![]() |
pic dari screen shot me, My amiliar People |
Gay Discreet
Nasib jomblo itu
menyedihkan banget, terutama kita bertiga, kita? Bin dan Ban aja keleus. Gue?
Bisa dibilang nggak jomblo karena sudah beberapa bulan ini punya aa Iw, ada tetapinya dia jauh dan punya
monyet juga. Jadi dengan kata lain gue sama aja ngenesnya seperti ke dua
sahabat gue yang nestapa. Bedanya mereka itu jomblo yang nggak laku-laku,
sedangkan gue punya pacar tapi HBL (haus belailan lelaki).
Kali ini mereka
ngumpul di kost gue, yang tadinya rapih jadi berantakan gara-gara mereka
keranjingan sama bokep yang baru gue dapetin dari warnet. Jajan pun bertebaran
dimana-mana. Untung aja tisu sudah gue selamatkan dulu, kalau nggak kamar gue
jadi bau amis.
Ban terpaksa ke kost
gue karena katanya abis ketemuan sama anak satu kampus gue yang kostnya deket
dari sini. Sedangkan Bin ngadem dulu setelah kuliah dari pagi, dia males pulang
karena masih panas, takut jadi item padahal dia udah item dari sononya. Lagian
Bin kan asli Bali jadi wajar aja sudah gelap dari lahir, terpapar sinar UV dari
pantai Petitenget yang merupakan tempat ngumpulnya homo-homo.
Sebenarnya Ban lagi giat-giatnya
cari jodoh. Nah, anak satu kampus gue salah satu gebetannya dari sekian banyak
lakik buat dimangsa. Ban sedang berusaha pedekate, sapa tau cocok mau dijadiin
pacar. Kalau nggak cocok ya tinggal cari yang lain. Katanya lagi sih ini bakal
diseriusin, soalnya selain baik hati nih orang jago ML-nya. Udah dua mingguan
dia sering ke kost gue setelah atau sebelum ketemu gebetan.
“Ban, elu seriusan
sama yang ini?” tanya gue yang sedan perhatiin Ban lagi mupeng liat bokep.
“Maunya gitu sih.”
jawab Ban sambil lalu.
“Koq. gitu sih?
Katanya elu mau serius sama dia?” tanya gue lagi yang penasaran dengan kata
“maunya gitu sih”.
“Abis dianya gitu
sih.....,” balas Ban yang kayaknya ogah-ogahan.
“Emang maunya kayak
gimana?” tanya gue lagi
“Ya gitu lah mau gue,”
sekali lagi Ban jawab dengan kata “gitu”.
What the hell!!! Maksudnya apaan coba dengan “gitu?”. sebenernya secara nggak langsung
gue ngerti apa yang dimaksud “gitu”. Intinya adalah Ban ngerasa nggak sreg
dengan dia, dan sepertinya akan segera di khiri. Kata “gitu” adalah ketidak
terus terangan atau sesorang yang malas menceritakan kejadian sebenarnya, ini
salah suatu kebiasaan orang Indonesia selalu muter-muter jika sedang melacur
(melakukan curhat).
“Ah elo ditanya nggak
jelas banget.” Bin ngepruk kepala Ban karena gemas dengan jawaban “gitu sih”.
Ternyata Bin juga memperhatikan percakapan antara gue dan Ban, meskipun mata
Bin tetap menuju layar monitor komputer.
“Abisnya, gimana gue
nggak kesel, tiap diajak jalan, nongkrong atau nonton dia nggak mau.” Kepala
Ban memutar ke arah gue. Wajahnya terlihat senewen dan nada suaranya juga
jengkel.
“Alasannya apa?” tanya
gue menyelidik.
“Malas aja. Dia kasih
alasan gitu. Nggak munggkin banget, lah wong gue liat di FB, Twitter, Path,
Insta yang dia punya isinya cuma jalan-jalan,” cerocos Ban dengan tampang
kesal.
“Dia malu kali jalan
sama Banci,hahahaha,” ledek Bin dengan gaya centil.
“Sialan!!!” Ban melempar
tas ke arah muka Bin penuh kemarahan.
Gue yakin pasti ada
alasan lain. Masa orang narsis selalu jalan, malah malas diajak jalan sama yang
katanya calon pacar. Gue perlu menyelediki lebih lanjut, gue nggak mau donk
sahabat terbaik jadi semakin ngenes aja gara-gara lakik.
“Terus elu gak pernah
nanya alasan lebih detail lagi?” tanya gue mendesak.
“Katanya sih malu
kalau jalan ke tempat umum, barang kali ntar ketemu temannya atau saudaranya,”
balas Ban dengan lesu.
“Gue nggak terima!!”
pekik Bin tiba-tiba, seolah-olah marah. “Bagian mana coba dari bagian elu yang
malu-maluin? Elu ganteng, pinter, modis, tajir dan kemaluan elu juga gedong,
pasti dia doyan juga kan?” Bin terkekeh sambil memandang jahil Ban yang
wajahnya tertekuk. “Kemungkananya ada dua, dia homo discreet atau dia cuma pengen ngewi sama kamu aja.” Bin memberi
penekanan kata ngewi, artinya dia hanya memanfaatkan Ban untuk pelampiasan sex.
“ Kemungkinan dia discreet kali Ban, dia nggak mau
orang-orang tau kalau dirinya gay.” Gue mengeluarkan asumsi mentah, sekaligus
menghibur Ban yang wajahnya sudah hopeless
dikatakan sebagai tempat pelarian sex
. Dari sekian banyak jenis homo ada yang namanya homo discreet.
“Gue donk homo discreet,” samber Bin, wajahnya
nyengir-nyengir nggak jelas mengaharap pembenaran.
“Gimana gue yakin
kalau elu homo discreet. Elu aja suka
ketimpringan di Grindr, Hornet, Manjam dan lain-lainnya.” Kelakar gue menyembur
Bin. “Elu aja ada cowok ngajak ngewe, dengan senang hati menyediakan tempat di
kamar elo sendiri.” Gue dan Ban tergelak setelah membully Bin.
“Gue pun nggak percaya
elu discreet,” tambah Ban. “Mana ada
orang discreet keganjenan pas dugem,
tangan jelalatan toel sana sini. Suka arisan homo-homo Jogja pula.” Serang Bin
nggak kalah telak sama gue. Sekarang gantian Bin yang merengut.
“Gay discreet itu nggak ngebeberin
identitasnya. Apalagi tempat tinggalnya,” timpal gue dengan cepat.
“Tapi kan. Nggak
banyak orang tau kalo gue homo,” kilah Bin, bibirnya nyengir terbuka dengan lebar.
“Apaan, tuh homo
Alun-alun utara kenal kamu, kan kamu sebagai ketua ganknya.hahaha.” Ban
sekarang lebih puas dalam posisi kemenangan.
“Homo discreet juga nggak suka kumpul,” gue
nambahi omangan Ban, sambil cekikian ngeliat ekspresi Bin yang kalah telak.
Ok. Gue jelasin ya,
salah satu jenis gay adalah gay discreet.
Dimana gay tersebut membatasi pergaulan dengan sesama gay. Disamping itu gay discreet juga nggak mau menampakkan atau
bergabung dalam acara gay macam arisan, party,
atau kopdar dengan segambreng orang. Intinya gak mau bertemu perkumpulan gay,
cukup person to person. Bisa aja sih
kopdar gitu tetapi dengan orang yang sudah cukup dia kenal.
“Kalu emang discreet kenapa dia ngebolehin gue tau
kostannya, malah nyuruh main,” ucap Ban yang masih bingung dengan kelakukan
gebetannya.
“Dia udah kebelet
ngewe sama elu,” balas Bin dengan cepat tanpa mikir. “Sebenernya dia emang suka
sama elu, tapi berhubung di tempat elu nggak bisa ngewe jadi dia ngundang elu ke
kostnya,” nada Bin terdengar nyinyir, gue pikir itu adalah serangan balasan.
Gue senyum sendiri
ngedengerin omongan Bin yang asal njeplak aja. Tapi bisa jadi emang gitu sih,
kerena kepepet malah ngundang ke tempat tinggalnya.
“Terus elu tahu nama
asli dia siapa? Atau identitas lainnya?” tanya gue lagi.
