Friday 8 May 2015

Cerbung :Gay Segi 4 (Bagian 1)

Gay Segi Empat

Foto: screen shoot dari FTV Grey Secreet

Hari ini pertama kalinya gue masuk di sekolah ini. Gue emang anak pindahan dari Jakarta, sekarag gue tergabung Ngapak Language Community dengan kata lain gue jadi anak Tegal yang emang pakai bahasa Jawa dialek Ngapak-ngapak. Gue terpaksa pindah sekolah dan daerah karena menghindari mantan gue yang rese, sudah mengancam kemaluan gue. Perlu digaris bawahi kemaluan disini bukan bagian dari organ genital.

Pertama kali datang ke sekolah, gue udah mules-mules, bukan karena pup yang belum tuntas apalagi hamil. Perut gue kram gara-gara kuping ini belum terbiasa dengan orang ngomong pakai bahasa ngapak-ngapak. Sumpah bagi gue itu lucu banget, lebih lucu dari parodinya Parto Patrio, Cici Tegal, atau Kartika Putri.

“Heh, kamu kenapa koq muka kamu merah banget?” tanya Dara dengan akhir kata yag medok.
“Nggak kenapa-kenapa,” jawab ku berbohong, padahal tawa ini sudah sampai pucuk pengen dikeluarin.
“Kamu sakit? Maring –ke- UKS ya,” ajak Dara perhatian, nggak ketinggalan dengan medok ngapak.
“huaa...kakakaak hahahahah,” dengan lantang gue ngakak sekenceng-kencengnya. Semua temen baru pada nengok ke arah gue dengan tampang yang konyol. Mungkin mereka kira gue sedang kerasukan. Apalagi ngeliat wajahnya Dara lebih ajaib lagi.

Oh ya Dara itu temen sebangku gue. Dari namanya juga keliatan kalau dia berkelamin wanita. Buat cowok yang normal pasti naksir sama dia, bemper depan belakang bohay. Parasnya cantik alami orang Jawa. Kulitnya sawo mentah, nggak putih tapi nggak agak kecoklatan. Mungkin ya kalau dia diem itu cewek gaul yang sempurna ala Agata (Anak Gau Jakarta), tapi kalau udah ngomong bikin ilfeel. Sory Dar.

“Eling....nyebut Ar.. eling....,” Dara memerintahkan gue untuk sadar dan berIstighfar. Wajahnya panik dan tampak tolol ngeliat gue yang nggak sadarkan diri.
“Astaghfirllah..... nyebut...but but but,” ucap gue yang berusaha nahan tawa. “Sory Dar...beneran sory. Gue nggak maksud ngetawain kamu. Tapi bahasa kalian emang lucu,” kata gue jujur, sudah agak sedikit tenang.

Gue ngeliat Dara bibirnya monyong, mungkin kesal dengan kejujuran gue. Beneran dech buat gue ini lucu banget. Tampaknya gue perlu kerja keras untuk adaptasi dengan pedengaran ini. Gue ngambil nafas dalam-dalam buat lebih tenang, tapi hasilnya sia-sia. Gue terengah-engah ngeliat orang mendekati gue. Pancaran auranya menyilaukan.

“Dar....pinjem PR matematika mu donk. Jam terakhir sih, tapi aku masih ada yang belum dikerjain. Tolongn ya....” dia memohon pada Dara.

Hati gue mencelos, ternyata dia menghampiri Dara, bukan gue.  Harapan gue runtuh, padahal udah ngarepin nyamperin gue buat kenalan. Gue udah ke GR-an, abisnnya dia senyum-senyum waktu masuk kelas. Sesekali dia juga senyum ke Dara (tapi gue pikir ke gue).

Dara memberikan buku petak kepada dia yang sedang berdiri di samping gue. “Oh, kenalin nih Arya anak baru dari Jakarta yang stress.” Dara ngenalin gue ke temannya.
“Papan.” Dia menglurkan tangan untuk bersalaman. Gue tau itu cuma nama panggilan saja. Nama panjang yang ada di tagname nempel di seragam tertulis Panji Permana Putra.
“Papan penggilesan ape papan tulis?” tanya gue bekelakar dan sedikit terkekeh. Dia cuma balas senyum manis.
“Papan triplek,” sambar Dara sambil terkekeh. “Ke kantin yuk.” Dara bangkit dari tempat duduknya dan langsung menarik gue dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menarik Papan.

Gue nggak protes diculik Dara secara paksa, karena gue bisa lebih lama dengan Papan. Emang bener sih kata Dara kalau Papan mirip papan triplek alias dia kurus. Gue suka Papan karena senyumnya yang manis, ada lesung pipitnya. Ini adalah pertemuan pertama tapi gue ngerasa udah jatuh cinta, tentunya sama Papan. Wangi parfum murahan terbang terbawa angin merasuki indra penciuman. Ini bukan hanya bau parfum tapi dia menebarkan feromon juga. Feromon akan keluar jika orang dekat dengan orang yang disuka.

Kantin sudah penuh sesak dengan anak-anak yang sedang kelaparan. Begitu gue masuk kantin sebagian besar memalingkan kepada gue, mungkin bagi mereka ada orang aneh tiba-tiba masuk ke kantin. Gue emang beda dengan mereka, hari ini mereka pakai seragam sekolah sedangkan gue pakai baju putih abu-abu.

“Eh kenal Bani gak? Anak 11 IPS 1?” tanya Papan pada Dara.
“Nggak kenal banget sih, cuma tau aja. Kenapa?” Dara menanggapi dengan semangat karena pasti bakal ada gosip seru. Emang ya cewek selalu bersemangat dengan gosip, apalagi yang masih segar.
“Kabarnya sih... gosipnya ya......,” Papan sengaja menghentikan sejenak omongannya biar gue sama Dara jadi penasaran. “Dia homo,” bisik Papan.
“What!!! Kue beneran –itu beneran-? Dih lah bagus kaya kue ka yah...-aduh, ganteng seperti itu-” Dara merespon dengan kaget tapi kemudian jadi merasa iba.
“Kalian lagi ngomongin Bani homo atau kue apaan sih?” tanya gue dengan polos sambil menyela omongan Dara, suara gue juga lumayan agak keras untuk melawan kegaduhan suasan kantin.

Swing....... mendadak suasana kantin jadi hening begitu gue selesai ngomong. Orang-orang dengan kompak langsung nengok ke arah kita. Gue, Papan, dan Dara cuma bisa bengong menjadi pusat perhatian dari puluhan siswa. Mereka lagi nungguin reaksi kita selanjutnya. Nampaknya Bani adalah selebritis sekolah, liat aja mereka antusias siap mendengarkan lanjutan gosip kita.

“Ini.....kue bantet banget, gosong pula.” Dara berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan perhatian. Jajan yang dipegang gue jadi kambing hitam. Gue bengong dengan suasana awkward ini. Kantin kembali seperti semula, meski ada beberapa anak yang curi-curi padang ke kita.
“Sialan......” Panpan menoyor kepala gue. Meski kita baru kenal berapa menit lalu, tapi kayaknya kita gampang akrab. “Kalau ngomong dijaga sih,” Papan msih ngedumel. Gue ngeliat Dara nyengir saja. Gue pasrah aja kepala ditoyor Papan.
Back to topic. Kamu dapat gosip ini dari mana?” tanya Dara pelan.
“Kata Imey. Dia ngeliat Bani lagi boncengan mesra sama cowok,” kata Papan semangat.
“Jiahh..... Imey aja dipercaya ratu gosip gitu. Imey itu kalau bikin gosip murahan,” Dara agak kecewa mendengarkan kelanjutan gosip itu. Gue jadi tambah tau lagi informasi kalau ada gosip murahan pasti datangnya dari Imey. Gue mesti jauh-jauh dari Imey.

Gue jadi antusias mendengar kelanjutannya. Sehebat apa sih si Bani itu sampai satu kantin pada nengok mendengar kata Bani. Selain penasaran dengan Bani kayak gimana, gue juga pengen menyelidiki juga. Sapa tau bisa dijadiin prospek untuk gebetan.

“Eh itu ada Bani.” Papan menunjuk cowok yang baru masuk kantin. Wajahya manis, kulitnya sawo matang, dan badannya sedikit atletis tapi cenderung gempal.

Ok. Itu target berikutnya, berarti sudah ada dua calon pacar gue. Papan dan Bani, akan ada tantangan dikehidupan yang baru. Gue juga bukan orang yang maruk keduanya dipacarin kalau misalnya dapat. Gue mau yang terbaik untuk gue dan masa depan.

@@@


Udah seminggu gue sekolah di sini, sepanjang minggu kemarin gosip Bani homo jadi trending topic bahkan menduduki peringkat pertama. Setelah gue amati dan hasil penelusuran gaydar (gay radar), Bani terindikasi sebagai homo. Pertama dia emang ikut eskul basket tapi yang gue lihat dia cuma nonton aja, alias liatin bulu ketek temen-temennya. Kedua sebagian besar teman di Facebooknya kebanyakan cowok. Ketiga, dia masih jomblo.

Itu adalah asumsi sementara gue, masih perlu dibuktikan secara nyata dari mulu dia sendiri. Bisa aja kan fakta-fakta yang tadi gue sebutin bisa salah. Semoga saja sih benar, jadi gue bisa pepetin dia. Gue harus waspada dalam penyelidikan lebih lanjut karena dia itu murid bengal, terkesan kasar. Menurut Dara, Bani sudah punya catatan hitam di buku kasus yang dipegang oleh guru BK.

Sekarang gue lagi sendirian di kelas, sekolah juga sudah sepi ditinggal penghuninya yang pada ngandang ke rumahnya masing-masing. Saat jalan jalan menuju pintu kelas, tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan keras, eng ing yang muncul adalah Bani, dengan wajah yang angker.

 “Kamu ya namanya Arya? Anak baru yang cari gara-gara!” Dia membentak gue, wajahnya terlihat merah karena marah. Gue mengangguk saja karena gue juga nggak tau mau jawab apa. Gue udah panik duluan dan takut sekaligus terkesan kegagaan Bani. “Kamu yang nyebarin gue homoo di kantin?” suara dia makin meninggi, tangannya juga menunjuk-nunjuk.
“Apaan? Gue nggak ngerti apa-apa,” jawab gue gemeteran, apalagi dia tambah mendekat ke arah gue.
“Alah.....belagak bego!! Coba inget-inget minggu kemaren, koen ngomong apa nang kantin?!!” Bani semakin dekat dengan gue, sekarang jaraknya cuma dipisahkan oleh meja. Tangan Bani sudah mengepal.
“Sumpah gue nggak ngerti apa-apa,” ucap gue membela diri, sebenarnya inget tapi gue mau cari aman saja. Kata lupa biasanya manjur. Kali ini gue emang takut beneran, berdasarkan kasak kusuk, Bani emang terkenal suka main pukul.

Gue liat telapak tangannya sudah mengepal dengan posisi siap menonjok. Tampangnya pun semakin garang, otot di bawah telinga menyembul kaku. Selangkah gue mundur untuk memberi jarak, tapi gue juga nggak ngerti harus ngapain lagi. Gue terjebak di kelas. Gue pasrah juga kalau dia memang mau nonjok pipi mulus ini.

Tanpa aba-aba tangan Bani yang sudah mengepal melesat cepat ke arah pipi gue. Mata gue terpejam nggak ingin liat pipi yang sudah dirawat dengan cream malam rusak begitu saja. Seharusnya kecepatan pergerakan tangan Bani melesat dalam 3 detik untuk menyentuh pipi, tapi ini lebih dari 6 detik gue nggak merasakan hantaman tinju. Perlahan mata gue buka, ternyata ada dua cowok ganteng di hadapan gue. Papan sedang mencekal tangan Bani yang nyaris meneyentuh pipi yang tanpa jerawat. Gue mundur selangkah lagi agar di luar jangkauan tangan Bani.

“Ucul belih –lepasin nggak-!!!” pekik Bani pada Papan yang masih mencengkram tangan Bani. Tampang Bani semakin murka aja.
“Ora –Nggak-,” Papan membalasnya lebih galak. Cengkraman tangannya semakin kuat karena Bani masih berusaha memukul gue. “Arya kue ora salah.... deweke belih ngarti apa-apa –Arya itu nggak salah, dirinya nggak ngerti apa-apa.”

Tangan Bani sudah turun, tapi wajahnya masih tetap angker. Papang juga sudah melepaskan cengkramangan. Tampaknya suasana sudah sedikit cair. Aku bernafas lega, pipi gue masih mulus nggak ada cetakan lebam. Tanpa kata-kata Bani meningglakan gue dan Papan. Sampai ujung pintu, Bani masih meletotin seakan matanya biacara kalau akan buat perhitungan lagi.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Papan perhatian. Matanya menyapu habis badan gue untuk memastikan gue baik-baik saja.
“Nggak apa-apa.” Suara gue masih gemetaran. Gue gemetaran bukan karena Bani mau mukul, tapi gue sedang terpesona kegagahan Papan. Otak gue sedang melayang pada sinetron. Gue seakan-akan sedang ditolong oleh pangeran pujaan hati. Ok, khayalan gue emang lebay.
“Yakin?” Papan kembali memastikan lagi. “Kayaknya kamu untuk berapa hari ini jangan keluyuran sendirian dech. Kamu tinggal panggil aku kalau kamu ada apa-apa atau butuh temen.” Papan menganmbil smarthpone gue yang ada di saku baju. Dia mengetuk nomor telpon selularnya di phone book, lalu mengembalikkan lagi di saku baju.
“Makasih ya,” ujar gue dimanis-manisin tentunya sambil menjaga kontrol. Padahal hati gue sudah girang banget loncat sana sini. Gue sudah dapat nomernya Papan dan dia sudah bersedia jadi bodyguard gue.

Sepanjang hari gue senyum sendiri, mengingat kejadian tadi siang. Gue ngerasa hidup ini bagaikan sinetron, anak lemah yang ditolong oleh lelaki pujaan hatinya, diakhir cerita mereka bisa hidup bahagia selamanya. Gue cuma bisa membayangkan itu, nggak bisa lebih karena ending indah hanya ada di sinetron. Gue harus realistis, belum tentu Papang menyukai gue. Dia hanya menunaikan kewajibannya sebagai manusia yang peduli terhadap sesamanya yang sedang terpojok.

Gue nggak mau putus asa, pasti ada celah untuk menaklukkan Papang. Bisa ditebak donk, malemnya gue ngobrol sama Papan lewat Line, gue dapet dari link nomer ponselnya. Gue juga dapet acount Facebook, Twitter, Path, dan Instagramnya. Gue sedang mengumpulkan data pribadi dia, mulai dari tanggal lahir, kesukaan, kegiatan sehari-hari, hobinya, dan lain-lain. Sayangnya gue nggak bisa dapetin informasi warna celana dalam yang dia suka.

Gara-gara peristiwa tadi siang pun gue jadi penasaran sama Bani. Langsung dech gue selancar mencari informasi yang lebih akurat dan detail,  untungnya Facebook dan Twitter Bani nggak. Gue jadi ngerti sisilain dari Bani, ternyata dia anak yang suka galau dilihat dari cuitan di Twitter dan status di Facebook. Malam ini sekian dulu untuk stalkingnya.

@@@

Siang itu, sekolah sudah sepi karena pulang cepat ada rapat guru. Dara juga sudah buru-buru pulang karena ada acara rujak-rujakkan bersama gank ceweknya. Gue pengen ikut sih tapi nggak enak, gue jadi laki sendiri nanti jadi latah cobain make up yang baru mereka beli. Tadi di kelas mereka sudah heboh pamer make up. Sumpah gue gregetan sama lipglosnya, baunya wangi banget. Eehhh, ya sudah lah.

Gue menelusuri koridor kelas yang sepi, tinggal ada beberapa siswa yang sedang menyelesaikan piket. Gue emang sering pulang belakangan karena biasanya suka ngeliatin anak basket main di lapangan, hhmmm bukan liatin caranya mainnya sih, lebih tepatnya liat body dan bulu ketek pemain basket termasuk Bani,hehehe. Hampir sama kelakuan gue dengan Bani (mungkin).

Gue ke kantin dulu, beli dua milk tea sekaligus. Gue emag doyang banget jadi mesti beli dua. Btw Bani juga suka sama minuman ini, dia sering mencuit lagi minum milk tea di taman belakang sekolah. Gue beli dua juga karena sapa tau ketemu dia jadi sekalian kasih minuman ini sebagai tanda maaf. Jujur aja gue jadi nggak enak hati atas gosip yang menerpa dia, secara nggak langsung gosip itu subur berkat gue.

 Itu dia target gue, sesuai dengan dugaan gue. Bani lagi duduk sendirian di bawah pohon pinus belakang sekolah. Gue pernah baca di TL Twitter-nya kalau tempat favoritnya di sekolah ya di sini. Sudah di dekat dia tapi gue ragu mau nyamperin. Bayangan insiden di kelas masih terbayang, gue jadi jiper sendiri. Dari jauh gue ngeliatin dia, mukanya teduh banget sama sekali nggak keliatan garang. Mungkin mooodnya hari ini dia baik. Gue bertekad untuk menghampirinya. Masalah ini harus bisa diselesaikan, gue nggak mau jadi bulan-bulanan dia.

“Hai...” sapa gue pada Bani yang membelakangi gue. Tangan gue gemetaran untuk memberanikan diri menyapa dia. Minuman yang ada ditangan bergoyang-goyang hingga sedikit tumpah.

Bani membalikkan badan, dan matanya terbelalak ngeliat gue. Wajah yang tadi teduh berubah drastis jadi garang, tapi tetep aja keliatan gagah. Tuh kan, gue jadi grogi beneran. Gue grogi deket sama orang gagah macam Bani. Ok, harus konsisten sebagai cowok pemberani, nggak boleh kabur.

“Pan apa koen mene –mau apa kamu ke sini-?” pekik dia. wajahnya memerah, rahangnya juga kaku. Bani memang terlihat begitu marah.

Gue tambah aja gemeteran, lutut sampai lemes. Pokoknya nggak boleh sampai pingsan. Matanya tajam banget ngeliatin gue, sampai bikin salting. Sekarang dia berdiri, OMG ternyata badannya agak kekar dikit, gue maiki nggak berkutik *gagal fokus. Ok,  mengatur nafas agar tenang.

“Gue minta maaf Ban.” Meski suara gue bergetar, tapi lancar menyampaikan permintaan maaf. “Sebagai permohonan maaf dari gue, ini untuk kamu.” Gue menyodorkan segelas plastik milk tea yang ada di tangan.
Bani masih bergeming, menatap gue lekat. Mungkin dia masih heran, gue lagi kesambet jin sekolah bisa berani berhadapan langsung. Otot Bani sudah mengendur tanda sudah sedikit rileks. “Oh..... jadi benar kamu yang menyebarkan gosip itu?” tanya Bani dengan ketus.
“Nggak tau. Tapi gue tetep harus minta maaf, karena reputasi kamu sudah ternoda, gue sedih dengarnya.” Tangan gue masih menjulur, berharap Bani menerima minuman yang udah gue beli.
“Ohh......,” suara Bani melembut. Dia juga kembali duduk di tempat yang sama, tanpa menghiraukan pemberian gue.

Gue mendekati Bani, dan duduk di sampingnya. Dia hanya menengok sejenak lalu pandangannya kembali lurus menatap air mancur. Meski berapa saat hanya ada suara hembusan angin, gue sudah cukup senag karena Bani masih membiarkan gue duduk di sampingnya. Artinya dia sudah mulai menerima gue. Minuman yang tadi gue beli ditaruh samping Bani. Gue nggak peduli dia mau meminumnya atau nggak yang penting niat baik sudah gue sampaikan.

Bani nengok ke arah gue, beberapa detik ngeliatin gue terus. Kenapa sih jadi kayak gitu, gue kan jadi grogi sendiri, apa lagi dia nggak ngomong-ngomong. “Maafin aku ya, memang bukan salah kamu koq.” akhirnya Bani bersuara juga. Gue lega dia nggak marah ke gue. “Kamu mau maafin aku kan?” tanya dia dengan suara lembut.
“Iya nggak apa-apa koq.” Gue bales pakai senyuman terbaik yang gue punya.
“Makasih udah beliin minuman kesukaan ku.” Bani mengambil lalu menyeruput milk tea. “Koq kamu tau aku suka milk tea?”
“Ehh.. hhmmm,” gue tergagap bingung mau jawab apa, nggak mungkin juga gue jawab ngeliat dari Twitter. Nanti dia kira gue adalah psikopat yang lagi buntutin korbannya. ”Gue sering liat lo, bawa milk tea kemana-mana,” jawab gue berkilah.
“Ouhhh.” Dia kembali menyeruput minumannya. “Kamu anak Jakarta kan?” tanya dia. Gue Cuma balas mengangguk karena posisi gue sedang minum. Tampaknya dia akan mengaukan pertanyaan lagi tapi ada keraguan. “Menurut kamu wajar nggak sih.....” Bani menghentikan omongannya, dia masih ragu untuk menyampaikan. “Kalau sahabatan cowok tapi mesra gitu?”

Bersambung


Telah Tersedia buku kumpulang Cerpen Bertemakan Gay. klik sini untuk pemesanan dijamin gak nyesel kalau udah beli dan membacanya. TEMUKAN IDENTITAASMU DALAM KAMUFLASE

No comments: