1. GET JOB
“Semuanya, telah kupertaruhkan untuk satu hari ini meskipun ada
juga orang yang menggelengkan kepalanya tapi,
ini bukan tentang tercapai atau tidak tercapai
ini adalah cara hidupku aku hanya mengejar mimpiku dengan perasaan bangga di dadaku”
ini adalah cara hidupku aku hanya mengejar mimpiku dengan perasaan bangga di dadaku”
(Kaze Ni Fukarete ~ Aqua Timez)
Cerita
ini berawal dari bulan Mei tahun 2011
Horee………..akhirnya
aku dapet kerjaan jadi jurnalis!!!
Aku
menapaki kehidupan baru menjadi seorang jurnalis. Sudah satu tahun nganggur dan
rasanya hidup segan mati pun enggan. Setiap hari kerjaan luntan luntung nggak
jelas, ada sih kerjaan tiap hari
nonton FTV dan acara gossip. Tapi rutinitas itu besok akan ku tinggalkan. Akan ada
hari-hari sibuk dengan kerjaan nguber-nguber narasumber dan dikejar-kejar
deadline. Pada
akhirnya akan selalu kangen bisa nonton FTV dan infotaiment.
Ternyata
jadi seorang jurnalis itu menyenangkan sekali, banyak banget pengalaman yang nggak
terlupakan. Ada pengalaman yang nyebelin tapi lebih banyak lagi pengalaman yang
menyenangkan. Paling seru kalau liputan sekalian jalan-jalan, walau pakai acara nyasar
dan mblasuk-mblasuk (bahasa Indonesia yang bener apa ya?). Dari sering
jalan-jalan jadi hafal nama
jalan dan kondisi jalan, sampai tau lobang jalanan pun tau dimana aja, mirip jadi supir taksi
dech. Namanya juga kerja lapangan pastinya ya jalan-jalan lah, kalau
ngesot-ngesot ntar dikiran hantu suster ngesot. Kerja lapangan bukan pemain bola aja
kali ya wartawan juga kerja lapangan nungguin artis konser di stadion untuk
diwawancarai.
Pengalaman
lainnya jadi wartawan bisa ketemu banyak orang. Berbagai karakter orang bisa
detemuin mau yang aneh kelakuannya bisa bikin naik darah dan kepala cekot-cekot, sampai yang mengagumkan
prestasinya. Ada juga kombinasi keduanya ingin marah tapi juga butuh dia,
ditahan emosinya sangat pening kepala ini untuk menghadapinya.
Belum
lagi ketemu para ABG yang alay dan sebelum bertemu dengannnya aku pasti dapet
SMS dulu yang tulisannya kriting, tau kan tulisan alay gimana? Lebih antik dari pada
hiroglip. Nah kalau sudah ketemu siapkan kaca mata anti alay (emang ada? kalo
belum ada segera dibuat bakal jadi produk paling laris). Aslinya sih tampang
para ABG ini unyu-unyu tapi berhubungan stylenya unik, keimutan itu pudar. Karena sudah terbiasa ngeliat
tampan kaya gini di acara music tiap pagi jadi mata ku sudah kebal kalau ketemu
mereka.
Ada
juga kisah gimana ngerasain nguber-nguber narasumber. Entah gimana caranya
harus bisa wawancara. Berbagai intrik diusahakan agara ketemu sama tuh orang.
Paling enak kalau ngubernya bareng temen-temen wartawan yang lain, aku tinggal ngintil
mereka. repotnya kalau liputan sendiri. Banyak rintangan harus dilewati dengan
modal nekat dan berani Insya Allah berhasil.
Paling
utama adalah bisa dapetin sahabat ditempat kerja. Bersyukur banget bisa dapet
bos yang galak dan penyayang (semoga aku menulis ini dengan sadar). Sayangnya
kalau gajian nggak pernah telat. Bisa melatih kesabaran loh ketemu sama orang
satu ini,hehehe. Untungnya temen kerjanya asik-asik bisa kerja bareng dengan
happy.
Prolognya
udah kepanjangan langsung aja cerita.
Mari
kita flashback kemarin lusa.
Bunyi
petir membangunkan aku dari mimpi indah, terdengar hujan deras mengguyur Kota
Jogja. Mata kembali terpejam kembali, selain masih ngantuk suasana hujan
membuat semakin malas untuk melek. Mau melek juga mau ngapain acara gossip
belum mulai,
enaknya kalo pagi-pagi hujan ya tidur lah.
Hujan
semakin deras saja membuat tidur semakin nyenyak dan terlena akan kegiatan hari
ini. Tanpa sadar aku melek dengan perasaan nggak tenang tetapi aku belum
menyadari apa yang terjadi. Seperti biasa kalau bangun tidur pasti melihat jam
di hape, hanya dari hape lah bisa melihat waktu karena emang nggak punya jam
dinding atau jam meja, saking melaratnya apa ya? nggak juga sih abis suka
bingung sendiri juga ngeliat jam yang bunder malah keplintir bacanya karena sudah
keseringan baca jam analog jadi lupa cara baca jam manual, (jangan di tiru ya),
zzzz koq jadi ngelantur sih.......(To editor ini kejadian beneran loh ujan-ujan
bukan untuk mendramatisir opening,hehehe)
Mata
masih merem melek ngeliat jam menunjukan 07.30 aku masih tetap saja terpaku
melihat jam di iringi nyanyian rintik hujan deras di luar kamar. sedetik
kemudian,
"Hua..........."
Teriak ku membuat seisi kost yang tadinya adem ayem mendadak jadi bising
seperti kaleng rombeng.
"Hari
ini aku ada interview jam 8 tapi jam segini belum ngapa-ngapain, Oh My God,
mana belum nyetrika baju hujan pula. ah males ah berangkat," kata ku dalam hati.
Badan
sudah terkulai lemas kembali dan merebahkan badan ke kasur yang sudah
ngawe-ngawe untuk di tiduri kembali.
Sambil
tiduran aku masih saja galau.
"Hhhmmm
ini kan ada interview aku harus berangkat. Posisi yang dibutuhkan jadi
reporter, ini yang aku inginkan dan ini yang ku cari. Kesempatan nggak datang dua kali, tapi hujan jadi
males." Pergulantan batin mendera, pikirian itu terus terngiang membuat
hati ini gundah gulana.
"Aku
harus semangat sapa tau takdir baik membawa ku hari ini!!" Aku kembali
menyemangati diri sendiri, jangan sampai iblis menghasut diriku untuk terus
bermalas-malasan.
Dengan
terburu-buru aku menuju ke kamar madi,
air yang sedingin es dilibasnya demi mendapatkan pekerjaan. Karena bajunya
belum disetrika terpaksa perlu pinjaman baju. Hal yang pertama kulakukan adalah
ketok-ketok pintu kamar Aat, pasti Aat masih tidur lagian dia bodinya gede
pasti nggak cukup lah ukurannya. Aku beralih ke kamar Puput, ku ketuk pintu
kamarnya.
“Opo
Tong?” syukurlah ada jawaban.
Aku
langsung segera masuk tanpa basa-basi minta pinjem baju. “Aku pinjem kemeja mu, hari ini ada
interview. Kemeja ku masih di loundri semua.Plissss,” aku memohon dengan pasang
muka memelas bagai orang dipengungsian yang butuh bantuan. Tapi kayaknya
sia-sia acting mimic muka ku, karena Puput juga memperhatikan masih merem melek
ngantuk.
“Itu
di cantelan pilih aja sendiri mana yang cukup, bila perlu yang paling bagus
juga nggak apa-apa. Tapi habis itu di cuci ya….” Syukurlah Puput bersedia
meminjamkan bajunya. Aku pilih kemeja kotak-kotak garis biru, dan langsunng ku
pakai. Berhubung badan Puput juga kecil jadi langsung muat dech.
“Thx
ya put, doain moga ketrima.” Tanpa menunggu jawaban dari Puput aku langsung
keluar dari kamarnya. Palingan Puput juga sudah merem lagi menikmati tidur yang
diiringi hujan.
Waktu
semakin sempit aku jadi terburu-buru mana harus pakai jas hujan dulu pula, ich
ribet banget sih hari ini. Kalau bukan lowongan jadi reporter ogah dech
interview pas hujan kayak gini, mending tidur aja. Detik keberangkatan pun tiba, langit masih enggan
memberhentikan tetesan air.
Ku
kendarai motor agak ngebut untuk mencapai tujuan padahal sih jaraknya deket
dari kost, cuma kan belum tau tempatnya. Setelah puter-puter dan salah alamat
bagaikan lagunya Ayu Tingting, setelah mblasuk-mblasuk gang akhirnya ketemu
juga. Kalau di teliti secara seksama padahal gampang banget, cuma gara-gara nggak
konsen jadi gitu dech tersesat untung nggak nyasar sampai akhirat. Abis
salahnya juga tuh kantor nggak ada papan namanya dan nggak ada tampang seperti
kantor pada umumnya.
Masuklah
ke sebuah kantor, tapi juga nggak kaya kantor, abis nggak ada papan nama. Au ah
jadi bingung ndiri mendiskripsikannya tempat ini, katanya kantor tapi wujudnya seperti
rumah biasa. Rumah dengan halaman luas rimbun dengan pohon mangga. Ada sebuah
mobil pribadi dan dua motor yang terparkir di carport.
Lalu
ku ketuk lah pintu itu sambil deg-degan. Tak seberapa lama dibuka oleh seorang gadis
(mungkin, abis masih muda sih) dengan senyum ramah
"Ya
ada apa?" tanya
cewek cantik walau agak sedikit chuby dengan ramah.
"Ini
aku Entong, yang melamar kamu, eh salah maksudnya kemarin melamar jadi reporter
di media ini dan hari ini aku interview," kata ku salah tingkah karena terpesona
melihat gadis itu yang agak chubby. Rasa kedinginan itu hilang seketika melihat
senyumnya yang hangat.
"Ouh,
tunggu bentar di luar, duduk saja dulu." Gadis tersebut menyuruh aku duduk
dulu.
Aku duduk di depan kantor, kantor? rumah kali
ya (jiah masih di bahas lagi dech).
"Ini
beneran kantor? (masih ditanyai lagi). Koq aku sendirian ya disini mana yang
lainnya yang interview? Mudah-mudahan ini hal yang bagus jadi aku nggak ada
saingan,hahahah,” aku ngomong pada angin.
Keluarlah
dua orang perempuan yang satu si chubby yang tadi membukakan pintu dan yang
satunya lagi cewek tinggi berkacamata dan berjilbab. Mereka kan karyawan kenapa
juga keluar apa penasaran melihat kegantenganku?
“Namanya
siapa mas?” tanya
cewek berjilbab tersebut.
“Panggil
saja Entong mbak. Lah mbak ndiri namanya sapa?” aku malah berbasa-basi yang mungkin
sudah basi juga. Dari pada harus diem-dieman nggak ada salahnya jugakan beramah
tamah kepada bakal calon temen sekantor.
“Aku
Tari dan yang satu ini Ni Luh,” mbak Tari menjulurkan tangannya untuk bersalaman tanda perkenalan beggitu
juga Ni Luh.“Sebelumnya udah pernah kerja dimana?” mbak Tari bertanya padaku
soal pengalaman kerja dengan wajah agak serius sedikit.
“Saya
fresh graduate cuma kemaren jadi vouluntir ormas yang membutuhkan jurnalis.” Koq
aku jadi jawab yang jujur ya, agak gugup karena liat tampangnya Mbak Tari yang
serius.
“Berarti
udah sering nulis-nulis donk?” kali ini Ni Luh yang bertanya.
“Nulis
di blog aja paling, dulu juga ikutan jurnalis di kampus,” jawab ku sambil menarik kursi
agar lebih dekat dengan Ni Luh karena dia duduk agak jauh di depan ku. Aku juga
nggak denger dia ngomong apa soalnya suara dia kalah dengan suara hujan yang
masih deras.
“Kalau
kirim artikel ke koran atau majalah pernah?” Mbak tari mengajukan pertanyaan kembali.
“Pernah
ngirim tapi nggak ada yang dimuat.”
Ini
udah mulai sesi interview atau cuma basa-basa sih? Mau jawab jujur dan panjang
lebar tapi mungkin ini bukan interview yang sebenarnya. Dari tampangnya mereka
juga nggak ada yang menampakan bos? Tapi masa iya kalau interview di teras kaya
gini. Jadi khawatir sendiri jangan-jangan ini interview nonformal. Biasanya ada
yang kaya gitu kan? Pura-pura ngobrol biasa padahal terselubung lagi wawancara.
Whateverlah nggak usah dipusingin. Liat saja nanti hasilnya diterima atau
nggak. Pasrah dengan takdir.
Suasana
kembali hening karena mbak Tari dan Ni Luh nggak mengajukan pertayaan lagi. Hujan juga semakin
deras butiran air yang tertiup angin membasahi teras membuat mbak Tari dan Ni Luh masuk
kedalam mungkin takut make up-nya luntur. Sayang donk udah dandan cakep-cakep
makeup-nya ilang hanya karena kecipratan air hujan. Apalagi kalau make-upnya
mahal. Loh koq jadi ngomongin make up?
Tak
lama kemudian mucul bapak-bapak dan menyuruh ku masuk, sepertinya akan ada
wawancara yang resmi. Perasaan aku makin kacau dech, tapi harus tetep percaya
diri. Aku memasuki ruangan entah itu ruang tamu rumah atau ruang tamu kantor, tapi belum ada
mirip-miripnya kaya kantor,hahaha masih dibahas lagi. Abisnya disitu cuma ada
kursi dengan format ruang tamu. Di sudut lainnya ada sebuah tirai seperti
pembatas ruangan, tirai tersebut berkibar dan sekelebat ruangan dibalik tirai
tersebut kelihatan dan sepertinya itu ruang keluarga.
Di
depan ku dekat pintu aku masuk ada meja di atasnya tergeletak tumpukan majalah dan sebuah laptop, ada
pula kursi yang berhadapan. Lelaki tersebut menduduki kursi yang mepet dengan
tembok dan aku sendiri dipersilahkan duduk di hadapannya.
"Namanya
Entong ya?" tanya bapak itu memulai wawancara. Wajahnya tenang tetapi
dengan sorotan mata tajam, seakan sedang menyelediki sesuatu. Atau matanya emang
sedang menahan kantuk? Jadinya mata di buka lebar-lebar.
"Iya
pak nama saya Entong," jawab ku
singkat, mau panjang lebar juga percuma masa mau cerita asal usul namanya.
kalau aku jelasin bisa panjang lebar bisa-bisa nanti jadinya dongeng dan
bapaknya bisa jadi tidur beneran. Nggak jadi interview aku donk. Nggak apa sih
kalau hasilnya langsung diterima.
"Udah
punya pengalaman kerja?" pertanyaan tersebut terlontarkan kembali tetapi
kali ini dari mulut seorang lelaki tambun. Matanya masih tetep aja melotot,
jadi ngeri sendiri.
"Kalau
kerja formal belum, tapi kalau serabutan udah kaya ikutan reportarse lepas
waktu kuliah untuk majalah kampus, terus pernah juga jadi reporter on line waktu
event ormas," aku menjawab apa adanya, mau
boong juga percuma juga lama-lama nanti ketahuan juga, mending jujur saja.
"Siap
kerja keras?" tanya beliau dengan ketus dan suara yang menggelagar kali
ini dengan memicingkan mata.
Aku
agak kaget dan sempat tersentak, untung saja aku nggak jatuh dari kursi."Siap
pak, akan ku berikan yang terbaik untuk perusahaan ini dalam melakukan reportase.
Saya juga siap dengan tugas apa yang diberikan. Pokonya saya akan bekerja
total" Rasanya ingin sekalin berorasi dech kaya kampanye pemilihan calon
legeslatif daerah, bila perlu pakai TOA biar kedengeran dramatisir dan lebay, namanya juga
lagi interview jadi ya di jawab aja dulu semuanya dan harus meyakinkan.
"Kalau
kerja tengah malam siap?" beliau bertanya dan belum menurunkan nadanya.
"Siap
pak!" loh koq aku jadi kaya tentara,hehehehe. Tapi dalam hatiku masih
bingung, ngapain kerja malem-malem, emang mau jagain lilin? Atau malah ditugaskan untuk
mangkal di depan BI Jogja? Ouh tidak. Kegalauan melanda lagi ini lamaran sebagai
repoterkan?
"Masalah
salary gimana?" tanya beliau sudah menurunkan nadanya. Tapi masih dengan sikap yang
waspada karena hal ini menjadi yang sangat sensitif.
"Saya
terima apa yang diberikan oleh perusahaan ini, kalau bisa di atas UMR," kata ku sambil nyengir.
Abisnya aku nggak tau juga harus jawab gimana. Masa mau minta 10 juta nggak
mungkin juga kan, yang ada nanti aku langsung di usir secara paksa. Bukannya di
usir itu udah bagan dari pemaksaan?
“Udah
pernah melihat majalah ini?” Bapak tersebut menujunjukan sebuah majalah yang
bernama Skolah Magz.
“Belum,
pak,” jawab ku polos. Mau boong
nggak enak hati karena emang belum pernah liat. Sekilas sih majalahyan nggak
banget sebagai majalah remaja, liat aja dari model covernya.
“Saya
pemimpin dari perusahaan ini. Ini
adalah majalah yang saya produksi, majalah yang segmennya remaja. Jadi
liputannya kebanyak ke sekolah. Majalah ini baru beredar bulan ini dan ini
masih baru banget. Saat ini baru tersebar di daerah Jogja.”
Aku
menganggukan kepala sambil menyimak penjelasan majalah yang di buat. Akhirnya
aku juga tau ternyata dia bos perusahaan ini ya. Tampangnya sih kalem saja
sepertinya bakal jadi bos yang baik dech (semoga).
“Ini
kamu lihat-lihat dulu lalu kasih pendapat,” dia menyodorkan majalahnya kepadaku.
Segera
aku langsung mengambil dari meja.
Lalu
aku membolak balikan majalah tersebut sambil memikirkan jawaban apa yang akan
terucap dari bibirku ini. Semua halaman sudah ku buka sampai habis tanpa
membacanya, terlalu lama juga kali kalau dibaca semuanya. Lagian baca majalah
enaknya sambil tiduran dan dengerin lagu-lagu Jepang. Pas interview gini mana
nikmat. Oke aku sudah siap menjawabnya.
“Bagus
sih untuk edisi pertama. Dari rubriknya sudah banyak isian yang berkaitan
dengan remaja. Menarik juga mengambil liputan di sekolah, pasti banya anak-anak
yang tertarik karena sekolahnya diliput.” Oh tidak aku berbohong, tapi tidak
apa lah demi mendaptkan pekerjaan.
Aslinya
sih majalah dari isinya sudah bagus tapi model covernya kok culun gitu ya.
Selain itu fesyennya baju jaman aku
masih ABG mungkin yang artinya nggak up
to date banget. Belum lagi artikelnya terlalu kaku bahasanya, kalau kata
orang film wajahnya terlalu datar nggak ada
mimic untuk di ekspresikan. Rubriknya belum ada gregetnya untuk kecengan
para ABG ya mirip bacaan ABG tahun 80an dech kayaknya sih. Sesuai dech dengan apa yang ada di cover
majalah.
“Ada
komentar lain?” Bos kembali bertanya, was was siap menerima kritik lebih tajam
lagi. Dan bisa dipastikan bila terlalu
tajam aku nggak bakal diterima.
“Kalau
saya di ijinkan bekerja disini saya siap membuat majalah ini menjadi semakin
menarik,” pernyataan yang aman dan
diplomatis. Dari pada aku harus memberika kritik lagi bisa-bisa aku jadi salah
ngomong. Nggak jadi dech kerja sebagai wartawan majalah.
"Ouh
seperti itu, ya sudah interview awal segitu saja, tunggu kabar berikutnya ya
paling lambat minggu depan." Bos mengakhiri interview. Dia bangkit dari kursinya
sambil menyodorkan tangan untuk besralaman.
Aku
pun meninggalkan rumah atau kantor ya? bodo amat ah mau kantor atau rumah yang
penting udah kelar wawancara. Hujan masih mengguyur kota Jogja ketika aku
meninggalkan tempat interview. Aku pun meluncurkan motor ku kembali ke kost dan
melanjutkan tidur kembali. Aku masih
enggan untuk berfikir untuk mengharapkan hasil interview, kalau diterima ya
syukur kalau nggak diterima berarti belum rejekinya.
Malam
pun datang, hujan baru saja berhenti tetapi butiran air masih menggantung di
daun dan aroma basah masih menyeruak alam Jogja. Aku main ke rumah salah satu
sahabat terbaik ku untuk nebeng makan malam di rumah dia. Begitu bertemu dengan
sahabatku ini tanpa buang-buat waktu lagi aku menceritakan tempat interview ku
yang antara rumah atau kantor.
“Tadi
pagi aku interview tapi tempatnya aneh.” Aku merebahkan tubuh di kasur yang
empuk dan mulai bercerita. Sahabat ku yang gempal duduk di depan komputer
sambil ngetik skripsi. “Aku nggak tau ya itu kantor atau rumah. Dibilang kantor
tapi bentuknya rumah. Di bilang kantor nggak nampak kehidupan kantor, nggak ada
karyawannya pokoknya sepi gitu dech. Nggak punya karyawan tapi koq udah
produksi majalahnya aku lihat di teras kantor ada tumpukan kardus yang isinya
majalah.”
“Lah
koq gitu toh? Itu perusahaan baru kali jadi belum ada karyawannya tapi koq udah
produksi ya?” Simatupang nama sahabat ku pun ikut bingung apa yang diceritakan
oleh ku apakah itu rumah atau kantor,hahahaha, whateverlah.
“Mudah-mudahan
sih diterima dan aku jadi reporter. Kamu tau kan aku pengen banget jadi
reporter.”
“Mudah-mudahan.”
Simatupang membalikan badannya menatapku seperti memberi dukungan. “Tapi apa
kamu yakin mau kerja di situ? Kan perusahaan baru pasti banyak yang harus dibenahi
dulu biasanya yang jadi korban karyawan.”
Wew
aku melengos atas pernyataan Simatupang. “Yang peting dapet kerja dulu lah,
capek nganggur terus.”
“Bentar
ya Ntong, ni aku lagi ribet ma
ketikan ku. Data skripsinya nggak cocok sama hipotesis.” Simatupang kembali
membalikan badannya menghadap komputer. Sepertinya dia enggan di ganggu.
Dari
pada cengok sendirian. Aku menemukan novel sepertinya masih baru, lalu ku buka-buka novel
tersebut. Tiba-tiba handphone yang ada disampingku berbunyi, dari siapa pula
nih? Di layar nampak deretan angka tetapi tidak ada namanya. Langsung ku angkat
telpon tersebut.
"Ini
Entong?" kata suara
wanita dibalik telpon.
"Iya
mbak, saya Entong. Kenapa ya mbak?" tanya ku balik ke mbak-mbak yang telpon.
Aku juga memikirkan siapa pula ini nanya-nanya kaya mau nagih utang aja.
"Gini,
saya dari media yang tadi interview kamu, hari Senin besok ke kantor ya ada interview
lagi"
"Ok,
mbak"
"Ya
sudah gitu aja terima kasih.” Sambungan telpon seketika terputus. Aku kembali
berharap untuk diterima tapi entahlah nggak mau berharap banget karena masih
ada interview lagi. Apasalahnya untuk berharap tetapi nggak ngarepin banget
barangkali nggak ditermia malah sakit hati dech.
Dua
hari telah berganti, seperti biasa malam itu bermalas-malasan sambil on line
chating sama temen-temen dunia maya. Handphone
ku yang ada di saku celana berbunyi tanda sms, lalu dibukanya sms tersebut.
"Saya
Tari dari Skolah Magz. Mas Entong mulai hari Senin berangkat kerja ya, kita tunggu kedatangan
Entong"
What
aku diterima kerja? unbelieveble. Kemaren bilangnya hari senen interview lagi
koq sekarang malah hari Senin udah bisa langsung kerja, sebodo teuing lah yang
penting aku di terima kerja dan minggu depan gelar jobless ku tanggalkan. Tapi
tumben-tumbenan ada perusahaan yang mau menerima aku, ah entahlah, Alhamdulilah
akhirnya aku diterima kerja juga jadi reporter. apa yang diharapkan
didapatkannya juga.
@@@
Di atas adalah seklumit tentang proses aku mendapatkan
kerja. Sekarang aku udah satu tahun bekerja Seklah Magz. Sekarang kita bahas
kantor atau rumah?
Waktu aku interview memang disebuah ruang tamu rumah yang
dipaksakan menjadi kantor darurat. Waktu itu karyawannya baru 4 orang, bekerja
dirumahnya masing-masing. Mbak Tari bersedia menyewakan rumahnya untuk menjadi
kantor. Perusahaan tersebut berkembang pesat dan tentunya karyawannya bertambah
banyak ada divisi redaksi dan marketing.
Ruang tamu tersebutt sekarang berfungsi sebagai ruang
marketing dan tempat bersemayamnya Bos. Sebelah ruang marketing yang tadinya
kamar disulap menjadi ruang redaksi yang berukuran 5x5 m2 di jejali
5 kubikel yang sempit. Kedua ruangan
tersebut punya pintu penghubung dan masing-masing terdapat pintu yang menghadap teras. Teras
rumah tersebut di sulap menjadi ruang serba guna bias jadi tempat rapat, ruang
tamu, tempat melepas penat dan ruang makan bakso bersama. Area paling luar
adalah halaman yang luas sekarang dijadikan tempat parkir motor sekaligus
tempat parkir tukang bakso yang lewat.
@@@
Di kantor ini terdapat makhluk ciptaan Tuhan yang unik,
mereka adalah rekan kerja, temen berantem, teman bersenang dan berusah payah.
1.
Bos
Pemimpin perusahaa ini mengwawancarai ku.
Sebenernya dia lebih banyak ngurusin keredaksian. Baru ku ketahui dibalik wajah
yang kalem terdapat kegalakan yang luar biasa,hehehhe (maaf). Walaupun galak
tapi tetep baik hati buktinya kalau sampai sore karyawannya masih betah
dikantor sering mentraktir bakso yang lewat depan kantor. Jangan mendekati dia
diwaktu deadline.
2.
Mbak Tari
Manager bidang keuangan. Dia yang ngurusin
keuangan perusahaan dan dia juga merangkap kepala marketing jadi dia bosnya
para AE (Acount Executive). Setiap pagi dan sore mendengarkan keluh kesah dari
para AE. Orangnya sangat luar biasa sabarnya.
3.
Mas Dita
Sebagai Fotografer sekaligus temen liputan ku
dan teman berantem memilih jalan mana yang harus dilalui untuk menuju tempat
liputan yang paling cepat. Sebenernya dia sarjana Hubungan Internasional tapi
ternyata dia lebih mencintai dunia fotografi. Orangnya lucu dan cerewetnya
ngalahin kicauan burung karena dia kantor jadi ramai terus oleh gurauanya.
4.
Preti
Sang editor. Kerjaannya ngeditin tulisannya
para reporter yang masih kacau balau menjadi lebih cantik sesuai namanya. Prety
ini juga orangnya murah hati sering sharing masalah tullisan dan mau mengerti
kendala yang dihadapi oleh para reporter. Dia juga yang mengumpulkan ide para
reporter untuk disampaikan kepada bos.
Rambutnya keriting dan kalau waktu deadline rambutnya tambah keriting
bagaikan medusa dia bagian yang paling sering uring-uringan karena banyak
tulisan yang belum masuk akibat reporter males ngetik. Andalan para reporter
untuk meluluhkan hatinya adalah menyogok dengan mentraktir makan pasti dalam
sekejap langsung senyum lagi.
5.
Uyun
Dia kebagian jadi stylist. Tadinya majalah
ini cupu dan sekarang jadi fashionable berkat dia. Dia yang menseleksi para
model untuk jadi cover atau foto model fesyen. Meskipun dia stylist tampang dia
sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang yang paham fesyen. Mata berkantung
gara-gara hobi begadang menjelajahi tempat nongkrong seantero Jogja. Kalau ke
kantor bajunya sekucel tampangnya dan dia punya ritual khusus kalau pemotretan
nggak pernah mandi. Orangnya cuek banget tapi tetep baik hati karena dia selalu
memilihkan sepatu yang cocok untuk ku kalau aku lagi khilaf belanja sepatu pas
fitting kostum.
6.
Peppy
Cewek yang jarang mandi (sama kayak Uyun) ini
bertugas sebagai reporter juga, jadi kita berbagi liputan dan Mas Dita jadi
rebutan diantara kita. Peppy yang yang banyak ngajarin aku liputan dilapangan
bisa dibilang dia guruku lah. Dia emang lulusan jurnalis jadinya dari awal
kuliah udah ngerti jurnalis. Nggak kaya aku jurnalis karbitan,hahahaha. Peppy
ini adalah reporter pertama dari Skolah Magz tapi sayang di edisi ke enam
langakahnya terhenti karena sakit. Gara-gara dia sakit aku pengganti dia
liputan artis. Tapi sekarng udah sehat koq.
7.
Liya
Dia ini reporter pengganti Peppy kelakuannya
juga sama suka numpukin berita namun bedanya dia rajin mandi nggak kaya Peppy. Dia
kebagian tugas liputan advertorial berbagi dengan dengan Preti. Dia seharusnya
jadi asisten Uyun namun yang sering jadi asistenya malah aku. Liya berbagi
tugas sama aku berburu artis, Liya bagian siang dan aku yang malem. Tapi
nyebelin dech artis seringnya JP-nya malem jadi aku terus yang bertugas,hehehe.
8.
Penghuni lainnya yang ada
di Skolah magz
Mas XO sebagai AE
Bu haji (julukan saja ya) sebagai AE
Mbak Uti sebagai layouter
Mas Martanto sebagai layouter
Wedowati sebagai administrasi
Trio distribusi Mas Ikasa, Mas Darmaji dan
Mas Yuli
Mas Aji sebagai Markom.
No comments:
Post a Comment