-gebu tapi nggak dapet ijin
sama aja juga kan?” uih mas Dita tumben cerdas juga.
Setelah melewati gugusan asrama tentara terhampar luas sawah yang
hijau menyegarkan mata. Nun jauh disana terlihat beberapa bangunan tua. Di sisi
kanan kiri jalan dan tepat di ujung jalan ada bangunan besar menyerupai penjara tapi itu masih jauh. Fuih
masih perlu perjalanan jauh lagi nih, untung persediaan air masih banyak.
“Aku juga sebel sama pariwisata di Jawa banyak banget kita harus
bayar ini itulah,” ku mengganti topic pembicaraan. “Kelihatannya sih murah kita
bayar 3 ribu. Tapi kalau terus-terusan ya jadinya banyak juga.” Ku hentikan
racauan yang gelas ini dengan menenggak minum dari botol. “Coba aja kita masuk
kawasan wisata bayar. Terus kita masuk obyek wisata bayar, parkir bayar lagi
terus masuk ke dalem bayar lagi coba habisnya lebih dari 10 ribu. Nggak efesien
banget gitu. Jadi intinya wisatanya mahal!!”
“Ya begitulah Tong wisata di negara yang penuh dengan birokrasi.”
Komentar Mas Dita singkat.
“Mas Dita kan pernah di Bali. Tapi nggak semahal ini dech. Parkir di
pantai Kuta tetep dua ribu entah itu pas musim liburan atau hari biasa. Coba
aja mas ke Malioboro parkiran pas musim liburan, jelang lebaran dan hari biasa
harganya beda-beda. Kalau di Bali nggak ada pungutan masuk kawasan wisata kan ? Di Jawa masuk
kawasan wisata Kaliurang bayar terus masuk ke Kaliadem bayar lagi padahal kan
masih satu tempat kenapa nggak di jadiin satu aja. Terus belum lagi masuk obyek
wisatanya bayar. Di Bali mana ada kaya gitu. Masuk obyek wisata bayar nggak ada
bayar masuk kawasan wisata.” Kicauan ku semakin geram oleh birokrasi yang
ribet.
“Kalau di Bali mah semuanya kawasan wisata juga kali Tong,hahahha.”
“Tapi ada persamaan wisata di Bali sama di Jogja, sama-sama susah
cari angkutan umum padahal kan wisatan nggak mesti bawa kendaraan pribadi. Mau
nyewa kendaraan juga mahal.” Aku mendengus kesal, sambil membuka tutup botol,
capek ngomong terus.
Ternyata ngomel-ngomel sendiri menjadikan perjalanan nggak berasa,
tau-tau udah nyampe. Tapi ada suatu yang janggal.
“Tong, mana bentengnya?” tanya Mas Dita heran sambil menatap bangunan tua yang hampir rubuh
itu.
“0o.Itu?” aku menjawab tapi dengan nada pertanyaan karena ragu juga.
“Itu bukan benteng dech.” Mas Dita mengernyitkan dahi. “Itu penjara
kali. Tapi koq mirip benteng lagian itu kayaknya masih dipakai,”
“Coba tanya gih?”
“Ogah ah lagian kalaupun itu benteng beneran serem juga kali banyak
ilalang gitu, nggak pas dimasukin majalah. Cabut aja yuk.”
“Bentar mas,” aku masih ragu untuk meninggalkan ini tempat,
sebenernya pengin masuk dan beratanya. Tapi kalau dilihat-lihat lebih seksama
juga horror. Bangunan itu tinggi ada beberapa lubang seperti ventilasi. Dan ada
gerbang seukuran truk container aku liat didalamnya ada beberapa gedung yang
tampak masih di pakai tapi kelihatan nggak ke urus. Di tembok juga ada tulisan
“Pengunjung Wajib Lapor”.
“Ya udah mas kita cabut aja. Tapi lewat mana? Masa balik lagi jauh
banget kali.”
“Itu ada jalan besar kayaknya” Mas Diki menunjuk sisi kiri penjara
tetapi kita harus melewati pematang sawah yang sempit untuk menuju jalan
tersebut.
“Terus kita haruas lewat sawah donk mas.”
“Mau nggak mau.” Mas Dita segera menggandeng tangan ku dan membawa aku ke
persawahan.
Meskipun matahari masih terik tetapi berasa adem karena hijaunya
padi membuat segar. Dengan hati-hati ku menapaki pematang sawah tersebut.
“Mas, aku yakin pasti Liya ogah kaya ginian. Dia kan maunya enak sendiri” kata ku sambil
berjalan hati-hati.
“Pastinya lah mas, dia liputan ke desa aja ogah apa lagi yang kayak
ginian.
Sekarang tepat ditengah-tengah perasawahan dan semakin jauh dengan
jalan yang kita tuju. “Mas Dita, yakin lewat sini? Koq kayaknya semakin jauh
dech.”
“Heh, bener juga makin jauh. Udah ikutin aku aja”
Tanpa protes aku ikutin saja Mas Dita. Terus menyusuri pematang
sawah, tapi kali ini semakin mendekat tepian sawah.
“Lah mas kita udah dipinggir tapi lewat mana nih? Semuanya halaman
belakang rumah” aku semakin bingung untuk mencari jalan keluar.
“Udah nurut ae toh.” Mas Dita terus berjalan menerobos kawat
berduri. “Udah ikut aja.”
Sekali lagi aku pun mengikutinya dan benar ini adalah bagian
belakang dari rumah sakit dengan bangunan tua. Kita berjalan melipir sisi rumah
sakit, tak berapa lama kemudian sampai di jalan. Aku pikir bakal langsung
sampai jalan raya waktu turun dari bus tetapi ternyata beda lagi. Mas Dita udah
terus berjalan di depan ku dan aku tertinggal jauh. Buru-buru aku menyusul Mas
Dita, ini orang makannya batu bara apa ya jalannya koq cepet banget kaya kereta
uap aja.
Dari jauh Mas Dita berhenti berjalan dan berteduh dibawah rimbunnya
pohon mangga. Mungkin dia kasian juga kali ya liat aku yang udah kelelahan dan
dia membayangkan kalau aku jadi ngesot-ngesot.
Hap, sampai juga di tempat Mas Dita.
“Tong ada bebek goreng tuh.” Tunjuk Mas Dita di sebrang jalan.
“Yuk mas. Udah laper banget nih dari pagi belum makan.” Kali ini aku
yang menarik Mas Dita.
Kita pesan dua bebek goreng dan es soda gembira. Sambil nungu
pesenan dateng aku mainan handphone dan Mas Dita kembali mengecek foto yang
telah dipotretnya tadi. Capek juga mau
ngomong dari tadi udah nyerocos sendiri, Mas Dita juga lagi asik sendiri, gitu
tuh kalau udah nemu objek yang bagus untuk di foto lain nggak di anggap.
Diwarung tersebut hanya aku dan Mas Dita saja yang makan jadi makanan cepat
tersaji.
“Nih buat Entong dada yang ada sayapnya” Mas Dita menukarkan piring
yang ada dihadapannya dengan piringku yang isinya paha. Aku membalas dengan
senyum saja dan langsung makan.
Kita makan lahap sekali kayak udah berapa hari nggak nemu makanan.
Dalam sekejap makanan tersebut tandas tak tersisa. Berhubung kita masih capek
leyeh-leyeh dulu dech. Aku memutuskan untuk tidur sejenak kebetulan warung
makannya lesehan. Sepetinya Mas Dita pun melakukan hal yang sama.
@@@
“Jeder……”
Suara kilat yang besar mengagetkan aku yang sedang asik bermimpi
jadi kepala redaksi, ngayal tingkat dewa. Mas Dita pun ikut terbangun. Ternyata
kita sudah hampir satu jam tertidur. Aku langsung melongok keluar dan langit
sudah gelap. Kemana perginya matahari? Tadi perasaan masih panas terik koq
sekarang malah gelap mendung pakai kilat pula. Inilah akibat pemanasan gelobal
cuaca jadi nggak menentu tadi terik banget tiba-tiba langsung mendung. Aku dan
Mas Dita bergegas jalan. Menurut bapak penjual bebek goreng jalan raya masih
satu kilometer lagi.
“Mas pakai becak aja dech” usul ku
“Nggak ada becak mas” kata bapak penjual bebek.
What harus harus jalan lagi, kaki udah lempoh gini masih disuruh
jalan lagi, ngesot aja dech. Sebelum aku protes pada diri sendiri dan keadaan,
Mas Dita udah jalan terlebih dulu meninggalkan aku. Aku hanya bisa menghela
nafas mingikuti Mas Diki. Dan perjalanan terasa semakin jauh ketika ada sebuah
hamparan lapangan luas yang kita temui waktu menuju benteng yang sekarang
berubah jadi penjara. Aduh masa muterin lapangan lagi sih. Rintik air dari
langit akhirnya turun juga awan sudah nggak sanggup untuk menampung. Langkah
kaki mas Dita
semakin cepat, mau nggak mau aku jadi ikutan bapak tentara dech gerak jalan
cepat mana ditamah sudukan diperut gara-gara sehabis makan langsung jalan jauh.
Meskipun mas
Dita jalan lebih cepat tetapi dia setia, setiap kali menyadari aku tertinggal
jauh dia berhenti sejenak nungguin aku.
Akhirnya sampai juga di jalan raya, hujan turun semakin deras saja,
terpaksa kita berteduh disebuah warung asongan disitu juga sudah ada kerumunan
orang yang sedang berteduh. Derasnya hujan dan angina yang besar tetap
membasahi tubuh ini, yang buat sebel nggak ada bus AC yang mau berhenti.
Padahal aku sudah melambaikan tangan. Aku jadi mikir apa aku ketengah jalan aja
kali ya biar berhenti. Hus, yang ada nanti nyawku yang berhenti. Ku urungkan
niat tersebut.
“Kalau mau pakai bus AC dari terminal Bawen mas,” tegur seorang ibu
yang ternyata penjual kaki lima tersebut.
“Jauh donk bu,” timpal ku
“Pakai angkot dulu,” kata ibu itu lagi kasih informasi.
Sebelum ku jawab lagi perkataan ibu ada bus patas non AC berhenti,
tanpa berkata apa-apa mas Dita langsung narik aku dan lompat ke dalam bus. Syukur dech udah
dapet bus, aku ingin segera duduk dan tidur. Tetapi kenyataan tak seindah
harapan, ternyata bus itu penuh nggak ada satu pun tempat duduk yang tersisa.
Rencana tidur nikmat itu langsung buyar.
“Mas Dita ayo turun aja lah rame kayak gini. Kita ke terminal Bawen,” keluh ku ke mas Dita.
“Nah tuh kan tadi ngomongin Liya rewel, eh ternyata Entong juga
rewel.”
Weks, aku disamain Liya, ogah dech. Tapi bener juga sih ternyata aku
juga maunya enak sendiri,hehehehe. Untuk kesekian kalinya aku nurut sama Mas
Dita. Mana capek dan ngantuk. Dari pada sebel dan manyun seperti biasa jurus
paling ampuh adalah mendengarkan lagu-lagunya Aqua Timez dari headphone. Untung
aja diluar hujan jadi dalam bus ngerasa adem dan lebih menyenangkan nggak ada
ngerokok syukurlah pada sadar diri di tempat umum yang tertutup ini nggak ada
yang ngerokok. Salah satu yang buat sebel naik bus nggak ada AC adalah ada
penumpang yang ngerokok asapnya yang bikin enek.
Orang yang tepat di sampingku berdiri dan sepertinya akan turun
langsung saja aku menduduki kursi tersebut. Tak lama kemudian bis berhenti
untuk menurunkan penumpang. Ada
seorang ibu-ibu lebih tepatnya nenek dink juga naik. Dia terus berjalan semakin
ke tengah bus untuk mencari tempat yang kosong atau mencari orang yang
berkorban menggantikan tempat duduknya. Eh si nenek tersebut pasrah juga nggak
ada yang orang yang mau mengorbankan tempat duduknya dia berdiri disamping ku.
Jadi nggak tega dech litanya tapi aku udah ngantuk banget. Ah dari pada
tidurnya nggak nyenyank akhirnya ku korban tempat duduk ku. Jadi berdiri lagi
dech.
Haduh piknik kali ini tak seindah yang ku bayangkan. Kutengok kesana
kemari koq mas
Dita nggak ada kemana lagi tuh orang. HP yang ada disaku celana bergetar ku
lihat ada SMS tenyata dari Mas Dita.
“Aku di belakang Tong, sini
ada tempat duduk kosong.” Aku langsung menoleh kebelakang, ku liat Mas Dita tersenyum pada ku
dan melambikan tangan menyuruhku ke arahnya. Akhirnya dapet tempat duduk juga.
Sepanjang jalan hujan deras menemani perjalan sampai di terminal Jombor.
Sepanjang perjalanan tersebut juga jadi ngobrol ngalor ngidul sama Mas Dita.
Setelah ku pikir-pikir piknik kali ini nggak nyebelin amat. Ada sisi lain yang
kuperoleh dari piknik ini. Aku jadi semakin mengenali Mas Dita yang ku pikirin
tadinya nyebelin yang cuek dan suka ninggalin aku eh ternyata dia baek juga dan
perhatian. Dia juga tau kesukaan ku kalau suka makan sayap. Ternyata Mas Dita
suka memperhatikan ku kalau beli ayam pilih yang sayap. Selain itu dia juga
ternyata pendengar setia walaupun dia nggak banyak ngomong karena dia masih
inget aja apa yang aku omongin diwaktu yang lalu.
Pelajaran selanjutnya adalah betapa pentingnya kita harus menjaga
kelestarian peninggalan sejarah. Dengan ke museum kita tau betapa hebatnya
orang Indonesia .
Mereka juga berani mati untuk melawan penjajah. Apa para Kimchil dan Alay mau
ikut perang?
No comments:
Post a Comment