Thursday 22 August 2013

Cerpen : Reuni

Matahari baru saja terbenam. Bu Alya  masih saja sibuk membereskan rumah, padahal masih terhitung rapih karena dia tinggal hanya berdua dengan anak bungsunya yaitu Gio. Sebentar lagi teman-temannya Gio akan berdatangan. Sekarang adalah hari istimewa untuk Gio, tentunya Bu Alya akan memberikan yang terbaik untk anaknya.

Setelah berkliling rumah memastikan semunya telah rapih Bu Alya masuk ke kamar Gio yang berada di samping ruang keluarga. Bu Alya masih mendapati Gio berbaring dikasur yang dibalut sprei putih bersih. Kamarnya rapih banget untuk ukuran kamar cowok. Cat warna biru menyelubungi tembok kamar. Di samping ranjang ada dua kursi.

“Gio….bangun, bentar lagi teman-teman mu dateng.” Bu Alya membangunkan Gio dengan sentuhan lembut di pipinya. Namun Gio masih memejamkan matanya.
“Gio siap-siap ya pake baju yang keren, rambutnya di rapiin.” Ucap Bu Alya sambil berdiri memandang Gio yang berbaring di kasur.
“Gio betah amat tidur, pokoknya nanti kalo temen Gio dateng harus bangun ya.” Bu Alya masih berusaha membujuk anaknya untuk bangun. Tapi Gio tetap bergeming.

Bu Alya menghela nafas lalu keluar dari kamar. Gio sendiri masih tertidur pulas. Bu Alya sangat sayang pada anaknya, tidak mau membangunkan secara paksa. Bu Alya membiarkan anaknya untuk terbangun sendiri secara suka rela. Gio sendiri paling sebel kalau tidurnya terganggu dan pasti marah-marah tetapi itu dulu. Sekarang Gio masih saja tertidur.

Di ruang makan Bu Alya menyiapkan piring dan lauk pauk untuk santap makan malam teman-teman Gio. Mungkin ada sekitar 10 orang  yang akan datang.  Mereka semuanya adalah sahabat Gio waktu di Jogja.  Tidak semunya juga teman kuliah ada yang tema bermain. Sudah sekitar 9 tahun mereka bersahabat dari dulu sampai sekarang masih dekat. Bisa jadi ini adalah persahabat sejati antara Gio dengan temannya.

Baru saja Bu Alya duduk di sofa depan tv terdengar suara bel tanda ada tamu berbunyi. Bu Alya langsung ke ruang tamu. sebelum membuka pintu melongok dulu di jendela melihat siapa tamu yang datang. Di balik pintu tersebut ada dua perempuan satu anak kecil dan dua pria. Diperkirakan usia mereka sama dengan Gio.

Bu Alya membuka pintu untuk menyambut kedatangan mereka.
“Teman-temannya Gio ya?” Bu Alya menebak untuk memastikan karena dirinya belum pernah bertemu dengan mereka.
“Iya bu, kita temen Gio,” kata cewek berjilbab pink baju gaul ala hijabers.  “Nama saya Dia, ini ada Nin.” Dia bersalaman pada Bu Alya. Setelah itu dilanjutkan Nin yang bersalaman. “Ini ada Mas Tri suami Nin dan ini Wahyu temen deket saya.” Dia menunjuk kearah cowok di samping Nin sebagai Tri lalu menengok pria yang ada disebelahnya sebagai Wahyu.

Wajah sumringah terpancar dari wajah Bu Alya karena teman Gio sudah mulai berdatangan. Ada satu rombongan lagi datang dari belakang yang akan segera muncul. Para rombongan yang sudah datang menengok ke belakang. Ada satu wanita yang menggendong anaknya di ikuti 3 pria.

“Oh itu Purbo sama Mas Wahyu suaminya, yang dua lagi Aga sama Yudi.” Dia menambahkan nama orang yang baru pada dateng. Mereka juga segera bersalaman dengan Bu Alya.

Setelah bersalaman Bu Alya mengajak para rombongan masuk ke dalam. “Ayo masuk jangan dipintu saja. Langsung saja ke kamarnya Gio. Dari tadi Gio sudah nunggu tuh.” Bu Alya memimpin rombongan menuju kamar Gio.

“Hai Gio…..ini loh Tia ponakan mu dari Batam dateng.”  Kata Purbo seraya melambaikan tangan Tia yang dipegannya.
“Gio ganteng….” Sapa Dia. “Ini aku bawa calon suami, Alhamdulilah udah dapet restu dari Umi.”
“Cin….aku juga dateng bawa Ifah, udah gede loh.” Nin mendekat ke arah Gio sambil menggiring anaknya yang berumur 7 tahun. “Ifah juga sering tanyain kapan om Gio maen ke Lombok lagi.”
“Gio,” Aga dan Yudi melambaikan tangan pada Gio.

Gio tidak menghiraukan kedatangan mereka. Masih saja Gio berbaring di kasurnya, tidur dengan pulas dan tidak ada tanda menunjukan akan bangun. Matanya terpejam dalam damai. Hari ini tepat satu tahun Gio tertidur koma setelah kecelakaan yang menimpanya. Ada kerusakan di otak kecil, hanya keajaiban yang bisa membangkitkannya lagi.

“Gio apakabar?” Tanya Nin, “kita tuh kangen banget sama kamu. Cepet bangun ya.”
“Oh ya tampan, katanya kamu pengen liat calon ku? ini loh aku udah bawain khusus buat kamu. Bulan depan kita merit tapi di Jakarta” Dia lebih sering memanggil Gio dengan sebutan tampan.
“Gio kapan kita jalan tengah malem lagi? Dulu kita kan sering kelaparan tengah malem terus kita ke burjo. Oh ya aku sekarang udah pindah ke Balikpapan” Kata Aga sambil menggenggam tangan Gio yang hangat.
“Ada salam dari Wid sama Arya. Wid gak bisa dateng soalnya abis melahirkan. Anaknya lucu banget loh kayak bapaknya. Kalo Arya nggak bisa dateng katanya sih ya lagi lamaran. Entah dilamar sama cowok yang mana,hahahaha” Nin meberikan informasi sambil bercanda.
“What Arya mau nikah?” Yudi langsung kaget mendengar informasi itu. sebenenya yang lain juga ikut kaget teapi Yudi yang punya reaksi lebih cepat. “Jadi merit sama penyanyi dangdut itu?”
“Nggak tau juga sih ya yang mana.” Nin menaikankan bahu.
“Ada yang cemburu nih,hahahha.” Timpal Purbo sambil melirik Dia. Semuanya juga langsung tertawa.

Muka Dia langsung memerah karena malu. “Yang jangan cemburu loh ya. Itu cerita masa lalu. Dulu khilaf, ampun dech. Lagian diakan cowok yang suka cowok.” Dia membela diri dihadapan calon suaminya.
“Begini loh ceritanya dulu waktu kuliah Nin sama Dia sempat suka sama Arya. Tapi untung nggak sampe jambak-jambakan untuk rebutan. Pada akhirnya mereka tau kalau Arya sudah punya pacar cowok.” Purbo menambahkan cerita masa lalu ke tiga sahabatnya.

Purbo, Nin, Dia dan Yudi adalah sahabat Gio kuliah waktu sama-sama belajar Ilmu Komunikasi di Jogja. Sedangkan Yudi dengan Aga mereka sahabatan sejak SMA di Jogja. Gio juga mengenal Aga sejak SMA perkenalannya waktu itu ada lomba teater nasional. Pas Gio kuliah di Jogja jadilah persahabatan dengan Aga semakin dekat. Bisa dikatakan Aga adalah sahabat terdekat dari Gio selama diperantauan.

“Dulu tuh ya Gio yang sering nemenin aku facial di mall berjam-jam mana ada pacar ku mau gitu.” Nin mulai menceritakan kenangan dulu sambil melirik suaminya. “Dia juga yang bantuin ngerjain skripsi ku sampai pol, berkat dia aku bisa wisuda nyusul kalian. Pernah semalam suntuk dia di rumah bantuin ngerjain skripsi.”





@@@

Waktu itu Gio baru saja sampai di kostnya daerah Kusumanegara di Jogja. Rasa lelah menghampiri sekujur tubuhnya. Untuk mandi pun males banget untuk bangkit dan berjalan ke kamar mandi yang ada Gio terkapar dikasurnya melepas rasa capek sembari ditemani lagu-lagu Mandarin. Hari ini adalah deadline jadi seharian di kantor menyelesaikan artikel dan memang harus standby barangkali ada liputan dadakan.

Terdengar ada suara dari handphonenya tanda ada telpon masuk. terpaksa Gio bangkit dari tempat duduknya mengambil handphone yang ada ditasnya. Di layar terlihat tulisan Nin, tandanya Nin yang telpon padannya.

“Moshi moshi.” Gio menjawab telpon dari Nin dengan menggunakan bahasa Jepang. “Lagi nyante aja. Kenapa Nin?” Gio bertanya maksud Nin tumben telpon jam segini. Biasannya kan jam segini Nin sedang asik main sama anaknya. “Ouh gitu…..ya udah setengah jam lagi aku nyampe. Aku mau mandi dulu.”

Begitu selesai menutup telpon mau nggak mau Gio beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Tadi Nin telpon minta dibantuin skripsinya. Diantara sahabat yang lainnya hanya Nin yang belum lulus karena berapa waktu lalu terhambat mengandung dan melahirkan anaknya. Demi sahabat Gio melawan rasa lelahnya. Kasihan juga Nin repot dengan skripsi sekaligus mengurus anaknya yang baru lahir.

Gio meluncur ke rumah Nin yang jaraknya lumayan jauh karena rumah Nin ada di pinggiran Kota Jogja. Sekitar setengah jam baru nyampe rumah Nin. Pintu rumah sudah terbuka terlihat dari teras sudah banyak buku dan lembar fotokopian berserakan di lantai. Nin juga sedang menggendong buah hatinya, sedangkan Tri sedang nonton tv.

“Assalamualaikum Bun,” Gio mengetuk pintu dan memanggil Nin dengan sebutan Bun alias bunda, panggilan Ifah kepada Nin.
“Maap ya ngerepotin kamu lagi,hehehehe. Pusing banget nih sama skripsi padahal ya tinggal kesimpulan doank.” Nin menyambut kedatangan Gio dengan curhatan tentang skripsinya.

Langsung saja Gio masuk kedalam rumah dan memungut bendelan kertas yang terususun rapi, itulah skripisi yang membuat sebagian besar mahasiswa menjadi gila seketika. Gio membuka skripsi Nin di bab 4 yang memuat kesimpulan. Nin duduk disamping Gio ikutan serius.

“Aku nggak tau mau gimana lagi udah sering revisi tapi tetep aja dianggap salah.” Keluh Nin dengan nada memelas.
Gio tidak langsung menjawabnya karena masih baca apa yang telah di ketik sama Nin. “Gini loh Bun….. kesimpulan mu itu belum lengkap. Disini kamu cuma memaparkan hasilnya aja. Harus ditulis juga rumusan masalah dan metode penilitiannya juga.
“Ouh gitu ya.” Nin hanya manggut-manggut. “Oh ya di meja makan ada cap cay makan gih.” Nin juga mempersilahkan Gio makan. Kebetulan banget Gio belum makan malam.

Sembari Gio makan, Nin mengetik ulang skripsinya. Gio mau membantu Nin karena dirinya juga pernah merasakan hal yang sama ketika menyelesaikan skripsi. Betapa stresnya menghadapi dosen yang bawel, pusingnya merangkai kata ilmiah, belum lagi mengeluarkan banyak biaya. Tidak jarang ada mahasiswa terpaksa melewatkan wisuda karena tidak bisa menyelesaikan skripsi.

“Kenapa sih harus ada skripsi?” Tanya Nin dengan nada mengeluh, matanya masih memandang layar netbook yang ada di hadapannya.
“Ya itulah masterpiece-nya mahasiswa, bukti kita intelektual.” Jawab Gio sekenanya.
“Tapi buat pusing tau,” Nin malah tambah mengedumel.
“Sabar bun… kita semua juga udah pernah melewati. Keep smile donk biar hasilnya juga membahagiakan juga.” Gio berusaha memberi semangat biar Nin ngerjain skripsi dengan tenang. “Kamu masih mending Nin, dulu aku penelitiannya di Brebes sana, jadi kalo data kurang cocok balik lagi ke sana.”
Nin kembali berkutat dengan ketikan skripsinya dan Gio melanjutkan aktifitas menikmati cap cay. Gio jadi mengenang dulu waktu masih ngerjakan skripsi harus bolak balik ambil data. Belum lagi instansi yang buat di teliti ribet banget semakin menderita kala bimbingan banyak banget revisi. Ya begitulah namanya skripsi.

Semalam suntuk itu Gio menghabiskan waktu di rumah kontrakan Nin. Menenami Nin ngerjajain skripsi ya sekalian yang ngecek ketikan Nin juga sih. Perlu beberapa kali revisi tulisan dan pencocokan data dengan detail sampai dirasa sudah benar. Gio sendiri terpaksa menginap karena pulang lebih dari tengah malam sudah rawan rampok di daerah Ring Road.

@@@

“Paginya itu aku bimbingan, Alhamdulillah langsung di ACC n di suruh daftar pendadaran,” Nin menutup kisahnya.

Sebenarnya masih banya lagi cerita diantara Nin dan Gio yang temen lain belum diketahui tapi tidak enak saja Nin untuk memborong cerita. Nin mencoba menahan tangis antara sedih dan senang karena berkat sahabatnya bisa ikutan wisuda.

“Sebenernya paling seneng kalo di Gio bisa nemenin belanja.” Kata Purbo.
“Bener banget dia bisa jadi setan, ngerayu kita untuk beli banyak baju,” timpal Nin.
“Wid tuh yang sering jadi korban.” Dia ikut menambahkan.

Semuanya diam sejenak memandang Gio yang terbujur di kasur. Purbo memijit tangan Gio meskipun hangat badannya tetapi seperti tidak ada kehidupan. Terlihat dadanya saja yang kembag kepis yang menandakan Gio masih hidup. Ada juga sih tanda kehidupan lainnya yaitu layar monitor yang memantau kondisi Gio.

“Pah masih inget gak waktu anak kita lahir yang nemenin juga Gio ka?” Tanya Purbo pada Wahyu yang berdiri disampingnya, sambil memandang Kei yang sedang bermain dengan Ifah.

@@@

Kejadiannya itu sudah 3 tahun lalu. Waktu itu Gio masih sedang bekerja padahal sudah lebih dari jam 10 malam. Ini adalah kerjaan mendadak, dan itu paling di sebelin sama Gio harusnya sudah bisa istirahat malah masih bekerja. Malam itu harus mengejar berita yang dipersembahkan buat penggemar Afgan. Sudah dua jam menunggu tetapi belum ada tanda tuh artis nongol.

Udah suntuk banget nunggu tanpa kejelasan kayak gini mending tidur aja. Ya beginilah resiko jadi wartawan. Gio cengok sendirian dia belakang gedung duduk dilantai seorang diri sambil bersandar pada tembok. Untuk menghilangkan rasa bosan Gio main game yang ada di handphone. Lagi asik main ada telpon, dilihat dari namanya Purbo.

“Yap yap.” Gio menjawab telpon dari Purbo. “Oh Mas Wahyu, ada apa mas?” ternyata yang telpon Mas Wahyu tetapi pakai handphonenya Purbo. Gio terdiam mendengarkan suara Mas Wahyu ngomong dari balik telpon. “Ouh gitu…. Nanti aku langsung ke situ dech, ini masih ada kerjaan.” Percakapan telah usai Gio menaruh handphonenya disaku celananya lagi.

Mendengar berita itu GIo semakin tidak sabar untuk cepat-cepat meneyelesaikan tugas yang menyebalkan ini. Tadi Mas Wahyu mengabarkan Purbo akan melahirkan tetapi lewat operasi caecar. Itu adalah berita yang menyenangkan sekaligus menyedihkan, gimana nggak seneng kalau akan punya keponakan lagi tetapi sedihnya melihat sahabatnya dioperasi caecar. Kalau bukan karena kerjaan ini penting mungkin Gio sudah meninggalkannya.

Untung tidak lama setelah menutup telpon Afgan beserta rombongannya datang. Buru-buru Gio mengejarnya untuk interview. Ternyata nasib tidak beruntung berpihak pada Gio karena dari pihak Afgan nggak mau di wanwancarai. Gio mencoba melobi pada managernya tetapi tetap saja nggak dibolehin. Sebenarnya ada keberuntungan juga karena Gio tidak perlu berlama-lama lagi di tempat itu.

Gio bergegas ke rumah sakit internasional yang ada di ring road utara. Tidak terlalu jauh sih dari tempat Gio liputan tetapi hawa dingin menusuk sekali. Gio juga khawatir keadaan Purbo pasti sedang terguncang kalau proses melahirkannya dengan caecar. Apalagi jauh dari orang tua dan saudara. Purbo juga ada-ada aja dari Batam udah hamil 8 bulan perjalanan jauh pakai mobil ke Jogja. Purbo emang ingin anaknya lahir di Jogja.

Sekarang sudah sampai di rumah sakit. Gio tergesa-gesa berlari kecil menuju ruang operasi. Berharap masih bisa ketemu Purbo sebelum menjalani operasi. Doa Gio terkabul Purbo masih berada di selasar menuju ruang operasi di sebelahnya ada Mas Wahyu. Gio menambalah kecepatan berlarinya untuk menghampiri Purbo.

“Sory telat. Yang sabar ya……semangat. Aku disini terus koq sampai kamu lahiran.” Ucap Gio terengah-engah sambil memegang tangan Purbo untuk menguatkannya.

Di depan pintu operasi langkahnya terhenti karena dilarang masuk termasuk Mas Wahyu. Terlihat dari kejauahan dibalik pintu kaca wajah khawatir bercampur sedih dari wajah Purbo. Disitu dokter dan suster sedang menyiapkan operasi. Mas Wahyu sendiri berdiri menempel pada pintu kaca.  Begitu dokter dan suster siap Purbo dibawa keruangan selanjutnya ruangan operasi sebenarnya.

Gio dan Mas Wahyu di antar suster menuju ruang tunggu operasi yang letaknya tidak jauh mungkinn hanya bersebelahan dengan ruang operasi. Ruangan itu hanya berukuran 3x3 meter. Rumah sakit itu terasa sunyi sekali hanya ada Gio dan Mas Wahyu.

“Koq jadinya  operasi sih mas?” Tanya Gio penasaran.
“Tadi kita abis jalan-jalan muter kota aja. Terus kan lewat rumah sakit bersalin tempat periksa kandungan, iseng aja masuk situ. Eh pas di periksa ternyata air ketubannya sudah sedikit padahal perkiraan tiga hari lagi.” Mas Wahyu menjelaskan.
“Untung ya walau tadi iseng bisa ketahuan lebih cepet, jadi bisa langsung ditangani.” Gio menanggapi. “Sabar ya mas. Walau operasi yang penting ibu sama anak slamet semua.” Gio mencoba membuat tegar hati Mas Wahyu.

Selama menunggu itu Mas Wahu bolak balik menuju pintu ruang operasi. Wajarlah seorang suami yang menantikan calon anaknya. Seharusnya bisa menemani proses persalinan tetapi apa daya karena operasi tidak bisa melakukannya.  Dengan harap-harap cemas Mas Wahyu tidak pernah melepas pandangannya kea rah ruang operasi.  Gio sendiri hanya termenung di ruang tunggu sambil maen game handphone.

Sudah 20 menit proses operasi berlangsung, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruang operasi. Wajah khawatir Mas Wahyu berubah menjadi kebahagiaan, senyum mengembang dari bibirnya. Tidak lama kemudian ada seorang suster keluar dari ruang operasi menghampiri Mas Wahyu yang ada didepan pintu. Tidak sengaja Gio mendengar perkataan suster.

“Selamat ya sudah menjadi bapak. Alhamdulillah anaknya sehat sama ibunya selamat. Tadi lahir jam 23:58. Oh ya silahkan masuk pak barang kali anaknya mau di adzanin.”

Mas Wahyu dan suster masuk kedalam ruang operasi. Sayup-sayup terdengar adzan. Gio bersyukur semuanya selamat. Meskipun bukan ponakan kandung tetapi Gio cukup senang karena punya ponakan baru lagi. Ini adalah pertama kali Gio menunggu orang lahiran ada berbagai perasaan mengahampirinya dari perasaan sedih karena melihat sahabatnya di operasi, khawatir juga. Ada pula perasaan senang semuanya bercampur.

Begitu Mas Wahyu keluar Gio langsung memberi selamat sekalian pamit pulang karena sudah larut malam yang penting kan anaknya sudah lahir. Bisa besok setelah pulang kerja mampir lagi. Lagian nungguin Purbo juga masih lama dia juga pasti ingin istirahat lebih dulu.

@@@

“Om Gio ini Tia sekarang udah besar. Om Gio bangun yaa…” Kata Tia disebelah telinga Gio. Namun tetap saja tidak ada respon dari Gio.
“Coba kalo nggak ada Gio pasti saya sudah stress, karena Gio jadi tenang ada yang nemenin.” Mas Wahyu menambahkan cerita dari Purbo.

Bu Alya masuk ke kamar. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Telihat Bu Alya sangat senang karena Gio ada yang menemani terlebih lagi mereka adalah sahabat terdekatnya.

“Itu makan malam sudah siap, ayo di makan.” Bu Alya mengajak para rombongan makan malam.

Di meja makan sudah terihadang soto tauco khas Tegal. Ada juga sepiring tahu aci Benjaran, tidak ketinggalan mendoannya. Sirup dingin teko gelas juga sudah siap minum. Para rombongan ini sudah tidak sabar menyantapnya mereka dari tadi siang belum makan karena masih dalam perjalanan.

“Bu, kita boleh makan di kamar tidak sekalian nemenin Gio?” Dia meminta ijin pada Bu Alya.
“Ouh boleh sekali, udah lama juga Gio nggak makan rame-rame.” Bu Alya mempersilahkan teman-teman Gio makan di kamar.

Setelah ambil makanan mereka masuk ke kamar lagi menyantap soto tauco.

“Eh inget nggak? Kalau kita minta rekomendasi makan pasti kita tanya Gio.” Kata Yudi sambil melahap soto.
“Bener banget, Gio tuh paling tau tempat makan. Padahal dia badan kecil tapi suka makan dan menjelajah warung apa aja.” Aga ikut nimbrung. “Dulu tuh aku nggak ngerti makanan enak di Jogja karena aku kan bukan anak kost.  Terus Gio sering ngajakin wisata kuliner jadi tambah ngerti dech.”
“Kalau mau nongkrong pasti tanya Gio dulu. Kalau nongkrong nggak ada Gio juga nggak enak.” Kata Nin di akhiri dengan nada sedih. “Dulu makan di kantin terus kalau aku nggak habis pasti dia yang ngabisin makan ku.”
“Ngomong-ngomong soal makan gwe punya cerita konyol sama Gio. Kejadiannya waktu kalian sudah pada mudik liburan semester.” Dia menyela omongan Nin dan mulai bercerita.”

@@@

Waktu itu susana kost Gio sudah sepi karena sebagian besar sudah pulang liburan semester. Gio juga berencana mudik tetapi besok. Kalau malam gini biasanya cari makan bersama teman kostnya tetapi berhubung sudah pada pulang Gio sudah janjian dengan Dia untuk makan malam dekat kost.

Jarak antara kost Gio dengan Dia nggak begitu jauh, dengan mengedarai motor pinjaman temen kost Gio menuju ke kost Dia. cukup 3 menit sudah samapai, ternyata Dia sudah menunggu dipagar kostan sambil mainin HP nya.

“Mau makan dimana?” Tanya Dia.
“Belum tau, kamu pengen makan apa?” Gio belum punya ide malah balik tanya ke Dia. 
“Lagi pengen makan ikan sih….”
“Kalau gitu di deket sini ada koq daerah Gamping tempat baru sih aku belum pernah kesana.”
“Oke.” Dia langsung menyetujuinya.

Dia segara naik motor yang di tunggangi Gio juga. Pertama mencari lokasinya daerah sekitar belakang pasar Gamping. Pelan-pelan Gio menyisiri jalan itu takut barang kali terlewati.

“Itu” tunjuk Dia. sebuh warung tetapi lebih besar mungkin termasuk restoran. “Yakin itu?”
“Iya itu,” Gio membenarkan. “Terserah kamu sih mau apa nggak. Tapi kayaknya mahal dech.” Nyali Gio menciut dirasa tempat makan tersebut mahal harganya.
“Ya udah dech kita coba aja.” Dia mencoba nekat masuk. Gio pun menurutinya.

Gio memarkirkan motornya dilahan parkir yang luas tetapi tidak ada satupun kendaraan. Bangunan semi permanen dan besar ada dihadapan mereka. Sebenarnya Gio sudah ragu sih tetapi melihat Dia percaya diri jadi yakin dech. Mereka masuk bangunan lalu disambut oleh seorang pelayan. Mereka diantar ke sebuah sebuah meja kecil. Gio dan Dia duduk berhadapan, pelayan tersebut memberikan daftar menu lalu meninggalkan mereka.

Gio dan Dia mulai membuka buku menu, semakin membalik halaman dahi bertambah mengernyit. Matanya juga terbelalak.

“GIlingan mahal-mahal banget,” Gio ngedumel perlahan.
“Yang pilih sini siapa hayo?” Dia nggak ma disalahkan oleh Gio.
“Cabut aja yuk…..” pinta Gio,
“Nggak ah udah nanggung.”
“Tapi aku nggak bawa duit banyak nggak ada yang cukup. Ada sih cuma karedok.” Gio sedikit geram telah melakukan kesalahan fatal.
“Kalo gitu kamu pesan karedok aku pesen nasi liwet.” Dia mencoba menegosiasi.
“Tapi nggak ada duit buat beli minum.”
“Kita barengan aja minumnya pake air mineral,hehehe” Dia masih saja bertahan.
“Ya udah dech.” Gio menyerah pada serangan Dia.

Pesanan yang Gio dan Dia sudah datang. Sepiring karedok tanpa nasi, satu porsi nasi ayam liwet dan satu botol air mineral ukuran kecil.  Ditambah senyuman kecut dari pelayan yang sedang melayani mahasiswa kere.

Gio udah lapar akut, langsung saja karedok yang ada dihadapannya langsung dimakan. Tapi beberapa saat kemudian terjadilah kehebohan.

“Buset ni karedok pedes banget ya, mana nggak ada kerupuk,” Gio megap-megap kepedesan.
“Eits inget minumnya Cuma ada segini.” Dia mengingatkan Gio sambil merebut air minumnya.
“Ni restoran sengaja nyiksa orang kere ya, atau nggak iklas ngelayanin kita?” Gio masih saja ngedumel.

Meskipun kepedesan dan menitihkan air mata Gio tetap saja makan dengan lahap karena sudah kelaparan akut. Biasalah anak kost makan sehari Cuma dua kali pagi menjelang sing dan malam itu sudah jadi jadwal makan Gio, makanya dia tetap kurus.

@@@

“Terus kalian waktu bayar gimana?” Tanya Yudhi.
“Nggak tau yang bayar Gio. Udah gitu mukanya di tekuk.”
“Hahahahaha” semua teman Gio tertawa terbahak-bahak.

Suanan ceria dan canda menyelubungi rumah Bu Alya yang biasanya sepi sekarang terdengar suara berisik menyenangkan. Bu Alya jadi berfikir betapa bahagianya Gio mempunyai sahabat yang baik dan sangat akrab. Berbagai momen kebersamaan Gio terus dikenang para sahabatnya.

“Ngomong-ngomong Gio kurus aku juga pernah manafaatin tuh,” Aga mulai bersuara. “Waktu itu kalau nggak salah pulang dugem.”
“Ouh jadi Gio suka dugem sama kamu toh?” Tanya Dia menghakimi.
“Nggak sering juga sih,” Aga berbohong. “Sek toh cerita dulu.” Protes Aga yang ceritanya dipotong oleh Dia. “Pulang dugem itu, Gio mau nginep dirumah ku. sebenernya aku juga males nganterin dia pulang juga sih kostnya jauh banget.”
“Terus gimana om?” Ternyata Ifah ikut menyimak cerita Aga.
“Sampai rumah aku baru inget kalau nggak bawa kunci rumah ketinggalan dikamar. Semua orang udah tidur nggak enak juga kan bangunin mereka. Kalian tau apa yang Gio lakukan?”
“Ke warnet,” tebak Yudhi.
“Ke burjo, dia kan selalu lapar tengah malam.” Nin ikut menebak.
“Salah semua. Yang benar dia manjat tembok.”
“Whaatt!!!” Purbo kaget.
“Dia kan kecil dan sedikit lincah, dia manjat pager dulu terus naik tembok ke teras lantai dua. Aku di bawahnya.” Aga menjelaskan lagi.
“Terus ada yang liat gak?” Tanya Dia yang juga serius nyimak.
“Pas udah setengah manjat eh ternyata ibuku keluar. Kita berdua bengong jadi kayak orang bego. Untung ibu ku nggak marah. Tapi ada yang lucu udah gitu dia bukannya turun eh malah lanjutin naik udah gitu berhasil pula.”

Suara riuh tertawa kembali terdengar setelah mendengar ke konyol Gio dari cerita Aga. Sahabat mengenal Gio sosok yang suka konyol. Selain itu Gio juga jarang sekali marah sama sahabatnya. Gio selalu membawa ceria dan setiap ada dia pasti ada tertawa lucu. Yang tadinya sudah cape semua jadi semangat lagi.

“Coba dech kalian inget pernah nggak liat Gio marah?” Tanya Yudhi ke semua orang disitu.
“Kayaknya yang ada kita terus dech yang marah-marahin dia.” Aga kembali mengingat kejadian masa lalu.
“Udah gitu dia nggak bales marah atau ngomong apa keq gitu.” Timpal Nin.
“Yah itulah Gio, selalu murah ramah. Kangen sama Gio.” Dia jadi sedih kembali bila mengingat kenangan lalu.

Mimic semunya menjadi sedih, Purbo memeluk Dia sambil menahan air mata. Sahabat yang dulu selalu ceria. Kapan aja dua puluh empat jam setia nemenin baik duka waktu ada bencana apalagi waktu senang Gio tambah bersemangat lagi nemenin. Istilah lainnya adalah Gio sahabat siaga. Kalau lagi pada kehabisan uang Gio lah tempat terakhir untuk meminjam uang.

Malam semakin larut. Sudah banyak cerita yang bergulir dari mulut teman-teman Gio. Baik yang sedih sampai yang lucu-lucu. Ifah dan Kei juga sudah tertidur lelap di kamar sebelah. Bu Alya ikut nimbrung ngobrol duduk disamping Gio. Bu Alya sedari tadi senyum bahagia mendengar cerita tentang Gio dari temannya. Malah merasa minder karena temannya lebih mengenal anaknya dari pada dirinya sendiri.

“Eh dah malem pulang yuk,”kata Nin sambil melihat jam tangan. Memang sih sudah hampir jam 12. “Kasihan ibu kelihatan sudah ngantuk.”
“Oh nggak  koq nggak apa.” Bu Alya menyangkal.
“Nggak enak juga bu sama tetangga.” Dia menambah alasan harus beranjak dari rumahnya Gio.
“Eh ya foto dulu donk bareng Gio.” Yudhi memeberikan usul.
“Pake hape ku aja nih, tar tinggal di BBM ke kalian. Ibu tolong ya fotoin kita.” Nin membirikan handphonenya ke Bu alya.

Semuanya ambil posisi. Aga dan Dia di samping kiri sedangkan Yudhi dan Purbo di samping kanan, Nin sendiri di depan Aga.

“1,2,3” Bu Alya memberi aba-aba waktu memotret. “Bagus hasilnya, tuh Gio senyum.”
“Mana….mana” Yudhi penasaran mencoba mengambil kamera terlebih dahulu dari tangan Bu Alya. Bu Alya memberikan kamera tersebut pada Yudhi lalu senyum-senyum sendiri melihat tingkah sahabat anaknya, yang lain juga ikut mengerubungi.
“Eh iya Gio senyum, matanya juga melek.” Aga ngomong sekenanya tanpa sadar.

Dua detik kemudian semua hening ketika menyadari omongan yang barusan keluar dari Aga. Langsung saja mereka menengok kea rah Gio. Dan benar saja Gio sudah bangun dari tidur panjangnya. Matanya melek dan senyum melihat sahabatnya berkerumun. Bu Alya langsung memeluk sambil menitihkan air mata bahagia. Sedangkan para sahabat cewek ikut menangis haru sekaligus senang.

Setelah memeluk Gio, Bu Alya segera menelpon dokter yang menangani Gio. Suasan jadi kembali ramai, namun Gio masih saja membisu karena bingung mau mengatakan apa. Dia sedang mencoba berfikir kejadian yang berlangsung dalam rangka apa. Dan mengingat kejadian sebelum dirinya koma. Gio hanya tersenyum melihat polah temannya yang kegirangan.

Sekitar 30 menit kemudian dokter Farhat yang menangani Gio datang, dia langsung masuk kamar dan memeriksa Gio. Pemeriksaan awal sudah selesai Farhat menemui Bu Alya yang duduk di ruang keluarga tepat depan kamar Gio.

“Saya ikut senang bu, akhirnya Gio bangun juga.” Kata dokter dengan tenang.
“Alhamdulilah, tetapi gimana dok keadaannya?” Tanya Bu Alya sedikit khawatir.
“Nggak apa-apa bu mending besok dibawa rumah sakit. Oh ya itu teman-teman Gio?”
“Iya dok, mereka teman Gio waktu kuliah di Jogja. Semalaman mereka mengajak ngobrol Gio.”
“Bisa jadi Gio bangun kerena mereka juga. Cerita mereka terdengar Gio otaknya kembali bekerja mencoba mengingat kejadian masa lalu. Selamat ya bu, tetap sabar karena Gio masih perlu belajar lagi untuk kehidupan semula.


Bu Alya merasa menjadi orang paling bahagia sedunia bisa melihat anaknya siuman. Belum lagi pertama kali terbangun Gio sedang tersenyum. Bu Alya sudah siap kembali mengajarkan anaknya dari awal lagi khususnya untuk fisio terapi. Bu Alya akan terus menemani buah hatinya sampai kembali normal, itulah cinta kasih seorang ibu. Buat teman-teman, dengan kembangkitan Gio merupakan kebahagiaan tersendiri sahabatnya telah kembali untuk berbagi suka dan duka. Akan selalu ada untuk Gio. Malam itu ada tawa disudut Kota Tegal.

No comments: