Sunday 26 April 2015

KUCING


Weekend ini gue sama Ban ada acara ngumpul-ngumpul sama gank rempong. Isinya homo-homo Jogja dari berbagai kalangan. Sebenernya mereka temennya Ban. Gue akui Ban lebih banyak bersosialisasi dengang kalangan homo dengan cara meet and  rumpik. Gue sendiri suka bertemu secara personal alias berduaan saja.

Gue juga makhluk sosial yang masih perlu sosialisasi, bukan berarti gue jadi emak-emak sosialita juga. Acara kumpul-kumpul memang masih perlu untuk berdiskusi. Untuk acara orgy gimana? Kalau itu terserah kalian,hahahhaa. Jadi sesuaikan saja tujuan kalian untuk berkumpul-kumpul.

Sekarang lagi acara ngumpul di Dixie, tempat nongkrong anak gaul Jogja jaman dulu. Hampir semunya gue kenal mereka karena sebelumnya emang udah pernah ngumpul bareng. Ada pasangan yang sedang pacaran, ada yang pacarnya nggak dibawa sisanya adalah jomblo ngenes, termasuk gue dalam golongan itu.

“Rese dech sekarang Grindr jadi tempat jualan,” Andi membuka topik obrolan sambil menggeser-geser jempol di smarthphone. Wajahnya juga keliatan kesal.
“Idih... masih pake gituan, hahahaha,” ledek Ban, diikuti yang lain juga.
“Alaaah elu juga pake koq.” Gue langsung merebut smarthphone Ban yang tergeletak di meja. Kebetulan masih belum ke kunci jadi dengan gampang gue bisa pamerin ke lainnya kalau Ben pakai aplikasi tersebut. Gue ngeliat Ban cuma nyengir kecut.
“Bener tuh disitu udah kayak etalase toko “kucing” aja,” Ta’ul ikut membenarkan pendapat Andi.
“Ganteng sih, tapi tetep aja belagu. Mending beli “kucing” langsung di Pak Hasan,” Yoga ikut nimbrung obrolan ini.
“Gantengkan emang buat modal jualan. Di Pak Hasan pun ganteng-ganteng juga kan?” timpal Wahyu.

Tampaknya akan ada obrolan yang cukup menarik, topiknya pun sesuatu yang hot. Sebelum kepanjangan mereka ngobrol, gue mau jelasin satu persatu. Pertama dari Grindr, yaitu aplikasi sosial media yang khusus gay. Aplikasi ini tersemat di smarthphone, fitur unggulannya adalah gay dar, jadi bisa melacak homo yang ada disekitar kita berdasarkan sistem GPS antar sesama pengguna Grindr. Sekarang kalo elo yang katanya punya gay dar alami sudah nggak bisa dibanggakan lagi karena telah digantikan oleh Grindr :p.

Pak Hasan adalah germo yang menyediakan “kucing”. Upz ini bukan kucing beneran tapi tanda kutip, maksudnya adalah cowok yang kerja dibagian pelayanan prositusi, istilah kasarnya adalah pelacur cowok. Gue juga sampai sekarang nggak tau kenapa disebut kucing. Sekarang balik lagi ke obrolan.

“Makanya sekarang gue males buka Grindr isinya cuma gitu-gitu aja. Mending main MIRC. Di Grindr kalau nggak kucing ya homo rasis (<== klik artikel homo rasis),” gue ikut menanggapi betapa menyebalkan itu.
“Gu pernah ketipu sama Grindr. Di situ tampangnya sih cucok ya, udah gitu body ok. Eh pas ketemu malah gitu dech,” Ta’ul ikutan curhat.
 “Itu masih mending ya cuma ketipu tampang,” seloroh Ban, “Temen gue ada yang ketipu, untungnya nggak parah. Dia dapat kenalan dari Grindr, ngajak ketemu, biasalah untuk ngewe. Terus dia ketemu, eh ternyata yang ditemuin itu kucing, pas lagi siap-siap mau ngewe tuh kucing malah nanya mau bayar berapa. Bikin keki gak tuh?” lanjut Ben bercerita dengan semangat.
“Untung tuh belum ngewek. Ada temen gue juga udah ngewe giu oh yes oh no, pas udah kelar eh malah ditagih malah mintanya maksa pula, pakai ngancam kalau nggak bayar teriak-teriak. Dia akhirnya bayar juga 300ribu cuma buat gituan. Fuck benerkan!!,” Dion yang dari tadi diam akhirnya ngomong juga, apalagi dengan gaya yang frustasi.
“Eh kayaknya itu pengalaman kalian dech,” celetuk gue dengan tampang dipolos-polosin. Disambut lainnya dengan gelak yang heboh. Gue ngeliat Ben dan Dion cemberut.
“Jadi mending kita nggak usah pakai aplikasi itu,” Andi mengambil kesimpulan sepihak.
“Iya, di Grindr itu banyak jebakan batman,” Ta’ul ikut mendukung Andi. “Yang bikin nggak kuat itu juga rasisnya, elu nggak cakep atau body gak ok, elu mau kayang sambil glepar-glepar pun nggak bakal ditanggapin,” imbuh Ta’ul agak kesal. Nampaknya Ta’ul pernah mengalami pengalaman buruk juga.
“Kalau kata gue ya,” gue mulai mengambil perhatian. “Gue sih anggep yang salah bukan Grindr, itu cuma aplikasi sosial media biasa aja koq sama seperti Fb, Twitter, Google Plus, atau yang lainnya. Toh di sosmed yang lainnya juga sama aja seperti itu ada yang “jualan”, buat beda adalah kalian user acitve di aplikasi tersebut. Kalian juga menganggap lewat Grindr cara termudah dapetin kencan. Usernya yang menyalah gunakan fasilitas itu...” gue menutup pidato dengan mengacungkan telunjuk ke udara sebagai penekanan.
“Kaya gini sih contoh nyatanya adalah alun-alun utara di situ kan sebenarnya tempat umum, tapi di situ juga buat tempat nongkrong gay dan ada yang “jualan” juga, nggak sedikit yang ngelakuin gitu. Akhirnyakan tempat itu malah jadi prostitusi terselubung juga kan? Padahal di situ juga masih ada homo yang baik-baik juga. Grindr pun sama seperti itu, nggak semua user jualan,” Ban nambahin omongan gue, yang lain cuma manggut-manggut takzim menyetujui pendapat Ban.

Kalo menurut gue sih nggak ada yang salah dengan sosmed apapun itu namanya. Media sosial ka memang untuk bersilaturahmi, menjalin persahabatan di lain tempat. Kita juga sering dapat manfaatnya juga kan? Ketemu teman yang lama banget nggak ketemu. Kita juga sering denger berita ada reuni keluarga gara-gara dapat info dari sosmed dan masih banyak contoh kebaikan lainnya.

“Di Grindr juga lebih aman untuk “jualan”. Gampangannya seperti tempat lokalisasi tapi dalam dunia cyber. Aman dari keluarga kita, kalo di Facebook, Twitter, Path, dan lain-lain keluarga kita masih bisa mengakses dan sapa tau malah kelink,” Dion memberi penjelasan lain kenapa prostitusi marak di Grindr. Suatu penjelasan yang masuk akal buat gue.
“Kalo misal tiba-tiba nongol bokap di Grindr, berarti bokap homo juga donk,hahaha,” celetuk gue dengan gelak diikuti yang lainnya untuk mencairkan suasana.
“Nama juga escort gimana punya juga punya cara biar dagangannya laku, pasti dia pun punya acount  di Manjam, Planet Romeo (PR), Hornet dan sebangsanya itu,” timpal Dion santai sambil siap-siap makan spageti.
“Setidaknya di PR sudah jelas, di situ sudah ada kolom escort, jadi kucing-kucing sudah ditempatkan pada kamar khusus. Orang-orangpun otomatis yang mau “jajan” kesitu,” Yanto mengambil alih pembicaraan, “Coba aja di Fb, Twitter dan Manjam serasa absurd. Apalagi yang Fb escortnya pun abal-abalan.”
“Curcol ya Yan?” gue kembali nyeletuk, ditambah lagi dengan senyum jahil. Mendengar sentilan gue, yang lain pada ketawa ngakak. Gue ngeliat mata Yanto mendelik galak.

Gue boleh mengakui sosmed merupakan tempat yang tempat efektif untuk menjual diri, karena disitu terhubung dengan bermacam-macam orang. Sosmed sudah jadi “etalase toko”, toh sekarang sedang trend toko on line. Prostitusipun mengikuti trend yang ada di masyarakat, menawarkan jasanya lewat on line. Kita tinggal mengintip mereka  untuk melihat barang yang dijual (kalau yang dijual kucing, pasti akan menampilkan badan yang setengah bugil, ditambah quote untuk lebih menyakinkan produknya memang bagus), kalau ada yang cocok kita tinggal private messege, untuk menanyakan harga dan service apa yang akan didapat. Mereka akan bertemu kalau sudah sama-sama cocok. Simpelkan? Kalau nggak cocok kita tinggal gerak-gerakkin jempol di smarthphone untuk cari lagi. Lihat foto kece, tinggal ditutul lagi.

Oke kayaknya gue nemu pembahasan baru lagi, yaitu escort. Bagi gue ada yang janggal mengenai pengertian escort, di Indonesia artian ini telah bergeser dari pada arti sesungguhnya yang ada didalam bahasa Inggris, nanti gue jelasin.

“Bentar dech.... ada yang janggal,” gue menyela omongan sebelum ada orang yang merebut jadi pemibacara berikutnya. “Sebenernya apa sih arti dari escort?” gue mencoba membuat topik baru..
“Kucing!!!” jawab, Yanto, Andi, Ta’ul, dan Dion secara bersamaan. Suara mereka lumayan keras, jadi pengunjung lain secara reflek nengok ke arah rombongan homo yang lagi rumpik. Di manapun berada rombongan homo emang selalu mencari perhatian kerena heboh. Gue harus membiasakan diri jadi tembok kalau jalan sama mereka.
“Bukan!!” pekik Ban agak keras, membuat yang lain melongo. “Escort itu dalam kamus bahasa Ingris artinya pendamping, pengawal, atau pengiring.” Ban menjelaskan dengan lugas dan penuh penekanan.
“Tapi tetep aja mereka kucing atau ayam (pelacur cewek), pendamping yang bisa jasa plus plus,” Ta’ul masih merasa yakin kalau escort sama aja dengan pelacuran.
“Iya tuh... coba aja liat staus atau kata-kata pembuka kucing-kucing di bio-nya, pasti ada kata-kata escort,” Andi yang merupakan pacar dari Ta’ul ikut membenarkan pernyataan pacarnya.
Ban diam sesaat sedang mengutak-ngutik smartphone untuk mencari bukti mematahkan asumsi mereka. “Nih bukitnya.....” Ban menunjukan layar smartphone ke arah Ta’ul dan Andi secara bergantian. Senyum Ban penuh dengan kemenangan.
“Jadi kalau di luar negeri sana menyebut escort itu ya arti positif, sebagai pendamping biasa aja nggak pake mesum. Kalau mau kucing, mereka tetep menyebutnya sebagai gigolo,” gue sebagai pendukung Ban turut membantu menjelaskan arti escort sebenarnya.
“Ah elu Ben, mentang-mentang sohibnya Ban belain dech,” Dion mendengus kesal. Dion adalah pendukung Ta’ul yang beranggapan escort sebagai kucing.
“Terus kenapa di sini pada akhirnya berubah menjadi kucing?” tanya Yanto yang penasaran.

Gue dan Ban saling berpandangan. Kita hanya memastikan atau secara nggak langsung membuat kesapakatan siapa yang akan menjelaskan. Gue sama Ban punya pemikiran yang sama dalam persepsi escort.

“Menurut gue sih ya, di sini artinya menjadi beda karena terpengaruh dari Planet Romeo, disitu ada kolom khusus untuk escort. Bagi orang Indonesia beranggapan yang di situ orang yang bisa dibayar untuk ml,” Ban menjelaskan menurut asumsinya sendiri.
“Bisa juga dari situ dan menyebar kelainnya. Sebenarnya itu adalah kaprah dan masyarakat mengamininya. Alasan lainnya juga pada istialah lady escort yang biasa ada di karokean. Sebenarnya mereka itu pendamping orang nyanyi biasa aja. Cuma mereka bisa diajak ml dengan bayaran lebih, jadilah arti escort pun berubah,” gue ikut nambahin sedikit. Gue ngeliat mereka ikut serius menyimak juga.  
“Ouhh gitu.” Mereka cuma menganggukan kepala sebagai tanda memahami apa yang barusan gue dan Ban jelaskan.
“Bisa juga sih kata escort untuk memperhalus suatu istilah. Coba aja kalau kita udah denger kucing atau gigolo, pasti kita akan membayangkan macam-macam lebih cenderung ngerikan?” Dion yang sudah berubah pemikirannya ikut beropini. Dion telah menyepakati kalau arti escort adalah pendamping.

Satu lagi diskusi yang menarik telah dibahas, tapi sayang hanya sebagian kecil saja yang tau arti escort sebenarnya. Masih banyak orang-orang yang nggak tau atau salahkaprah dalam memahami escort. Mereka bisa juga jadi agen penyebar untuk memperbaiki kesalahan ini. Mungkin kamu juga sudah paham kan? Jadi beda donk antara escort dan gigolo.

“Terus menurut kalian para kucing ini gimana?” gue membuka topik baru, tapi tetep masih berkaitan dengan dunia perkucingan homo.
“Mereka tuh sama aja sampah, kayak nggak ada kerjaan lain,” pendapat pertama dari Tau’ul dengan frontal, bernada menghina.
“Mereka itu menjijikan, ngobok-ngobok kesana kemari. Mereka juga diobok-obok,” komentar Dion, nadanya juga sama dengan Ta’ul.
“Masih mending mereka langsung dapet duit, lah elu diobok-obok sana mari nggak dapat duit,hahaha.” Ban menyindiri omongan Dion, yang lainnya malah tergelak. Dion  jadi mengkerut mendapat sindiran pedas.
“Kucing itu mengerikan, mungkin hampir sama dengan apa kata Dion dan Ta’ul. Mereka mengerikan karena kadang cara mereka yang suka menjebak, belum lagi banyak kasus pencurian. Korban mereka waktu habis ngewe lagi mandi terus barang-barangnya diambil.” Andi ikut menyumban suaranya.
“Buat gue ya, mereka semacam wabah aja. Mereka pasti akan mengajak temannya untuk melakukan hal yang sama,” ujar Yanto sambil menggetarkan badannya sebagai tanda bergindik ngeri.

Ok hampir semuanya berkomentar negatif. Itu bagian kecil contoh pendapat kucing dari masyarakat. Mungkin di tengah masyarakat akan lebih pedas lagi mengomentarin atau menghina mereka. Hal itu terbentuk karena sudah ada stigma negatif di masyarakat kita yang katanya memegang adat ketimuran, yang masih memegang kesopanan, bersusila baik, beragama dan lain-lainnya. Jujur ya gue masih nggak ngerti adat ketimuran seperti apa? Karena toh di masyarakat kita khususnya di kampung-kampung marak juga dangdut keliling yang goyangannya mengundang laki-laki ngaceng. Banyak sekali bokep-bokep beredar dengna kualitas 3gp yang pelakunya pejabat atau orang terkemuka. Jadi Ada yang bisa jelasin adat ketimuran seperti apa?

“Lah menurut kamu gimana?” tanya Andi pada gue.
“Kalau gue sih ngeliatnya menyedihkan dan kasihan. Gue berpendapat mereka terjebak pada pemikirian yang keliru dalam memaknai pilihan hidup mereka untuk mencari uang,” kata gue sambil pura-pura mengusap air mata untuk menambah kesan drama.
“Ye..... apanya yang dikasihanin. Itu kan pilihan mereka, sebenarnya mereka bisa koq cari pekerjaan yang halal,” Dion secara frontal menyerang gue.
Secara taktis Ban langsung berpendapat, sebelum ada perang argumen antar gue dengan Dion. “Buat gue, kucing-kucing itu hebat. Mereka bekerja berani mengambil resiko, bisa saja mereka malah jadi korban kriminal, customornya yang ngambil barang mereka. Mereka menyerahkan hidup mereka untuk terserang penyakit, nggak semua orang mau safe sex. Mereka orang yang tegar dalam menjalani kehidupan di masyarakat yang kejam, mereka tahan atas cibiran orang-orang, padahal yang mencibir pun belum tentu lebih baik dari kucing itu.” Ban mengluarkan pendapat yang berbeda dari pada yang lain.
“Tapi tetep aja, mereka salah cara kerjanya,” Andi menginterupsi omongan Ban yang belum kelar dan tetep ngotot membela Ta’ul dan menyalahkan pendapat dari Ban dan gue.
“Bentar toh, lah wong aku belum selesai ngomong koq,” Ben merasa kesal sama Andi yang telah memotong omongnannya. “Mereka yang hebat itu yang kucing profesional. Mereka yang benar-benar memberikan jasa terbaik mereka. Kamu aja belum tentu bisa kan membuat partner kamu puas ngewe, atau kalian yang malah egois maunya diservice. Modal mereka juga besar untuk perawatan tetep ganteng, belum lagi biaya fitnes mereka.” Di akhir kalimat Ban menyentil kita semua dengan kata-kata pedas.
“Nah itu makanya ada istilah profesi gigolo, mereka orang yang berkompeten untuk urusan syahwat. Mereka pun pasti punya teknik untuk memuaskan tamunya. Susah loh untuk bisa seperti itu, apalagi mereka melayani tamu dari berbagai kalangan, dan fetish yang aneh-aneh. Mereka melawan egonya sendiri demi memuaskan tamu untuk mendapat bayaran tambahan.” Gue menambahkan pendapat dari Ban. “Tapi sayangnya image mereka dirusak oleh kucing abal-abalan, yang suka mencuri, menyebarkan fitnah, yang nggak profesional.”

Gue bukan berarti membenarkan juga loh, ini hanya pendapat tentang profesinalisme dari pekerja seksual baik yang cewek atau cowok. Kadang kita melupakan itu, sebuah profesionalisme dari suatu pekerja, bagaimana secara bersungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik.

“Mereka nggak takut dosa?” tanya Yanto dengan polos.
“Elu jadi homo pun sudah dosan.” Dion mengepruk kepala Yanto dengna pelan untuk membuyarkan pikiran Yanto yang buntet. Tapi celutukkan Dion membuat kita tergelak, mencairkan suasana yang sudah agak tegang.
“Itu bukan mereka yang mau,” Ban menggumam. Gue pikir dia cuma ngomong pada diri sendiri.
“Itu yang mereka mau,” timpal Ta’ul yang mendengar gumaman Ban. “Mereka melukkan itu karena mau. Kalau nggak mau ngapain juga jadi kucing, toh masih banyak pekerjaan lain. Kecuali mereka korban trafficking, mereka disekap di gedung terus jadi lonte yang dipaksa.” Ta’ul sukses mematahkan pendapat Ban.
“Menurut gue sih ya,” gue mulai mengutarakan pendapat. “Mereka terjebak pada pemikiran yang salah. Mereka menganggap uang dan materi lainnya adalah segalanya. Cara yang mendapatkan uang yang gampang dengan menjual diri seperti itu, selesai melayani customor mereka langsung mendapatkan uang. Kalian mendapat uang nunggu sebulan.” Gue berhenti sejenak untuk mengambil nafas. “Masyarakat kita sudah menjadi hedon, buat sebagian orang yang nggak bisa mengikuti gaya hidup seperti itu bukan bagian dari orang keren. Kalian pasti berfikir gitu juga kan, dengan mamakai barag bermerk pasti terlihat keren, tetapi kalian masih punya pikiran yang waras, itu bedanya kamu sama mereka.”
“Ya itulah pilihan mereka untuk bekerja seperti itu, hormati pilihan mereka. Selama nggak merugikan kita kenapa nggak,” cetus Andi dengan bijak.
“Terus solusinya gimana?” tanya Ta’ul.
“Kita bikin lapangan kerja dengan cara membayar mereka secara harian. Tenttunya bayarannya pun sebesar harga mereka mediakan jasa. Intinya adalah mereka Cuma pengen punya uang secara cepat. Apa kamu sanggup?” gue menutup diskusi dengan pertanyaan yang susah untuk dijawab.

Jadi menurutu gue adalah apapun profesinya harus kita hormati meskipun itu salah dimata Tuahan dan masyarakat. Percuma kalau kita Cuma menghakimi mereka kalau tanpa solusi. Rezeki memang sudah diatur sama Tuhan, tapi kita sendiri yang bisa memilih profesi yang kita jalani. So bersyukurlah buat kalian yang punya kerjaan bagus, dengan hasil yang menggiurkan. Jangan lupa sebagian penghasilan mu untuk dibagikan untuk amal.

telah terbit buku bertema Gay yang berjudul #Kamuflase, untuk pemesanan klik sini dijamin gak rugi dech kalau udah baca. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE

No comments: