Saturday 25 May 2013

Cerbung : Dia (Kontak Pertama) Part 1


DIA
Hari ini terkhir kalinya aku mengenakan seragam putih abu-abu sekaligus dan akan melepas masa indah sekolah. Ya selama 3 tahun ini merupakan momen yang paling menakjubkan jenjang remaja, aku menikmatinya.
Seperti biasa aku berangkat sekolah berjalan kaki.  Ketika melewati gerbang SMA Bawa Merah kenangan tiga tahun lalu terlintas. Waktu itu aku masih mengenaan seragam putih biru, setiap siswa MOS wajib dengan seragam SMP dengan atribut menempelnya tapi caping, tas kresek, dan masih banyak lainnya. Sebenarnya nggak penting banget bawa barang segambreng yang nyusahin ini, tapi apa daya inilah keharusannya memasuki dunia SMA.
Setelah upacara pembukaan selesai dimulailah pembagian kelompok, aku mendapatkan kebagian kelompok Telor Asin. Setiap kelompok terdiri dari 20 siswa, 10 cewek dan 10 cowok. Ada beberapa orang yang sudah ku kenal karena satu dulu satu sekolah waktu SMP atau SD, namun sebagian besar aku tidak mengenalnya dan itulah teman baru ku.  Dan ini belum tentu menjadi satu kelas nantinya.
“Ayo kelompok Telor Asin kemari dalam hitungan 10” Teriak kakak kelas entah namanya siapa, dia cowok berbadan tegap.
Kita satu kelompok bergegas menghampiri  kakak kelas tersebut. Tergopoh-gopoh aku setengah berlari diikuti yang lain. Jarak antara aku dan kakak kelas tersebu lumayan jauh karena dia ada diseberang. Ada beberapa barang yang tanpa kusadari berceceran.
Begitu dihadapan kakak kelas tersebut kita langsung berbaris rapih. Tak lama kemudia datang dua kakak kelas yang lain satu cewek dan satu lagi cowok. 
“Kenalkan saya Afri sebagai kordintor kelompok Telor Asin, saya di damping oleh Sinta dan Yahya.” Kakak yang tadi menyuruh kita kumpul memperkenalkan diri dan mengenalkan pendampingnya.
“Kalian masih ingat tugas pertama?” Tanya Kak Afri pada kita semua.
“Masih kak!!!” Jawab kompak seluruh anggota kelompok.
“Kalau gitu keluarkan.” Kak Afri memerintahkan kita semua untuk mengeluaran barang untuk mengerjakan tugas pertama.
Aku langsung merogoh tas kresek yang terkalungkan dileher. Sampai dasar aku tidak menemukan barang yang aku cari, aku raba sekali lagi tapi rasanya tetap tak ada. Langsung aku tengok dan benar saja barang itu tidak ada. Keringat yang sudah berhenti menetes kembali mengucur karena panik. Semua teman sudah mengeluarkan barang tersebut, hanya aku yang belum.
Kak Santi mulai inspeksi memasuki barisan. Aku semakin panik dan pasrah kalau nanti mendapat hukuman. Aku tengok ke kanan dan kekiri semua teman membawa barang yang dimaksud. Kak Santi terus mendakat. Ada sebuah colekan dibahu yang berasal dari belakang. Dalam batin ku “apaan sih ini lagi bingung di colek-colek”. Aku nggak menghiraukan colekan tersebut, namun colekan nya makin sering. Terpaksalah aku tengok.
“Ini punya kamu.” Kata dia yang tadi mencolek ku, sambil mengembalikan barang yang ku cari tadi. Memang benar itu punya ku sendiri karena ada nama ku.
“Loh koq bisa ada di kamu?” Tanya ku heran.
“Tadi waktu kamu lari ada beberapa barang yang jatuh jadi kupungut.” Dia mejelaskan kejadiannya.
Selamatlah aku dari hukuman. Itulah pertama kali “kontak” dengan dia.
Selama MOS aku sering ngobrol sama dia dan lambat laun jadi dekat. Dia di kota ini masih baru dan tidak punya teman. Mungkin karena itu dia mencoba berteman dengan aku. Aku sih senang saja karena dapat teman baru siapa tahu bisa jadi sahabat.
MOS telah barkhir, dan telah resmi aku jadi anak SMA pakai seragam putih abu-abu. Selamat datang masa galau, labil dan indah dalam dunia remaja. Betapa bahagianya aku sekelas dengan dia, tapi sayang aku nggak sebangku dengan dia. Aku duduk dengan sahabat ku sendiri waktu SD dan dia duduk dengan yang lainnya. Bagi ku sudah cukup senang masih bisa sekelas sama dia.
@@@
Aku terus berjalan setelah melewati pinggiran lapangan yang cukup luas. Setiap hari aku dan seluruh warga sekolah melewati jalan tersebut. Aku memasuki gedung dari samping, semua siswa pasti lewat samping untuk memasuki gedung utama. Hanya guru dan tamulah yang masuk ke gedung sekolah lewat lobi utama di tengah gedung.
Aku mulai masuk gedung sekolah yang kuno,  sekolah ini didirikan dari jaman Belanda. Berjalan diselasar menembus kenangan warna warni. Kebetulan waktu kelas 1, kelasnya dekat dengan pintu masuk samping. Kelas itu sekarang terisi adik kelas yang sedang belajar Geografi. Di sebrang pintu kelas ada bangku permanen panjang berharapan tetapi di tengahnya ada meja dan ada pohon rindang yang menaungi bangku tersebut, tergoda untuk duduk di situ.
Ku duduk di bangku yang menghadap kelas. Aku serasa memasuki dimensi dua tahun lalu di kelas 1.9. Aku ingat setiap ada kerja kelompok pasti aku bareng dia. Itu salah satu kebahagiaan bisa bersama dia, kita sering satu kelompok disamping absen kita berdekatan kalau kelompok tidak berdasarkan dia aku juga akan tetap memilih satu kelompok dengan dia.  Selalu dia menjadi ketua kelompok, dia memang seorang yang tegas, bertanggung jawab dan demokratis. Hal itu yang membuat aku kagum dengannya.
Paling aku ingat tugas pelajaran Bahasa Indonesia kita semua bua drama, dan sekali lagi satu kelompok dengannya. Dia menjadi pemain sekaligus sutradara.
“Itu bukan kaya gitu gerakannya. Jangan kaku.” Ucap dia yang masih bersabar karena kesalahan Fani, lawan mainku.
Sekali lagi aku dan Fani mengulangi adegannya. Namun belum selesai adegannya sudah disuruh berhenti lagi.
“Fani, tolong donk yang serius.” Pinta dia agar Fani tidak cenger cengir lagi. Walaupun ini masih berupa latihan tetapi dia ingin semua serius biar hasilnya bagus.
“Iya, udah serius tapi aku nggak kuat kalau pas di hadapan dia. Wajahnya dia buat ketawa terus.” Kata Fani sambil menunjuk aku.
“Ulangi lagi ya kali ini yang serus. Kamu mandang Fani yang jangan terlalu tajam.” Perintah dia pada ku.
Aku dan Fani mengulangi adegan tersebut. Namun sekali lagi belum tuntas adegan tesebut sudah diberhentikan lagi sama dia yang masih kurang puas dengan acting aku dan Fani.
“Cut, bukan kaya gitu Fani gini biar aku yang kasih contoh.” Dia sudah kesal, akhirnya turun tangan sediri.
“Mulai ya, Fani tolong liatin aku.” Perintah dia yang serius. Dia memang kalau lagi serius terlampau serius.
“Aku cinta kamu….tetapi  terlambat kamu akan pergi jauh. Jangan pergi, tolong jangan pergi.” Dia memperagakan perannya Fani.
Jatung berdegup kencang ketika adegan tersebut berlangsung. Dia sangant dekat dengan ku hanya berjarak satu bentangan tangan didepan. Matanya yang tajam seakan menghujam ke relung pikiran ku dan akan terus terngiang adegan ini. Genggaman tangannya yang erat seperti benar-benar tak mengizinkan aku untuk meninggalkannya.
Kejadian tersebut hanya beberapa detik saja. Tetapi sampai sekarang masih terlihat jelas 5cm di hadapan ku. Sejak saat itu entah perasaan apa yang merasuk ke hati ini. Setiap di dekat dia jantung ini berdetak kencang. Perasaan ini sungguh berberda, aku jadi ingin selalu mencari kesempatan untuk bisa ada didekatnya. Aku memang sudah menjadi sahabatnya jadi nggak perlu repot lagi untuk bisa dekat dengannya.
Kenangan lainnya muncul kembali. Aku ingat waktu pelajaran olah raga, dia tahu aku paling benci olah raga karena aku nggak kuat untuk olah raga. Dia memang sahabat yang terbaik ku miliki, waktu olah raga lari jarak jauh mengelilingi kampung disekitar sekolah dia selalu ada disamping ku. Dia dan aku berjalan beriirangan. Disaat itulah dia banyak curhat tentang kehidupan pribadinya yang sebenarnya kesepian karena anak tunggal dan hampir dua atau tiga tahun sekali pindah kota mengikuti tugas ayahnya.
Aku menjadi iba padanya. Rumah dia dengan ku berlawanan arah bila dari sekolah namun aku relakan bermain kerumahnya untuk menemani main PS atau sekedar bikin kue bersama mamahnya. Keluarganya sangan baik terhadap ku. Semakin aku sering main kerumahnya, aku jadi tahu sisi lain dia yang bertolak belakang apa yang kukenal selama ini.
Bayang-bayag dia muncul dihadapanku. Pagi hari jadi tempat singgah sementara untuk bercengkrama dengan teman-teman sealigus tempat mencontek PR. Dia yang rajin menjadi tempat contekan.  Aku dan dia memang sering duduk disini menghabiskan bekal makan siang kalau istirahat atau lebih intim lagi setelah pulang sekolah. Seperti biasa kita pulang setelah sekolah sepi, kita sama-sama malas ikut berjubelan dengan siswa yang lain.
 “Kamu pernah suka sama orang nggak?” Dia bertanya pada ku, tetapi matanya tetap memandang hp.
Deg, tumben dia bertanya seperti itu? Apakah dia sedang jatuh cinta. Ah jawaban itu akan segera terjawab, akan ku korek.
“Perah.” Jawab ku datar karena sedang berusaha keras membaca pikiran dia.
“Dengan siapa? Apa aku kenal?” Rasanya gimana?” Rentetan pertanyaan itu meluncur dari mulut dia, kali ini sambil menatap aku.
“Kamu kenal koq, tapi tak pentinglah dia ngggak tau koq. Rasanya…….” Pikiran ku melayang ketika orang yang ada dihadapan ku sangat dekat dan membuat ku terkagum dan tertawa sekaligus iba. Sedetik kemudian menjawab perasaan ku. “Entah lah banyak rasanya seneng banget ketika tertawa, menandakan dia sedang bahagia. Setiap detik ingin dekat dengan dia untuk menemaninya. Perasaan ini ikut berkecambuk ketika dia sedang ada masalah.” Aku mengutarakan semua ada di otak.
“Ouh gitu ya rasanya? Berarti sama donk apa yang kurasakan saat ini.” Ucap dia santai dengan senyum dan wajah berseri.
Hati ini berkecambuk semakin tak karuan. Pikiran jadi kacau dan tidak bisa berkosentrasi. Apakah itu aku orang yang dia suka. Sllaaap!!! Pikiran itu aku buang jauh-jauh, baginya aku hanya sebagai sahabat. Tidak mungkin dia suka aku, apa kata teman-teman nanti.
“Nanti aku kasih tau siapa orangnya. Kamu jangan jauh-jauh dari ku ya.” Kata dia semakin membuat ku linglung.
Apa maksudnya menyuruh ku jangan menjauhinya. Jangan mengharapkan apa-apa dari dia. Ah….entahlah. …..

MAU TAU CERITA SELENGKAPNYA BISA AJA BACA DENGAN BELI NOVELNYA. SUDAH TERSEDIA DI  http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase ATAU PESAN MELALUI SAYA 08193181006 atas nama apper. Terima Kasih. #Kamuflase

No comments: