1. PERTUNANGAN
Mobil sedan
berwarna perak terus melaju dengan gesit menelusuri aspal halus. Di dalamnya
ada Roro sedang duduk di kursi belakang,
dia masih kebingungan akan dibawa
kemana. Matanya tertutup, kaki dan tangannya juga diikat. Disebelahnya ada
Karen, sahabat terdekatnya. Sepanjang panjang Karen senyum-senyum sendiri
melihat Roro meracau nggak jelas. Sedangkan Abi yang bertindak sebagai supir
terus menenangkan Roro yang tampak panik.
“Kalian tuh
ya emang bener-bener nyebelin banget. Semena-mena datang ke kamar hotel langsung
main culik saja. Sahabat macam apa kalian?” racau Roro dengan nada sedikit
marah.
“Kita nggak
culik kamu koq. Kalau elu ngoceh terus gue lakban nih, biar persis diadegan
sinetron,” Karen menaggapi dengan jail apalagi memang benar-benar menyiapkan
lakban dan berpura-pura menjembarkan lakban hitam, suara lakban itu ternyata
nggak membuat Roro diam tapi masih saja ngoceh.
“Wah....wahh.....sumpah
nih. Ini bisa kena pasal penculikan dengan kekerasan,” omel Roro.
“Tenang aja
Ren, gue kan pengacara gue bakal dampingin elu kalau Roro nuntut. Dan kayaknya
bakalan nggak mungkin. Dia pasti balik ngucapin makasih ke kita.”
“Ini pasti
kerjaannya mas Tri ya? Aduh kalian dibayar berapa sih sama dia buat nyiksa aku
kayak gini,” Roro semakin geram dengna ulah sahabatnya. “Ada apaan sih? Kasih
tau donk.”
“Kita nggak
bakal kasih tau, kecuali kamu nyogok kita dengan Iphone terbaru,hahahah.” Gelak
Abi diikuti oleh Karen yang sepakat dengan omongon Abi.
Akhirnya
Roro diam juga mematung di kursinya. Tenaganya sudah habis untuk meronta-ronta.
Semakin meronta semakin tenaganya hilang, sekarang lemas. Roro tau ini adalah
acara kejutan tapi nggak dengan cara seperti ini. Pasti biang kerok semua ini
adalah Tri, cowok yang dikencani selama 5 tahun. Roro menduga akan terjadi sesuatu
yang indah.
Roro
teringat pertama kali ketemu dengan Tri. Dua tahun sebelum resmi menjadi pacar.
Tri adalah sahabat dari Abi sekaligus teman satu kost. Pada saat itu Abi
berpacaran dengan Karen. Dulu Tri suka nganterin Abi pacaran. Karen merasa iba
ngeliat Tri suka mojok sendirian di pojokan kost. Akhirnya Tri kenalkan Roro
yang sering menyapa Tri jika pas pulang atau keluar kost. Dari situ situlah
mereka jadi akrab.
Kenangan
masa lalu terus menjalar. Roro ingat banget waktu Tri nembak menjadi pacar. Sama
sekali nggak romantis. Masa nembak di Taksi. Waktu itu Tri mengantar Roro ke
bandara karena akan mudik lebaran. Pas mau turun Tri menggennggam tangan Roro,
mencegah agar nggak turun. Seketika itu juga meluncur deretan kata “mau nggak
jadi pacar ku?”.
Roro jadi speachless dengan ulah Tri yang konyol
seperti itu. Roro cuma bisa menatap Tri yang wajahnya gugup dan cemas. Tapi
Roro mendengar pertanyaan itu dari suara Tri yang mantap dan serius. Lamunan
Roro buyar ketika pak supir menegur supaya lekas menjawab pertanyaan dari Tri.
Akhirnya Roro hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat di pesawat Tri kembali
menanyakan kembali lewat SMS, Roro pun masih belum berubah jawabannya, mau
menjadi pacar Tri.
Ok sekarang
kembali saat ini. Entah sudah berapa lama perjalanan ini. Roro masih terjabak
di mobil yang membawanya entah kemana. Karen dan Abi pun tidak bersuara, tidak
ada obrolan. Jadi Roro benar-benar tidak bisa menebak akan dibawa kemana.
Meskipun Abi dan Karen telah putus pacaran dan masing-masing sudah punya
pasangan, mereka masih terlihat akrab dan kompak ngejahilin Roro. Termasuk saat
ini yang sedang bersukutu dengan Tri.
Tiba-tiba
terdengar bunyi telpon masuk di hanphone
Karen. Dengan sigap Karen langsung mengangkatnya. “Iye bentar lagi kita nyampe,
sabar donk.” Karen langsung menutup telponnya. Roro sedikit lega setidaknya
perjalanan misteri ini akan berakhir.
