PELAJAR YANG MENDUNIA
Peganglah dengan erat
hal yang terpenting dan cobalah percaya pada masa depan karena kemudian kita
akan dapat merasakan dunia yang lebih indah (Hitostu dake –Aqua Timez)
Fuih siang ini Jogja terik banget, mau keluar kulitnya jadi item terus jadi ngga laku lagi pas ngecengin daun muda
di sekolah. Enaknya sih emang di kantor aja, mumpung Bos lagi keluar kota jadi
anggap saja sedang pelajaran bebas. Kalau ada Bos jangan harap aku ada di
kantor, aku baru ke kantor pas sore
untuk absen.
Berhubung hari ini Bos nggak ada di kantor jadinya aku meluangkan
waktu untuk mampir kubikel ku yang yang sudah dipenuhi sarang laba-laba karena jarang
banget ngetik disini. Sekaang kusempatkan untuk bersih-bersih kotak
kesayangakan ku ini, ada puluhan kertas memo yang menempel di monitor komputer entah
dari kapan memo itu tertempel disitu isinya pemberitahuan jadwal liputan dan
cuap-cuapan Preti nagih tulisan.
Siang ini dikantor cuma berdua saja sama Preti, dia sedang sibuk ngedit
tulisanku yang sedikit berantakan (itu kata ku, namun bagi Preti sangat
berantakan). Untuk mengobati rasa kangen dengan komputer ku ini, hari ini spesial aku ngetik disini,
kapan lagi coba ada kesempatan ini apa lagi bisa ngetik dengan damai tanpa ada
mata yang mendelik dari Bos.
Seperti biasa ritual ngetik ku ditemenin teh panas dan pasang headphone lalu
memutar lagu-lagu Jepang. Sebenernya aku lebih suka lagu Jepang dari pada lagu
Korea. Karena tuntutan kerjaan akhirnya aku bertekuk lutut pada lagu-lagu Korea
yang emang wajib didengar untuk mengikuti trend biar nyambung kalau ketemu
Kimchil.
Lagi asik-asiknya ngetik tiba-tiba saja bulu kuduk ku berndiri, ada
apa nih? Perasaannya
koq jadi horror gini sih, apa lagi di kantor cuma tinggal berdua aja. Dengan
perasaan was-was aku berdiri, lihat suasana kubikelnya Preti yang ada di hadapan ku.
Weks…ternyata kosong kemana tuh orang tiba-tiba ngilang, tapi koq aku nggak
liat dia pergi (ya iyalah nggak liat lah wong ketutupan dinding kubikel). Dalam
benak ku mulai dech mikir macem-macem kalau Preti tiba-tiba di seret sama
pacarnya buat nemenin makan siang atau tiba-tiba dia sudah terkapar dengan
bersimbahan darah di lantai. Haduh…pikirannya udah mulai ngayal tingkat dewa.
Perasaan ini semakin nggak enak aja dan tiba-tiba ada yang colek
pundak dari belakang. Makin parno aja nih takut kalau nengok ada sosok wanita
rambut panjang pakai daster putih-putih. Jari itu kembali menyentuh pundak,
pelan-pelan aku nengok dan benar dugaan ku ada sosok wanita dengan seringai
senyum bengis pakai kemeja putih dengan rambut kriting awut-awutan, beneran nih
ada kuntulinak.
Seketika kemudia aku histeris dan terpaku nggak bisa gerak
“Kunti……..lanak!!!!”
Aku langsung tutup muka dengan tangan. Jari itu kembali mencolek
tangan ku yang sedang menutupi muka. Dan aku merasakan sebuah genggaman
merenggut headphone. Baru lah kau menyadari ada suara Preti dihadapanku.
“Tong….tong sadar woy mana kuntilanaknya?” teryata Preti ikutan
panik juga. Aku turunkan tangan dan pelan-pelan ku buka mata, ternyata benar ada Preti
lagi berubah jadi kuntilanak. Gimana nggak mirip sama kuntilanak rambutnya dia
yang keriting awut-awutan itu efek dari stress ngedit tulisan ku dan Lia, belum
lagi komentar pedas dari Bos.
“Eh ternyata Preti, ishh buat kaget aja sih” aku langsung lega
karena yang dihadapan ku memang Preti.
“Kamu juga dipanggil nggak nengok. Btw kapan liputan rubrik Siswa
Juara?”
Mampus, aku belum nemu dan belum nyari. Kalau aku jujur pasti Preti
berubah jadi kuntilanak beneran dech. Ah ngeles aja dech. “Kemaren aku udah
dapet anak Delayota tapi dia masih di Jepang lagi ikutan lomba merangkai bunga
tingkat dunia. Terus dari Tirtonirmolo anaknya lagi penelitian bakteri yang
hidup di kepala Bos.”
“Nih anak ntar kualat loh sama Bos sendiri. Terus ada cadangan lainnya nggak?”
Tangan Preti jadi naik ke atas pinggang tanda sebentar lagi meledak marahnya.
“Nah itu belum nemu lagi Pret.”
“Hari ini harus udah dapet biar lusa bisa liputan, harus dapet
gimana pun caranya, googling kek atau cara manual ngider kesekolah-sekolah.” Perintah
Preti dengan senyum dimanis-manisin tetapi tatapan mata melotot galak kaya
tante Leli Sagita yang ngetop banget berkat peran antagonisnya.
“Ya udah aku cari lewat mbah Google aja dech,” Cetus ku pasrah dari pada
harus ngider ke sekolah dan harus berbasa basi yang basi banget sama wakasek
kesiswaan.
Preti kembali ke kubikelnya dan aku mulai menyelami internet nyari
sosok siswa yang berprestasi minimal prestasinya tingkat nasional dech kalau
bisa sih yang juara dunia. Dengan key word “Siswa Prestasi Jogja dan Jawa
Tengah” langsung dech muncul sederetan judul artikel siswa yang berprestasi.
Satu persatu aku klik untuk melihat artikel lengkapnya tetapi nggak ada yang
menarik kebanyakan juara olimpiade nasional atau internasional, itu udah biasa
dan mereka cuma juara satu kali kalau berkali-kali sih bolehlah jadi kandidat
untuk diwawancarai.
Ada satu judul yang menarik “Pelajar Solo Menjadi Miss Deaf Indonesia”. Langsung ku klik dan
keluar artikel lengkapnya. Dalam artikel tersebut dijelaskan Oktaviani
Wulansari yang biasa dipanggil Ovik seorang siswa SLB dari Solo menjadi wakil
Indonesia dalam kompetisi Miss Deaf World yang diselenggarakan di Praha.
“Pret…..aku nemu nih,” teriak ku memanggil Preti
Preti langsung nongol dari kubilkenya. “Opo toh jangan teriak-teriak
aku denger kali.”
“Ini ada Miss Deaf tapi di Solo, aku share linknya ke kamu biar kamu
baca sendiri,”
kata ku sambil kirim alamat link artikel tersebut lewat email untuk Preti.
Berapa saat kemudia Preti muncul kembali dari kubikelnya. “Oke kita
pakai Ovik nanti aku yang melacak dia”
Lega dech paling nggak dapet kandidat dulu untuk diwawancarai,
semoga nggak ada halangan dan rintangan untuk mewancarainya. Sebenernya susah
gampang sih untuk bikin rubrik Siswa Juara ini. Peruburuan siswa berprestasi
ini yang simple pakai Googling kalau udah nemu targetnya kita bisa melacak
lewat Facebook biar bisa langsung komunikasi tanpa perantara. Tetapi kalau
nggak terlacak akun Facebooknya juga terpaksa ke sekolahannya, kalau sang target masih
di area Jogja. Tapi ada sesuatu yang menyebalkan, aku udah kepanasan ke
sekolahannya eh ternyata ribet juga harus ada surat liputan atau ternyata siswanya sudah
lulus. Kepasrahan melanda, kembali cara pertama Googling lagi atau mencari data
lebih lengkap lagi tentang target melalui internet atau berhubungan dengan
kenalan sama teman sekolahnya dia. Kendala lain yang menghadang adalah siswa
tersebut sok sibuk nggak ada waktu untuk diwawancarai ada les lah, keluar kota
lah atau berbagai macam alasan.
Suasana kantor kembali sunyi aku dan Preti kembali pada dunianya
masing-masing. Aku kembali nulis artikel yang tadi terganggu oleh kuntilanak
jadi-jadian. Liputan adalah hal yang paling menyengkan tapi nulis hasil liputan
adalah hal yang mengenekan. Liputan bisa jalan-jalan dan ketemu banyak orang
sedangkan menulis artikel membuat mual-mual merangkai kata, tapi koq mau ya
jadi wartawan. Dinikmati sajalah pekerjaan ini toh lebih banyak
menyenangkannya.
Sudah tiga artikel berhasil kuselesaikan dalam waktu 4 jam padahal
setiap artikel hanya 3500 karakter. Menulis itu rumit juga kali gimana caranya
tulisan kita menarik untuk para Alayers, Kimchil tetapi tetap bisa dibaca oleh
siswa normal. Sampai ngetik novel ini pun masih suka kesrimpet menuangkan
kata-kata, kadang kalimatnya nggak pas belum lagi banyak huruf yang salah
ketik, belum lagi mikirin pemilihan kata yang pas (lah koq jadi curhat).
Preti kemabali nongol dari kubikelnya,“Tong aku udah hubungin Ovik,
dia bersedia diwawancarai rumahnya di Solo, aku udah dapet alamatnya. Dia bisa diwawancarai
lusa. Kamu ya sama mas Dita yang berangkat?”
Belum aku jawab dia sudah melesat kebawah kembali pada
singgasananya. Terpaksa dech aku menghampiri ke kubikelnya dia.
“Oke aku ke sana ,
tapi sama kamu ya Pret. Diakan tuna rungu bisa-bisa aku ngombrol sama dia jadi
kaya Tarzan donk pakai bahasa tubuh. Plisss!” ku memohon sambil mengkrucutkan
tanganku seakan seperti biksu.
Preti menatapku lalu kembali menatap layar komputer,“Tapi kerjaan ku
banyak,” jawab dia ketus.
“Kamu nggak bosen di kantor dan bercinta terus sama computer mu itu?
Apa nggak pengen rekreasi? Lumayan loh ke Solo bisa jalan-jalan, banyak
makannan enak loh Pret,” aku melancarkan bujuk dan rayuan
“Boleh juga tuh kelar wawancara kita jalan-jalan nyobain nasi liwet,
bestik, serabi.” Mata Preti berbinar-binar membayangkan makanan dihadapannya. Preti
emang paling seneng wisata kuliner, dan aku wajib ikut kalau dia sedang liputan
advertorial kuliner.
Akhirnya kita sepakat berangkat besok lusa, hari Kamis. Mas Dita pun
langsung dikabarin untuk liputan ke Solo, kayaknya sih mas Dita hari Kamis besok
senggang kalau pun disuruh nemenin Liya nggak di ijinin Preti mau nggak mau mas Dita di booking oleh
kita.
@@@
Hari Kamis pun tiba.
Aku dari pagi sudah siap siaga di kantor karena banyak ketikan yang
mesti diseotr dan rencananya sih berangkat jam 10an, padahal baru ketemu Ovik
jam 2an. Mobilnya Mas Dita sudah terparkir di depan kantor. Preti terlihat
lebih cantik nggak kaya kemarin lusa yang seperti kuntilanak. Rambut ikalnya tersisir
rapih dan hari ini pakai dress. Aku curiga pasti dia tampil cantik agar
mempesona pria-pria Solo pas jalan di Mall.
Jam 10 tepat kita berangkat, kita semua pamitan sama Bos dan syukur kita semua
direstui kebrangkatannya. Preti beralasan yang memwancarai dan aku sebagai
navigator karena mas Dita dan Preti nggak ngerti daerah Solo, padala aku juga nggak ngerti rumah Ovik tepatnya
dimana, dan aku mengandalkan mas Hendra yang sebagai sirkulasi majalah di Solo. Semua peratalan sudah beres masuk mobil termasuk cemilan karena
Preti nggak bisa brenti ngemil, coba aja masuk ke kubikelnya dia dimana-mana ada jajan jadi kalau
kita sedang kelaparan tinggal comot cemilan di kubikelnya Preti.
Mobilpun meluncur ke Solo lewat jalan Solo. Diperjalanan Preti dan mas Dita ngobrolin tentang
menikah. Whateverlah mereka mau mendiskripsikan pernikahan itu bagaimana aku cuma
diem aja karena ada sesuatu yang mengganjal. Mobil memasuki daerah Kalasan dan
melaju kecepatan sedang.
“Mas Dita STOP!!!!” teriak ku.
“Ada
apa Tong?!” Preti dan mas Dita nggak kalah
histeris dari ku mungkin karena kaget, untung aja nggak ngerem mendadak.
“Tropinya ketinggalan di kantor, pada lupakan nggak ngambil.”
Mereka langsung melepas nafas lega, mungkin mereka pikir aku mau
lahiran apa ya, haduw aku kan
cowok gimana mau lahiran. Untung baru seperempat jalan, mas Dita kembali memutar
balik mobilnya menuju kantor. Begitu sampai kantor aku langsung turun ambil
tropi yang tergeletak di meja tamu padahal dari aku dateng kantor sudah
disiapin. Yuk lanjut jalan lagi ke Solo.
Rubrik Siswa Juara ini kita menyiapkan sebuah tropi sebagai tanda
mereka memang layak untuk dipublikasikan kehebatan mereka. Sekalian buat tambah
koleksi piala mereka juga sih,hehehehe.
“Mas Dita, tropinya patah jadi tiga nih,” aku menyela pembicaraan
Mas Dita dan Preti yang masih membahas pernikahan.
“Koq bisa patah sih?” tanya Preti sambil nengok ke belakang melihat tropi yang terbelah
menjadi 3 bagian dan sekalian merenggut kotak tropi tersebut.
“Gimana nggak patah di kantor ketumpuk-tumpuk majalah, udah gitu pasti pernah jatuh.” Aku menjelaskan sambil membuka bukusan
snack.
“Ini mah gampang tinggal dilem aja. Tuh ada toko bangunan beli aja
lem super.”
Preti turun dari mobil untuk beli lem, tak lama kemudia tubuhnya
sudah kembali lagi ke dalam mobil. Mas Dita segera mengelem tropi tersebut.
Semuanya sudah tersambung kembali tetapi ada hal yang menyebalkan aku disuruh pengangin
tropi tersebut sampai Solo sedangkan mereka berdua asik membicarakan pernikahan
ups sekarang sudah berubah tema, udah tahap lebih lanjut membicarakan bikin
anak. Mereka nggak nyadar ya masih ada aku yang ABG Kimchil nan Alay .
Setelah satu jam perjalanan akhirnya sampai juga seperti biasa Preti
mulai rewel lagi.
“Ayo makan, udah laper nih, pake banget pula. Ayo makan,” rengek Preti seperti
bayi yang kehausan ingin minum ASI.
“Mau makan apa emang?” tanya ku.
“Yang khas Solo donk,” jawab mas Dita sambil memperlambat laju mobil.
“Terserah dech makan apa aja aku udah laper,” jawab Preti, emang ya
kalau udah doyan makan semua makanan dilahapnya apa lagi pas laper akut.
“Warung soto Pak Dul, sego liwet Bu Iyem, bistik Pak Damad.” Begini nih
kebiasaan Preti kalau sudah kelaparan semua papan nama warung makan disebutin
semua sepanjang jalan sampai kita berhenti, belum lagi ocehan lainnya. “Kalalu laper kan nggak bisa mikir,
gimana nanti pas interview tiba-tiba blank.”
Akhirnya mas Dita nyerah dengan kebawelannya, lalu kita makan dulu disebuah warung soto. Preti
dengan lahapnya menghabiskan dua mangkok. Dia ternyata emang bener-bener
kelaparan. Sebagai cewek dia termasuk bukan tipe yang jaim buktinya dia nggak
nutupin betapa maruknya melahap soto. Kalau cewek normal pasti dia akan makan
dengan teratur dan sebentar-sebentar mengelap bibirnya beda dengan Preti yang nggak
peduli mulutnya belepotan yang penting makan dulu sampai kenyang.
Perut sudah terisi, kita juga sudah belanja batik di pasar Klewer
dan kita juga sudah minum es yang seger banget di daerah Kota Barat. Waktunya
meluncur ke rumah Ovik, dan kita baru sadar kalau nggak ada yang tau rumahnya
dia dimana dan jalan menuju kesana lewat mana. Kita cuma dibekali sebuah alamat
di daerah pinggiran Kota Solo. Bersyukurlah masih ada mas Hendra yang bersedia
mengantar kita ke tempat tujuan, kebetulan mas Hendra sudah survai tempatnya
terlebih dahulu.
@@@
Akhirnya sampai juga di rumah Ovik, sebuah rumah sederhana di tengah
perkampungan pedesaan. Rumah yang tak berkeramik hanya plesteran semen dan
tanpa pagar. Kita semua bergegas keluar dari mobil dan sebelum kita mengetuk
pintu rumah tersebut sudah terbuka telebih dahulu. Dari dalam muncul sosok
gadis remaja yang tinggi berkulit putih menyambut kita dengan senyuman.
Dibelakang gadis tersebut ada seorang ibu-ibu yang menyusul gadis tersebut.
Preti langsung bersalaman dan mengenalkan diri. Ternyata gadis tersebut yang
beranama Ovik.
Kita semua masuk ke ruang tamu yang sederhana ruangannya tidak
begitu luas, catnya pun sudah kusam terlihat sudah lama tidak di cat. Ada tiga
kursi panjang disitu Ovik dan Preti duduk bersebelahan sedangkan aku duduk di
hadapan mereka yang dibatasi sebuah meja dan mas Dita disamping ku, ibunya Ovik duduk disamping
Ovik. Setalah berbasa basi dimulainya interview. Gimana pula caranya wawancara
lah Ovik tuna rungu.
“Bagaimana ceritanya Ovik bisa jadi Miss Deaf Indonesia?” Preti
memulai wawancaranya mimiknya jadi lucu karena memainkan bibirnya agar terbaca
Ovik.
Ternyata Ovik pembaca bibir yang pintar, dia mengerti apa yang
dikatakan Preti. Ovik mengeluarkan suara tetapi bagi kami apa yang diucapkan tidak
jelas. Dia juga sendiri bingung bagaimana menjelaskannya.
Aku jadi teringat waktu aku ngobrol dengan teman ku yang tuna rungu, kita komunikasi pakai
sms padahal kita saling berhadapan. Akhirnya aku keluarkan netbook untuk percakapan antara Preti
dengan Ovik.
Selagi aku mempersiapkan netbook aku bertanya kepada ibunya,
“Prosesnya bagaimana ya bu? Ovik bisa menjadi Miss Deaf Indonesia dan jadi
wakil Indonesia untuk Miss Deaf World 2013?”
“Wah saya nggak tau juga ya mas. Setelah pulang dari Jakarta Ovik
bilang mau ke luar negeri. Saya pikir dia bercanda karena dari kecil dia suka
menghayal dan bilang ingin keluar negeri. Tetapi waktu saya dipanggil sekolah
baru percaya. Cuma prosesnya saya tidak tahu,” ibu menjelaskan dengan polos, tetapi sangat antusias.
Setelah netbook sudah siap Ovik menuliskan kisahnya.
“Waktu itu saya baru saja ikut lomba model di SGM (Solo Grand Mall),
dan saya jadi pemenangnya. Lalu saya ketemu dengan Ibu Sudibyo, dia menawari saya untuk
ikutan Miss Deaf Indonesia di Jakarta. Awalnya saya juga tidak yakin dan tidak
percaya namun dari panitia acara meyakinkan aku untuk ikutan. Saya terima
tawaran itu kebetulan ada salah satu teman saya juga ikut. Saya ke Jakarta berangkat
sendirian dan biaya sendiri, saya nggak mikirin menang atau kalah yang penting saya bisa ikutan
kompetisi. Saya tidak bisa menggantungkan diri pada teman saya karena dia
berangkat dengan keluarga.”
Preti yang sedari tadi mengikuti ketikan Ovik kembali menanyakan
kembali. “Lalu waktu di Jakarta
ceritanya bagaimana?”
Ovik yang kembali memperhatikan gerak bibir Preti, kemaudia
mengetikan kembali.
“Di Jakarta saya dikarantina untuk pelatihan. Lalu lomba pun dimulai
saya sendirian, orang tua tidak datang untungnya ada budhe yang dateng jadi
bisa lebih semangat. Mengejutkan sekali saya menjadi pemenang mengalahkan
peserta dari seluruh Indonesia .
Lebih terkejut lagi setelah panitia bilang kalau saya wakil Indonesia untuk
maju Miss Deaf World di Praha, Ceko.”
Kagum juga seorang remaja tuna rungu datang ke Jakarta sendirian
untuk menjemput impiannya. Tetapi kekaguman ku nggak sampai disitu saja masih
ada cerita yang membuat ku semakin kagum.
“Bagaimana ceritanya Ovik jadi model?” tanyaku pada Ovik. Seperti
biasa Ovik selalu memperhatikan bibir lawan biacaranya dari pada menatap mata.
Ovik segera menuliskan kisahnya
“Dari kecil saya sudah ikutan lomba model untuk mewakili sekolah.
Saya sekolah di SLB ada guru yang tau bakat saya di bidang modeling jadinya
saya khususkan untuk masuk kelas modeling. Awalnya untuk lomba di sekolah dan
mewakili sekolah tapi saya ingin punya pengalaman lebih jadi ikutan lomba
diluar sekolah misalnya ada lomba model di Mall atau hotel disekitar Kota
Solo.”
Setelah selesai mengetik ibunya Ovik juga ikut menambahkan cerita
Ovik, sambil meyuguhkan tes panas. “Ovik itu udah sering juara model itu
pialanya sudah banyak,” sambil menunjuk piala yang berjejer di atas buffet dan
ada juga yang piala tinggi di pojok ruangan.”Sekolah sering mengajak ikutan
lomba, saya sih percaya saja sama sekolah yang penting itu kegiatan positif,” tukas ibunya Ovik.
“Lalu kalau yang lomba diluar sekolah bagaiman bu? Apa ibu ikut
mengantarkan?” aku melanjutkan pertayaan.
“Saya nggak pernah nganter Ovik ikut lomba-lomba, bukannya saya
nggak mau atau bagaimana, cuma, adeknya Ovik masih kecil
repot kalau ikut dibawa kesana kemari. Bapaknya juga sibuk di sawah jadi nggak
sempat juga. Ovik itu sendirian kalau ikut lomba, dia naik motor sendiri ke
tempat acara. Saya sih percaya saja yang penting jelas tempatnya selain itu
Ovik juga harus selalu membawa HP biar komunikasi gampang.” Cerita ibunya Ovik
mengalir deras dari mulutnya tanpa jeda.
“Wah berarti Ovik cukup mandiri juga ya bu?” komentar mas Dita, yang ternyata
antusisan mendengarkan cerita dari sang
ibu.
Saya juga mengajarkan Ovik
untuk mandiri nggak perlu menggantungkan diri sama orang lain. Waktu ke Jakarta
saja saya anter dia di terminal tetapi samapi di terminal dia di jemput oleh
budenya. Saya juga harus punya nomer kontak panitianya jadi kalau ada apa-apa
saya tinggal tanya kepada panitia.” Cerita ibunya Ovik dengan semangat.
“Lalu apa yang Ovik dapatkan dari lomba model ini” tanya Mas Dita nggak mau
kalah dari kedua rekannya yang wartawan.
Dengan polos Ovik menjawab “Wang…”,
“Uang maksudnya mbak,” ibunya Ovik menjelaskan lebih lanjut. Kita
semua teratawa jawaban polos dari Ovik. Lalu ibunya Ovik kembali menceritakan
lebih detail “Itu koleksi sepatu, kebaya, baju, dress, make up semua hasil dari
juara lomba. Jadi kalau menang lomba dapet uang dia sisihkan sedikit untuk
membeli itu semua, ada yang disisihkan sedikit untuk adeknya. Sisanya dia
tabung sendiri.”
“Jadi Ovik merias sendiri?” tanya Preti sambil memperagakan tangannya seakan
sedang touch up.
Ovik hanya mengangguk. Lalu entah kenapa dia meninggalkan kita semua
dia menuju kamarnya. Tak lama kemudian dia muncul kembali membawa album foto.
Ternyata dia akan mempamerkan dirinya waktu di catwalk atau berfoto sendiri
berserta teman-teman sesama model. mas Dita hanya bisa tercengang karena apa yang dilihat sekarang
dihadapannya berbeda banget sama apa yang ada difoto. Sampai aku pun masih
belum percaya kalau itu yang ada di foto adalah Ovik.
Berhubung sudah sore dan sepertinya akan hujan kita segera menyudahi
wawancara tetapi masih ada satu sesi lagi yaitu pemotretan dan penyerahan
tropi. Ovik menuju kamar untuk berdandan dan berganti pakaian, mungkin karena
Preti penasaran ikut ke kamar memperhatikan Ovik memake up sendiri.
Selagi Ovik dan Preti dikamar, aku ngobrol sama ibunya Ovik
“Jadi Ovik itu belajar model sendiri?” tanya ku.
“Iya, Ovik itu belajar sendiri cuma disekolah saja. Saya nggak sanggup masukin
Ovik ke sanggar mahal banget, untuk makan juga susah.”
“Kenapa ibu membolehkan Ovik ke Jakarta sendiri atau ikut lomba sendir?”
“Gimana ya mas, saya sendiri sebagai orang tua khawatir anaknya yang
cacat pergi sendirian. Cuma kalau saya larang juga nggak bisa, dia bisa nekat
kabur. Pernah waktu SMP dia kabur gara-gara saya melarang ikut lomba karena
sebentar lagi ujian. Jadi saya mau melarang lagi nggak bisa. Saya cuma pesan sama Ovik
setiap satu jam sekali harus SMS, harus ada kabar.”
Selesai kalimat terakhir yang diucapkan sang ibu. Ovik dan Preti
keluar dar kamar.
“Sumpah jago banget make upnya bisa cepet sama rapi. Gue aja kalah,” pujian Preti terlontar
dari mulutnya seraya memberitahukan aku dan Mas Dita.
Kita semua keluar rumah untuk pemotretan di jalan kampung yang sepi
beratapkan awan mendung. Mas Dita menyuruh Ovik untuk berjalan bagaikan model
dan menggap jalan tersebut sebagai catwalk. Ovik terus berjalan sambil melenggak
lenggokan pinggul dan Mas Dita dengan cekatan menjeprat jepret foto. Beberapa
kali Ovik jalan bolak balik.
Setelah pemotretan selesai kita duduk dulu di teras rumah, ternyata
Preti masih mau menanyakan suaut hal.
“Ovik, kamu kalau besar cita-citanya mau jadi apa?”
“Nangti alo esar, mo adi uru.” Sebisa mungkin Ovik melafalkan
perkata dengan jelas, namun bagi kami perkataan itu belum jelas.
Dan sekali lagi ibunya Ovik yang menjelaskan. “Ovik ingin jadi guru
di SLB. Dia ingin membantu temen-temen yang cacat. Malah kalau bisa dia ingin
buka sekolah atau sanggar kesenian khusus anak cacat.”
Ovik yang memperhatikan ibunya ngomong tersenyum lebar karena
membantu menjelaskan pada kita semua.
Semuanya sudah dilaksanakan dari interview sampai pemotretan dan
penyerahan tropi. Senyum Ovik mengembang waktu mobil menjauhi rumahnya. Selama
perjalanan kita nggak ada habisnya membahas tentang Ovik. Ada satu hal yang membuat kita kagumi,
meskipun dia cacat tetapi dia percaya diri dan mampu mandiri.
Kita sering terlena oleh kesempurnaan dan memandang sebelah mata
orang yang berkebutuhan khusus. Dari Ovik pun belajar siapa saja kita bisa
menjadi apa yang kita mau dan siapa saja bisa berimimpi untuk mewujudkan. Cacat
bukanlah halangan untuk maju tapi cacat adalah bagian dari proses pembelajaran merangkai
kehidupan dan mereka orang-orang yang lebih tegar dan percaya diri dari pada
kita yang normal.
Kabar terakhir yang kudengar Ovik gagal membawa gelar Miss Deaf
World yang berlangsung dari 3 Juli 2012
sampai 7 Juli 2012. Bagi ku itu udah cukup membagakan karena dia cukup membawa
nama baik Indonesia dan yang penting dia sudah berusaha dengan keras.
Aku sendiri sering terkagung-kagum waktu pengerjaan rubrik Siswa
Juara. Tak semuanya remaja itu Kimchil dan Alay
banyak diantara mereka yang mengharumkan nama bangsa. Aku pernah interview anak
SMA 3 Semarang ada dua orang yang juara Olimpiade Informatika dan Fisika,
pernah juga ngobrol sama sang juara lomba film documenter tingkat nasional
mereka anak SMA Kolase Debrito dan yang mereka ambil temanya kemiskinan, tetapi
mereka menampilkan bukan kemisikinan yang di daerah kumuh atau rumah gubug
reyot tetapi mereka mencoba menggali kemiskinan moral. Ada juga yang beberapa
kali anak SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta yang beberapa kali menang karya ilmiah
tingkat nasional mereka menciptakan inovasi baru dari limbah jagung untuk
dijadikan tepung, mereka juga membikin konsep taman kota yang minimalis.
Mereka berusaha mengejar mimpinya untuk jadi orang berguna untuk
semua. Siswa ini juga lewat proses untuk mendapatkan hasil terbaiknya. Ada yang
semalam suntuk belajar. Banyak yang awalnya gagal pada percobaan tetapi mereka
nggak putus asa di coba lagi akhirnya berhasil juga. Ada satu lagi dorongan
orang tua juga sangat penting. Orang tua terus bisa menyemangati anaknya bila
mereka belum berhasil. Guru juga berperan penting dalam bimbingan keahlian.
Semua terwujud karena Tuhan yang mengijikan, Tuhan akan memberian yang terbaik
jika kita bersungguh-sungguh.
Jadi mikir, bejadnya diriku ini waktu SMA. Sekolah dianggap sebagai taman
bermain, ya di kelas denger guru ngajar masuk kuping kanan lalu dikeluarin
kuping kiri. Setiap pagi selalu heboh sendiri cari contekan PR. Untungnya dulu
belum ada istilah ababil, kimchil dan alay mungkin kalau udah ada istilah
tersebut melekat pada diriku. Eh tapi aku pernah loh berprestasi paling nggak
pernah jadi juara komando supporter lomba voli antar kelas. Pernah juga
mewakili kabupaten Brebes untuk lomba teater tingkat Povinsi Jawa Tengah.
No comments:
Post a Comment