Sunday 3 November 2013

Cerbung Chapter 4 : Dia, Speachless (Part 12)

Setelah mandi aku mendapati dia duduk dipinggir jendela. Kebiasaannya tidak berubah, entah kenapa dia bisa suka banget duduk di pinggir jendela. Aku jadi penasaran juga

“Hmmm kenapa kamu suka sekali duduk di pinggir jendela?” Tanya ku sambil menghampiri dia.
“Ouh sudah selesai,” ternyata dia tidak menyadari kedatangan ku dari tadi. “Awalnya sih waktu masih jaman sekolah liat jendela mengharapkan kamu ada di depan rumah. Kamar ku kan bisa langsung liat depan.”
“Gitu toh….jadi GR nih,hehehehe.”
“Abis kamu selalu ngangenin.” Kata dia tidak ketinggalan dengan senyum yang menggemaskan. “Jalan yuk, kemana gitu keq masa aku udah di Bali di anggurin.”
“Hayuk kita bernosatalgia seperti dulu hari terakhir kita ketemu.”  Aku mengungkapkan sebuah ide padannya.
“Terserah aja dech aku ngikut aja. Hari terakhir pas SMA dulu? Aku udah lupa.”
“Beneran lupa? Kamu senderan di pundak ku terus nangis-nangis,hahahah.” Aku bencandain dia.

Dia hanya tersipu malu. Mungkin sekarang dia sudah bisa mengingatnya lagi. aku harap sih dia ingat. Aku sendiri tidak akan pernah lupa kejadian itu. Karena itu kenangan terakhir bersama dia sebelum hari ini. Masih teringat dengan jelas hangatnya tubuh dia ketika memeluku dan terlihat betapa derasnya air mata yang tumpah dari matanya saat ketika akan berpisah. Semaki nyata aku memang tidak pernah bisa melupakan dia.

Aku ingin hari ini lebih terkenang dari pada terakhir kita bertemu. Aku berharap hari ini ada kejadian luar biasa. Sebenarnya kedatangan dia hari ini tiba-tiba sudah lebih dari luar biasa. Sampai saat ini aku masih mengira sekarang adalah mimpi. Tapi setelah mendapat pelukan dari dia baru terasa ini bukan mimpi. Saat ini dia sedang memeluk ku dari belakang karena kita menuju Toya Bungkah yang ada di Kintamani dengan mengendarai motor. Semakin keatas semakin erat pelukannya karena hawanya menjadi dingin.

Tanpa terasa sudah 45 menit perjalanan. Sekarang sudah sampai di daerah Kintamani tepat ditepian tebing kaldera Gunung Batur. Dibawah ada danau Batur dan disebrang kita ada Gunung Batur, Toya Bungkah sendiri ditepian danau tepat dibawah gunung. Sesampainya dibawah Aku memilih salah satu pemandian air panas disitu. Kali ini terpaksa aku dan dia berendam di kolam umum tepat di pinggir danau. Tiada henti dia terkagum-kagum oleh eloknya pemandangan.

Kita berendam dibawah pancuran air hangat dia ada sebelah ku. Kini dia tidak seculun dulu potongan rambutnya pendek dan jabrik. Sekarang dia terlihat lebih maskulin dengan kumis tipis serta jenggotnya. Aku baru menyadari ternyata kita sudah sama-sama dewasa.

“Hei,” aku memanggil dia. “Koq sekarang kamu ganteng?” Aku memujinya.
“Iya donk, kan buat orang terspesial.” Balas dia dengan senyum misteri.
“Siapa orang itu?” Tanyaku penasaran.
“Rahasia.” Ucap dia sambil meninggalkan ku. Dia menuju kolam yang tepat dibibir danau.

Aku hanya terdiam masih mencerna apa yang barusan dia katakan tadi. aku mengambil kesimpulan dia sedang menyukai seseorang atau bahkan mencintainya. Otak ku masih berputar siapa yang dia sukai apakah wanita atau pria mungkin bisa saja itu aku? Aku mencoba menenangkan diri dulu aku tidak ingin jadi GR-an.

Dari kejauhan aku melihat dia tersenyum misteri kepada ku. Aku hanya membalas senyum seadanya saja karena kepala ini masih berkutat dengan pernyataan dari dia. Semakin ku memandang dia ada rasa ingin tahu siapa yang dia sukai. Aku mendekatinya lagi tujuan utama ku untuk menyangakan siapa yang dia sukai.

Aku sudah tepat disampingnya. Dia membalikan badan memandang tenangnya air danau dan dari kejauahan menjulang tinggi tebing dinding kaldera. Aku sendiri bersandar di tepian kolam. Kenapa bibir ini menjadi jadi kelu ketika ingin menanyakan suatu hal yang penting. Ada perasaan yang mengganjal. Aku takut menghadapi kenyataan bahwa yang orang dia sukai bukan aku.

Di bawah permukaan air tiba-tiba tangan ku merasakan genggaman dari tangan dia. Hawa hangat menjalar ke atas otak ku yang sedang beku mimikirkan isi hatiya. Sepertinya dia tau aku sedang bingung.

“Sudah jangan kamu pikirkan siapa yang aku suka.” Dia mengatakan itu dengan pelan mencoba menangkan aku.
Aku menolehnya tersenyum. “Jahat saja kalau sampai kamu nggak menceritakan siapa orang yang kamu sukai. Aku kan sahabat mu.”
“Hei kenapa kamu yang jadi ngambekan?” Dahi dia mengernyit melihat sikap ku yang menjadi seperti anak kecil. “Yang berhak ngambek dan merajukkan itu aku.”

Secara reflek dia memeluk ku. Tubuh ini menjadi kaku mendapat kejutan seperti itu. bebarapa pasang mata melihat kita dengan aneh tapi dia tidak memperdulikannya. Aku juga tidak sanggup untuk menepis pelukan itu karena aku menikmatinya.

“Aku kangen kamu banget.” Bisik dia pelan di telinga ku.
Aku membalas pelukannya. “Aku juga kangen kamu koq.” Jawab ku seadanya.

Dia melepas pelukan tetapi tangannya masih menggenggam tanga ku. Aku sendiri canggung dan tidak tahu mau berbuat apa dan mesti ngomong apa. Meskti sekarang sudah lebih tenang setelah mendapat kejutan pelukan darinya.

“Ich bohong masa kangen sama aku?” Kata ku dingin pura-pura tidak mempercayainya.
“Kalau nggak kangen kamu, mana mungkin aku saat ini ada disamping mu.” Dia membalasnya dengan ketus. Tangannya masih memegangi ku.
“Kan hampir tiap hari kita skype.”
“Tapi kan skype aku nggak bisa merasakan pelukan dari mu.”

Aku merangkul dia. terlihat mimik senang di wajahnya. Ternyata sifat manja ini memang belum pudar darinya. Dalam rangkulan ku kepala menyender di bahu.

“Emag di Jogja kamu nggak meluk orang lain? Pacar gitu misalnya.”
“Kan kamu tau nggak punya pacar.”
“Terus orang yang kamu suka itu?”
“Nanti aja aku jelasin. Sekarang ini aku hanya ingin bersama mu. Ok?”

Aku tidak berkutik lagi ketika dia mengatakan seperti itu. Sebenarnya aku masih penasaran siapa orang yang maksudnya. Tapi aku tidak ingin merusak hari yang indah ini dengan perdebatan yang. Selepas itu kita hanya ngobrolin kegiatan keseharian kita. Meski sudah saling tahu karena hampir setiap saat kita juga berkomunikasi lewat telpon, sms atau pesan instan.
“Udah hampir sore cabut yuk aku ingin liat sunset.”
“Ouh iya kamu kan paling suka liat sunset. Tapi kamu jangan nangis-nangis lagi ya,hehhehe.”

Kita beranjak dari pemandian itu jam 3 sore semoga masih bisa melihat sunset di pantai Kuta. Sebenarnya aku ingin mengajaknya di pantai Balangan yang tempatnya lebih bagus tetapi terlalu jauh hampir dipastikan malah nggak kebagian sunset.

Sekarang sudah ada di pantai Kuta. Terlihat banyak sekali turis bule dan lokal yang sedang menantikan sunset. Ada sebagian pengunjung yang mandi-mandian di tepian laut. Sedang aku memelih duduk diatas empuknya pasir berwarna krem. Dia sendiri ada disamping ku menikmati matahari yang perlahan pasti pasti menuju garis horizontal. Tangannya masih ku genggam dengan erat.

“Kenapa kamu pegang tangan ku terus dari tadi?” Suara dia terdengar lirih namun bernada senang.
“Aku mau menjaga kamu terus.” Aku membalas apa adanya remasan tangan ku semakin kuat.
“Gombal ah,ahahahah.” Dia menanggapi pernyataan ku yang dianggapnya bercanda. “Aku udah gede nggak perlu dijagain.”
“Kan aku udah janji sama kamu. Aku jagain kamu sampai kapan pun. Mumpung sekarang lagi ketemu aku jaga kamu dengan menggandeng tangan kamu.” Aku sedikit agak jengkel karena tadi dianggapnya tidak serius.

Dia melepas genggaman tangan. Tetapi tangannya berganti melingkarkan kebadan ku yang sama artinya setengah memeluk.
“Itu yang aku rindukan dari mu. Setiap ada disisi kamu, aku selalu merasa aman.” Dia menengok pada ke hadapan ku. “Selama di Jogja aku merasa hampa karena nggak ada njaggain aku. Biasanya kamu selalu ada disisi ku.”

Hanya helaan nafas yang bisa kulakukan setelah mendengar tanggapan dari dia. Apa itu tandanya dia mencintai ku atau mengharapkan aku jadi “pelindungnya”?. Aku masih belum mengerti arti pesan yang dia sampaikan.

“Maaf aku tidak menepati janji ku pada mu. Aku malah meninggalakan mu di Jogja sedang kan aku lari disini.” Aku tertenduk menyesali tidak ada disampingnya.
“Nggak perlu minta maaf. Aku sadar koq kita kan punya kehidupan masing-masing. Disini kamu kuliah mencari masa depan mu aku juga di Jogja mencari masa depan ku.” Kata-kata yang meluncur dari mulutnya sungguh bijak memuat ku agak tenang sedikit. Dia berhenti sejenak tetapi matanya masih menatap ku dengan sendu. “Walau kamu nggak disamping ku tapi, aku merasa setiap malam kamu ada dihadapan ku.”
“Iyalah setiap malam kita skype, menceritakan keseharian kita. Hahahaha.”
“Mungkin itu juga kali ya aku nggak merasa kesepian karena kamu masih selalu ada untuk ku.”

Aku tidak tahan tatapan dia. Rasanya aku ingin menciumnya. Tetapi aku mengurungkan melakukan itu karena terlalu ramai disini. Meskipun aku yakin mereka tida yang menghiraukannya. Tetapi sama aja ini adalah tempat umum.

“Aku masih heran kenapa ya kita masih tetap dekat dan setiap hari berkomunikasi. Padahal aku juga sudah kehilangan kontak dengna teman dekat ku yang lain.” Aku mencoba mengalihkan perhatian pikiran ku yang ingin mencium dia.
“Iya juga ya. mungkin sebenarnya kita sudah saling memiliki. Jadi rasanya sehari saja nggak ketemu rasanya nggak enak seperti ada yang hilang.” Dia mencoba menjelaskan menurut logika pikiriannya.
“Hhhmmm saling memiliki.” Aku berhenti sejeak mencari kata selanjutnya yang tepat. “Kayak pacaran aja saling memiliki.” Kata ku ngasal.
“Emang selama ini kita nggak pacaran?” Dia tersentak kaget dan cemberut. Mulai dech sifat anak kecilnya kumat.
“Lah kan waktu itu kamu yang nolak aku waktu nembak kamu.”
“Iya sih…… Terus sekarang kamu mau nggak jadi pacar ku?” Tanya dia dengan memandangku penuh harap.


Seketika itu pikiran ku blank. Aku belum menyiapkan jawaban pertanyaan mendadak ini. kenapa dia tiba-tiba mengatakan itu, maksudnya apa? Aku speacless.

No comments: