Monday 12 October 2015

Keputusan Ku


Sepanjang hari Tri murung di kamar. Peristiwa kemarin masih terngiang dengan jelas, hal itu merupakan pukulan telak. Tri kecewa pada diri sendiri karena menganggap telah melakukan kebodohan melamar Roro. Selain itu Tri juga kecewa terhadap Roro yang selama ini tidak jujur mengenai penyakitnya. Dua kekecewaan yang melebur menjadi satu. Cintanya seakan terhempas begitu saja.

Tri masih bisa bernafas lega, bapaknya Roro masih memberikan waktu untuk memikirkan ulang lamaran. Meskipun begitu tetap saja membuat tersiksa Tri, pikiran itu masih menggelayut, memilih melanjutkan hubungan dengan Roro atau melepaskan begitu saja.

Pilihan yang sulit dan mengusik pikiran. Bila terus melanjutkan hubungan dengan Roro ada kemungkinan tidak bisa punya anak. Padahal, disebut keluarga karena ada ayah, ibu, dan anak. Kehadiran anak melengkapi kebahagiaan keluarga. Penerus silsilah keluarga juga dari anak. Intinya bagi Tri adalah anak harus wajib ada di dunia, bukan hanya di awang-awang.

Untuk mengakhiri tali kasih juga tidak semudah memutuskan benang. Sudah terlalu jauh berjalan bersama Roro sebagai kekasih. Banyak kenangan yang sudah membekas di hati. Tri merasa nyaman di samping Roro yang punya sifat keibuan, apalagi masakan Roro sangat enak mirip buatan ibu. Salah satu alasan Tri mencintainya kerena masakan.  Awalnya Tri juga yakin Roro akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak. Tapi sekarang anak adalah harapan hampa bila melanjutkan hubungan dengan Roro ke dalam pernikahan.

Sejak pulang dari Solo, belum ada kabar dari Roro. Tri juga masih belum bisa menghubungi Roro dalam keadaan kalut seperti ini. Tri takut jika masih emosi akan membuat kuputusan yang salah, ini adalah masalah hidup untuk jangka panjang. Tri ingin ambil keputusan dengan tepat dan tenang.

“Heh!! Ngelamun aja!!!” Tangan Abi memukul pundak Tri untuk menyadarkan dari lamunan.

Tri segera tersadar, untung ada Abi yang menghentikan akitifitas melamun. Bila dilanjutkan ngelamun berkempanjangan bisa stres jiwa Tri.

“Nggak ngelamun,” Tri menyangkal sambil menghela nafas, mencoba meluruhkan semua beban fikiran.
“Nggak ngelamun tapi masih mikirin yang kemarinkan?” tebak Abi sambil menyodorkan makanan yang dipesan Tri.
“Gimana nggak mikirin, kalau dihadapkan seperti itu,” Tri mendengus kesal dengan polemik masalahnya sendiri.
“Kalau cuma dipikir nggak akan menyelesaikan.” Tri mengambil kursi di samping Tri yang kosong karena belum diduduki sama yang punya. “Kamu harus membuat keputusan.”
“Roro aja belum hubungin aku,” entah kenapa Tri malah mengkambing hitamkan Roro.
“Dia itu sedang menunggu keputusanmu,” Abi menekankan pada kata menunggu. Abi ingin Tri segera membuat keputusan.
“Jika ini terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan?” Tri membalikkan pertanyaan. Tri ingin mendengarkan opini dari pihak lain, jika mendapat masalah yang sama.
Abi malah jadi tercenung mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang rumit dari Tri. Sebisa mungkin Abi mencari alasan yang bijaksana.

“Apapun kedaannya, siap menerima hidup bersama orang yang aku cintai. Meski dokter memovonis seperti itu, masih ada Tuhan yang selalu memberi keajaiban. Kebahagiaan bukan dari anak saja, tapi yang penting kualitas hubungan oranga tuanya juga.” Abi terperangah atas ucapannya sendiri, hampir saja melonjak kegirangan telah menciptakan kata-kata yang super memotivasi.

Tri juga ikut takjub oleh kata-kata super motivasi dari sahabatnya. Mulut Tri sampai ternganga mendengarkan ucapan Abi yang tumben banget benar. Biasanya dia selalu mengomentari seadanya saja itu juga masih mending, lebih menjengkelkan kalau menanggapi tidak serius dengan guruauan yang garing.

Tri kembali berfikir ulang tentang hubungannya dengan Roro. Apa yang dikatakan oleh bi ada benarnya. Bahwa segala sesuatunya memang Tuhan yang menentukan, manusia hanya berencana dan berangan-angan. Siapa tahu memang ada keajaiban kalau Roro bisa hamil dan melahirkan anak, Tuhan maha penentu.

Abi terus menerawang raut wajah Tri yang masih tampak ragu dan gundah. Tatapan mata Tri masih kosong, tandanya masih memikirkan.
Bro..... keraguan itu akan sirna kalau kamu memang benar-benar mencitai Roro,” Abi mencoba mengembalikan rasa optimis pada sahabatnya.
“Aku nggak ragu.....” suara Tri tercekat memikirkan kelanjutannya. Tri bingung dengan semua ini.
“Gini dech. Anak itu hasil dari percampuran manusia. Kita lelaki nggak bisa menghakimi kalau semua salah istri kalau tidak menghasilkan anak. Mentang-mentang punya rahim semua bisa diserahkan oleh istri. Nggak jugakan,” Abi tahu betul apa yang masih difikirkan oleh Tri.

 helaan nafas panjang keluar dari mulut Tri setelah ucapan Abi rampung. Abi masih menebak kalau Tri memikirkan jika semua penentu dari keturunan adalah dari pihak istri. Apa yang di kepala Tri memang begitu.

“Dari suami juga bisa menentukan terbentuknya anak atau tidak. Jadi yang mandul itu nggak cuma dari istri. Sapa tau sperma dari suami kurang bagus, jadi nggak bisa bikin keturunan juga kan?”  Abi kembali melanjutkan omongannya yang tadi sebenarnya belum selesai. Tadi Abi mengambil jeda untuk melihat reaksi Tri, tetapi ternyata sama saja, Tri terbungkam dengan pikirannya sendiri.

Hati Tri mencelos setelah mendapat hujaman kata-kata dari Abi yang sedikit menyayat. Untuk kesekian kalinya omongan Abi benar. Pihak suami juga bertanggung jawab atas pembuahan. Bukan sekedar ejakulasi saja, tetapi apakah spermanya berkualitas atau tidak.

Dalam benak Tri, apa perlu juga dirinya memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui kondisi spermanya. Bisa saja dirinya yang mandul. Setidaknya mengetahui lebih dini agar bisa mengantisipasi atau melakukan rencana untuk menghasilkan anak.

“Pikirkan baik-baik lagi bro,” Abi mengakhiri diskusi. “Lebih baik kamu segera bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengan Roro.”

Ahhh Abi kembali mengingatkan tentang keberadaan Roro. Tapi bagaimanapun juga memang harus segera dibicarakan untuk menentukan rencana kedepan atau berhenti sampai disini saja.

@@@

Seragam kerja masih melekat di badan Tri. Sejak pulang kerja, Tri hanya terpekur di sofa. Tangan kanan menggenggam smarrthphone. Berulang kali Tri coba menghubungi Roro namun ketika nomor sudah ada di depan mata, diurungkan lagi. Ada banyak yang harus dibahas bersama Roro, tetapi Tri belum menemukan kalimat pembuka.

Pertama Tri harus membahas tentang perkawinan, entah mau dilanjutkan atau berhenti. Itu semua tergantung dari keputusan kedua belah pihak. Tri belum bisa membuat keputusan, hatinya masih galau. Impian yang selama ini ada dibenaknya berantakan oleh sebab terkuaknya penyakit yang diderita Roro.

Kedua masalah keturunan, itu juga membelenggu fikiran Tri untuk mempertimbangkkan pernikahannya dengan Roro. Meski Abi sudah mencoba menenangkan Tri, namun masih saja gundah. Tri masih berkutat bahwa anak adalah sumber kebahagiaan. Sampai saat ini juga belum tahu kedepannya bagaimana.

Pihak keluarganya Tri juga perlu difikirkan. Sebenarnya ibu sudah sreg dengan Roro, karena sudah sering bertemu. Mereka juga cocok sebagai menantu dan mertua. Tapi apa jadinya jika ibu mengentahui kalau Roro ada riwayat kanker dan kemungkinan tidak bisa punya anak. Bisa pula ibu berubah fikiran untuk tidak merestui.

Arggghhh ketiga masalah ini bersemayam di otak Tri. Semakin memikirkan semakin membuat frustasi. Segera diselesaikan tapi entah dari mana untuk mengawali menyelesaikan. Tri takut bertemu dengan Roro. Takut untuk memutuskan hubungan atau melanjutkan dengan berbagi masalah yang sudah menghadang. Rambut Tri sudah acak-acakkan terlalu sering digaruk, rasanya segarukan saja sudah hilang tetapi apa daya garukkan itu bukan sebuah sulap.

 Saat Tri akan melempar smartphonenya ke sofa tiba-tiba bunyi tanda ada pesan masu dari Whatsapp. Di layar tertulis nama Roro, jantung Tri berdegub kencang. Tri takut membuka isi pesan tersebut. Tapi mau nggak mau tri memang harus membaca.

Dari: Roro
Pesan : Kita perlu bicara, kapan kita bisa bertemu?

Singkat dan jelas isi pesan tersebut. Roro sudah meminta kejelasan hubungan ini. Kali ini memang mau tidak mau Tri harus menghadapi kenyataan hidupnya lagi. Tidak mungkin untuk dihindari lagi.

@@@

Akhirnya Tri bertemu dengan Roro saat makan malam di restoran favorit mereka. Roro yang menentukan tempat dan waktunya, karena Tri tidak bisa mengambil sikap. Pesan singkat yg dikirimkan tidak dibalas jadi terpaksa Roro telpon. Tri hanya bisa mengiyakan saja apa yang dimau Roro untuk bertemu.

Baru kali ini Tri merasakan makan malam dengan suasana dingin meskipun bersama orang yang dicintai. Sejak bertemu mereka masih belum membahas apa-apa. Tri tidak bisa untuk memulai membahas masalah yang pelik ini.

“Mau sampai kapan mas diam seperti ini?” Roro mengambil inisiatif untuk memulai penyelesaian masalah. “Aku butuh kejelasan. Kita lanjut dengan segala resiko atau bubar sampai disini?” tanya Roro lagi dengan penuh penekanan agar Tri bersikap.
Mulut Tri masih terbungkam, otaknya bekerja keras untuk segera menguraikan permasalahan dan segera dibicarakan. “Aku masih mencintaimu Ro,” hanya kalimat itu yang terucap, sudah merangkum apa yang di hati Tri.
“Aku nggak butuh sekedar cintamu saja mas.” Roro secara tidak langsung menyindir Tri yang masih plinplan dalam mengambil keputusan.

Tri tidak menanggapi omongan Roro. Benaknya berseliweran kemesraan antara Tri dan Roro akan tetapi disudut jauh sana ada bayi yang terus menjauh. Mungkin itulah ganjalan untuk melanjutkan hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun.

“Ya sudah kalau kamu diam saja, lebih baik aku pergi. Aku menyimpulkan hubungan kita berakhir. Aku ikhlas.” Roro mengamasi smartphone yang tergeletak di meja untuk dimasukan ke dalam tas dan bersiap akan pergi. Meski berusaha tegar, hatinya terluka.

Tri menggenggam tangan Roro, tanda agar jangan pergi. Roro bergeming dibangkunya menunggu reaksi Tri selanjutnya.

“Aku masih mencintaimu,” Tri mengulang pernyataan lagi.
“Tapi.....?” Roro mendengus kesal, karena pasti ada lanjutannya lagi.
“Tapi apa kita akan bahagia hidup tanpa anak?” tanya Tri dengan hati-hati.

Roro kembali menyenderkan badan di kursi, mencoba kembali santai. Dalam hatinya masih kesal, dengan pertanyaan bodoh pacarnya. Kenapa harus menanyakan itu, padahal sudah tahu kalau Roro bakal susah punya anak.

“Harusnya itu yang jadi pertanyaanku padamu mas,” Roro membalas dengan kesal. “Aku yang punya rahim bermasalah, jadi sudah siap apapun yang akan terjadi,” nada bicara Roro semakin ketus.
“Maaf,” Tri tertunduk lesu, menyadari pertanyaanyalah yang salah.

Belum bisa menghadapi kenyataan itu yang dialami Tri, sehingga mencari cara agar seolah-olah Roro yang tidak bisa menghadapi kenyataan jika nanti dalam pernikahannya tidak punya anak. Tri juga semakin terpojok, dan semakin dekat dalam memutuskan apa yang akan dilakukan.

“Jujur saja, aku masih shock. Aku belum tahu harus berbuat apa dan bagaimana menanggapi ini semua,” Tri berbicara dengan hati-hati dan pelan. Takut tambah melukai Roro.
“Aku sudah memberikan waktu berhari-hari untuk berfikir. Masa sampai sekarang belum bisa memutuskan,” cetus Roro semakin galak saja.
“Aku siap menjadi suamimu,” kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa menghiraukan bayangan bayi yang mengelayut di benak Tri.
“Apapun itu resikonya? Meskipun aku tidak bisa punya anak?” tanya Roro untuk menegaskan kembali.

Tri kembali merenung. Kenangan masa lalu hadir menyibakkan bayangan bayi. Sudah banyak hal yang telah dihadapi berdua bersama Roro termasuk masalah pelik. Roro sudah banyak pula membantu Tri. Bukan maksud dengan menikahi Roro sebagai balas budi tetapi sebagai rasa cinta. Jika masalah yang lalu bisa dilewati kenapa tidak masalah didepan.

Kalimat yang diucapkan Abi juga bermunculan, hal itu membuat keyakinan bahwa anak bukan segalanya dalam pernikahan. Kebahagian pernikahan tergantung dari suami istri itu sendiri. Anak sebagai pelengkap kehidupan kita, anak juga bagian dari ujian untuk orang tauanya. Masih ada harapan pula Roro bisa hamil, akan ada banyak cara untuk mempunyai anak.

“Aku siap!!” Tri mengangguk dengan mantap, tanpa ketinggalan senyumnya ikut merekah. Roro juga ikut tersenyum dan mereka berpelukan hangat.
“Tidak seharunya aku meninggalkan mu,” lanjut Tri dengan berbisik. “Aku tahu pernikahan pasti mengharapkan anak, tapi tanpa anak kita juga bisa bahagia,” Tri berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja meskipun tanpa anak.
“Bagaimana dengan keluarga kamu?” Roro segera melepaskan pelukan, karena menyadari masih ada masalah untuk melanjutkan pelaminan.


No comments: