Hari ini sudah siap menghabiska waktu bersamanya. Aku
memilih kaos berwarna sama dengan dia yaitu pink, norak sih tapi tak apalah ini
buat kesenangan kita saja. Tidak lupa aku juga pakai topi yang diberikan dari
dia, sebenarnya aku tidak suka pakai topi ya ini untuk menghormati dia jadi
cukup sekali ini ku pakai. Semoga hari ini bakal sesuatu yang seru.
Ku keluar dari kamar dengan riang karena akan dimulainya
sesuatu yang menyenangkan. Aku liat dia sedang bercengkrama bersama mamah di
ruang keluarga. Dia juga sudah seperti dianggap keluarga di rumah ini. Dari
kejauahan dia terlihat gagah sedangan dari dekat dia terlihat tampan. “What
kenapa aku jadi ngelamunin dia lagi” Aku tersadar kemabali dari lamunan dan
bisa-bisanya aku masih saja mengagumi dia.
“Hai…..Gud morning” Sapa mamah pada ku. “Kalian kayak
pacaran aja pake kaos warna sama.” Mamah mengernyitkan dahi heran.
“Oh…” Aku menengok ke dia dan melihat baju ku sendiri
pura-pura baru menyadari kesamaan warna kaos. “Kebetulan aja mah tadi kaos ini
ada paling atas jadi langsung ambil.” Aku melancarkan alibi. Ku lihat dia hanya
cengir jailnya lagi tanda kesenangan aku yang sedang salah tingkah.
Pagi ini dia sukses buat ku salah tingkah. Masih ada banyak
waktu yang akan kita habis bersama. Akan ada salah tingkah apa lagi yang ku
lakukan. Dan ada keusilan apa lagi yang akan dia perbuat hingga aku dibuatnya
malu dihadapannya. Entah lah aku tidakperdulika lagi, yang penting aku aka
jalan sama dia. Aku jadi berfiikir lagi, ini kan sama saja yang namanya
ngedate.
“Kalian mau kemana? Sarapan dulu gih,” pertanyaan mamah
mengagetkan aku yang akan melamunkan dia lagi.
“Makasih tante, tapi kita mau sarapan di luar aja biar
sekalian berangkat.” Dia menolak tawaran sarapan dari mamah ku.
Sebenarnya mau di
bawa kemana aku ini? Aku jadi penasaran juga. Kita segera berpamitan kepada
mamah ku.
“Loh mana mobil mu.” Tanya ku heran, tumben dia nggak bawa
mobil.
“Aku kan nggak ada kendaraan lagi disini. Udah di kirim ke
Denpsar.”
“Ouh iya aku lupa. Kalau gitu pakai mobil ku saja ya.”
“Pakai motor saja lah, ya ya ya ya,” dia mengusulkan sambil
merengek seperti anak kecil menggelayut di pundak ku. “Aku saja dech yang
nyetir, aku tau kamu alergi terik matahari.”
Entah kenapa aku jadi menuruti lagi perintahnya dia.
Terpaksa aku mengeluarkan motor yang terparkir di garasi belakang. Dia sudah
bersiap dengan jaket kulitnya dan helm full face kepunyaan adik ku. Sekali lagi
aku terpesona padanya, dia terlihat gagah sekali. “Lenyapkan pikiran itu,”
pintaku dari dalam hati.
“Rute pertama kita sarapan bubur ayam,” Dia mengendarai motor sport tersebut menuju
alun-alun. Sedangankan aku di membonceng dibelakangnya.
Aroma parfumnya tercium jelas terbawa angin. Sudah tiga
tahun ini aku terbiasa mencium aroma ini, pasti aku akan merindukannya. Mungkin
dia tau apa yang nanti ku rasakan sehingga waktu dia nembak aku memberikan
parfum kesukaannya. Dia ingin aku selalu mengingatnya walau hanya dengan
parfumnya. Aku bahagia, aku masih bisa memeluknya.
Jarak antara rumah dengan alun-alun tidak terlalu jauh.
Terlihat jelas sudah banyak orang yang berjejal gerobak bubur tersebut. Ada
bangku yang tersusun rapi dan hampir semuanya diempati. Setelah memarkirkan motor kita lebih memlilih
duduk di pinggir trotoar. Udara pagi itu masih sejuk dan agak mendung jadi
tidak terlalu panas. Masih ada beberapa orang yang jogging di pinggir lapangan.
“Mau pesan apa mas?” Tanya pelayan yang menghampiri kita.
“ Dua bubur ayam yang satu komplit yang satunya lagi nggak
pake kacang, kuahnya yang banyak, daun sledrinya sedikit aja, satenya ati ayam.
Minumnya satu teh panas satu lagi teh anget gulanya sedikit aja jangan di aduk.
“ serentetan pesananan dia sampaikan apalagi sampai sedetail itu, tampak abang
pelayan tersebut agak kebingungan.
“Kamu koq hafal sih pesenan ku yang super ribet itu.” Tanya
ku heran.
“Iyalah kan aku selalu tau apa yang kamu .” Dia tersenyum
puas penuh kemenangan.
Dia memang menang. Dia benar juga dia bisa tau apa yang ku
mau walau tanpa ku ucapkan. Aku juga nggak tau dia bisa tau dari mana. Disaat
aku galau entah dari pada dia hadir dihadapan ku, aku curhat ke dia berbagai
persoalan dan dia memang seorang penasehat ulung. Setiap kali nasehat yang dia
berikan dan ku jalani berhasil memperoleh hasil yang memuaskan. Dia tau ketika
aku mau sesuatu hal dia yang memberikannya. Dia terlalu baik untuk ku.
“Dulu waktu awal kamu selalu menyeretku jogging kelapangan
sebenarnya kesel banget.” Dia mulai bercerita masa lalu itu.
“Terus kenapa kamu mau?” Selidik ku.
“Kalau di ibaratin ni ya… kamu jadi petaninya aku jadi
kebonya, jadi entah kenapa aku mau aja di seret-seret kamu kaya kebo,
hahahaha.” Dia tertawa lepas seperti tidak ada beban hari ini.
Aku juga iku tertawa, senang liat dia bisa tertawa seperti
itu. Aku juga tidak boleh sedih dihadapaan dia karena hari ini terakhir kita
ada di kota ini.
“Setelah ku berhasil seret kamu ke alun-alun eh kamu malah
tidur di pojoka situ kaya gelandangan.” Aku menambah cerita sambil menunjuk
bangku permanen yang ada di pojokan di bawah pohon rindang.
“Setelah kamu puas jogging kita pasti makan bubur ayam
disini tentunya kamu yang bayar sebagai rasa tanggung jawab membangunkan aku di
pagi buta dan sekarang saat aku membalas.
“Ouh ini jadi balas dendam, wah jadi takut nih nanti ada apa
lagi ya?” Aku bergindik pura-pura takut. Aku tau dia hanya bercanda.
Setelah selesai makan kita pergi ke sekolah mungkin ini
terakhir kalinya buat dia karena dia benar-benar meninggalkan kota ini. Disini
keluarganya pendatang jadi tidak ada saudara. Begitulah bagi pendatang datang
dan pergi begitu saja. Suasana sekolah sepi karena ini sudah masuk liburan.
“Ngapain sih kita ke sekolah lagi?” protes ku yang masih aja
duduk di motor. Rasanya males banget datang ke tempat ini artinya mau nggak mau
membuka memori lama kebersamaa kita.
“Inget nggak pertama kali kenalan?” Dia tanya tetapi tidak
menoleh ke arah ku. Matanya memandang lapangan.
“Inget,” jawab ku singkat karena males membicarakan tentang
hal itu lagi.
“Apa kesan kamu waktu itu?”
“Hhhmmmm” aku tidak bisa langsung menjawabnya karena masih
bingung harus mengatakan apa. “Apa ya? gak ada sih tapi aku seneng, langsung
dapetin temen baik seperti kamu. Coba kalau waktu itu kamu gak kasih barang ku
yang berceceran pasti aku kena hukum.” Aku jawab sekenanya aja padahal aku masih punya jawaban
yang lebih baik.
Dalam benak ku waktu itu lebih dari kata senang yaitu
bahagia. Aku meliha tatapannya menghunus mata ku. Kontak pertama itu sangat
berkesan. Matanya begitu indah di bingkai dengan alis hitam dan tebal
tersekesan gagah. Upss aku bukan gay jadi tidak boleh terkesima dengannya
tetapi rasa terpesona itu tetap menyeruak di pikiran ini.
“Ah boong. Pasti waktu itu kamu langsung naksir aku kan?”
kali ini dia menoleh ku sampil mengedipkan mata usil.
“Bukan itu,” aku langsung mengelak perkataannya. “Aku mulai
suka kamu waktu drama Bahasa Indonesia waktu kamu kasih contoh.” Kata itu
melunncur begitu saja dari mulut ku tanpa kendali. Aduh aku keceplosan.
“Yes berhasil,hahahaa,” sekali lagi dia tertawa menang
membuat pancingan agar aku mengatakan kejujuran.
Mampus ternyata dia tau apa yang aku pikirkan, itu salah
satu kehebatannya yaitu bisa membaca pikiran ku. Untuk menutupi rasa malu itu
aku memalingkan muka tapi usaha itu sia-sia karena dia langsung pindah tempat
wajahnya langsunng menatap ku sambil senyum. Aku akui dia memang pintar membuat
ku tarus tersipu malu.
“Jujur saja pertama kali ketemu kamu, aku langsung suka
kamu,” ucap dia serius senderan di motor persis disebelah ku. “Aku liat kamu
unyu-unyu banget kayak adek ku yang sudah meninggal. Aku punya firasat kamu
akan menjadi sahabat sejai ku, makanya aku mendekati kamu. Ternyata dugaan ku
salah, bagi ku kamu bukan sekedar sahabat, tetapi bisa jadi adek ku karena kamu
begitu manja.” Di akhir kelimat dia menengok ku dengan senyum tulus, tidak
seperti tadi yang jail.
Tiba-tiba saja dia menarik ku terpaksa dech jadi turun dari
motor. Dia terus menarik ku sekarang aku lah yang jadi kebo dan dia petaninya.
Aku pasrah di tarik dia entah mau dibawa kemana. Kita masuk kedalam sekolah.
Setelah di dalam kita berkeliling di lantai bawah.
Sampai lah di depan kelas ku waktu kelas dua. Sebuah
ruangan kelas berbeda dari yang lain karena kelas tersebut dulunya sebuah
laboratorium fisika. Penghuni sekolah mengenalnya sebagai kelas akuarium karena
hanya kaca yang mengeliligi kelas tersebut punya juga ada di tengah. Di depan
pintu ada dua tingkat tangga kecil. Entah kenapa padahal belum capek juga aku
dan dia duduk sini.
“Aku boleh jujur gak?” Tanya ku pada dia.
“Boleh lah.”
“Waktu kita perang dingin kelas dua aku sangat kangen kamu.
Aku sering duduk disini sendirian perhatiin kamu,” kata ku sambil menerawang ke
kelas seberang.
“Oh ya kelas ku di sebrang kelas ini ya.” Dia menunjuk
kelasnya yang sebrang kelas ku hanya di pisahkan lapangan kecil. “Jujur saja
aku juga rindu kamu saat itu. aku juga diam-diam suka perhatiin kamu. Dari
situ rasannya aku ingin sekali menghampiri kamu tapi…..” Dia tidak melanjutkan
kalimatnya. Mungkin dia takut barang kali salah bicara dan membuat ku marah.
“Iya aku tau tidak usah di lanjutkan.” Aku berusaha memahami
dia. Sebenarnya aku masih penasaran kalimat lanjutannya.
“Tapi waktu itu aku berusaha mengelak perasaan cinta ini
pada mu. Ternyata perasaan itu tidak bisa dihilangkan. Semakin ingin melupakan
cinta ini eh yang ada kamu tiba-tiba nyelonong lewat depan ku. Emang ya rasa ini
tidak bisa dipungkiri.”
“Hehehe, aku kan emang selalu nganganin. Apa lagi aku bohai.
Itukan yang kamu suka.” Aku bercanda untuk mencairkan suasana.
“Yee…. GR.”
“Udah yuk jalan lagi, sekarang ini kita mau seneng-seneng.
Kamu janji kan hari ini nggak ada kesedihan.”
Kita berjalan meninggalkan kelas itu dan meninggalkan
kesedihan. Masa sekolah adalah tidak pernah tergantinkan senang dan duka
melengkapi indahnya masa itu. Aku juga menemukan kebahagiaan bersama dia . Aku
tidak menyesal mengambil keputusan sekolah disini. Tadinya aku males banget
masuk sekolah ini karena hampir semua sahabat SMP masuk ke sekolah yang lebih
elit. Tetapi orang tua memaksa ku masuk disini meskipun tidak elit tetapi mutu
pendidikannya lebih bagus.
Kita sudah menyusuri lagi jalanan raya sepertinya akan
menuju ke kota sebelah tetapi aku juga tidak tahu tepatnya akan pergi kemana.
Aku sih menuruti dia saja, karena dia pasti sudah merencanakan jadwal dan
waktunya untuk bertualang hari ini. Aku tidak ingin merusak rencana itu dan
kebahagiaan dia.
Kurang lebih 15 menit perjalanan kita sampai di sebuah taman
bermain disamping mall. Sepertinya taman ini baru saja di buka karena masih
sepi hanya ada beberapa motor dan mobil yang terparkir. Aku turun dari motor
mengikuti dia dari belakang. Dia yang membeli tiket masuk aku tidak
diperbolehkan mengeluarkan duit sepeser pun.
“Ini adalah harinya kamu, jadi aku yang merservice kamu.”
Kata dia serius sambil mengambil dompet ku dan memasukannya lagi ke dalam tas
ku.
Setelah itu kita baru masuk dalam taman tersebut. Tetapi
kita malah bingung akan mencoba wahana mana dulu. Sebenarnya aku sudah pernah
mencobanya semua tentunya bersama dia waktu pertama kali taman ini dibuka.
Lagian masih banyak wahana yang belum beroperasi sepenuhnya.
“Eh ke toko souvenir itu yuk.” Ajak dia sambil menarik ku.
Di dalam toko yang berbentuk kastil itu aku hanya
melihat-lihat karena emang tidak ada yang menarik bagi ku. Lagian toko in
berisi mainan anak kecil sudah tidak pantas aku membeli mainan itu semua.
Padahal dulu aku sering merengek sama mamah minta dibelikan mainan terbaru. Ku
lihat dia ada dimeja kasir, aku tidak perduli dan tidak ingin tau dia membeli
apa.
Sesudah membayar barang yang di beli dia tengak tengok
mencari ku. Aku tahu dia akan segera meninggalkan toko ini. aku menghampiri dia
sebelum dia histeris kehilangan ku. Dia memang suka aneh tiba-tiba histeris
jika kehilangan ku di tempat keramaian. Pernah ada kejadian kita ke pasar malam
dan tanpa sengaja gedangan kita terlepas. Dia langsung panik apa yang dia
lakukan sangat konyol dia naik wahana kincir angin dan dengan Toa memaggil nama
ku. Saking malunya aku karena semu orang melihat kita, akhirnya aku membli
topeng untuk menutupi muka.
Kita keluar dari toko itu dan berjalan menuju pohon.
Sesampainya di pohon dia mngeluarkan susuatu yang ada di kantong kresek yang
barusan dibeli di toko souvenir. Benda tersebut ada sebuah mahkota raja dan
satu pedang. Aku masih belum paham mengapa dia membeli itu.
“Kamu adalah pangeran ku,” ucap dia sambil memakaikan mahkota.
“Aku adalah jendral yang siap akan melindungi pangeran.” Dia mangacungkan
pedang mainannya ke atas.
Aku terbengong-bengong mendengar pernyataan dia. So romantic
sekali. Aku jadi gugup nggak tau mau komentar apa. Hati siapa pun juga kalau di
begitukan pasti meleleh deh. Ok’ aku harus konsisten I’m not gay so jangan
terhasut adegan romantis tersebut. Tapi aku tidak bisa menyangkalnya kalau
kejadian tadi buat aku klepek-klepek.
No comments:
Post a Comment