2013 sudah lewat, telah dijalani.
Hasilnya? Banyak belajar dari 2013. Belajar mengenai kegagalan. Kegagalan bermacam-macam. contohnya naskah pertama nggak ada kabar sampe sekarang. Aku pikir sih itu emang salah ku juga, terlalu gegabah untuk terlalu percaya diri mengirimkan padahal tulisan itu masih sangat berantakan. Itu adalah bagian dari pelajaran, untuk sadar diri dan segera diperbaiki. Hasilnya naskah ke dua jadi.
2013. Ikhlas dari kegagalan. menerima lapang dada. susah banget, tetapi kenyataan harus seperti itu. Aku pikir ini bukanlah gegalan tapi proses belajar.
#MakeWish
2014 sebuah harapan baru. Aku berdoa dan berharap naskah ini bisa diterima. dan bisa di baca oleh semua orang. Bisa diambil hikmah yang terkandung dari tulisan itu.
Seomoga bisa menjadi lebih baik. Berharap awal dari sebuah kebangkitan.
Monday, 30 December 2013
Friday, 13 December 2013
Cerpen : Mewujudkan Mimpi
Mimpi!!
Gara-gara mimpi itu, saya terseret sampai ke Jogja. Sekarang sudah 5 tahun,
tetapi mimpi itu masih belum terwujud juga. Saya sudah merasa sangat lelah untuk
menggapainya. Rasanya saya ingin tinggalkan mimpi itu. Namun bila diingat lagi,
sayang jika ditinggalkan begitu saja. Hanya tinggal selangkah lagi mimpi itu
akan terwujud, saya harus semangat, karena mimpi itu ada semangat hidup saya
saat ini.
Waktu kecil saya
bermimpi untuk menjadi wartawan. Saya melihat sosok wartawan itu sangat keren.
Bisa ketemu sama orang-orang hebat, artis, menteri, bahkan presiden. Saya ingin
memberikan sebuah inspirasi kepada siapa saja yang mau melihat atau
mendengarkan hasil repotase. Motivasi lainnya adalah bia jalan-jalan
gratis,hehehehe.
Sejak itulah
saya bertekad untuk menjadi wartawan. Langkah pertama saya harus kuliah jurusan
ilmu komunikasi kosentrasi jurnalistik. Usaha itu sudah saya lalukan untuk
rajin kuliah dan menyimak dosen mengajar (kalu lagi niat). Tetapi itu semua
bukan jaminan untuk cepat lulus. Perjalanan saya terhambat pada yang namanya
SKRIPSI. Sebenarnya saya sedang mengerjakannya dan hampir saja selesai. Cuma...jika
saya mulai mengetik lagi, entah kenapa kepala ini mendadak pusing, perut mual,
rasa kantuk mendera.
Tadi pagi, pas
ke kampus nggak sengaja ketemu sama Pak Rahmat, dia ini yang jadi dosen
pembimbing skripsi saya. Dia menegur untuk segera menyelesaikan skripsi yang
hampir rampung. Tak hanya itu saja, dengan terpaksa saya mendengarkan ceramah
dan nasehat bijak dari Pak Rahmat. Saya tau maksudnya dia baik, tetapi
ditelinga ini membuat panas karena dia menggunakan nada nyinyir. Sudahlah tak
usah dipikirkan omoangan dia.
Malam ini saya
bertekad untuk segera menyelesaikan skripsi yang sudah tertahan lebih dari
sebulan. Nggak boleh ditunda-tunda lagi. Sebenarnya bukan karena teguran Pak
Rahmat yang membuat saya sadar sejenak untuk mengerjakan skripsi. Tetapi karena
ultimatum ayahlah yang menggerakan jiwa dan raga untuk segera merampungkan
skripsi, jika tidak selesai semester depan ayah nggak akan membiayai
perpanjangan skiripsi, kost, dan lain sebagainya. Itu tandanya kiamat kecil
buat saya.
Sejak pulang
dari kampus, saya sudah menyiapkan amunisi, yaitu dengan tidur yang cukup untuk
lembur dimalam ini. Tadi sehabis Magrib juga sudah makan banyak.
Ayo semangat
kerjakan sekarang!! Saya hanya membatin untuk menyemangati diri sendiri. Laptop
yang ada di meja lipat sudah terbuka. Saya bergegas mencari folder yang berisi
skripsi di My Document. Disalah satu foldernya terselip bab 3. Sebenarnya bab
itu sudah rampung cuma perlu ada revisi dibeberapa bagian. Khususnya yang
analisis data. Saya mengklik nama file tersebut, berapa detik kemudian muncul
lah tulisan-tulisan yang membuat perut ini mendadak melintir dan mata mendadak
ngantuk.
Saya harus lawan
itu semua. Pokoknya harus tahan kantuk, ini cobaan pertama kalau udah buka
skripsi. Saya memperhatikan deretan tulisan yang ada di layar. Semakin lama
mata ini semakin berat. Tak usah hiraukan rasa kantuk itu, tetap fokus dan
fokus. Tidak berhasil juga, rasanya semakin lelah mata ini padahal baru berapa
menit.
Nyerah.....saya
mengalihkan perhatian dengan membuka beberapa blog untuk membaca artikel yang
sudah di bookmark. Setelah membuka laman blog itu, mata saya menjadi membaik,
tidak selelah tadi, padahal sama-sama membaca deretan tulisan. Saya amati dan
terfikir ternyata masalah pencahayaan. Blog yang ku baca backgroundnya gelap.
Saya kembali
membuka file yang tadi tertutup. Kecerahan cahaya laptop di atur ulang, di
setting menjadi lebih temaram. Barulah saya merasakan melihat tulisan yang ada
di layar laptop enak untuk di lihat dan nggak bikin lelah. Masalah mata lelah
sudah terselesaikan. Energi untuk mengerjakan skripsi kembali meningkat.
Sepuluh jari ini dengan lincah mengetikan huruf sampai pada suatu pembahasan
yang mengharuskan saya membuka buku.
Terpaksa saya
beranjak dari tempat duduk mencari buku. Tumpukan buku yang ada di meja saya
berantakin tetapi tak ditemukan. Beralih ke rak buku gantung yang ada di atas
televisi. Setelah diamati, tidak ada juga. Saya mulai frustasi, dimana buku
itu? Kenapa disaat yang genting seperti ini malah tidak ada. Segera saya
mengecek tas yang biasa dipakai untuk ke kampus, namun hasilnya nihil. Kali ini
bukan hanya frustasi tetapi sudah menjadi panik. Itu adalah buku mahal, bukan
itu juga masalahnya tetapi materi skirpsi saya ada disitu juga. Tidaaakkk!!!
Jerit saya dalam hati. Cobaan apa lagi ini?
Di sudut ruangan
kost yang berantakan saya kembali mengingat lagi rentetetan kejadian yang
membuat buku itu menjadi hilang. Terakhir saya memegang buku itu tiga hari
lalu, Aris datang ke kost mau pinjam buku. Berarti buku itu ada di tangan Aris
donk? Saya langsung lemas, udah semangat mau ngerjain skripsi eh malah bukunya
nggak ada. Mau ambil buku, males banget ke kost Aris yang jauh. Kenapa jadi
saya yang repot? kan dia yang pinjam harusnya dia juga donk yang balikin. Benci
dech!!! Pada suka pinjem tapi gak mau dibalikin, saya hanya bisa mengumpat pada
udara.
Demi masa depan
terpaksa aku menghubungi Aris. “Ris, kamu dimana? Buku “Dasar Jurnalis” di kamu
toh? Mau ambil buku nih, atau kamu balikin sekarang juga!!” Saya mencecar
beberapa pertanyaan dan di akhiri pemaksaan agar dia mengembalikan.
“Iya di aku koq
bukunya. Nih lagi aku tenteng. Ketemu langsung di Kalimilk Seturan ya,” kata
Aris di balik telpon. Saya sepakat untuk ketemu disana, padahal tempat ketemuan
itu lebih jauh dari pada saya ke kost Aris. Sekalian ngerjain skripsi dan
santai, apalagi ada Aris bisa tempat bertukar pikiran.
Perlu 15 menit
untuk sampai tujuan, apalagi lagi sekarang sedang jam makan malam pasti tambah
ramai khususnya daerah kostan mahasiswa. Meskti agak tersendat di jalan Solo
khusunya depan Plaza Ambarukmo tetapi sampai tempat tujuan tepat waktu sesuai
dengan perkiraan.
Dari parkiran
terllihat Aris sedang menyeruput susu. Di depannya ada dia cewek, saya
mengenalnya dengan nama Rahmi, anak komunikasi juga seangkatan tetapi dia ambil
periklanan. Saya menghampiri mereka yang sepertinya sedang sibuk diskusi.
“Hai! Lagi
ngomongin Pak Abror ya.” Sela saya
diantara obrolan mereka yang tanpa menyadari kedatangan saya.
“Hai.....” sapa
mereka kompak meski agak garing. “Tau aja nih lagi ngomongin Pak Abror,” kata
Rahmi sambil nyengir.
“Tau lah, itu
kebiasaan mahasiswa lagi frustasi dapet pembimbing dia yang super ribet,” balas
saya sambil menyeret kursi yang segera di tempati.
“Bukan gue aja
yang korban dia, Ndi.” Rahmi menatap saya dengan memelas.
“Aku juga,”
timpal Aris matanya berkilat seperti penuh dendam.
“So, sekarang
ini sedang ada pertemuan para mahasiswa frustasi sama skripsi?” canda saya
untuk mencairkan masalah.
Biar saya
jelaskan. Aris adalah sahabat saya, meski baru deket setahun ini, itupun
gara-gara kita sering ketemu pas bimbingan skripsi. Dia ini masuk kosentrasi
broadcasting. Skripsinya tentang peliputan berita, otomatis dia orang yang
sering banget pinjem buku tentang jurnalis pada saya. Sekarang ini Aris sedang
bingung dengan kelakukan dosen pembimbingnya yaitu Pak Abror. Kata mahasiswa
komunikasi, suatu bencana dapat pembimbing dia. Bisa dibuat mati gaya sama itu
dosen. Misalnya, bimbingan hari ini dia nyuruh apa, bimbingan berikutnya
disalahkan lagi dan disuruh bikin itu.
Inilah salah
satau penghambat lulusnya mahasiswa dari faktor dosen pembimbing. Awalnya saya
menyimpulkan itu masalah dari mahasiswa karena faktor malas atau emang nggak
bener pas ngerjain skripsi. Baru belakangan asusmi itu terpatahkan karena
banyak sekali mahasiswa yang bimbingan sama dia berkeluh kesah. Saya heran,
masalah seperti itu koq nggak ada teguran dari fakultas. Dosen yang kayak gini
memang perlu dididik ulang biar nggak labil lagi.
Sedangkan Ramhi
itu senasib dengan Aris yang mendapat pembimbing skripsinya Pak Abror. Rahmi
sedikit beruntung sebab Pak Abror bukanlah pembimbing utama. Saya sih nggak
begitu kenal dia karena nggak pernah satu kelas, selain itu jadwal bimbingnya
beda. Jika ketemu di kampus tetap say
hai buat keakraban sesama penghuni fakultas komunikasi. Saya pernah dengar,
Rahmi salah satu mahasiswi pintar. Dia telat lulus gara-gara semester lalu ikut
pertukaran pelajar ke Ausie.
“Sory ya gue
nggak bagian dari mahasiswi desperate skripsi.” Rahmi membela diri. Memang
benar juga. Rahmi baru saja mengerjakan skripsi, jadi belum mendapatkan dampak
dari betapa pusingnya ngerjain skripsi. Dia baru saja akan maju seminar
pertanggung jawaban bab 1. “Gue mau tanya-tanya sama Aris gimana mekanisme
seminar. Dan selama ini Pak Abror baik tuh sama gue,” kelakar Ramhi dengan
senyum menyeringai menyebalkan buat Aris yang merasa terdzolimi oleh Pak Abror.
Saya hanya
membatin dalam diri. Wajar saja Rahmi bilang gitu karena belum mendapatkan
“tamparan” skripsi. Waktu mengerjakan bab 1 saya lancar saja, optimis dalam
satu semester kelar tetapi nyatanya sekarang sudah semester kedua dalam
pengerjaan skripsi. Penyebabnya adalah pada bab 3. Bagian penyajian data dan
penelitian. Disinilah hampir semua ilmu yang kita pelajari dari awal sampai
akhir dituangkan. Sungguh beruntung buat
mahasiswa yang rajin mencatat. Nah buat saya dan Aris suatu bencana
karena malas mencatat, hasilnya sekarang keteteran mencari refrensi untuk
membahas penelitian.
Waktu mencari data mahasiswa sering dibuat
bingung oleh instansi tempat penelitian. Sering instansi itu melempar
mahasiswa. Misalnya begini, kepala cabang bilang perlu di urus oleh bagian
perizinan, dari situ di lempar ke tata usaha, nanti dilempar lagi ke entah
berantah. Itu baru mau izin penilitan belum lagi pas ambil data pasti nggak
kalah ribetnya. Ada yang alasan itu rahasia perusahaan. Terus bilangnya,
petugasnya orang baru belum ngerti banyak. Jika mahasiswa ingin pindah
penelitian bakal tambah repot lagi. Okay, sekian sesi curhat versi saya tentang
penelitian.
“Sebenarnya aku
juga nggak ada masalah sama skripsi!” Meskipun Aris berkilah tetapi kentara
sekali suara Aris geram, tidak bisa menyembunyikan kebohongannya. “Tetapi aku
bermasalah yang namanya Pak Abror. Kalau bukan karena dia mungkin aku sudah
wisuda semester lalu. Aku sampai nggak ngerti harus gimana lagi untuk bimbingan
sama dia.” Ternyata Aris masih membahas kekesalannya terhadap dosen
pembimbingnya yang dianggap terlalu menyusahkan.
“Sabar. Mungkin
ini seninya skripsi buat kamu. Jadi nggak cuma merangakai kata-kata ilmiah yang
indah. Ada seni yang lebih penting yaitu menaklukan ego orang. Itu penting
untuk dunia kerja nanti. Apalagi kamu lebih banyak berhubungan dengan client,”
cetus Rahmi untuk menghibur Aris yang sedang gundah dengan tabiat Pak Abror.
“Eh dengar gosip
gak? Katanya Siti pindah kampus,
gara-gara sudah nggak tahan bimbimbangan sama Pak Abror.” Saya menyampaikan
sebuah berita yang entah kebenarannya.
“Katanya gitu
sih, aku denger dari mbak Ayu resepsionis jurusan,” Aris menyahuti omongan
saya.
“Kenal
Jubedahkan? Anak periklanan angkatan diatas kita. Dia itu kalau mau bimbingan
sampai sholat Dhuha dulu, malemnya sholat Tahajud. Katanya biar diberi
kelancaran pas bimbingan. Bener loh usahanya nggak sia-sia, Pak Abror langsung
jinak,” kata Rahmi menampilkan mimik yang serius.
“Wah mesti ku
coba tuh. Sapa tau mujarab, dan semster ini bisa wisuda.” Aris berharap.
“Lu, sendiri kenapa sampai keteteran ngerjain
skripsi?” sebuah pertanyaan menohok dari Rahmi untuk saya. Itu adalah
pengalihan topik yang menyebalkan karena saya menjadi obyek yang tersudut.
“Mungkin ini
karena masalah konflik batin,” jawab saya dengan kalimat membundel. Saya
melanjutkan lagi berbicara, “maksudnya ini karena sifat malas saya,” saya
mengaku dengan malu-malu sampai wajah saya merona merah.
“Emang males
dalam rangka apa?” Rahmi sekali lagi bertanya dengan wajah tak berdosanya. Saya
sendiri bingung, sebenarnya Rahmi emang nggak ngerti atau cuma pura-pura
bersikap polos.
“Males ngetik, males bimbingan sebab kalau
udah sampai kampus liat wajah pembimbing udah mules, apalagi pas bimbingan kita
kena semprot rasanya tambah kebelet aja. Belum lagi males ke perpus cari
refrensi buku.” Penjelasan saya sudah cukup jelas untuk di cerna oleh Rahmi dan
semoga tidak ada lagi pertanyaan berikutnya.
“Oh ya nih
bukunya. Ntar kapan-kapan ku pinjem lagi kalau perlu.” Aris memberikan sebuah
buku yang lumayan besar dan tentunya berat. Berat di pelajari dan dilihat
karena menggunakan bahasa Inggris.
“Ok. Kita kan
friend harus saling bantu,” kata saya sambil memasukan buku kedalam tas. “Sory
nih, saya cabut dulu ya. Mumpung masih ada niat ngerjain skripsi.” Saya
berpamitan kepada dua teman ku. Tanpa persetujuan mereka, saya sudah
meninggalkan mereka.
Waktu perjalanan
pulang lebih singkat karena saya lebih memilih jalan memutar, menghindari
keramaian. Akhirnya sampai kost juga, saya ingin segera mengerjakan skripsi.
Tetapi terlihat dikamar dekat dapur sedang ada keramaian. Saya penasaran untuk
mampir kamar Pandu, dan terlihat teman-teman kost lain sedang pada asik
didalam. Nggak ada salahnya juga untuk mampir ke kamar Pandu. Ternyata setelah
di tengok, mereka sedang asik main kartu.
“Eh ada bang
Andi. Baru dari mana bang?” Yadi menyadari kedantangan saya dan langsung
bertanya seperti itu karena melihat saya mengenakan jaket ditambah menenteng
tas.
“Dari ambil
buku,” jawab saya singkat.
“Ayo bang ikutan
maen kartu.” Ajak Tyan yang sedang sandaran menunggu giliran.
Saya jadi
tertarik untuk mengikuti permainan kartu. Buat refreshing sejenak sebelum bertempur melawan skripsi. Kamar yang
berukuran 5x5 meter persegi ini terasa sumpek dijejali 10 orang lebih. Nggak
semuanya ikut main kartu juga ada yang sedang main Play Station ada juga yang
cuma berbaring sambil bercengkrama.
Kostan-kostan
yang saya ditempati 24 mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia.
Mereka juga nggak semuanya satu kampus. Kenapa saya dipanggil abang? Karena
saya salah satu penghuni tertua di kostan ini.
Bisa juga panggilan abang sebuah sindiran sebagai mahasiswa angkatan tua
yang belum lulus. Sebenarnya ada dua lagi teman seperjuangan di kostan ini yang
sedang bertarung melawan skripsi. Sama seperti saya, dua orang ini dipanggil
abang, namanya Ramli dan Fey.
Saya sudah mulai
terhanyut permainan kartu poker. Meski bukan yang paling jago tapi tidak pernah
kalah satu kalipun. Permainan ini membuat saya lupa kewajiban tentang
mengerjakan skripsi. Jangankan memikirkan untuk mengingatnya juga nggak.
Permainan kartu ini memang sebagai obat mujarab untuk menyegarkan otak. Sayang
amnesiaku terharap skripsi hanya sekejap. Saya kembali terjaga tentang skripsi
ketika Ramli masuk ke kamar Pandu untuk ikut
bergabung.
“Woy bang
Ramli,” sapa Pandu yang melihat Ramli masuk ke kamarnya. Serentak semua orang
melihat kearah dia, termasuk saya.
“Whats app,
bro?!! Balas Ramli ramah.
“Tumben bang
keluar dari tempat bertapa?” tanya Tyan penasaran. Ramli ini memang jarang
gabung sama anak-anak kost lain karena sibuk. Selama ini dia sibuk kuliah yang
keteteran akibat waktu “masa mudanya” sering bolos kuliah. Jadi banyak mata
kuliah yang harus diulang. Apalagi sekarang sambil ngerjain skripsi.
“Suntuk banget
dikamar. Sekali-kali keluarlah cari hiburan. Kelamaan dikamar bisa cepet tua
mikirin kuliah,” jawab santai Ramli sambil merebahkan tubuhnya di karpet. “Makanya
kalian kuliah yang rajin, biar nggak nyesel kalau udah semester tua.” Ramli
memberikan petuah kepada yang lain. Rata-rata penghuni kost ini baru pada
semester dua dan empat.
“Terus kalau
gitu, kenapa bang Andi nggak lulus-lulus?” pertanyaan dari bibir Pandu meluncur
tanpa perasaan pada ku.
Saya hanya
bengong mendengar pertanyaan seperti itu. Sebenarnya saya sudah sering
mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bahkan mungkin kuping ini terbiasa
mendengar pertanyaan nyaring “kapan lulus?”. Namun bibir ini tidak bisa
berkompromi. Selalu kelu untuk menjawabnya. Karena saya sendiri kadang masih
bingung untuk menjawabnya.
“Gara-gara
skripsi aja yang mandek,” jawab saya sekenanya. Sambil berharap tidak ada
pertanyaan lagi.
“Koq bisa lama
gitu sih mandeknya?” Yadi malah menambah obrolan yang semakin fokus terhadap
saya.
“Karena ada
berbagai macam hal. Mulai dari penelitian, dosen bawel, sampai rasa males
ngetik sambil mikir.” Tiba-tiba saja Fey nongol dan langsung menyambar untuk
menjawab. Itu adalah jawaban yang cukup bijak dan dapat menolong saya yang
sedang memikirkan jawaban.
Sekarang sudah
terkumpul tiga mahasiswa angkatan tua diantara para junior yang masih belum
mengerti penderitaan mengerjakan skripsi. Diantara kita bertiga yang paling
senior adalah Fey. Dia ambil jurusan teknik industri di universitas swasta
daerah timur Jogja. Penyebabnya telat lulus karena dia kuliah sambil bekerja.
Memang Fey cukup mandiri, sejak kuliah sudah bekerja, dampaknya kuliah menjadi
keteteran. Sekarang dia sedang fokus untuk skripsi, maka dari itu dia keluar
dari kerjaannya.
“Wih para senior
pada berkumpul,” celetuk Pandu. Aku hanya senyum tipis karena bagiku ini
bukanlah suatu pujian tetapi sindiran. Saya memang sedang sensitif, jadi yang
berbau kata senior, tua, lama adalah suatu penghinaan keberadaan saya yang
belum lulus kuliah.
“Skripsi mu
sampai mana Ram?” tanya Fey pada Ramli yang sedang baca tabloid Bola.
Ramli merubah
posisinya yang tadi senderan sekarang duduk tegak. “Baru kelar bab
pendahuluan.”
“Hah!! Selama
itu kah? Lah kamu mengurung dikamar ngapain aja?” saya kaget mendengar jawaban
Ramli.
“Emang skripsi
anak teknologi pertanian gampang?” Ramli tidak terima atas pernyataan sekaligus
pertanyaan dari saya. “Pusing juga tau, mana disini tuh jarang ada jurusan
teknologi pertanian. Cari refrensi susah, terpaksa browsing di internet. Belum
lagi bolak balik ke lab. Ini baru awal, nanti pas bikin alat pertanian juga
makin ribet. Jadi masih panjanglah,” Ramli malah berkeluh kesah mengenai
skripsinya. “Kamu sendiri sampe mana skripsinya?”
“Bab penelitian
sama pembahasan sudah kelar tinggal revisi tapi belum di ACC juga untuk lanjut
bab selanjutnya,” saya penjelaskan perihal skirpsi. “Buat kalian yang baru
semester dua nanti pas semester empat harus sudah siap-siap cari bahan skripsi
yang mau diambil. Jadi pas udah waktunya skripsi nggak bingung dan keteteran.”
Sepertinya saya benar-benar menjadi yang “tua”, telah memberikan wejangan pada
junior.
