Sepanjang hari Tri murung di kamar. Peristiwa kemarin
masih terngiang dengan jelas, hal itu merupakan pukulan telak. Tri kecewa pada
diri sendiri karena menganggap telah melakukan kebodohan melamar Roro. Selain
itu Tri juga kecewa terhadap Roro yang selama ini tidak jujur mengenai
penyakitnya. Dua kekecewaan yang melebur menjadi satu. Cintanya seakan
terhempas begitu saja.
Tri masih bisa bernafas lega, bapaknya Roro masih
memberikan waktu untuk memikirkan ulang lamaran. Meskipun begitu tetap saja
membuat tersiksa Tri, pikiran itu masih menggelayut, memilih melanjutkan
hubungan dengan Roro atau melepaskan begitu saja.
Pilihan yang sulit dan mengusik pikiran. Bila terus
melanjutkan hubungan dengan Roro ada kemungkinan tidak bisa punya anak.
Padahal, disebut keluarga karena ada ayah, ibu, dan anak. Kehadiran anak
melengkapi kebahagiaan keluarga. Penerus silsilah keluarga juga dari anak.
Intinya bagi Tri adalah anak harus wajib ada di dunia, bukan hanya di
awang-awang.
Untuk mengakhiri tali kasih juga tidak semudah memutuskan
benang. Sudah terlalu jauh berjalan bersama Roro sebagai kekasih. Banyak
kenangan yang sudah membekas di hati. Tri merasa nyaman di samping Roro yang
punya sifat keibuan, apalagi masakan Roro sangat enak mirip buatan ibu. Salah
satu alasan Tri mencintainya kerena masakan.
Awalnya Tri juga yakin Roro akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya
kelak. Tapi sekarang anak adalah harapan hampa bila melanjutkan hubungan dengan
Roro ke dalam pernikahan.
Sejak pulang dari Solo, belum ada kabar dari Roro. Tri
juga masih belum bisa menghubungi Roro dalam keadaan kalut seperti ini. Tri
takut jika masih emosi akan membuat kuputusan yang salah, ini adalah masalah
hidup untuk jangka panjang. Tri ingin ambil keputusan dengan tepat dan tenang.
“Heh!! Ngelamun aja!!!” Tangan Abi memukul pundak Tri
untuk menyadarkan dari lamunan.
Tri segera tersadar, untung ada Abi yang menghentikan
akitifitas melamun. Bila dilanjutkan ngelamun berkempanjangan bisa stres jiwa
Tri.
“Nggak ngelamun,” Tri menyangkal sambil menghela nafas,
mencoba meluruhkan semua beban fikiran.
“Nggak ngelamun tapi masih mikirin yang kemarinkan?”
tebak Abi sambil menyodorkan makanan yang dipesan Tri.
“Gimana nggak mikirin, kalau dihadapkan seperti itu,” Tri
mendengus kesal dengan polemik masalahnya sendiri.
“Kalau cuma dipikir nggak akan menyelesaikan.” Tri
mengambil kursi di samping Tri yang kosong karena belum diduduki sama yang
punya. “Kamu harus membuat keputusan.”
“Roro aja belum hubungin aku,” entah kenapa Tri malah mengkambing
hitamkan Roro.
“Dia itu sedang menunggu keputusanmu,” Abi menekankan
pada kata menunggu. Abi ingin Tri segera membuat keputusan.
“Jika ini terjadi padamu, apa yang akan kamu lakukan?”
Tri membalikkan pertanyaan. Tri ingin mendengarkan opini dari pihak lain, jika
mendapat masalah yang sama.
Abi malah jadi tercenung mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan yang rumit dari Tri. Sebisa mungkin Abi mencari alasan yang
bijaksana.
“Apapun kedaannya, siap menerima hidup bersama orang yang
aku cintai. Meski dokter memovonis seperti itu, masih ada Tuhan yang selalu
memberi keajaiban. Kebahagiaan bukan dari anak saja, tapi yang penting kualitas
hubungan oranga tuanya juga.” Abi terperangah atas ucapannya sendiri, hampir
saja melonjak kegirangan telah menciptakan kata-kata yang super memotivasi.
Tri juga ikut takjub oleh kata-kata super motivasi dari
sahabatnya. Mulut Tri sampai ternganga mendengarkan ucapan Abi yang tumben
banget benar. Biasanya dia selalu mengomentari seadanya saja itu juga masih
mending, lebih menjengkelkan kalau menanggapi tidak serius dengan guruauan yang
garing.
Tri kembali berfikir ulang tentang hubungannya dengan
Roro. Apa yang dikatakan oleh bi ada benarnya. Bahwa segala sesuatunya memang
Tuhan yang menentukan, manusia hanya berencana dan berangan-angan. Siapa tahu
memang ada keajaiban kalau Roro bisa hamil dan melahirkan anak, Tuhan maha
penentu.
Abi terus menerawang raut wajah Tri yang masih tampak
ragu dan gundah. Tatapan mata Tri masih kosong, tandanya masih memikirkan.
“Bro.....
keraguan itu akan sirna kalau kamu memang benar-benar mencitai Roro,” Abi mencoba
mengembalikan rasa optimis pada sahabatnya.
“Aku nggak ragu.....” suara Tri tercekat memikirkan
kelanjutannya. Tri bingung dengan semua ini.
“Gini dech. Anak itu hasil dari percampuran manusia. Kita
lelaki nggak bisa menghakimi kalau semua salah istri kalau tidak menghasilkan
anak. Mentang-mentang punya rahim semua bisa diserahkan oleh istri. Nggak
jugakan,” Abi tahu betul apa yang masih difikirkan oleh Tri.
helaan nafas
panjang keluar dari mulut Tri setelah ucapan Abi rampung. Abi masih menebak kalau
Tri memikirkan jika semua penentu dari keturunan adalah dari pihak istri. Apa
yang di kepala Tri memang begitu.
“Dari suami juga bisa menentukan terbentuknya anak atau
tidak. Jadi yang mandul itu nggak cuma dari istri. Sapa tau sperma dari suami
kurang bagus, jadi nggak bisa bikin keturunan juga kan?” Abi kembali melanjutkan omongannya yang tadi
sebenarnya belum selesai. Tadi Abi mengambil jeda untuk melihat reaksi Tri,
tetapi ternyata sama saja, Tri terbungkam dengan pikirannya sendiri.
Hati Tri mencelos setelah mendapat hujaman kata-kata dari
Abi yang sedikit menyayat. Untuk kesekian kalinya omongan Abi benar. Pihak
suami juga bertanggung jawab atas pembuahan. Bukan sekedar ejakulasi saja,
tetapi apakah spermanya berkualitas atau tidak.
Dalam benak Tri, apa perlu juga dirinya memeriksakan diri
ke dokter untuk mengetahui kondisi spermanya. Bisa saja dirinya yang mandul.
Setidaknya mengetahui lebih dini agar bisa mengantisipasi atau melakukan rencana
untuk menghasilkan anak.
“Pikirkan baik-baik lagi bro,” Abi mengakhiri diskusi. “Lebih baik kamu segera bertemu dan
berbicara dari hati ke hati dengan Roro.”
Ahhh Abi kembali mengingatkan tentang keberadaan Roro.
Tapi bagaimanapun juga memang harus segera dibicarakan untuk menentukan rencana
kedepan atau berhenti sampai disini saja.
@@@
Seragam kerja masih melekat di badan Tri. Sejak pulang
kerja, Tri hanya terpekur di sofa. Tangan kanan menggenggam smarrthphone. Berulang kali Tri coba
menghubungi Roro namun ketika nomor sudah ada di depan mata, diurungkan lagi.
Ada banyak yang harus dibahas bersama Roro, tetapi Tri belum menemukan kalimat
pembuka.
Pertama Tri harus membahas tentang perkawinan, entah mau
dilanjutkan atau berhenti. Itu semua tergantung dari keputusan kedua belah
pihak. Tri belum bisa membuat keputusan, hatinya masih galau. Impian yang
selama ini ada dibenaknya berantakan oleh sebab terkuaknya penyakit yang
diderita Roro.
Kedua masalah keturunan, itu juga membelenggu fikiran Tri
untuk mempertimbangkkan pernikahannya dengan Roro. Meski Abi sudah mencoba
menenangkan Tri, namun masih saja gundah. Tri masih berkutat bahwa anak adalah
sumber kebahagiaan. Sampai saat ini juga belum tahu kedepannya bagaimana.
Pihak keluarganya Tri juga perlu difikirkan. Sebenarnya
ibu sudah sreg dengan Roro, karena sudah sering bertemu. Mereka juga cocok
sebagai menantu dan mertua. Tapi apa jadinya jika ibu mengentahui kalau Roro
ada riwayat kanker dan kemungkinan tidak bisa punya anak. Bisa pula ibu berubah
fikiran untuk tidak merestui.
Arggghhh ketiga masalah ini bersemayam di otak Tri.
Semakin memikirkan semakin membuat frustasi. Segera diselesaikan tapi entah
dari mana untuk mengawali menyelesaikan. Tri takut bertemu dengan Roro. Takut
untuk memutuskan hubungan atau melanjutkan dengan berbagi masalah yang sudah
menghadang. Rambut Tri sudah acak-acakkan terlalu sering digaruk, rasanya
segarukan saja sudah hilang tetapi apa daya garukkan itu bukan sebuah sulap.
Saat Tri akan
melempar smartphonenya ke sofa
tiba-tiba bunyi tanda ada pesan masu dari Whatsapp. Di layar tertulis nama
Roro, jantung Tri berdegub kencang. Tri takut membuka isi pesan tersebut. Tapi
mau nggak mau tri memang harus membaca.
Dari: Roro
Pesan : Kita perlu bicara, kapan kita bisa bertemu?
Singkat dan jelas isi pesan tersebut. Roro sudah meminta
kejelasan hubungan ini. Kali ini memang mau tidak mau Tri harus menghadapi
kenyataan hidupnya lagi. Tidak mungkin untuk dihindari lagi.
@@@
Akhirnya Tri bertemu dengan Roro saat makan malam di restoran
favorit mereka. Roro yang menentukan tempat dan waktunya, karena Tri tidak bisa
mengambil sikap. Pesan singkat yg dikirimkan tidak dibalas jadi terpaksa Roro
telpon. Tri hanya bisa mengiyakan saja apa yang dimau Roro untuk bertemu.
Baru kali ini Tri merasakan makan malam dengan suasana
dingin meskipun bersama orang yang dicintai. Sejak bertemu mereka masih belum
membahas apa-apa. Tri tidak bisa untuk memulai membahas masalah yang pelik ini.
“Mau sampai kapan mas diam seperti ini?” Roro mengambil
inisiatif untuk memulai penyelesaian masalah. “Aku butuh kejelasan. Kita lanjut
dengan segala resiko atau bubar sampai disini?” tanya Roro lagi dengan penuh
penekanan agar Tri bersikap.
Mulut Tri masih terbungkam, otaknya bekerja keras untuk
segera menguraikan permasalahan dan segera dibicarakan. “Aku masih mencintaimu
Ro,” hanya kalimat itu yang terucap, sudah merangkum apa yang di hati Tri.
“Aku nggak butuh sekedar
cintamu saja mas.” Roro secara tidak langsung menyindir Tri yang masih plinplan
dalam mengambil keputusan.
Tri tidak menanggapi omongan
Roro. Benaknya berseliweran kemesraan antara Tri dan Roro akan tetapi disudut
jauh sana ada bayi yang terus menjauh. Mungkin itulah ganjalan untuk
melanjutkan hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun.
“Ya sudah kalau kamu diam saja,
lebih baik aku pergi. Aku menyimpulkan hubungan kita berakhir. Aku ikhlas.”
Roro mengamasi smartphone yang
tergeletak di meja untuk dimasukan ke dalam tas dan bersiap akan pergi. Meski
berusaha tegar, hatinya terluka.
Tri menggenggam tangan Roro,
tanda agar jangan pergi. Roro bergeming dibangkunya menunggu reaksi Tri
selanjutnya.
“Aku masih mencintaimu,” Tri
mengulang pernyataan lagi.
“Tapi.....?” Roro mendengus
kesal, karena pasti ada lanjutannya lagi.
“Tapi apa kita akan bahagia
hidup tanpa anak?” tanya Tri dengan hati-hati.
Roro kembali menyenderkan badan
di kursi, mencoba kembali santai. Dalam hatinya masih kesal, dengan pertanyaan
bodoh pacarnya. Kenapa harus menanyakan itu, padahal sudah tahu kalau Roro
bakal susah punya anak.
“Harusnya itu yang jadi
pertanyaanku padamu mas,” Roro membalas dengan kesal. “Aku yang punya rahim
bermasalah, jadi sudah siap apapun yang akan terjadi,” nada bicara Roro semakin
ketus.
“Maaf,” Tri tertunduk lesu,
menyadari pertanyaanyalah yang salah.
Belum bisa menghadapi kenyataan
itu yang dialami Tri, sehingga mencari cara agar seolah-olah Roro yang tidak
bisa menghadapi kenyataan jika nanti dalam pernikahannya tidak punya anak. Tri
juga semakin terpojok, dan semakin dekat dalam memutuskan apa yang akan
dilakukan.
“Jujur saja, aku masih shock. Aku belum tahu harus berbuat apa
dan bagaimana menanggapi ini semua,” Tri berbicara dengan hati-hati dan pelan.
Takut tambah melukai Roro.
“Aku sudah memberikan waktu
berhari-hari untuk berfikir. Masa sampai sekarang belum bisa memutuskan,” cetus
Roro semakin galak saja.
“Aku siap menjadi suamimu,”
kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa menghiraukan bayangan bayi yang
mengelayut di benak Tri.
“Apapun itu resikonya? Meskipun
aku tidak bisa punya anak?” tanya Roro untuk menegaskan kembali.
Tri kembali merenung. Kenangan
masa lalu hadir menyibakkan bayangan bayi. Sudah banyak hal yang telah dihadapi
berdua bersama Roro termasuk masalah pelik. Roro sudah banyak pula membantu Tri.
Bukan maksud dengan menikahi Roro sebagai balas budi tetapi sebagai rasa cinta.
Jika masalah yang lalu bisa dilewati kenapa tidak masalah didepan.
Kalimat yang diucapkan Abi juga
bermunculan, hal itu membuat keyakinan bahwa anak bukan segalanya dalam
pernikahan. Kebahagian pernikahan tergantung dari suami istri itu sendiri. Anak
sebagai pelengkap kehidupan kita, anak juga bagian dari ujian untuk orang
tauanya. Masih ada harapan pula Roro bisa hamil, akan ada banyak cara untuk
mempunyai anak.
“Aku siap!!” Tri mengangguk
dengan mantap, tanpa ketinggalan senyumnya ikut merekah. Roro juga ikut
tersenyum dan mereka berpelukan hangat.
“Tidak seharunya aku
meninggalkan mu,” lanjut Tri dengan berbisik. “Aku tahu pernikahan pasti
mengharapkan anak, tapi tanpa anak kita juga bisa bahagia,” Tri berusaha
meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja meskipun
tanpa anak.
“Bagaimana dengan keluarga
kamu?” Roro segera melepaskan pelukan, karena menyadari masih ada masalah untuk
melanjutkan pelaminan.
No comments:
Post a Comment