Gay Segi Empat
![]() |
Foto: screen shoot dari FTV Grey Secreet |
Hari ini pertama
kalinya gue masuk di sekolah ini. Gue emang anak pindahan dari Jakarta, sekarag
gue tergabung Ngapak Language Community dengan kata lain gue jadi anak Tegal
yang emang pakai bahasa Jawa dialek Ngapak-ngapak. Gue terpaksa pindah sekolah
dan daerah karena menghindari mantan gue yang rese, sudah mengancam kemaluan
gue. Perlu digaris bawahi kemaluan disini bukan bagian dari organ genital.
Pertama kali datang ke
sekolah, gue udah mules-mules, bukan karena pup yang belum tuntas apalagi
hamil. Perut gue kram gara-gara kuping ini belum terbiasa dengan orang ngomong
pakai bahasa ngapak-ngapak. Sumpah bagi gue itu lucu banget, lebih lucu dari
parodinya Parto Patrio, Cici Tegal, atau Kartika Putri.
“Heh, kamu kenapa koq
muka kamu merah banget?” tanya Dara dengan akhir kata yag medok.
“Nggak kenapa-kenapa,”
jawab ku berbohong, padahal tawa ini sudah sampai pucuk pengen dikeluarin.
“Kamu sakit? Maring –ke- UKS ya,” ajak Dara
perhatian, nggak ketinggalan dengan medok ngapak.
“huaa...kakakaak
hahahahah,” dengan lantang gue ngakak sekenceng-kencengnya. Semua temen baru
pada nengok ke arah gue dengan tampang yang konyol. Mungkin mereka kira gue
sedang kerasukan. Apalagi ngeliat wajahnya Dara lebih ajaib lagi.
Oh ya Dara itu temen
sebangku gue. Dari namanya juga keliatan kalau dia berkelamin wanita. Buat
cowok yang normal pasti naksir sama dia, bemper depan belakang bohay. Parasnya
cantik alami orang Jawa. Kulitnya sawo mentah, nggak putih tapi nggak agak
kecoklatan. Mungkin ya kalau dia diem itu cewek gaul yang sempurna ala Agata
(Anak Gau Jakarta), tapi kalau udah ngomong bikin ilfeel. Sory Dar.
“Eling....nyebut Ar..
eling....,” Dara memerintahkan gue untuk sadar dan berIstighfar. Wajahnya panik
dan tampak tolol ngeliat gue yang nggak sadarkan diri.
“Astaghfirllah.....
nyebut...but but but,” ucap gue yang berusaha nahan tawa. “Sory Dar...beneran
sory. Gue nggak maksud ngetawain kamu. Tapi bahasa kalian emang lucu,” kata gue
jujur, sudah agak sedikit tenang.
Gue ngeliat Dara
bibirnya monyong, mungkin kesal dengan kejujuran gue. Beneran dech buat gue ini
lucu banget. Tampaknya gue perlu kerja keras untuk adaptasi dengan pedengaran
ini. Gue ngambil nafas dalam-dalam buat lebih tenang, tapi hasilnya sia-sia.
Gue terengah-engah ngeliat orang mendekati gue. Pancaran auranya menyilaukan.
“Dar....pinjem PR
matematika mu donk. Jam terakhir sih, tapi aku masih ada yang belum dikerjain.
Tolongn ya....” dia memohon pada Dara.
Hati gue mencelos,
ternyata dia menghampiri Dara, bukan gue.
Harapan gue runtuh, padahal udah ngarepin nyamperin gue buat kenalan.
Gue udah ke GR-an, abisnnya dia senyum-senyum waktu masuk kelas. Sesekali dia
juga senyum ke Dara (tapi gue pikir ke gue).
Dara memberikan buku
petak kepada dia yang sedang berdiri di samping gue. “Oh, kenalin nih Arya anak
baru dari Jakarta yang stress.” Dara ngenalin gue ke temannya.
“Papan.” Dia
menglurkan tangan untuk bersalaman. Gue tau itu cuma nama panggilan saja. Nama
panjang yang ada di tagname nempel
di seragam tertulis Panji Permana Putra.
“Papan penggilesan ape
papan tulis?” tanya gue bekelakar dan sedikit terkekeh. Dia cuma balas senyum
manis.
“Papan triplek,”
sambar Dara sambil terkekeh. “Ke kantin yuk.” Dara bangkit dari tempat duduknya
dan langsung menarik gue dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menarik
Papan.
Gue nggak protes
diculik Dara secara paksa, karena gue bisa lebih lama dengan Papan. Emang bener
sih kata Dara kalau Papan mirip papan triplek alias dia kurus. Gue suka Papan
karena senyumnya yang manis, ada lesung pipitnya. Ini adalah pertemuan pertama
tapi gue ngerasa udah jatuh cinta, tentunya sama Papan. Wangi parfum murahan
terbang terbawa angin merasuki indra penciuman. Ini bukan hanya bau parfum tapi
dia menebarkan feromon juga. Feromon akan keluar jika orang dekat dengan orang
yang disuka.
Kantin sudah penuh
sesak dengan anak-anak yang sedang kelaparan. Begitu gue masuk kantin sebagian
besar memalingkan kepada gue, mungkin bagi mereka ada orang aneh tiba-tiba
masuk ke kantin. Gue emang beda dengan mereka, hari ini mereka pakai seragam
sekolah sedangkan gue pakai baju putih abu-abu.
“Eh kenal Bani gak?
Anak 11 IPS 1?” tanya Papan pada Dara.
“Nggak kenal banget
sih, cuma tau aja. Kenapa?” Dara menanggapi dengan semangat karena pasti bakal
ada gosip seru. Emang ya cewek selalu bersemangat dengan gosip, apalagi yang
masih segar.
“Kabarnya sih...
gosipnya ya......,” Papan sengaja menghentikan sejenak omongannya biar gue sama
Dara jadi penasaran. “Dia homo,” bisik Papan.
“What!!! Kue beneran
–itu beneran-? Dih lah bagus kaya kue ka yah...-aduh, ganteng seperti itu-”
Dara merespon dengan kaget tapi kemudian jadi merasa iba.
“Kalian lagi ngomongin
Bani homo atau kue apaan sih?” tanya gue dengan polos sambil menyela omongan
Dara, suara gue juga lumayan agak keras untuk melawan kegaduhan suasan kantin.
Swing....... mendadak
suasana kantin jadi hening begitu gue selesai ngomong. Orang-orang dengan
kompak langsung nengok ke arah kita. Gue, Papan, dan Dara cuma bisa bengong
menjadi pusat perhatian dari puluhan siswa. Mereka lagi nungguin reaksi kita
selanjutnya. Nampaknya Bani adalah selebritis sekolah, liat aja mereka antusias
siap mendengarkan lanjutan gosip kita.
“Ini.....kue bantet
banget, gosong pula.” Dara berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan
perhatian. Jajan yang dipegang gue jadi kambing hitam. Gue bengong dengan
suasana awkward ini. Kantin kembali seperti semula, meski ada beberapa anak
yang curi-curi padang ke kita.
“Sialan......” Panpan
menoyor kepala gue. Meski kita baru kenal berapa menit lalu, tapi kayaknya kita
gampang akrab. “Kalau ngomong dijaga sih,” Papan msih ngedumel. Gue ngeliat
Dara nyengir saja. Gue pasrah aja kepala ditoyor Papan.
“Back to topic. Kamu dapat gosip ini dari mana?” tanya Dara pelan.
“Kata Imey. Dia
ngeliat Bani lagi boncengan mesra sama cowok,” kata Papan semangat.
“Jiahh..... Imey aja
dipercaya ratu gosip gitu. Imey itu kalau bikin gosip murahan,” Dara agak kecewa
mendengarkan kelanjutan gosip itu. Gue jadi tambah tau lagi informasi kalau ada
gosip murahan pasti datangnya dari Imey. Gue mesti jauh-jauh dari Imey.
Gue jadi antusias
mendengar kelanjutannya. Sehebat apa sih si Bani itu sampai satu kantin pada
nengok mendengar kata Bani. Selain penasaran dengan Bani kayak gimana, gue juga
pengen menyelidiki juga. Sapa tau bisa dijadiin prospek untuk gebetan.
“Eh itu ada Bani.”
Papan menunjuk cowok yang baru masuk kantin. Wajahya manis, kulitnya sawo
matang, dan badannya sedikit atletis tapi cenderung gempal.
Ok. Itu target
berikutnya, berarti sudah ada dua calon pacar gue. Papan dan Bani, akan ada
tantangan dikehidupan yang baru. Gue juga bukan orang yang maruk keduanya
dipacarin kalau misalnya dapat. Gue mau yang terbaik untuk gue dan masa depan.
@@@
Udah seminggu gue
sekolah di sini, sepanjang minggu kemarin gosip Bani homo jadi trending topic bahkan menduduki
peringkat pertama. Setelah gue amati dan hasil penelusuran gaydar (gay radar), Bani terindikasi sebagai homo. Pertama dia
emang ikut eskul basket tapi yang gue lihat dia cuma nonton aja, alias liatin
bulu ketek temen-temennya. Kedua sebagian besar teman di Facebooknya kebanyakan
cowok. Ketiga, dia masih jomblo.
Itu adalah asumsi
sementara gue, masih perlu dibuktikan secara nyata dari mulu dia sendiri. Bisa
aja kan fakta-fakta yang tadi gue sebutin bisa salah. Semoga saja sih benar,
jadi gue bisa pepetin dia. Gue harus waspada dalam penyelidikan lebih lanjut
karena dia itu murid bengal, terkesan kasar. Menurut Dara, Bani sudah punya
catatan hitam di buku kasus yang dipegang oleh guru BK.
Sekarang gue lagi
sendirian di kelas, sekolah juga sudah sepi ditinggal penghuninya yang pada
ngandang ke rumahnya masing-masing. Saat jalan jalan menuju pintu kelas,
tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan keras, eng ing yang muncul adalah Bani,
dengan wajah yang angker.
“Kamu ya namanya Arya? Anak baru yang cari
gara-gara!” Dia membentak gue, wajahnya terlihat merah karena marah. Gue mengangguk
saja karena gue juga nggak tau mau jawab apa. Gue udah panik duluan dan takut
sekaligus terkesan kegagaan Bani. “Kamu yang nyebarin gue homoo di kantin?”
suara dia makin meninggi, tangannya juga menunjuk-nunjuk.
“Apaan? Gue nggak
ngerti apa-apa,” jawab gue gemeteran, apalagi dia tambah mendekat ke arah gue.
“Alah.....belagak
bego!! Coba inget-inget minggu kemaren, koen ngomong apa nang kantin?!!” Bani
semakin dekat dengan gue, sekarang jaraknya cuma dipisahkan oleh meja. Tangan
Bani sudah mengepal.
“Sumpah gue nggak
ngerti apa-apa,” ucap gue membela diri, sebenarnya inget tapi gue mau cari aman
saja. Kata lupa biasanya manjur. Kali ini gue emang takut beneran, berdasarkan
kasak kusuk, Bani emang terkenal suka main pukul.
Gue liat telapak tangannya
sudah mengepal dengan posisi siap menonjok. Tampangnya pun semakin garang, otot
di bawah telinga menyembul kaku. Selangkah gue mundur untuk memberi jarak, tapi
gue juga nggak ngerti harus ngapain lagi. Gue terjebak di kelas. Gue pasrah
juga kalau dia memang mau nonjok pipi mulus ini.
Tanpa aba-aba tangan
Bani yang sudah mengepal melesat cepat ke arah pipi gue. Mata gue terpejam
nggak ingin liat pipi yang sudah dirawat dengan cream malam rusak begitu saja. Seharusnya kecepatan pergerakan
tangan Bani melesat dalam 3 detik untuk menyentuh pipi, tapi ini lebih dari 6
detik gue nggak merasakan hantaman tinju. Perlahan mata gue buka, ternyata ada
dua cowok ganteng di hadapan gue. Papan sedang mencekal tangan Bani yang nyaris
meneyentuh pipi yang tanpa jerawat. Gue mundur selangkah lagi agar di luar
jangkauan tangan Bani.
“Ucul belih –lepasin
nggak-!!!” pekik Bani pada Papan yang masih mencengkram tangan Bani. Tampang
Bani semakin murka aja.
“Ora –Nggak-,” Papan
membalasnya lebih galak. Cengkraman tangannya semakin kuat karena Bani masih
berusaha memukul gue. “Arya kue ora salah.... deweke belih ngarti apa-apa –Arya
itu nggak salah, dirinya nggak ngerti apa-apa.”
Tangan Bani sudah
turun, tapi wajahnya masih tetap angker. Papang juga sudah melepaskan
cengkramangan. Tampaknya suasana sudah sedikit cair. Aku bernafas lega, pipi
gue masih mulus nggak ada cetakan lebam. Tanpa kata-kata Bani meningglakan gue
dan Papan. Sampai ujung pintu, Bani masih meletotin seakan matanya biacara
kalau akan buat perhitungan lagi.
“Kamu nggak apa-apa?”
tanya Papan perhatian. Matanya menyapu habis badan gue untuk memastikan gue
baik-baik saja.
“Nggak apa-apa.” Suara
gue masih gemetaran. Gue gemetaran bukan karena Bani mau mukul, tapi gue sedang
terpesona kegagahan Papan. Otak gue sedang melayang pada sinetron. Gue
seakan-akan sedang ditolong oleh pangeran pujaan hati. Ok, khayalan gue emang
lebay.
“Yakin?” Papan kembali
memastikan lagi. “Kayaknya kamu untuk berapa hari ini jangan keluyuran
sendirian dech. Kamu tinggal panggil aku kalau kamu ada apa-apa atau butuh
temen.” Papan menganmbil smarthpone
gue yang ada di saku baju. Dia mengetuk nomor telpon selularnya di phone book, lalu mengembalikkan lagi di
saku baju.
“Makasih ya,” ujar gue
dimanis-manisin tentunya sambil menjaga kontrol. Padahal hati gue sudah girang
banget loncat sana sini. Gue sudah dapat nomernya Papan dan dia sudah bersedia
jadi bodyguard gue.
Sepanjang hari gue
senyum sendiri, mengingat kejadian tadi siang. Gue ngerasa hidup ini bagaikan
sinetron, anak lemah yang ditolong oleh lelaki pujaan hatinya, diakhir cerita
mereka bisa hidup bahagia selamanya. Gue cuma bisa membayangkan itu, nggak bisa
lebih karena ending indah hanya ada
di sinetron. Gue harus realistis, belum tentu Papang menyukai gue. Dia hanya
menunaikan kewajibannya sebagai manusia yang peduli terhadap sesamanya yang
sedang terpojok.
Gue nggak mau putus
asa, pasti ada celah untuk menaklukkan Papang. Bisa ditebak donk, malemnya gue
ngobrol sama Papan lewat Line, gue dapet dari link nomer ponselnya. Gue juga
dapet acount Facebook, Twitter, Path,
dan Instagramnya. Gue sedang mengumpulkan data pribadi dia, mulai dari tanggal
lahir, kesukaan, kegiatan sehari-hari, hobinya, dan lain-lain. Sayangnya gue
nggak bisa dapetin informasi warna celana dalam yang dia suka.
Gara-gara peristiwa
tadi siang pun gue jadi penasaran sama Bani. Langsung dech gue selancar mencari
informasi yang lebih akurat dan detail,
untungnya Facebook dan Twitter Bani nggak. Gue jadi ngerti sisilain dari
Bani, ternyata dia anak yang suka galau dilihat dari cuitan di Twitter dan
status di Facebook. Malam ini sekian dulu untuk stalkingnya.
@@@
Siang itu, sekolah
sudah sepi karena pulang cepat ada rapat guru. Dara juga sudah buru-buru pulang
karena ada acara rujak-rujakkan bersama gank ceweknya. Gue pengen ikut sih tapi
nggak enak, gue jadi laki sendiri nanti jadi latah cobain make up yang baru
mereka beli. Tadi di kelas mereka sudah heboh pamer make up. Sumpah gue
gregetan sama lipglosnya, baunya wangi banget. Eehhh, ya sudah lah.
Gue menelusuri koridor
kelas yang sepi, tinggal ada beberapa siswa yang sedang menyelesaikan piket.
Gue emang sering pulang belakangan karena biasanya suka ngeliatin anak basket
main di lapangan, hhmmm bukan liatin caranya mainnya sih, lebih tepatnya liat body dan bulu ketek pemain basket
termasuk Bani,hehehe. Hampir sama kelakuan gue dengan Bani (mungkin).
Gue ke kantin dulu,
beli dua milk tea sekaligus. Gue emag
doyang banget jadi mesti beli dua. Btw
Bani juga suka sama minuman ini, dia sering mencuit lagi minum milk tea di taman belakang sekolah. Gue
beli dua juga karena sapa tau ketemu dia jadi sekalian kasih minuman ini
sebagai tanda maaf. Jujur aja gue jadi nggak enak hati atas gosip yang menerpa
dia, secara nggak langsung gosip itu subur berkat gue.
Itu dia target gue, sesuai dengan dugaan gue.
Bani lagi duduk sendirian di bawah pohon pinus belakang sekolah. Gue pernah
baca di TL Twitter-nya kalau tempat favoritnya di sekolah ya di sini. Sudah di
dekat dia tapi gue ragu mau nyamperin. Bayangan insiden di kelas masih
terbayang, gue jadi jiper sendiri. Dari jauh gue ngeliatin dia, mukanya teduh
banget sama sekali nggak keliatan garang. Mungkin mooodnya hari ini dia baik. Gue bertekad untuk menghampirinya.
Masalah ini harus bisa diselesaikan, gue nggak mau jadi bulan-bulanan dia.
“Hai...” sapa gue pada
Bani yang membelakangi gue. Tangan gue gemetaran untuk memberanikan diri
menyapa dia. Minuman yang ada ditangan bergoyang-goyang hingga sedikit tumpah.
Bani membalikkan
badan, dan matanya terbelalak ngeliat gue. Wajah yang tadi teduh berubah
drastis jadi garang, tapi tetep aja keliatan gagah. Tuh kan, gue jadi grogi
beneran. Gue grogi deket sama orang gagah macam Bani. Ok, harus konsisten
sebagai cowok pemberani, nggak boleh kabur.
“Pan apa koen mene
–mau apa kamu ke sini-?” pekik dia. wajahnya memerah, rahangnya juga kaku. Bani
memang terlihat begitu marah.
Gue tambah aja
gemeteran, lutut sampai lemes. Pokoknya nggak boleh sampai pingsan. Matanya
tajam banget ngeliatin gue, sampai bikin salting. Sekarang dia berdiri, OMG
ternyata badannya agak kekar dikit, gue maiki nggak berkutik *gagal fokus.
Ok, mengatur nafas agar tenang.
“Gue minta maaf Ban.”
Meski suara gue bergetar, tapi lancar menyampaikan permintaan maaf. “Sebagai
permohonan maaf dari gue, ini untuk kamu.” Gue menyodorkan segelas plastik milk tea yang ada di tangan.
Bani masih bergeming,
menatap gue lekat. Mungkin dia masih heran, gue lagi kesambet jin sekolah bisa
berani berhadapan langsung. Otot Bani sudah mengendur tanda sudah sedikit
rileks. “Oh..... jadi benar kamu yang menyebarkan gosip itu?” tanya Bani dengan
ketus.
“Nggak tau. Tapi gue
tetep harus minta maaf, karena reputasi kamu sudah ternoda, gue sedih dengarnya.”
Tangan gue masih menjulur, berharap Bani menerima minuman yang udah gue beli.
“Ohh......,” suara
Bani melembut. Dia juga kembali duduk di tempat yang sama, tanpa menghiraukan
pemberian gue.
Gue mendekati Bani,
dan duduk di sampingnya. Dia hanya menengok sejenak lalu pandangannya kembali
lurus menatap air mancur. Meski berapa saat hanya ada suara hembusan angin, gue
sudah cukup senag karena Bani masih membiarkan gue duduk di sampingnya. Artinya
dia sudah mulai menerima gue. Minuman yang tadi gue beli ditaruh samping Bani.
Gue nggak peduli dia mau meminumnya atau nggak yang penting niat baik sudah gue
sampaikan.
Bani nengok ke arah
gue, beberapa detik ngeliatin gue terus. Kenapa sih jadi kayak gitu, gue kan
jadi grogi sendiri, apa lagi dia nggak ngomong-ngomong. “Maafin aku ya, memang
bukan salah kamu koq.” akhirnya Bani bersuara juga. Gue lega dia nggak marah ke
gue. “Kamu mau maafin aku kan?” tanya dia dengan suara lembut.
“Iya nggak apa-apa
koq.” Gue bales pakai senyuman terbaik yang gue punya.
“Makasih udah beliin
minuman kesukaan ku.” Bani mengambil lalu menyeruput milk tea. “Koq kamu tau aku suka milk tea?”
“Ehh.. hhmmm,” gue
tergagap bingung mau jawab apa, nggak mungkin juga gue jawab ngeliat dari
Twitter. Nanti dia kira gue adalah psikopat yang lagi buntutin korbannya. ”Gue
sering liat lo, bawa milk tea
kemana-mana,” jawab gue berkilah.
“Ouhhh.” Dia kembali
menyeruput minumannya. “Kamu anak Jakarta kan?” tanya dia. Gue Cuma balas
mengangguk karena posisi gue sedang minum. Tampaknya dia akan mengaukan
pertanyaan lagi tapi ada keraguan. “Menurut kamu wajar nggak sih.....” Bani
menghentikan omongannya, dia masih ragu untuk menyampaikan. “Kalau sahabatan
cowok tapi mesra gitu?”
Bersambung
Telah Tersedia buku kumpulang Cerpen Bertemakan Gay. klik sini untuk pemesanan dijamin gak nyesel kalau udah beli dan membacanya. TEMUKAN IDENTITAASMU DALAM KAMUFLASE
No comments:
Post a Comment