Saya baru
menyadari kesalahan besar itu. Kenapa nggak dari pas dulu aja ya pas semester
empat untuk memulai ancang-ancang ambil skirpsi. Dulu saya malah sibuk pada
organisasi dan kegiatan jurnalis diluar kampus. Saya memang tepat waktu untuk
menyelesaikan semua mata kuliah bahkan tidak ada yang perlu diulang. Meski
nilai-nilai yang tercetak di kartu hasil studi tidak semuanya baik. Hanya saja
saya telat pada skripsi karena kurang persiapan. Ketika sudah masuk masa
skripsi saya bingung sendiri, sampai perlu tiga bulan untuk memilih judul yang
tepat.
Andai saja waktu
bisa diputar. Saya akan melakukan apa yang dikerjakan teman-teman. Menjelang skripsi
sibuk mencari judul lalu dikonsultasikan secara informal pada dosen terdekat.
Tetapi sudahlah, saya juga tidak menyesali semua. Saya juga bangga bisa belajar
menulis berita yang baik. Dari sinilah saya merasakan suatu kejanggalan. Bila
saya repotase selalu menuliskan hasilnya dengan baik dan saya cukup senang
mengerjakannya. Lain lagi dalam mengerjakan skripsi, rasanya sungkan banget
duduk berlama-lama di depan laptop sambil mengetik karya ilmiah.
“Kamu skripsinya
sampai mana?” tanya saya pada Fey.
“Udah tinggal
kesimpulan. Satu atau tiga kali bimbingan kelar. Tetapi saya belum bisa wisuda
semester ini karena masih ada kuliah yang perlu diulang.” Diakhir kalimat nada
Fey terdengar lesu, mendapati kenyataan tragis ini. Saya terperanjat mendapat
informasi Fey segera merampungkan skripsinya. Itu adalah suatu kekalahan telak
buat saya. Meski Fey tidak bisa wisuda semester ini tetapi skripsinya telah melampaui
saya. Dia sudah berhasil menyelesaikan 4 bab dari 5 bab. Artinya bila dia
kuliah dijurusan saya mestinya sudah rampung mengerjakan skripsi.
“Berarti kalau
skripsi itu harus siap mental ya?” tanya Tyo polos.
“Ya!!” jawab
saya, Fey dan Ramli kompak. Lalu meluncurlah kata-kata curhatan dari Ramli.
“Siapin mental buat ngadepin dosen menyebalkan. Selain itu siapin duit yang
banyak buat bayar skripsi dan tetek bengek uang administrasi, belum lagi duit
buat transport dan beli kertas. Tapi yang utama adalah mental sih. Melawan diri
sendiri menghadapi iblis rasa malas.” Ramli mengucapkan itu dengan semangat
berkobar.
“Kalau gitu
kenapa nggak beli skripsi aja dari pada repot-repot?” sebuah pertanyaan yang
bagus dari Yadi.
Dengan segera
Fey langsung menjawab pertanyaan dari Yadi dengan tegas. “Sesuatu yang tolol
aja sampai beli skripsi gitu. Ngapain kita capek-capek berangkat kuliah kepanasan,
ngabisin duit jutaan cuma buat beli skripsi? Kalau gitu kenapa nggak sekalian
beli ijazah aja tapi kita nggak kuliah?”
“Lebih tepatnya
sih, skripsi itu mahakarya dari seorang sarjana. Ada kepuasaan tersendiri kala
kita berhasil menyelesaikan skripsi. Kita merasa menang, dari mengalahkan ego
dirikita sendiri, rasa malas yang menghampiri, ego dosen yang menyebalkan.
Tentunya kita pasti akan bangga pada hasil cipta karya sendiri. Ada pembuktian
bahwa kita mampu dan memang pantas menjadi sarjana,” kata-kata saya menambahkan
pendapat Fey. Saya melihat para junior hanya mengangguk entah itu menyetujui
pendapat saya atau hanya asal mengangguk saja. Saya yakin otak mereka belum
sampai pada memikirkan skripsi.
Seharusnya sejak
dini mereka diajarkan untuk tidak membeli skripsi. Membeli skripsi sama saja
kita belajar menjadi koruptor. Caranya memang mudah hanya menyetorkan uang berapa
juta rupiah, masalah selesai, mahasiswa jadi sarjana. Akan tetapi dampaknya
akan pada masa depan mereka ketika dihadapkan pada dunia nyata. Mereka akan
melakukan segala cara untuk membereskan kepentingannya. Generasi bobrok negeri
ini tidak akan berubah kalau begitu.
“Banyak hal
positif kita dapetin ketika mengerjakan skripsi.” Ramli ikut berpendapat.
“Paling penting adalah kita semakin memahami ilmu yang dipelajari selama
beberapa semester ini. Ilmu yang kita dapat dituangkan dalam karya ilmiah. Disamping
itu, bikin skripsi melatih kesabaran tingkat tinggi. Sabar nunggu dosen,
ngadepin dosen, penelitian, dan masih banyak lagi. Skripsi juga mempertajam
otak kita dalam dalam sisi ilmiah”
“Resiko
ketahuannya juga besar,” Fey memotong omongan Ramli. “Kalau ketahuannya pas
masih dalam pengerjaan skripsi sih cuma menanggung malu dan ngulang dari awal.
Mampus aja kalau ketahuannya pas udah lulus bertahun-tahun. Gelar sarjana kita
bisa dicabut. Bisa juga turun jabatan. Belum lagi dipenjara karena mencuri hak
cipta orang lain,” Fey membeberkan resiko jika mencontek skripsi.
“Ada tuh temen
seangkatan yang ketahuan nyontek. Sampai sekarang belum lulus, dia ngulang dari
awal dan tentunya dengan bimbingan lebih ketat. Udah gitu menanggung malu.
Gimana nggak malu, dia di sidang istimewa tempatnya di amphiteather. Semua
mahasiswa fakultas ngumpul,” kata saya sambil bergindik membayangkan betapa
malunya itu mahasiswa. Para junior hanya bisa bengong mendengarkan cerita saya.
Waktu itu saya
menghadiri sidang tersebut. Seluruh ruangan penuh oleh mahasiswa dan mahsiswi
yang penasaran dengan jalannya sidang istimewa fakultas. Mahasiswa tersebut
ketahuan mencontek skripsi orang, dapatnya juga dari orang yang bisnis jual
beli skripsi dan thesis. Menurut saya sih bodoh juga, dia beli skripsi dari
karya mahasiswa universitas yang ada di Jogja. Di Jogja ini hanya ada beberapa
saja yang punya jurusan ilmu komunikasi. Pastinya tiap universitas punya
database skripsi. Mungkin ini lagi apesnya mahasiswa plagiat itu, secara nggak
sengaja dosen pembimbingnya nemu skirpsi dengan judul yang sama waktu
bertandang ke kampus yang skripsinya dicontek.
Saya melihat
mahasiswa tersebut tertunduk lesu dihadapan para dosen, dekan dan rektor.
Berbagai cecaran dan hujatan diterimanya. Saya tidak bisa membayangkan bila
yang ada di kursi pesakitan itu saya. Ada rasa iba kepada dia, bisa jadi dia
adalah korban dari beribetnya ngurus dan ngerjain skripsi. Tetapi disisi lain
saya bingung juga, kenapa dia melakukan seperti itu? Padahal dia orang yang
cukup pintar. Hhmmm, entahlah tiap orang pasti punya permasalahannya sendiri. Siapa
yang melakukan harus siap bertanggung jawab.
Saya melihat jam
dinding yang tertempel di atas telivisi, ternyata sudah cukup malam sekitar jam
11 kurang sedikit. “Cabut dulu ya, mau ke kamar.” Saya memutuskan untuk
meninggalkan kamar pandu.
“Mau ngapain
bang? Kayak anak perawan aja jam segini mau tidur,” canda Pandu.
“Mumpung lagi
khilaf nih, ada mood nyelesein revisi skripsi,” jawab saya bercanda sambil
berdiri dan berjalan menjauh dari kamar. Spontan mereka tertawa mendengar kata
“khilaf”. Kata khilaf memang biasa diasumsikan sebagai bentuk pembelaan diri
setelah melakukan kesalahan.
Sekarang saya
sudah ada dikamar lagi. Tentunya kamar saya masih dalam keadaan berantakan
karena sebelum ditinggalkan saya telah mengobrak-ngabrik untuk mencari buku.
Untuk membuat suasana nyaman terpaksa saya membereskan kamar terlebih dahulu. Banyak
sekali kertas bertebaran dipenjuru kamar. Inilah suasana kamar kost mahasiswa
fotokopian,hehehehe. Kenapa bisa begitu? Saya mahasiswa yang malas mencatat
akibatnya setiap kali mau ujian pinjam catatan teman untuk di gandakan. Tetapi
setelah itu kertas itu tergeletak manis di sudut kamar tanpa disentuh lagi
setelah ujian.
Jujur ya, hampir
sebagian besar saya telah lupa materi kuliah yang telah diberikan. Lupa karena
saya mahasiswa fotokopian. Lupa karena saya tidak pernah membaca kembali apa
yang telah diberikan. Bukan saya tidak mengingatnya, hanya saja ketika dosen
mengajar, saya sibuk twitteran dan ngobrol sama teman lewat pesan instan
(whatsapp, BBM dll).
Masih ada materi
kuliah yang melekat di otak saya yaitu materi framing. Itupun saya mengingatnya
gara-gara skripsi. Coba kalau materi tersebut nggak saya jadikan skripsi,
dijamin saya pasti lupa kalau saya pernah mempelajarinya. Skripsi saya
meneneliti suatu perbandingan penyajian berita korupsi Indonesia di dua media
cetak nasional. Saya melihatnya salah satunya membela tersangka korupsi, tentu
satunya lagi berusaha menampilkan kelakuan buruk tersangka koruptor itu. Oh ya,
yang teliti bukan dari segi hukumnya karena itu sudah diluar ilmu saya. Saya
hanya meniliti isi pesan dari kedua media tersebut. Bingung? Saya juga
sebenarnya bingung. Sudahlah nggak usah
dibuat pusing. Sekarang langjut lagi.
Laptop sudah
menyala. Saya duduk dihadapannya dan mulai mengetik kembali, hanyut dalam
rangkaian kata ilmiah. Sesekali melihat buku untuk mengutip sebagai penguat
pendapat saya dalam penelitian. Semakin lama, kamar saya menjadi berantakan
kembali karena kertas-kertas itu kembali berhaburan ketika saya perlu membaca,
untuk mempertajam analisis. Inilah adalah suatu keajaiban skripsi. Selama saya
masih kuliah jarang sekali saya membaca materi kuliah karena sangat membosankan,
karena skripsi mau nggak mau saya terpaksa membacanya.
Terdengar suara
ketukan pintu. Saya langsung menengok kebetulan pintu kamar terbuka agar udara
sejuk masuk.
“Bang, pinjem
gunting ada nggak?” Ternyata yang datang Ryan, teman sebelah kamar saya.
“Ada.” Saya
beranjak dari tempat duduk mengambil gunting yang ada didekat saya.
Ryan sudah
pergi, saya kembali mengetik skrispi. Tetapi tidak lama muncul Galih. “Bang
punya gula nggak?” tanya Galih.
Tanpa menengok
saya bilang, “ada, ambil aja tuh di rak.” Galih mengambil gula yang ada di rak
dekat dengan lemari baju.
Belum sempat
untuk kosentrasi datang lagi tamu, kali ini Fandi. “Bang pinjem buku Psikologi
Komuniksi donk.”
“Tuh...” tunjuk
saya pada buku yang tergeletak dikasur.
Fandi masuk
kamar. Saya pikir setelah mengambil buku dia akan langsung pergi, ternyata dia
malah tiduran di kasur saya. “Lagi ngerjain skripsi ya bang?” tanya dia yang
sedang membuka-buka buku.
“Nggak nih. Lagi
bacok-bacok es batu,” balas sayang dengan ketus. Saya berharap dengan nada yang
jutek membuat dia sadar dan segera hengkang.
“Ouh..... Eh
bang, saya lagi bingung sama komunikasi interpersonal nih,” Fandi memulai
curhatnya. “Koq bisa ya bang, dengan kata-kata orang bisa mempengaruhi orang?”
tanya Fandi yang masih membolak balikkan buku. Fandi ini mahasiswa komunikasi
juga tetapi beda kampus dengan saya.
“Semua jawaban
ada di buku itu,” jawab saya singkat, sambil memandang layar laptop dan
berusaha konsentrasi. Tetapi sia-sia saja, saya tidak bisa memusatkan pikiran
saya pada skripsi gara-gara terganggu kedatangan Fandi dan kayaknya dia bakal
lebih lama. Lebih baik saya usir dari pada saya terganggu. “Dek Fandi. Abang
lagi mau kosentrasi ngetik ya. Bisa nggak tutup pintu kamar abang dari luar,”
ucap saya dengan halus untuk mengusir Fandi.
“Heheheehe,” Fandi
terkekeh mendengar kata-kata pengusiran dari saya. “Maap ya bang,” kata dia
sambil meninggalkan kamar. Tak ketinggalan menutup pintu kamar dari luar.
Semua sudah aman
dan terkendali. Jari saya kembali menari dengan lincah diatas tombol-tombol
hurus. Sudah tidak ada gangguan lagi dari teman-teman kost yang bertandang ke
kamar. Mungkin ini sudah menjadi peraturan tak tertulis, bila pintu kamar
tertutup itu tandanya sang penghuni kamar tidak mau diganggu.
Lumayan sudah
beberapa halaman yang berhasil saya revisi sesuai perintah dari Pak Rahmat.
Masih ada berlembar-lembar lagi yang perlu diperbaiki. Sebenarnya hampir semua
halaman bab 3 perlu direvisi. Gara-garanya ada banyak data yang nggak lengkap,
jadi perlu ada perombakan total. Inilah derita saya, hanya karena nggak teliti
sedikit tetapi banyak sekali dampaknya seperti mungulang dari awal. Untungnya
data yang saya butuh dengan mudah bisa didapatkan.
Satu jam
kemudian, rasa kantuk itu mulai menyerang. Rasa bosan itu menghinggap. Mata ini
berkunang-kunang melihat huruf-huruf dilayar laptop. Saya memutuskan untuk
istirahat sebentar. Tidur bukanlah cara yang tepat mendinginkan otak, bisa-bisa
saya tertidur dengan pulas dan malam ini gagal untuk menyelesaikan skripsi.
Pelarian
mengusir kepenatan ini dengan chating. Saya bertekad chatingnya hanya beberapa
menit saja. Saya membuka aplikasi chating yang ada di laptop. Seketika itu juga
saya terjun pada obrolan dunia maya. Meski sudah lewat tengah malam tapi masih
saja ada teman-teman yang on line. Jika mereka on line untuk mengisi waktu
insomia, saya chating untuk hiburan. Dengan chating saya dapt melupakan sejenak
skripsi.
Tanpa terasa
hampir dua jam saya chating dan saya benar-benar lupa kalau saat ini seharusnya
mengerjakan skripsi. Obrolan dichat room sangat mengasyikan sampai lupa waktu.
Saya tau mereka hanya ada di dunia maya dan pastinya nggak bisa bantu saya
secara langsung dalam skripsi. Tetapi mereka bermanfaat sebagai pelarian.
Sedang
seru-serunya chating tiba-tiba salah satu teman chating ada yang mengintkatkan
saya agar kembali berkutat dengan skripsi. Dengan enggan saya meninggalkan chatroom. Mata saya terbelalak karena
jam dinding menunjukan jam 2 lebih. Saya kembali bertekad untuk bergegas menyelesaikan
skripsi ini. Sudah tidak ada waktu lagi untuk bersantai. Saya harus segera
mewujudkan impian yang masih tertunda.
Untuk mencegah
kantuk saya meminum kopi hitam pekat satu gelas. Pokoknya malam ini harus sudah
kelar. Saya ingat perkataan dari Fey beberapa waktu lalu “Kalau kamu nggak suka
ngerjain skripsi cobalah untuk menikmatinya.” Memang benar, ketika saya mencoba
menikmatinya serasa mudah untuk menggabungkan huruf demi huruf menjadi satu
kalimat, satu paragraf, dan satu bab.
Saking menikmatinya
sampai tak terasa saya berhasil menyelesaikan revisi tepat jam 4. Dalam hati
saya bersorak, saya berhasil menaklukan diri sendiri melawan rasa malas yang
selama ini menggelayut. Saya tau ini bukanlah akhir, masih ada hari-hari
berikutnya untuk menyelesaikannya. Paling nggak malam ini saya berhasil
merampukan sebagian tugas. Mimpi saya masih terhampar didepan mata, dan saya
berharap bisa segera mewujudkannya. Semangat untuk hari esok!!! Saya tertidur
pulas bermimpi menjadi seorang wartawan yang handal.
Tuesday, 3 December 2013
KAMUFLASE
Sofi sudah cukup
jengan dengan omongan ibunya. Hampir setiap hari ibunya menanyakan calon suami.
Jangankan calon suami pacar aja belum punya. Hal ini yang membuat Sofi frustasi
kalau ibunya telpon. Semoga saja rengekan dari ibu cepat berlalu karena
sebentar lagi Sofi akan bertemu calon suaminya berkat acara perjodohan. Sofi
rela datang dari Jogja ke Denpasar hanya untuk acara ini.
Sebenarnya Sofi
belum tau siapa yang akan di jodohkan, dia hanya sebatas tau dari foto yang
diperlihatkan Tara. Rencanya berapa jam lagi Sofi akan bertemu calon suaminya
(semoga saja jadi) di sebuah restoran di Renon. Sekarang Sofi sedang bersiap,
dandan yang cantik untuk memikat calon suaminya. Tara juga sedang bersiap
menyiapkan diri, meratakan bedak.
“Tar, kamu yakin
dia pas buat ku? Sebenarnya udah berapa lamu kenal? Terus dia orangnya baik
nggak?” rentetan pertanyaan dari mulut Sofi menyembur kepada Tara. Nampaknya
Sofi belum siap perjodohan ini.
“Udah lumayan
lama kenal koq sama dia malah sebelum kamu. Untuk pertanyaan ketiga dia orang
baik-baik, dia pernah cerita bibit bobot bebetnya. Pertanyaan pertama, aku lah
yang selalu pas untuk mu Sof,” Tara menjawab satu persatu pertanyaan Sofi,
meski masih sibuk meratakan bedak.
Sofi menatap
dirinya sendiri di depan cermin. Di benaknya masih belum yakin atas acara
perjodohan yang direncanakan Tara. Tubuh agak chuby yang selalu membuat Sofi
minder untuk berkenalan dengan cowok. Padahal itu hanya asumsi sesat pikiran
Sofi. Menurut banyak orang badan Sofi nggak gemuk. Biasalah cewek selalu merasa
dirinya selalu gemuk, dan bila sudah gemuk menganggapnya nggak cantik.
Tetapi kali ini
dirinya pasrah saja, nggak ada salahnya untuk dicoba, toh ini baru ajang
perkenalan saja. Sudah cukup bikin stress dengan perdebatan dengan ibunya.
Paling nggak, nanti sudah bisa menjelaskan dirinya telah bertemu cowok yang
mungkin nanti jadi suaminya. Dan semoga saja dengan penjelasan seperti itu
mulut ibu bisa terbungkam.
“Kamu sendiri
yakin nggak?” tanya Tara.
Lamunan Sofi
buyar. “Aku sih nggak yakin, tapi aku cuma sudah pasrah saja. Liat ntar juga
lah,” seadaanya saja Sofi menanggapi Tara.
Sebenarnya malas juga buat membahas yakin atau tidak karena Sofi sendiri
masih ragu rencana gila ini. Kalau saja bukan karena ocehan ibunya pasti nggak
ada terjadi acara seperti ini.
“Percaya dech.
Masalah kamu itu bakal kelar. Kamu ketemu jodoh kamu, sekaligus emak mu itu
nggak bawel lagi,” Tara berusaha meyakinkan Sofi.
“Aku sudah
ketemu jodoh ku! Kamu tau itu kan Tar?” nada Sofi meninggi, dan sedikit nyolot
terhadap Tara.
“Terus ini
gimana, jadi nggak?” Tara jadi ikutan kesal.
Sofi hanya
mengangguk lesu. Tanganya masih sibuk merapikan rambutnya. Meski agak nggak
yakin juga apa yang barusan dikatakan telah menemukan jodohnya. Tapi dirinya masih
dikatakan jomblo oleh ibunya. Semuanya masih absurd, tak ada yang bisa di
yakini.
Tara memandang
Sofi, ada rasa menyesal juga membalasnya dengan keras juga. Tadi hanyalah emosi
sesaat. Sebenarnya Tara juga kalut, permasalahan yang dihadapi hampir sama.
Semua adiknya sudah menikah tinggal dirinya, tentu pertanyaan “kapan menikah?”
menghantui terus Tara. Tetapi Tara sendiri nggak ambil pusing.
“Maaf ya Sof,
ini buat kebaikan kamu juga kan?” Tara bersimpati pada Sofi sambil melempar
senyum.
“Its ok Tar.
Semoga semuanya lancar.”
“Tapi menurut
kamu gimana diliat dari foto?”
“Hhmmmm,” Sofi
mencoba memikirkan sesuatu. “Nice lah sesuai kriteria kalau dari fisik. Semoga
aja kelakuannya baik,” komentar Sofi sambil berharap.
“Pastinya donk.
Aku sayang kamu Sof. Aku nggak mau jatuh ke tangan yang salah,” sekali lagi
Tara meyakinkan Sofi, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sofi sudah agak
tenang ketika Tara mengatakan seperti itu. Selama ini Tara orang yang paling
dekat dengan Sofi. Mereka kenal sudah lama sekali sejak masih kuliah, apalagi
mereka dulu satu kost. Apa yang dimau Sofi pasti Tara memahaminya, begitu juga
sebaliknya. Mereka sudah mengenal luar dalam.
“Tar, kamu yakin
dengan cara ini hubungan kita baik-baik saja?” Sofi masih saja ragu, semua
penjelasan dari Tara ternyata belum sepenuhnya membuat tenang. Dengan yakin
Tara mengangguk agak kencang. Hal itu dilakukan agar nggak ada lagi pertanyaan
keraguan muncul dari Sofi.
Sekarang mereka
sudah siap pergi. Sofi tampak anggun dengan gaun pendek berwarna krem tanpa
lengan. Tidak ketinggalan high heelsnya putihnya ukuran 12cm semakin
memperlihatkan kaki Sofi yang jenjang. Untuk Tara mengenakan gaun berwarna hitam
dan rambutnya disasak. Ini adalah acara makan malam istimewa jadi harus tampil
istimewa juga. Dari awal yang baik pasti akan berkelanjutan baik juga.
Sepanjang
perjalanan perasaan Sofi tidak tenang seperti ada yang mengganjal tetapi Sofi
sendiri pun tidak memahami apa yang mengganjal dipikirannya. Perjalanan dari
hotel yang berada di Sunset Road menuju sebuah restoran didaerah Renon,
dihabiskan dengan melamun. Sofi sedang membayangkan tampang, kelakuan, dan
berbagai macam hal lainnya mengenai calon suaminya.
Sesamapainya di
restoran Sofi dan Tara bergegas berjalan cepat karena orang yang akan ditunggui
ternyata sudah datang lebih dahulu. Memang sih sudah pesan tempat jauh-jauh
hari untuk acara yang spesial ini. Langkah mereka semakin mendekat. Dari luar
tampak restoran tersebut sepi hanya ada beberapa bule yang sedang makan dan
beberapa pula orang lokal.
Tara celingak
cerlinguk di dalam restoran mewah tersebut mencari orang yang dicari.
Dibelakagkangnya ada Sofi yang terengah-engah karena berjalan dengan cepat,
apalagi susahnya minta ampun pakai sepatu hak yang terlalu tinggi buat Sofi.
Senyum Tara megembang ketika melihat orang yang dimaksud. Tangan Tara
menggandeng Sofi yang sedang kesusahan mengatur nafas.
Belum stabil
nafas Sofi sekarang malah bertambah sesak ketika sudah dihadapan dua cowok yang
ditemuinya. Bibir Sofi kelu, susah untuk berbicara mendapati kejutan sama
sekali nggak pernah terbayangkan. Tapi Tara tidak menyadari itu.
“Hai.... Sory
kita telat, biasalah cewek ribet dandannya,” kata Tara memaparkan alasannya
kenapa sampai telat. “Oh ya kenalin ini pacar ku Sofi,” ucap Tara sambil
tangannya menunjuk ke Sofi.
“Udah kenal
koq,” jawab santai pria yang memakai blazer hitam dihadapan Tara yang sedang
duduk, tanpa ketinggalan senyum jail. “Oh ya, kenalin juga ini Bagas pacar ku,”
pria tersebut memperkenalkan pacarnya yang ada disebelahnya.
“Kenal dari mana?”
tanya Tara sambil duduk . Di ikuti Sofi duduk disebelah Tara.
“Aji ini sepupu
ku, Tar,” Sofi menjelaskan dengan ketus. “Jadi kamu mau jodohin aku sama
sepupuku sendiri Tar?” tanya Sofi yang wajahnya masih di tekuk karena kesal.
Di sebrang Tara
ada senyum jail mengembang dari bibir Aji. “Nggak nyangka ternyata sepupu ku
lines,hehehe.”
“Ishhh, jangan
gitu donk,” Bagas mencoba meredam kejailan pacarnya, Aji.
“Alahhh kamu
juga maho,” Sofi malah membalas ledekan Aji.
Tiba-tiba saja
Sofi baru menyadari foto yang di tunjukan Tara beberapa waktu lalu berbeda apa
yang dihadapannya. Bukan pula Aji dan Bagas, lalu siapa yang ada di dalam foto
itu? Apa Tara membohongi pakai foto orang lain? Pokoknya harus segera
diselesaikan masalah ini. Sofi sudah cukup kesal bertemu sepupunya, apa kata
dia nanti kalau membocorkan pada ibunya kalau Sofi berpacaran dengan Tara. Otak
Sofi sudah buntu, rasanya ingin marah telah ditipu oleh orang disangnya yaitu
Tara.
“Kamu tega ya
Tar!! Udah bohongin aku!!” kata Sofi sengit.
“Bohongin apa?”
Dahi Tara mengernyit, belum mengerti maksud dari Sofi. Aji dan Bagas menatap
bengong melihat reaksi Sofi yang berlebihan. Padahal Aji itu hanya bercanda
tetapi Sofi menanggapi beda.
“Pertama kamu
nggak bilang, yang kita temui Aji. Kedua mana cowok yang fotonya kamu tunjukan
berapa hari lalu?” Sofi masih saja berang.
Tara lekat-lekat
mendengarkan Sofi. Begitu Sofi selesai berbicara, Tara tidak langsung
menanggapi malah tertawa. Terang saja Sofi semakin berang, bukannya menjelaskan
malah tertawa terbahak-bahak. Aji dan dan Bagas hanya tersenyum-senyum karena
sudah paham atas kesalahpahaman Sofi.
“Sori....sorriiii.”
Tara mengatur nafasnya untuk mengontrol rasa geli melihat Sofi marah nggak
jelas. “Aku nggak tau kalau Aji itu sepupu mu, kamu juga nggak pernah ngenalin
Aji ke aku. Lalu foto yang aku tunjukin itu Bagas.”
“Bagas?” seakan
Sofi masih belum percaya. Wajah Sofi mendekat ke Bagas dan memandang penuh
selidik. “Tapi beda banget sama yang ada di foto, Tar.”
Kali ini Bagas
dan Aji yang tertawa melihat Sofi yang kebingungan sekaligus menahan marah.
“Gini Sof. Foto yang kamu lihat itu beberapa hari lalu setelah Bagas cukur
jenggotnya. Sekarang brewoknya udah banyak lagi.” Bagas menjelaskan dengan
sabar.
Belum tuntas
rasa penasaran. Wajahnya kembli mendekati muka Bagas yang ada hadapannya.
Dengan teliti memeriksa setiap inci wajah Bagas yang tampak gagah karena ada
brewoknya. Tetapi setelah diperhatikan secara seksama ada kemiripan di mata dan
bibir antara Bagas dengan yang di foto.
Tangan Aji
mengahalau pandang Sofi yang sedang serius menatap Bagas. Lalu mengucapkan,
“Hus jangan kelamaan liat pacar ku nanti kamu naksir,hhhhh.” Bagas hanya senyum
saja melihat kelakuan jail Aji, mungkin sudah terbiasa Bagas di jahilin Aji.
Sofi sih sering juga kena jahil Aji tapi kan dalam kondisi yang berbeda pula.
Sofi langsung
duduk lagi. Sepertinya udah agak percaya kalau yang di depan adalah “calon
suami”nya. Fikiran Sofi kembali melayang orang yang ada di hadapanya adalah
bakal yang menjadi suaminya kelak, ya kalau jadi rencana gila itu. Dari pada
terus membanyangkan yang tidak-tidak Sofi langsung to the point pada
permasalahan.
“Jadi, Bagas ini
yang akan menjadi suami ku?” tanya Sofi tenang tetapi bernada agak mengejek.
Tara hanya
mengangguk. Aji sendiri tersenyum manis. Namun Bagas tidak terima atas
pernyataan sekaligus pertanyaan dari Sofi, “Belum pasti juga Sof, aku jadi
suami mu. Ini kan baru rencana yang menurut ku sedikit gila!! Slow down, kita
omongin bareng-bareng dengan pelan,” Bagas menanggapi dengan tenang, karena tau
Sofi masih belum bisa menerima rencana ekstrim ini.
“Iya, Sof.
Kemarin itu aku ngobrol-ngobrol sama Aji and then tercetuslah ide “kamuflase”.
Sekarang ini kita disini ngomongin mekanisme kamuflase,” Tara ikut menambahkan
omongan Bagas sekaligus memperjelas duduk permasalahannya.
Sofi semakin
pusing mendengar kata “mekanisme kamuflase”. Padahal dirinya juga belum
menyetujui ide ini. Dirinya hanya tau diajak Tara untuk ketemu yang mungkin
sapa tau jadi suaminya. Hanya untuk berkenalan saja, tidak lebih dari itu.
Tetapi sekarang yang ada dihadapinnya sudah menuju tahap mekanisme, seakan-akan
rencana ini akan segera dijalankan. Merasa terjebak itulah perasaan Sofi.
Terjebak suatu keadaan yang absurd.
MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase
Wednesday, 20 November 2013
Ingin Pulang
Malam ini Nanda
akan melakukan balas budi pada seseorang yang nggak dikenalnya. Berkat orang itu
Nanda lolos dari maut. Cuma yang jadi masalah Nanda tidak tahu orang itu
tinggal dimana.
Nanda hanya
mengingat dirinya kecelakaan di jalan
arteri dekat daerah Kali Banteng. Dirinya ditolong oleh seorang remaja, dia
yang mengantarkan Nanda sampai rumah sakit dengan mengendarai motor. Kunci
motor Nanda pun dititipkan pada perawat rumah sakit. Nanda memenggapnya sebagai
malaikat betapa baiknya dia. Bila saja dia memang ada niat jahat bisa membawa
lari motor Nanda. Sebagai rasa terima
kasih Nanda bertekad untk membalas budi. Namun remaja itu sekarang entah ada
dimana, yang Nanda tau dia adalah anak punk.
Pencarian itu
dimulai dari sekitar jalan arteri, tetapi tidak ada, di lanjutkan ke Kali
Banteng hasilnya nihil juga. Beberapa kali Nanda memutari Tugu Muda, sama saja
suasananya sepi tidak ada anak jalanan. Tujuan selanjutnya jalan Pemuda sebelum
pasar Johar, ada beberapa kerumunan anak punk di terotoar. Nanda turun dari
mobilnya mencoba mendekati kerumunan anak punk tersebut, ternyata tidak ada
juga remaja yang di carinya. Kata mereka, kelompok punk lainnya suka ngumpul di
kawasan kota lama dekat stasiun Tawang.
Nanda bergegas
menuju Stasiun Tawang yang tidak jauh dari Pasar Johar. Baru sampai jembaan
Berok yang menju Kota Lama ada sekumpulan anak punk. Semoga ada anak tersebut,
harapan Nanda. Dari luar mobil Nanda mengamati gerombolan tersebut. Ada seorang
anak punk yang sadar kelompoknya sedang diamati, lalu anak tersebut menghampiri
Nanda.
“Ngopo mas
ndelok-ndelok –kenapa mas liat-liat-?” tanya anak itu penuh selidik.
Nanda jadi kaget
melihat reaksi anak itu yang biacaranya keras. “Nggak ada apa-apa saya sedang
cari anak punk, tetapi saya nggak tau namnya siapa,” jawab Nanda terus terang.
“Lah arep ngopo
karo de’e –mau ngpain sama dia-? anak punk tersebut semakin menelisik.
“Ada perlu sama
dia,” jawab singkat Nanda agar tidak semakin jauh perecakapannya. Nanda juga
sudah bersiap untuk meninggalkan kerumunan.
Langkah Nanda
terlambat karena anak tersebut mengeluarkan sebuah pisau, lalu di todongkan di
leher Nanda. “Ndi dompete -mana dompetnya-?“ keringat dingin Nanda mengucur
ketakutan, dirinya telah menjadi korban penodongan. “Cepetan!!” Anak tersebut
menggertak.
Tangan Nanda
gemetaran saat mencoba merogoh saku belakang calananya alhasil jadi meleset
terus. Sekalian buat mengulur watktu sambil memikirkan cara meloloskan diri,
namun tak ada ide yang menyangkut untuk kabur dari todongan pisau. Nanda
dikelilingi 5 anak punk jadi sudah tidak mungkin untuk meloloskan diri.
Disaat dompet
akan diserahkan, terdenger suara langkah lari yang menuju kerumunan tersebut,
tetapi Nanda tidak bisa lihat siapa yang datang karena terhalang para
berandalan. Salah satu dari mereka ada yang mengok, “Ono macan –ada macan-.”
Seketika itu juga mereka langsung lari tunggang langgang. Dalam batin Nanda
“Mampus sudah, para kucing ini lari malah yang datang macan pasti akan lebih
buruk.”
Langkah kaki itu
semakin medekat, dalam imajinasi Nanda pasti yang akan datang itu seorang
preman yang tinggi dan besar. Ternyata yang ada dihadapan Nanda seorang anak
remaja badannya sedang dan tidak begitu tinggi.
“Loh om koq
disini ngapain?” tanya anak itu heran.
“Syukurlah kamu
datang tepat pada waktu. Aku jadi hutang budi kamu dua kali.” Nanda segera
mengenali anak yang hadapannya.
“Its ok. Tetapi
kenapa om disini? dan kenapa berurusan sama anak-anak itu?”
“Saya sedang
cari kamu, saya mau membalas budi.”
Dahi anak itu
mengernyit, ”Balas budi untuk apa?”
“Pertama kamu
telah menolong aku waktu kemarin kecelakaan. Lalu sekarang kamu nolong aku
lagi.”
“Ouh itu, aku
iklas koq om. Beneran, sumpah!! Jadi nggak ada balas budi segala,” anak punk
ini menolak dengan halus.
“Tapi beneran
aku nggak enak sama kamu kalo kayak gini. Aku Cuma ngajak kamu makan malam di
rumah ku aja koq. Ayolah mau ya?” Nanda memohon sebenarnya sih memaksa.
“Baik lah.” Anak
itu menyanggupi ajakan dari Nanda.
Keduanya naik
mobil, lalu kembali berjalan menuju rumah Nanda yang ada di kawasan Papandayan.
Anak disebelah Nanda terlihat bajunya kumal tetapi yang buat heran kulitnya
bersih berwarna coklat terang. Berbeda dari para gelandangan lainnya yang
terlihat kotor. Jelas terlihat berbeda dengan gelandangan lainnya adalah
kelakuan dia yang baik hati.
“Oh ya nama kamu
siapa?” tanya Nanda.
“Bima, om.”
“Aku Nanda,
selamat kenal,” cetus Nanda. Bima hanya membalas dengan anggukan.
Sepanjang
perjalanan mereka hanya diam. Mungkin masih ada perasaan canggung untuk
mengobrol bagi Bima. Namun buat Nanda semua pertanyaan itu akan dimuntahkan
kalau sudah di rumah dan dalam kondisi santai. Diam-diam Nanda mempehatikan
Bima, dia bukan seperti anak punk lainnya meski memakai baju serba hitam tetapi
rambut dia tidak dibuat dengan gaya Mohawk. Sekilas Nanda melihat ada
smartphone di tangan Bima, pasti bukan anak punk biasa. Nanda menduga apa itu
hasil dari rampasan, tetapi sepertinya bukan karena dia bukan berandalan yang
nakal. Bila mau berbuat nakal bisa saja waktu kecelakaan Bima merampok dompet
atau motornya.
Akhirnya sampai
juga setelah 30 menit perjalanan. Sesampainya dirumah, Nanda memerintahkan
pembantunya untuk menyiapkan makanan. Sembari menunggu makanan disiapkan Nanda
mengajak ngobrol Bima.
“Kenapa waktu
itu kamu mau menolong saya?” Hal inilah yang selama ini menjadi pertanyaan
besar di benak Nanda.
“Waktu itu cuma
inget kakak. Dulu pernah kecelakaan motor dan akhirnya meninggal,” jawab dia. Kepalanya
tertunduk.
“Ouh, maaf. Tapi
makasih banget kamu udah nolongin saya.” Nanda jadi bersimpati pada cerita Bima
soal kecelakaan kakaknya. “Kalau boleh tau kecelakaan kenapa?”
“Biasalah
remaja, dia suka balapan liar. Di rumah nggak ada yang perhatiin.” Kepala Bima
mendongak tetapi tatapannya kosong seperti menerawang, membayangkan kakaknya
yang sudah meninggal.
“Sebelumnya
minta maaf. Saya mau tanya tetapi kalo Bima tidak berkenan untuk menjawabnya
nggak apa.”
“Tanya aja nggak
apa koq.”
“Kenapa waktu
itu setelah nolong saya motornya nggak di ambil aja?” Nanda langsung pada pokok
pertanyaan.
Bima menengok
kearah Nanda yang ada disebelahnya. Wajahnya memerah, sepertinya dia sedang
berusaha menahan marah. “Saya memang anak jalanan tetapi saya tida mau menjadi berandalan,”
intonasi Bima agak naik mungkin karena tersinggung pada pertanyaan Nanda. “Saya
juga ingin mendapatkan uang yang halal untuk tubuh ku ini.” Pada kalimat yang
kedua nadanya tidak setinggi yang pertama.
Keduanya kembali
membisu. Nanda takut kalau pertanyaan berikutnya akan kembali membuat dia kesal
bisa jadi dia malah kabur. Bima sendiri masih kesal kenapa hal itu di ungkit
lagi padahal sudah dijelaskan waktu awal kalau dirinya adalah anak jalan yang
berbeda dari yang lain. Tapi sudahlah namanya juga baru kenal pasti banyak hal
yang belum diketahui. Bima juga tidak ingin merusak suasana malam ini dengan
pertengkaran.
Pembantu Nanda
memberitahu makanan sudah siap santap. Nanda mengajak Bima menuju ruang makan
yang tidak begitu luas tetapi punya pemandangan yang indah karena langsung
menghadap kelip lampu kota Semarang yang ada dibawah. Rumah Nanda ada di tepi
tebing jadi bisa terliahat pemandangan kota Semarang.
Dimeja makan
mereka duduk berhadapan.
“Asal kamu dari
mana Bim?” Nanda memulai obrolan untuk mencairkan suasana.
“Dari Jogja om,”
Bima hanya menjawab dengan singkat.
“Udah lama jadi
tinggal dijalanan?” tanya Nanda hati-hati.
“Belom sih om,”
masih saja Bima menjawab dengan singkat.
“Pantas saja
kulitnya bersih, kirain ikut perawatan,hehehe” Nanda mencoba bercanda agar
tidak terlalu tegang.
Bima hanya
tersenyum, setelah dia selesai mengunyah diar baru ngomong. “Aku baru dua tahun
om tinggal dijalanan. Perawatan sih nggak hanya rajin mandi saja dan jarang
keluar siang.”
“Udah lumayan
lama donk di jalanan. Tapi bagus lah walau tinggal dijalanan tetap jaga
kebersihan.”
“Inilah kenapa
aku berbeda dengan yang lain om. Aku nggak mau jadi anak jalanan seperti yang
lain kumal, kotor, dekil dan lain-lain itu. Wajib untuk menjaga kebersihan biar
tetap sehat.”
Nanda jadi
terperangah mendapat jawaban Bima yang panjang mengenai konsep hidupnya dalam
kebersihan. Hal ini membuat Nanda semakin penasaran siapa sebenarnya Bima. Rasa
keinginan tahuan Nanda membuat nafsu untuk terus mengorek siapa sebenarnya
Bima. Sepertinya dia dari kalangan yang berada sebelum turun kejalanan.
“Kalau boleh tau
kenapa Bima keluar dari rumah?” sekali lagi Nanda bersiakap hati-hati karena
memumulai dengan topik percakapan yang baru dan sensitif.
“Hmmm” Bima
menggumam tanda sedang ragu untuk memutuskan akan bercerita atau tidak.
Kemudian Bima kembali mengluarkan suara lagi. “Hhhmm soalnya…..” Bima kembali
memotong ceritanya. Terlihat Nanda sudah antusias akan mendengar cerita yang
seru. Bima jadi tidak enak kalau membatalkan untuk tidak bercerita, “Aku hanya
nggak betah ajah dirumah gimana ya….., pokoknya nyebelin gitulah.”
Nanda bernafas
lega karena Bima sudah mau terbuka pada dirinya. Tetapi setelah mendegar cerita
dari Bima, jadi nggak enak hati karena seperti membuka luka yang mungkin perih
buat Bima. “Kenapa begitu?”
“Aku jujur ya
om. Aku anak orang kaya. Tapi…,” ucapan Bima terpotong.
“Om tau koq,”
Nanda menanggapi dengan enteng karena dugannya benar.
“Dari mana om
tau?”
“Tuh kamu punya
smarthphone.” Nanda menunjuk smarthphone yang ada di meja.”
Bima tersenyum
kecut sambil memasukan smarthphonenya kedalam saku baju. “Meski aku anak orang
kaya. Tapi sepertinya orang tua nggak pernah menganggap punya anak,” suara Bima
tercekat diakhir kalimatnya dan ingin memperbaikinya. “Aku sama kakak seperti
nggak pernah dapat perhatian dari mereka. Tugas mereka cuma memberikan materi
setiap bulan, kita dikasih uang jutaan tapiiii….” Bima tidak sanggup lagi untuk
bercerita lebih banyak. Nafsu makannya hilang seketika ketika mengingat orang
tuanya.
Nanda memandang
Bima dengan iba. Namun Nanda masih saja menanyakan hal yang sensitive. “Terus
apa yang membuat mu keluar dari rumah?”
“Aku benci sama
ayah,” intonasinya meninggi seperti ada kemarahan yang tertahan. “Waktu lulus
SMP aku ingin melanjutkan ke SMK seni tetapi dilarang dengan alasan nggak
jelas. Aku dimasukan sekolah favorit, dan distu aku di bully. Aku lapor ke ayah
tetapi ayah menganggapnya hanya sebagai kenakalan remaja.” Tampak ada sorotan
mata yang marah dari Bima.
“Kamu nggak
bilang sama ibu?”
“Sama kayak
ayah. Mereka itu jarang ada di rumah. Ayah keluar kota urusan bisnis sedang ibu
layaknya ibu-ibu sosialita hobi jalan sana sini nggak jelas. Dari situ aku
berfikir apa bedanya aku dengan anak jalanan, sama-sama nggak dapat perhatian
dari siapapun. Pikiran itu muncul setelah kakak meninggal, satu-satunya orang
yang perhatian sama aku pergi.” Emosi
Bima mereda ketika membicarakan kakaknya. “Kakak meninggal juga karena mereka.
Tidak ada yang memperhatikannya. Yang buat heran setelah kepergian kakak,
mereka nggak sadar, tetap saja mereka sibuk dengan urusan masing-masing.”
“Terus kamu
memutuskan untuk pergi dari rumah?” Nanda masih saja belum puas cerita dari
Bima karena belum menemukan jawaban yang tepat.
“Iya, palingan
mereka juga nggak peduli kalau aku pergi. Di rumah aja nggak pernah dianggap
ada, pasti ya kalau pergi mereka nggak peduliin. Buktinya kakak meninggal
mereka masih cuek saja.”
“Setelah sekian
tahun kamu meninggalkan rumah. Apa kamu masih marah sama orang tua mu?”
“Rasa marah ada,
tapi….” Bima masih ragu akan ucapannya dan nampaknya akan memperbaiki namun
masih mencari-cari kata yang tepat. “Bukan gitu, mungkin sekarang sudah nggak
marah tetapi rasa kecewa itu masih membekas, jika ingat kakak gejolak marah itu
bangkit lagi.” Bima menghembuskan nafas panjang di akhir perkataannya
menganggap sudah benar apa yang barusan diucapkannya.
“Emang orang tua
kamu nggak pernah dirumah sekalipun?” Nanda masih saja menelisik kondisi
keluarga Bima.
“Aku ketemu ayah
sama ibu itu jarang banget om. Kadang seminggu tiga kali, malah pernah sebulan
cuma sekali, itu pun hanya sebentar aja. Misalnya mereka seminggu dirumah, kita
ketemu pas sarapan. Rasanya seperti sarapan direstoran, hidangan tersaji dengan
lezat tapi kita makan bersama orang yang nggak dikenal, karena diam seribu bahasa.
Kadang ada obrolan sih tapi juga bukan obrolan keluarga, malah membahas keadaan
ekonomi yang memburuklah, anggota DPR korupsi. Nggak pentingkan?”
Nanda tidak
menaggapi pertanyaan itu. “Kamu sekarang umur berapa?”
“Baru 17, aku
keluar rumah kelas 10, harusnya sekarang udah kelas 12.” Bima malah menjelaskan
lain, tapi tak apalah tandanya dia sudah benar-benar terbuka.
Rasa puas Nanda
baru setengahnya saja karena Bima sudah komplit menjelaskan alasan kenapa dia
bisa keluar dari rumah. Semakin iba mendengar cerita Bima. Remaja sebelia itu
sudah mendapatkan banyak masalah. Maaf diralat masalahnya sedikit tetapi karena
kurang perhatian dan merasa kesepian. Dia hanya mencari dunianya di luar tembok
keluarga.
Rencana awal
setelah makan malam usai Nanda akan mengantarkan Bima ke tempat awal bertemu,
namun niat itu ditunda karena Nanda masih penasaran kehidupan Bima di jalanan.
Sepertinya bakal ada yang lebih menarik lagi mendengarkan cerita putualangan
Bima. Sekarang Nanda menggiring Bima ke teras rumah dengan pemandangan kelip
lampu kota Semarang. Sengaja Nanda membawa kesini agar lebih santai untuk
bercerita.
Di teras mereka
duduk bersebelahan yang dipisah meja kecil untuk menaruh minuman dan cemilan
yang sudah disediakan oleh pembantunya Nanda. Terlihat Bima mengagumi
pemandangan yang ada hadapannya, akan tetapi tatapannya kosong seperti
memikirkankan sesuatu.
“Hei, koq
ngelamun,” Nanda membuyarka lamunan Bima. “Mikirin apa emang?”
“Cuma kangen
sama kakak aja. Entahlah berapa hari ini selalu mimpi kakak,” Bima menjawab
pertanyaan Nanda. Matanya masih kosong.
“Itu berarti
kakak pengen di tengokin Bima,” Nanda menanggapi seadanya saja.
Sekilas senyum
Bima mengembang, “Gitu ya? udah lama juga sih nggak ke kuburan kakak.”
“Kamu deket ya
sama kakak?”
“Nggak juga sih,
tapi waktu kecil selalu main sama dia.”
“Oh ya gimana
rasanya setelah Bima ada di jalanan?” Nanda membelokan topik karena masih
penasaran kisah Bima di jalanan.
Sebelum memulai
cerita, Bima minum teh hangat terlebih dahulu. Mungkin sebagai pelumas kerongkongan
,dan bisa jadi bakal ada cerita yang panjang. Disamping Bima ada Nanda yang
antusias siap mendengarkan aksi petualang dari Bima.
“Apa yang kamu
rasakan setelah keluar dari rumah?” Nanda mengulang pertanyaan lagi.
“Pertama
bingung, mau ngapain juga dijalanan. Tetapi aku merasa bebas,” Bima memulai
ceritanya, diakhir kalimat ada senyum kemenangan. “Saya sempat terkatung-katung
berapa hari terus ada segerombolan anak punk ngajak gabung. Jadilah aku ikut
mereka keliling pulau jawa.”
“Bebas gimana?”
Nanda masih belum mengerti maksud “bebas” bagi Bima.
“Ya bebas, bisa
menjadi diri sendiri tanpa bayangan dari ayah.”
“Terus untuk
biaya hidup gimana?” tanya Nanda.
“Awalnya aku
pakai uang tabungan tapi saya nyadar lama-lama akan habis jadi mending di
simpen saja. Terus ya saya kerja ngamen atau jadi tukang parkir.”
“Bukannya di
jalanan itu hidupnya keras?”
“Dari situlah
saya sadar ,bully disekolah itu ternyata belum seberapa di banding dengan bully
di jalanan.” Wajah senang itu lenyap. Mungkin Bima masuk ke cerita kelamnya
lagi. “Di jalanan itu hidup lebih keras. Saya pernah, maaf bukan pernah lagi
tapi sering di palak waktu baru terjun di jalan.”
“Terus apa yang
kamu lakukan?”
“Siapa yang bisa
bertahan dialah harus berani. Saya nekat untuk melawan, awalnya babak belur tetapi
saya mencoba bangkit lagi dan terus berusaha menjadi penguasa.” Ingatan Bima
kembali kemasa lalu. Masih ingat betul ketika Bima habis menghitung uang hasil
jerih payah mengamen seharian tiba-tiba didatangi dua orang preman dengan
tampang beringas merampas uang yang ada ditangan Bima. Awalnya takut untuk
mengambil lagi namun perut sudah keroncongan dengan kenekatan Bima memungut
balok yang ada di dekatnya lalu mementung kedua preman tersebut. Itulah titik
balik dari keberanian Bima menantang kerasnya hidup.
“Berarti
sekarang kamu jago berantem donk?” Nanda penasaran kehebatan Bima.
“Nggak juga lah
om, saya berantem kalau terpaksa saja. Saya nggak ingin jadi pereman om.” Bima
hanya merendah. Memang tujuan Bima turun kejalanan bukan untuk jadi preman. Hidup
dijalanan menuntut jago berantem, hanya sekedar membela dan melindungi diri.
Nanda mengangguk
setuju dengan pemikiran Bima, meski hidup dijalanan tetapi tidak harus menjadi
preman. Masih banyak yang bisa dilakukan selain jadi preman. Nanda masih ingin
tau kegiatan Bima. “Maaf sebelumnya kalau kamu nggak jadi preman apa yang kamu
lakukan untuk dapetin duit?” Nanda menanyakan dengan hati-hati karena takut
akan menyinggung Bima lagi.
“Ya jadi seniman
jalanan.” Bima tersenyum pada Nanda tanda tidak tersinggung. “Awalnya saya jadi
pengamen terus pas di Bandung saya diajak teman ke rumah singgah. Dari situ belajar
main musik dan main teater juga.”
“Wih keren donk
jadi pemain teater, pasti sekarang jago acting,” puji Nanda untuk menyenangkan Bima
maksudnya sih biar Bima semakin terbuka.
“Dulu kan saya
maunya masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sekarang jadi SMK N 1
Kasihan) jurusan teater tapi bokap sama nyokap ngelarang. Terus pas di bandung
malah dapet latihan teater gratis.” Ada kesenangan dibalik suaranya, sepertinya
Bima telah menemukan dunianya.
Memang dari kecil
Bima suka sekali dengan akting semaking besar bertambah pula cinta dengan seni
peran. Bagi Bima sudah lelah menjadi dirinya saat itu yang terkekang oleh
kehendak orang tuannya, apa yang dimau orang tuanya harus dilaksanakan tanpa
memperhatikan apakah Bima menyukai atau tidak. Dengan berakting Bima menjadi
karakter orang lain sesuai dengan perannya atau Bima juga bisa menentukan peran
apa yang dimau terlepas dari Bima yang sesungguhnya. Di teater Bima bisa
melepas energi negatifnya bila sedang marah bisa mengambil peran antagonis yang
bisa membuatnya marah-marah secara nggak langsung.
“Bagus lah,
pernah manggung dimana aja?” Nanda masih saja bersemangat mendengarkan cerita,
seakan mengikuti petualangan bersama Bima. Nanda juga enggan berkomenatar
terlalu banyak karena takut salah ucap membuat Bima tersingnggung.
“Banyak sih om,
panggung kita tuh trotoar. Kita bermain teater mengeksprisikan kegetiran orang
pinggiran sebagai kritik sosial. Tapi sayang juga para pejabat busuk itu nggak
ngeliat yang ada malah kita diuber-uber Satpol PP. Untungnya dari dewan seni
Jawa Barat malah mendukung kita, kita sering diajak pentas keluar daerah. Dari
situ saya dapat uang meski cuma seberapa tapi cukuplah,” Bima menceritakan
pengalaman bermain teaternya dengan semangat.
Berkat teater
juga Bima setengah keluar dari dunia jalanan karena setiap malam sanggar
tersebut tutup jadi tidak bisa tiduran disitu. Latihan teater juga tidak setiap
hari kecuali kalau mau ada pentas. Tempat Bima berteduh lainnya adalah masjid
atau tempat umum apa saja yang bisa. Itulah dunia jalanan yang Bima lalui,
bersaing mencari tempat untuk berteduh. Sering kali disaat sudah mendapatkan
yang dirasa nyaman, di tengah tidur yang lelap di usir. Terpaksa Bima berpindah
tempat mencari lagi tempat yang dirasa nyaman.
Di luar cerita
kelam Bima yang berjuang mencari tempat yang nyaman untuk tidur Nanda sudah
sangat mengagumi Bima. Nanda melihat kegigihan Bima untuk mencapai mimpinya
menjadi seorang aktor meski mengorbankan hidup nyaman di istana megahnya di
Jogja. Nanda jadi berfikir, belum tentu dirinya dapat menjalani kehidupan liar
di jalanana apalagi diusia sebelia itu. Waktu seumuran Bima, Nanda malah sedang
memperssiapkan kuliah di luar negeri.
Lamunan Nanda
buyar ketika Bima menggilnya, “eh kenapa?”
“Nggak apa om
ngelamun gitu kirain gak dengerin aku.”
“Dengerin koq. Tadi
lagi merenung, aku belum tentu sekuat itu untuk hidup dijalanan. Jangankan di
usia kamu yang masih muda, sekarang pun saya belum tentu bisa melakukannya,”
Nanda memberi alasan sambil memandang kagum pada Bima.
Bima hanya
tersenyum kecil. “Siapapun bisa
melakukan kalau sudah kepepet dan nggak ada pilihan.”
Kata-kata yang
barusan di ucap Bima merasuk dikalbu Nanda. Memang benar apa yang dikatakan
Bima, jika sudah kepepet pasti kita bisa melakukan. Sering kita menyebutnya itu
adalah suatu mukzizat karena secara nalar manusia hal tersebut tidak bisa
dilakukan, tapi berkat Tuhan semuanya menjadi bisa. Nanda jadi merasa beryukur
waktu remaja nggak mengalami masalah sepelik yang Bima hadapi.
“Saya rasa berat
banget ya kehidupan kamu?” Nanda mengambil kesimpulan dari cerita Bima.
“Memang berat
tapi mau gimana lagi, ini udah jadi keputusan saya. Mau mundur nggak bisa, sory
bukan nggak bisa tapi saya nggak mau. Jadilah saya jalani dengan senang hati,”
Bima hanya memberikan tanggapan seadanya saja. Pada kenyataannya memang seperti
itu, jika hadapi dengan senang pasti nggak akan terasa berat.
Bima bangkit
dari tempat duduknya berjalan menuju kolam renang yang ada hadapannya. Tanpa
canggung lagi Bima melepas baju dan celana panjangnya lalu loncat ke kolam
renang. Dari kejauahan Nanda hanya senyum pada Bima. Membiarkan merasakan
sejuknya air kolam renang, sapa tau Bima bisa merasa lebih rileks. Bima
terlihat sangat senang, wajar saja kerena selama ini dia mandi ditempat umum
atau tetesan air hujan yang membasahi tubuhnya karena tidak mendapat tempat
untuk berteduh.
Sepertinya seru
juga ikutan gabung dengan Bima. Sapa tau dengan berenang dapat menyegarkan
pikiran, Nanda juga merasa penat dengan masalah yang dihadapi. Nanda bergegas
melepas bajunya lalu loncat ke kolam renang. Kedua orang tersebut sekarang
sedang bersenang-senang melepas kegundahan hatinya sementara.
Nafas Nanda
terengah-engah karena sudah tidak kuat lagi untuk lomba renang. Sekarang hanya
bersandar ditepian dinding kolam. Bima yang berdiri di seberang Nanda berenang
kembali menghampiri Nanda.
“Gimana udah
segar?” tanya Nanda.
“Lumayan om,
maklum belum mandi dua hari,hahahaha,” jawab Bima sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Saya mau tanya
lagi boleh nggak?” Nanda minta izin untuk bertanya, untuk menjaga perasaan Bima
yang mungkin merasa terintrogasi.
“Tanya aja,”
Bima mengizinkan Nanda, tanpa ketinggalan senyum itu mengembang lagi.
“Apa yang kamu
dapetin setelah hidup di jalanan?” raut wajah Nanda serius. Inilah inti dari
semua percakapan yang tadi berlangsung.
Bima tidak
langsung menjawabnya. Matanya menerawang kosong mungkin sedang mencari jawaban
yang tepat. Nanda juga memberi waktu pada Bima untuk memikirkan jawabannya.
“Hhhmmm,” sepertinya Bima sudah siap untuk menjawab pertanyaan. “Banyak sekali
pelajaran yang aku dapetin dari “perjalanan” hidup,” Bima terlihat senyum
sendiri. “Yang jelas saya bisa mersakan hidup sebenarnya berjuang keras untuk bertahan hidup. Memahami
kejamnya hidup ini. Mungkin itu semua jawaban klise. Saya banyak belajar dari
orang-orang yang saya temui. Pada awalnya saya merasa orang paling nelangsa
dengan kehidupan menjadi orang kaya tetapi haus kasih sayang, namun ternyata
apa yang kurasakann itu nggak ada apa-apanya dibanding mereka yang dari lahir udah jadi orang miskin.
Dari bayi mereka sudah merasakan
kejamnya dunia. Berkat mereka juga, saya belajar untuk bersyukur masih diberi
kehidupan walau dengan cara “seperti ini”.” Perkataan Bima bernada tegas seolah tegar telah
menghadapi berbagai macam rintangan dalam hidupnya.
“Waw,” hanya itu
tanggapan dari Nanda karena saking kagum dan bingung mau berkomentar apa lagi.
“Terus rencananya Bima mau ngapain lagi?”
Bima mengangkat
kedua bahunya tanda tidak mau melakukan apalagi, “belum tau om mau ngapain.
Pengen keluar bertualang ke kota lain lagi cari pengalaman lain pasti seru
dech.”
“Bima di Semarang
ngapain?”
“Ya itu cari
pengalaman kan kemaren abis dari Surabaya terus ngikut kereta nyampe sini.
Mampir ke rumah singgah yang di Semarang. Ternyata disini jauh berbeda
kegiatannya kurang, rencana sih mau disini dulu, mau bantu-bantu rumah singgah
biar lebih bagus lagi.”
“Ouh gitu bagus
lah… Semoga sih apa yang kamu usahakan bermanfaat, nanti saya bantu sebisanya,”
cetus Nanda tulus. Berkat Bima anggapan Nanda tentang anak jalanan telah
berubah. Awalnya Nanda berfikir semua anak jalanan itu pasti preman, namun Bima
telah merubah persepsi seperti itu. Ternyata masih ada anak jalanan yang baik
dan mau membantu orang lain untuk lebih baik lagi.
Kini keduanya
diam karena Nanda sudah kehabisan pertanyaan. Setelah semakin dekat dengan
Bima, ada keinginan Nanda untuk membantu anak jalanan. Mereka masih punya mimpi
untuk hidup lebih baik meraih mimpinya, tetapi mereka terkendala oleh biaya. Buat
makan saja susah apalagi untuk sekolah, jadi yang ada mereka mengubur
cita-cita. Mereka hanya bisa memandang orang-orang yang berlalulalang yang
dianggapnya telah sukses. Sebenarnya mereka bisa maju bila mereka punya
pendidikan tetapi sayangnya di Indonesia untuk menjadi berpendidikan harus
mengeluarkan uang yang banyak. Memang sekarang sekolah negeri gratis tetapi
mereka juga tidak bisa mengenyam pendidikan itu karena mereka di paksa orang
tuanya untuk bekerja, mengais rupiah untuk kebutuhan orang tuanya.
“Om tinggal
sendirian disini?” tanya Bima membuyarkan lamunan Nanda.
“Ehh, iya,
sendirian,” Nanda menjawab singkat karena kaget. “Sebenarnya cerita kamu hampir
sama yang saya alami,” ucap Nanda memulai cerita masa lalunya. “Saya merasa
terkekang nggak bisa ngapa-ngapain. Rasanya iri lihat teman bisa asik bermain
kesana kemari, sedangkan saya hanya di rumah belar dan mengikuti berbagai macam
kursus yang tak pernah kusuka.”
“Terus om
ngapain?” tanya Bima penasaran kisah dari Nanda.
“Ya nggak
ngapa-ngapain. Karena saya nggak bisa memberontak seperti kamu. Saya ikutin
saja apa kata orang tua,” suara Nanda lirih seakan pasrah pada keadaan yang
telah membelenggunya. Waktu itu Nanda hanyalah remaja biasa yang belum tahu
apa-apa jadinya menurut apa kata orang tua. Dirinya tidak berani memberontak
karena akan mendapat hukuman dan itu adalah suatu bencana buat Nanda. Dia
membayangkan bila hukumannya di usir dari rumah ,pastilah tamat riwayatnya.
Itulah imjanasi yang berlebihan dari masa remaja Nanda.
“Terus apa om
bahagia mendapat perlakuan seperti itu?” tanya Bima serius sambil memandang
Nanda.
“Apa sekarang
kamu bahagia setelah keluar dari rumah?” Nanda malah balik bertanya pada Bima.
“Hhmmm,” Bima
masih memikirkan jawabannya sambil memandang kedepan. “Entah lah om. Sekarang
sih merasa bebas saja,” jawab bima ragu.
Nanda menengok ke Bima, di ikuti juga Bima
memandang Nanda. “Begini, kita bisa merasa bahagia ketika sudah iklas melakukan
sesuatu dan bersyukur meski hasilnya kurang memuaskan, lebih baik lagi sih
kalau hasilnya bagus juga,” Nanda menjelaskan arti kebahagiaan menurut versinya
sendiri. Dilanjutkan Nanda cerita tentang masa lalunya, “saya merasa awalnya tertekan dengan perlakuan
orang tua seperti itu, tapi saya berusaha menikmati alurnya. Dan sayang
berusaha berfikir positif, orang tua
melakukan seperti itu untuk kebaikan saya juga. Saya bersyukur bisa sekolah di
tempat bagus apalagi diluar negeri. Saya merasa bahagian itu sekarang. Ketika
masa berat itu telah terlewati karena saya mendapat hasilnya sekarang.”
Bima hanya
mengangguk saja, tetapi otaknya sedang mencerna apa yang barusan dikatakan
Nanda. Ada sedikit ketidak setujuan dengan Nanda, “tapi om, gimana saya bisa
iklas kalau keinginan saya tidak dituruti dan saya hanya harus mengikuti
instruksi orang tua?”
“Seharusnya kamu
nikmati saja, intinya kamu harus merasa bersyukur dulu bahwa kamu masih bisa
sekolah di tempat bagus,” Nanda mendebat komentar Bima. “Kamu lebih enak Bim,
orang tua kamu cuma nyuruh kamu disekolah itu selebihnya orang tua kamu cuek.
Harusnya kamu bisa memanfaatkan itu. Waktu luang kamu bisa buat latihan teater
di sanggar seperti yang kamu lakukan sekarang.”
“Tapii……” Bima
berusa membalas argumen Nanda tapi katanya-katanya terpotong lagi.
“Tapia pa?”
tanya Nanda memotong perkataan Bima. Nanda melanjutkan bicaranya, “kita sering
menganggap orang tua kita rese, menyuruh-nyuruh kita seenaknya saja. Padahal
itu adalah untuk kebaikan kita. Tapi sayangnya kita belum bisa berfikir kedepan
maksud dari perintah orang tua kita.
Orang tua kadang juga kurang memahami apa mau kita. Terjadilah miss
communication, kayak kamu sekarang alami. Harusnya sih suatu permasalahan bisa
di bicarakan dari hati ke hati,” Nanda melempar senyum pada Bima agar tidak
terkesan sedang mengguruinya. Bima sendiri terlihat hanya menunduk.
Bima sedang
merenungi semua perkataan Nanda. Ternyata dirinyalah yang telah egois, hanya mengikuti apa yang dimau tanpa
mendengar kata hati yang dalam. Memang waktu membulatkan tekat keluar rumah,
kondisi Bima sedang emosi karena perkataannya tidak didengarkan oleh orang tua.
Bima sendiri waktu itu bingung akan mengadu kepada siapa, jadi Bima hanya bisa
menyimpulkan permasalahannya seorang diri. Keputusan Bima untuk keluar dari
rumah tidak sepenuhnya salah karena masih ada hal positif yang bisa diambil
oleh Bima, dirinya bisa belajar tentang arti kehidupan.
“Bim,” Nanda
mengguncang badan Bima yang terpaku tatapanya nanar dan kosong seperti sedang
menyesali perbuatan yang sangat bersalah. “Are you oke? Maaf bila kata-kata
saya salah,” Nanda jadi tidak enak hati karena telah menasehati Bima.
“Nggak apa koq
om. Semuanya baik-baik saja,” ada senyum menghiasi wajah Bima. “Makasih om udah
membuka hati saya,” kata-kata Bima seperti tercekat karena menahan tangis.
“Bukan salah
kamu, Bim. Tuhan memberikan cara yang berbeda-beda untuk manusia bisa
“belajar”. Bisa jadi ini adalah metode yang tepat untuk kamu “belajar”,” kata-kata
Nanda begitu lembut untuk menenangkan Bima yang sedang kalut.
“Iya om,” jawab
Bima pelan. Ada air mata yang tumpah dipipinya.
Nanda membiarkan
Bima menangis karena dengan cara itu bisa meluapkan emosi yang selama ini
tertahan. Wajah Bima semakin pias ketika air matanya meluncur deras dipipi.
Nanda mengerti apa yang dirasakan Bima saat ini. Ada penyesalan yang
menggelayut dibatin Bima yang telah melarikan diri dari masalah.
“Apa kamu nggak
ingin pulang?” tanya Nanda hati-hati karena ini adalah hal yang sensitif buat
Bima.
Bima menjawabnya
dengan menggeleng. “Kalaupun pulang percuma ayah tidak mau menerima anak yang
nakal seperti saya.”
“Itukan hanya
pemikiran kamu saja. Setiap orang tua pasti nggak mau kehilangan anaknya,”
Nanda menanggapi dengan diplomatis.
“Buktinya
setelah kakak meninggal mereka biasa saja,” meski masih terlihat sedih ada
intonasi meninggi di suara Bima.
“Mereka hanya
nggak ingin memperlihatkan kesedihan itu pada mu, Bim. Saat ini mereka juga
pasti sedih anak semata wayangnya meninggalkan rumah,” Nanda berusaha
membalikan fikiran Bima yang masih agak sedikit marah. “Coba dech kamu telpon
rumah sekarang.”
Nanda keluar
dari kolam renang sambil menarik Bima yang bergeming. Bima masih memikirkan
masalahnya yang pelik. Rasa menyesal itu bercampur pada rasa marah. Dengan
pasrah Bima menuruti Nanda yang setengah memaksa menarik Bima. Sebelum telpon
mereka mandi dulu. Nanda memberikan baju bekas milik keponakannya yang seumuran
Bima.
“Nih telponnya.
Masih ingetkan nomer telpon rumah?” tanya Nanda sambil memberikan telpon tanpa
kabel.
“Masih,” jawab
Bima yakin. Bima diam sesaat lalu dilanjutkan memencet nomer telpon dengan
perlahan. Setelah tuntas memencet, gagang telpon tersebut dilekatkan di pipi.
Bima masih saja diam menunggu telpon diangkat, 10 detik kemudian sepertinya
telpon itu Bima sudah diangkat. “Yah, ini Bima,” tiga kata yang terucap dari
mulut Bima, setelah itu Bima terdiam mendengarkan suara dibalik telpon. Nanda
sendiri tidak bisa mendengarnya. Namun ekspresi Bima tidak terlihat jelas
apakah itu senang, sedih, marah atau apapun. Tatapannya kosong, tubuhnya kaku.
Bima terus mendengarkan suara dibalik telpon itu dan tumpah lah air mata Bima.
Tak lama kemudia Bima mematikan telpon tersebut padahal lawan bicaranya belum
selesai bicara.
Bima nggak tahan
suara tangis ayahnya dibalik telpon. Bukan lagi rasa marah yang menghinggap
Bima, namun sudah berganti pada rasa sedih dan menyesal telah melakukan hal
bodoh meninggalkan rumah. Bima sudah tidak sanggup lagi untuk berfikir
macam-macam.
“Om, saya ingin
pulang,” ucap Bima pilu.
“Oke, sekarang saya
antar kamu ke Jogja,” senyum bahagia terlihat jelas dari Nanda, baginya telah
berhasil membalas budi pada Bima.
Subscribe to:
Posts (Atom)