“Ro, elu
cinta nggak sih sama Tri?” tanya Karen lembut.
“Kalau aku
nggak cinta, aku nggak mungkin nungguin dia belajar di Jerman,” jawab Roro lugas.
“Ini pasti ada hubungannya sama Tri ya?” tanya Roro menebak.
Karen
mengendikkan bahumya tapi percuma saja Roro nggak bakal melihat, lah kan
matanya ketutupan. “No coment.”
“So ngartis
aja kamu, kayak artis dikejar-kejar infotaiment.”
“Apa sih
yang buat kamu suka dari Tri?” tanya Karen lagi tanpa menghiraukan pernyataan
Roro sebelumnya.
Roro tidak
langsung menjawab tapi menggumam, karena sedang mencari jawaban yang tepat.
“Mungkin dia bisa jadi imam yang tepat. Waktu dia jadi imam dia melafalkan kalimat
ayat-ayat suci itu dengan lantang.”
“Berarti
sudah siap donk?” Abi menyela.
“Ya mau
gimana lagi udah mateng,” Roro memahami apa yang dimaksud pertanyaan Abi.
“Terus
kapan?” Karen menyahutnya lagi.
“Itu
dia..... aku nggak tau. Setiap kali ditanya kapan pasti dia menghindar.” Bibir
Roro mengerucut, tanda cemberut dan sedikit kesal.
“Cowok itu
perlu banyak pertimbangan untuk mengajak nikah. Dia kan kepala keluarga.” Abi
menyambar dan langsung membela Tri. “Kapan kita nikah beb?” tanya Abi meledek
Karen, mantannya.
“Yuk
sekarang..... tuh ada kantor KUA,” Karen menunjuk bangungan yang ada diluar
mobil. “Pasti dech langsung ngebut. Itu kenapa gue minta patas putus sama kamu,
kayaknya phobia sama KUA.” Karen menyindir Abi dengan ketus.
“Yach....
kena lagi dech gue.” Abi mengeluh.
Roro hanya
tergelak mendengar pertengkaran kecil mereka. Roro tau apa yang membuat mereka
putus. Alasannya klasik, Abi belum mau melamar Karen, padahal Karen sudah
ngebet banget untuk duduk di pelaminan. Dengan pacarnya yang sekarang Karen pun
masih belum bertunangan. Abi sering meledek Karen bahwa putus dengannya tidak
menyelesaikan masalah, malah membuat masalah baru. Meskipun begitu mereka tetap
akrab memenganggap sebagai persahabatan yang lebih.
“Udah sih
kalian tuh kalau emang masih cinta balikan lagi.” Roro menengahi peredebatan
antara Karen dan Abi.
“What!!!!”
pekik Abi dan Karen bersamaan. “Its imposible,” nada Karen meninggi.
“Lah kenapa
gak mungkin? Kalau kalian masih cinta dan ada harapan lanjut aja,” ujar Roro
bijak. “Toh sampai saat ini Yana belum ngelamar kamu.”
“Tuh Ren
dengarin apa kata Roro,” Abi tersenyum jahil, Karen melihat senyum itu begitu
menyebalkan.
Mobil sedan
yang dikendarai Abi melambat, dan tampaknya sudah sampai tujuan. Roro sedikit
bernafas lega, penyekapan ini akan segera berakhir. Sudah nggak sabar apa yang
akan terjadi. Belitan tali yang ada di kaki juga sudah dilepas oleh Karen.
Terdengar pintu samping Roro juga sudah dibukakan oleh Abi. Roro menantikan
saat penutup matanya dibuka.
“Ini tali
di tangan gak dibukain juga?” protes Roro pada kedua sahabatnya.
“Bentar
sih, bawel lu ah. Ini gue lagi cari sepatu lu.” Karen mengubek-ngubek alas
mobil yang penuh dengan sampah bungkus jajan.
“Aku nggak
bawa sandal atau sepatu, tadi kalian langsung culik aku ke mobil,” ucap Roro
sebal pada Karen.
“Eh
iya,heheehe,” gelak Karen karena kebodohannya sendiri. Karen melepas ikatan
yang membelit tangan Roro. “Penutup matanya dibuka. Awas kalo dibuka.”
Karen
menuntun Roro keluar dari mobil. Roro menebak ini pasti di pantai. Deburan
ombak terdengar jelas dari kejauahan. Karen menggandeng tangan Roro yang sudah
basah oleh keringat dingin karena gugup. Abi juga ikut menuntun Roro dari
belakang. Pasir pantai yang lembut sudah dirasakan kaki Roro.
“Udah
sampai, tapi jangan dibuka dulu penutupnya. Tunggu perintah,” kata Karen dengan
galak.
“Ada apa
sih? Perasaan hari ini bukan ulang tahun ku dech. Tapi kenapa ada acara kaya
gini?”
“Terima aja
dech, nggak usah kebanyakan ngeluh,” Karen masih saja galak menanggapi.
Berdasaran
penerimaan indra pendengaran, Roro mendengar beberapa suara teman-teman
dekatnya. Ada yang terawa cekikikan ada pula yang terus meledek Roro yang
seperti orang buta. “Ok stand by,” ada suara dari handytalky. Roro jadi semakin
nggak sabar apa yang akan terjadi.
“Udah siap
Ro?” bisik Abi dari belakang.
Roro hanya
menangguk. Peralahan ikatan dikepalanya semakin mengendur, dan akhirnya dilepas
juga. Mata Roro masih terpincing untuk beradaptasi sinaran matahari yang sudah
temaram. Di garis horizontal laut, matahari sudah setengah lingkaran. Sebuah
pemandangan yang sangat indah.
“Ngapain
juga sih mau liat sunset pakai acara penyekapan?” omel Roro pada Abi yang ada
di belakangnya.
“Nih anak
bawel dech. Diem aja dech liat tuh matahari.” Karen menunjuk matahari yang
perlahan ngumpet di balik laut.
“Di nikmati
saja Ro, ini adalah moment indah untuk mu.” Senyum Abi mengembang dengan tulus
kepada Roro.
“Nih coba
dech liat pake ini, lebih indah.” Karen memberikan teropong kepada Roro.
Roro merenggut
teropong itu dari tangan Karen lalu langsung memakai. Kepala berputar
meneropong langit. Nampaknya Roro belum mengetahui apa yang akan segera
terjadi. Berkali-kali Roro mengedarkan pandangannya seperti radar. Sampai
bingung kenapa Abi memberikan teropong kalau hanya untk melihat sunset.
“Nggak ada
apa-apanya? Ngapain juga pakai teropong kalau cuma lihat sunset,” Roro kembali mengeluh.
“Tunggu
aja,” ujar Karen yang ikut mengamati langit.
Roro
kembali mennggunakan teropongnya. Lamat-lamat dari kejauhan muncul titik hitam
mendekat. Namun benda itu belum terlihat jelas. Ada empat orang memegang gitar
juga mendekat di samping Roro. Kini Roro fokus meneropong benda tersebut ada 4
bayangan hitam kian mendekat. Roro mencoba memainkan terpong tersebut untukk
memperbesar tampilan. Dan yang muncul ajalah wajah Tri yang sedang terbang
tandem menggunakan gantole.
Roro
menyadari ada yang aneh, di belakang mereka ada sepanduk dan ada tulisnnya
juga. Mereka terbang beriringan membuat sebuah formasi agar tulisannya terbaca
dalam satu kalimat. Masih menggunakan Teropong Roro mencoba membaca tulisan
terbut.
“Roro,” ucap
Roro saat mengeja sepanduk pertama. “Me.....ni....kaah.....lah.” mulut Roro
menganga, mendapati kata menikhalah. “Dengan ku.” Air mata Roro meleleh,
mulutnya masih menganga, Roro sangat
terkejut. Sepanduk terakhir yang diterbangkan oleh Tri bertuliskan Tri Cinta
Ro2. Roro jingkrakkan membaca tulisan itu. empat orang yang memegang gitar
mulai mengalunkan lagu Mary Me yang di populerkan oleh Train.
“Ren....Karen......
Tri ngelamar aku,” pekik Roro pada sahabatnya. Persaan bahagia itu membuncah
dengan tangisan haru, bahagia, dan masih belum percaya.
“Iya Tri
ngelamar elu.” Senyum bahagia Karen diberikan untuk sahabatnya yang masih
menangis.
Matahari
terbenam, akustikan lagu Mary Me, temaram cahaya obor yang membuat suasana
romantis yang sempurna. Roro nggak menyangka Tri bakal melakukan segila ini.
Tri bukanlah orang yang romantis. Mentok romantisnya adalah candle light diner pada saat perayaan pacaran yang
pertama, selebihnya Tri melupakan tanggal jadian.
Tri semakin
mendekat, tangan Tri melambai kepada Roro. Dengan malu-malu Roro membalas
lambaian. Meski sudah tidak menangis lagi tapi matanya masih sembab. Hap!!! Tri
mendarat dengan mulus di pasir pantai. Matahari kian tenggelam,Tri nggak mau
melewatkan momen romantis. Tri yang mengenakan setelan jas terlihat ganteng.
Setengah berlari Tri menghampiri Roro yang dari tadi senyum-senyum terus.
Dihadapan
Roro, Tri berlutut. Wajahnya tampak sumeringah. Meski bertingah gugup tapi
wajahnya berusaha tenang dan serius. Tangan kanan merogoh saku celana untuk
megambil kota cincin. Roro berdiri dengan memilin pinggiran rok, sama-sama
gugup. Lagu Mery Me masih mengalun suara dan ritmenya di pelankan sedikit.
Kini kotak
cincin itu sudah terbuka. Berisikan dua cincin bermata batu akik entah jenisnya
apa, yang satunya lagi cincin dari rumput. “Raden Ajeng Roro Gayatri
Sudiroharjo, mau kah menikah dengan saya?” tanya Tri dengan suara yang lantang.
“Jika kau terima lamaran ini ambil cincin dari rumput. Bila kamu menolaknya
ambil cincin batu akik.”
Orang-orang
disitu langsung riuh. Pernyataan Tri begitu aneh, biasanya untuk acara
pertunangan akan memberikan cincin yang mahal dan tentunya yang paling bagus.
Dahi Roro mengernyit, berfikir pacarnya memang aneh. Roro masih bergeming
antara sedang mikir untuk memilih cincin yang mana dengan pola fikir pacarnya.
“Ro,
cepetan pilih yang mana?” bisik Karen membuyarkan lamunan Roro.
Roro mulai
menggerakan tangan kanan. Wajahnya terlihat tegang dan bingung pilih yang mana.
Kini tangan Roro tepat di atas cincin batu akik. Dia sesaat lalu bergerak lagi
ke arah cincin rumput. Lalu menurunkan lagi. suasan menjadi tegang karena Roro
belum memilih.
“Tri, kamu
serius ngelamar aku?” tanya Roro pelan, nadanya masih terlihat ragu.
Plak!!
Tamparan mendarat di pipi kanan Roro, pelaku penamparan adalah Karen. “Ro, wake up, this not dream.” Mata Karen
melototin Roro. Sedangkan yang lain tergelak melihat tingkah Karen.
Tri hanya
tersenyum, memahami apa yang difikirkan oleh Roro. “Serius Ro. Aku ngelakuin
ini karena benar-benar cinta kamu. Buat ku ini sudah saatnya kita melangkah ke
anak tangga lebih tinggi. Aku yakin kamu bisa menjadi istri sholehah bisa
bimbing anak-anak kita kelak,” Tri berusaha menyakinkan Roro. “Ro. Aku ingin
kamu selalu ada disamping saya, kamu yang bisa membangkitkan semangat ku. Kamu
juga orang paling tepat untuk berbagi kebahagiaan ku,” Tri mengakhiri pidatonya
yang mengharukan.
Air mata
Roro kembali meleleh mendengar pidato Tri. Padahal yang dimaksud Roro adalah
kegilaan Tri melakukan lamaran secara ekstrim. Roro tau jika Tri takut
ketinggian tetapi kenapa maah melakukan hal yang paling ditakutinya.
“Maksud
aku, kamu melakukan lamaran semacam ini. Kamu terbang, padahal kamu takut
ketinggian.” Roro meluruskan apa yang dimaksud.
“Karena
saya benar-benar serius dan cinta sama kamu. Aku bakal mengalahkan ketakutan
itu, mungkin besok kita yang mengalahkan ketakutan secara bersama. aku harus
bersikap berani dulu untuk mengajak seseorang mengikuti aku.” Tri masih
berlutut. Tutur kata Tri begitu lembut dan tulus.
“Jangan
mewek lagi, cuzz pilih,” Karen kembali mengingatkan Roro yang masih terpaku dan
terkesima oleh pidato Tri.
Tangan Roro
kembali bergerak, kali ini dengan satu ayunan Roro langsung mengambil cincin yang
terbuat rumput. Meski Roro belum tau filosofinya, tetapi Roro sudah yakin kalau
Tri siap akan jadi suami yang terbaik. Begitu mendapat respon seperti itu Tri
bangkit lalu memeluk Roro. Lalu memakaikan cincin itu ke jari manis Roro.
Seluruh orang yang menyaksikan peristiwa itu bertepuk tangan. Sedangkan Karen
menangis haru, melihat kedua sahabatnya berbahagia.
“Terima
kasih buat teman-teman yang sudah hadir, khusunya Karen dan Abi, berkat
penculikan kalian acara ini sukses.” Tri kembali berpidato. “Mungkin kalian
bingung kenapa aku memilih cincin rumput, karena rumput akan terus tumbuh,
begitu juga saya. Rumput bisa tumbuh dimana saja, cinta ku terhadap Roro akan
seperti itu, dimana saja dan kapan saja tetap mencintai Roro.”
Kali ini
Roro yang memeluk Tri. Sekali lagi Roro dibuat kagum sama calon suaminya. Nggak
Cuma peluan tapi sebuah kecupan mesra di bibir Tri. Hal itu membuat orang yang
melihat jadi tergelak. Acara pertunang ini ditutup dengan acara makan-makan.
No comments:
Post a Comment