“Nggak. Gue juga nggak
tau dia asli mana. Dia juga nggak mau jawab kalau gue tanya asli mana, malah
bilangnya asli keturuan Jawa campur Betawi. Cuma gue tau plat nomer dia BG,
berarti kan Sumsel.
“Emang elu ketemu dia
dari mana?” tanya Bin ikut menyelidik.
“Gue nggak yakin, tapi
kayaknya dari Facebook, coz gue
nyebarin no hp di grup.” jawab Ban nggak yakin, wajahnya ikut mikir. “Apa gue
yang kirim kasih no hp di komentarnya dia dulu kali ya, pas dia bikin status ngajak
ngewi,” lanjut Ban degan suara terdengar masih ragu-ragu.
“Berarti elu ketemu
dia tanpa ngeliat tampang dia kayak gimana?” kali ini gue yang tanya.
“Dia nggak mau kasih.
Tapi dia malah kasih foto kentinya,” ujar Ban dengan muka polos.
Gue semaking nggak
ngerti aja tingkah gebetan Ban. Dia ingin bersembunyi tetapi juga mengundang
untuk menampakkan diri. Gue salut aja sama dia, berani menampakkan hal yang
intim buat menggaet calong mangsanya. Gue juga yakin kalo udah dikasih foto itu
kebanyakan pada maunya untuk ketemuan. Apa emang bener kata Bin, ah entahlah.
“Menurut gue sih ya
dia antara discreet tapi nanggung
juga,” gue mengambil kesimpulan meski nggak yakin.
“Maksud nanggung
gimana?” tanya Ban dan Bin berbarengan.
“Dia pengennya nggak
ada orang yang tau tentang keberadaan dia dimana. Tetapi dia malah ngundang Ban
ke kostnya. Dia juga kasih kamu Path,
Insta dan lain-lain ya setelah kenal. Kalau emang discreet nggak bakalan kasih.”
“Mungkin dia cuma jaga
privacy aja kali,” sahut Bin yang
nggak yakin juga.
“Kemungkinan emang
gitu seorang homo privacy, karena dia
hanya menyembunyikan identitas inti.” Gue mendukung pendapat Bin yang kali ini
benar, mungkin dia sedang kondisi waras.
“Yang gue tau sih gitu
homo yang jaga privacy, mereka tetep
ngeksis di dunia maya, tetapi ada batasan nggak ngumbar identitas pribadi yang
detail. Mereka juga masih mau ikut acara ngumpul-ngumpul,” Ban ikut
menyumbangkan suara mengenai homo privacy.
“Macam gue gitu
lah.....” gue menunjuk diri sebagai homo privacy.
“Lihat aja di sosmed, gue pasang foto tapi agak nggak jelas. Gue juga nggak
akan jawab nama panjang sekaligus alamat asli rumah gue. Tapi gue masih aja
ketemu sama temen-temen lain pas acara kopdar yang orangnya segambreng,” gue
ngelanjutin.
“Gue juga donk?” tanya
Bin, matanya mengerjap-ngerjap membutuhkan persetujuan.
“Apa yang elu jaga privacy? Kelamin aja elu umbar di PR,
Manjam kadang ada di grup FB,” semprot Ban yang sekali lagi penuh dengan
kemenangan. Muka Bin langsung cemberut lagi, bibirnya monyong lima senti.
Homo privacy masih bisa bersosialisasi dengan
wajar. Mereka mau bertemu dimana saja tempatnya. Mereka nggak terlalu ribet
untuk memberikan nomer hp, WA atau pin BBM, karena pada dasarnya mereka suka
berteman. Ada pula gay privacy yang
menyembunyikan foto wajahnya di sosmed, karena dia nggak ingin orang langsung
mengenalnya lewat wajah. Mereka akan memberikan foto wajah ketika lawan
bicaranya mengasih terlebih dulu fotonya.
Satu hal lagi gay privacy juga mudah untuk terbuka kalau
sudah kenal cukup dekat. Nggak perlu susah untuk mengorek identitas pribadi
lainnya. Mereka menjaga identitas pada awal untuk menjaga diri, barang kali orang
yang berhubungan dengannya berniat jahat, tetapi setelah kenal, lambat laun
akan terbuka secara pelan tapi pasti.
“Terus yang dianggap discreet kayak gimana?” tanya Bin.
“Yang jelas nggak
sembarang ngewi kayak elo,” balas Ban dengan tangkas, telak sekali. “Elo mah di
kebon jadi. Orang discreet pasti
bakal mikir sejuta kali untuk memutuskan itu, dan ujunganya kagak bakal mau,”
sembur Ban dengan nada nyinyir nan menyabalkan. Gue ngeliatnya hanya bisa
senyum-senyum. Tadinya gue mau ikuta ngebully
tapi liat tampang Bin yang macam orang mesum kepergok massa jadi gak tega.
Gue harus menghentikan
adegan buylly ini, kalau kepanjangan
bisa kayak sinetron Indonesia yang penuh dengan adegan bully, tak patut untuk ditonton. Gue melanjutkan sekaligus
meluruskan sebelum melenceng jauh banget. “Gay discreet pasti akan menjaga dengan ketat privacynya. Dia nggak akan sembarangan kenalan sama homo. Jadi yang
kenalan atau bisa deket sama gay discreet
hanya orang tertentu saja yang dia percaya.”
“Maksudnya gimana?”
tanya Ban polos.
“Dia bakal pilih-pilih
dulu, homo mana yang pantas untuk dijadikan teman atau di kencani. Pilih mana
yang bisa jaga privacynya, diajak sharing, biasanya mereka akan memilih
pasangan yang discreet juga atau
minimal homo yang nggak banyak pergaulannya. Kalau bisa untuk dijadikan teman
untuk selamanya.”
“Terus gimana caranya
mereka dapetin teman kencan?” tanya Bin, kali ini wajahnya serius. Mungkin dia
akan menggaet mereka yang discreet.
“Mereka carinya lewat
sosmed juga,” ujar gue enteng.
Dahi kedua sahabat gue
mengernyit, mereka pasti nggak ngerti. “Lah pie toh, katanya mereka discreet koq malah main sosmed. Kan
mereka menjaga pergaulan,” gerutu Bin, nadanya juga protes ke gue.
“Namanya juga manusia
pasti tetep butuh media untuk bersosialisasi donk, tetapi mereka sangat
membatasinya, dan jarang banget kasih acount
tersebut ke orang lain.” jawab gue dengan tenang. Sekali kena pancing Bin, bakal
uring-uringan terus. “Mereka biasanya tetep cari teman kencannya lewat sosmed
dengan cara menscreening
calon-calonnya. Mereka akan melihat dulu profile tuh orang. Selanjutnya mereka
akan melihat postingan orang tersebut, jika kelihatannya tuh orang ember bocor
dan suka posting marah-marah atau mengolok-olok orang nggak bakal menghubungi
tuh orang apalagi untuk ketemuan. Di sosmed mereka nggak posting foto loh, jika
pun ada cuma satu dan biasanya gak jelas, atau mereka pakai fake avatar. Mereka juga nggak bikin
status macem-macem apalagi soal identitas diri, dimana dia sekarang berada dan
sedang apa.” Gue mencoba menjelaskan apa yang gue tau.
“Terus gimana cara
ketemuannya?” tanya Ban yang penasaran.
“Ini sebenernya agak
repot, karena dia bakal susah ditemui. Gay discreet
pasti bakal punya banyak pertimbangan, untuk memutuskan ketemu atau tidak. Bisa
ketemuan kalau sudah merasa yakin orang itu bisa jaga rahasia atau tidak,” ujar
gue penuh dengan keyakinan. Gue melanjutkan lagi setelah minum, “Kalau dia
sudah cocok apa yang dilihat di sosmed, maka dia akan inbox, direct messege, PM dan lain untuk bekenalan mengenal lebih
jauh dari korbannya. Jika sudah sreg dan yakin barulah mereka berani untuk
ketemuan. Mereka yang akan menentukan tempat dan wakutnya.”
“Koq bisa gitu?” tanya
Bin kebingungan.
“Ya kan mereka discreet nggak mau sembarangan apalagi
ceroboh. Mereka pasti akan cari waktu dan tempat yang kemungkinan kecil bertemu
dengan teman apalagi dengan keluarganya. Jadi jangan harap beretemu di tempat
keramaian, yang terlalu umum. Pasti dia akan memilih yang agak jauh dari
keramian. Kalau tujuan mereka cuma ngewi, berarti langsung di hotel, itupun
nggak bisa barengan masuknya.”
“Ah gue mah ogah yang
kayak gitu ribet banget,” komentar Bin yang berubah pikiran setelah mendengar penjelasan
gue kalau gay discreet ribet.
“Iya, elu mah maunya
yang instan, tinggal pasang foto binal di Grindr, tebar pesona kesana kamari,
ada yang PM langsung dech ketemuan and
ngewe,” semprot Ban dengan nada menghina. Secara nggak langsung mengaggap Bin
sebagai homo murahan.
“Bukan gitu juga kali
Banci!!” Bin memprotes Ban dengan galak. “Ribet aja mau kenalan atau pengen
deket susah minta ampun, sok orang penting, sok orang terkenal yang harus
dijaga kerahasiaannya. Kalau gitu mending nggak usah jadi homo. Mereka terlalu
lebay dalam menjaga privacy.”
“Homo discreet itu emang orang penting dan
terkenal atau yang masih mikirin reputasi. Kalau elu mah emang dasarnya udah
bobor,hahahaha.” Gue menyindir Bin dengan lantang. “Biasanya juga yang discreet itu mereka GAY BISEX, yang
sudah punya keluarga.”
Gue setuju sih sama
pendapat Bin kalau berhubungan sama gay discreet
emang ribet. Buat komunikasi aja kadang ada jamnya. Kita nggak bisa sesuka hati
untuk telpon atau sekedar pesan instan, alasannya handphone sering dipegang istrilah, atau kalau jam segitu sedang
waktunya sama kelurga dan berbagai macam alasan lainnya.
Untuk urusan ketemuan
juga emang susah. Kita harus sabar banget, karena kita dituntut untuk
menyesuaikan mereka. Waktu dan tempat yang mengatur mereka, nggak sembarangan
tempat. Mereka akan memilih jauh dari keramaian bila perlu diluar kota, hal itu
untuk mengihindari dari pertemuan nggak sengaja keluarga atau tema atau kolega.
Misalpun bertemu di tempat umum kita diharuskan jaga sikap nggak asal becanda
apalagi dengan gaya ngondek. Kebanyakan dari mereka pun akan memilih orang yang
bertampang maskulin dan straight act.
Pasti buat homo open dan ngondek hal
kayak gitu ribet banget dan nggak praktis.
“Tapi sekarang banyak
juga gay discreet gadungan, cuma
hanya sebatas di bio Twitter, atau sekedar omongan di chatting.” Gue melanjutkan lagi tentang gay discreet
dengan jenis yang berbeda.
“Ada ya yang macam
gitu?” tanya Ban polos, ditambah dengan tampang bloon.
“Banyak!!” jawab gue
ketus. “Masa iya, di bio bilang discreet
tapi dia pasang foto asli.”
“Bisa aja itu fake avatar,” Bin menyela omongan gue
yang belum kelar.
“Gimana mau dibilang discreet dia aja pakai foto asli, lah
wong liat TL aja foto half nakednya
banyak, belum lagi kalo foto itu di retweet, semakin nyebarlah. Menyalahi
kodrat homo discreet” timpal gue
dengan cepat. “Jarang banget discreet pasang
real avatar. Apalagi sampai posting
foto dirinya di TL.”
“Mungkin dia discreet narsis,” balas Ban enteng,
dengan muka lempeng.
“Mereka juga narsisnya
gak di acount homo keleus,” ujar gue
mata mendelik biar Bin nggak banyak protes. “Nyebelin dari mereka itu, katanya discreet tapi malah tebar pesona kesana
kemari, mention orang buat ngajak ML
atau malah nyebar PIN.”
“Eh iya banyak tuh
yang kayak gitu, maksudnya apa coba?” protes Bin.
“Mereka homo discreet yang sudah desperate karena gak dapat lakik, mereka sudah inbox sana kemari nggak ada hasil. Jadinya mereka capek sendiri dan
gregetan akhirnya membuka diri tapi lupa merubah bio-nya,” Ban menyalurkan
pendapatnya.
“Tapi yang kayak gitu
mending sih, mereka pada akhirnya terbuka.” Bukan maksud gue mendukung gay discreet yang kayak gitu, mungkin dia
sudah lelah menjadi discreet. “Dari
pada ada homo yang katanya discreet,
dia emang gak pasang ava, tapi dia suka tebar pesona kesana kemari dengan mention atau dengan pesan pribadi ,atau
komentar di FB. Tetapi ketika sudah akrab atau kenal banget mereka tetep nggak
mau menunjukkan diri, minimal foto dech.”
“Kalau yang itu
berarti homo denial atau homo
munafik. Kayak gitu biasanya homo-homo newbie
yang masih takut-takut terjun ke dunia maya homo,” ujan Bin dengan nada
nyinyir. “Itu orang berarti egois.”
“Bener banget, dia
sebenarnya udah sadar jadi homo tetapi, masih takut terjun langsung ke dunia
homo. Tetapi bukannya sama aja dia mention
sana sini tetep menarik perhatian pada akhirnya orang pun akan tau siapa dia. Gue
anggap aja sih mereka homo penyebar PHP.” imbuh gue yang kesel sama homo macam
itu.
“Nggak ada bedanya
mereka yang menabur cinta dan benihnya dimana-mana tapi dia nggak memanen,” Ban
melengkapi omongn gue.
“Seharusnya ketika
sudah terjun ke dunia maya apalagi sosmed mereka sudah siap jika someday ada orang yang tau kalau dirinya
gay. Kalau emang nggak mau dikenal ya lebih baik simpan rasa itu baik-baik
didalam hati jangan di tunjukkan. Kalau mau jadi gay discreet pun harus bisa bersikap menyenangkan dengan membuka diri
secara perlahan kalau emang sudah percaya, tentunya nggak banyak tingkah juga.”
Kali ini Bin menyumbang pikirannya yang bener, sepertinya otak dia sudah di
setting kembali pada pemikiran yang baik-baik.
Emang sih untuk
menjadi gay discreet atau open bukan urusan Ban dan Bin apalagi
gue. Gue bisa menghormati keputusan mereka yang discreet asalkan mereka juga bisa memegang konsep discreet yang benar. Nggak banyak
ngumbar pesona ke tiap homo, selalu melakukan hati-hati, selain itu berjiwa
adil dan bersikap jantan.
Kalau emang nggak siap
menjadi gay discreet nggak usah
ngaku-ngaku seperti itu. Gue sih sebernya gak peduli, tapi gue kasian aja sama
orang yang nanggung kayak gitu. kayak gitu malah bisa merusak reputasinya
sendiri. Bisa dibilang sebagai munafik atau gay denial yang ada nanti malah dijauhi orang. Nggak usah menarik orang
kalau pada akhirnya kamu teralalu tertutup, bikin keki orang saja.
Ketika kita memutuskan
terjun ke dunia gay kita pun harusnya sudah siapkan diri bila terjadi hal
buruk, termasuk jika orang terdekat kita tau kalau kita gay. Kita memang perlu
menjaga privacy apalagi terhadap
orang baru kenal, tetapi nggak perlu lebay yang bikin repot sendiri yang ada
kamu akan ditinggalin sama orang-orang.
“Kalo aa Iw termasuk discreet gak?” tanya Ban menyentak gue.
“Hmmm nggak tau ya,”
gue gelagapan karena gue belum bisa mendifinisikan. Gue emang sudah jadian tapi
belum mengenal banget siapa dia. Begonya gue gitu udah cinta yang penting bisa
jadian dulu tapi nggak ngerti latar belakang tuh orang.
“Lah koq, gitu?” tanya
Ban heran.
“Kalo elo mah dari
awal udah rasanya ngewi sama dia enak, dan tuh orang wellcome sama elo pasti nggak mikirin dia discreet atau nggak. Yang
penting buat elu tetep keep contact
kan?” Serasa ada yang menusuk relung hati. Omongan Bin emang ngena banget.
“Gue nggak pernah juga
sih nanya-nanya mendetail, karena aa Iw juga cerita sendiri. Cuma dia nggak mau
kasih alamat rumah, tempat kerjanya dimana, gue pikir itu hal yang biasa aja
untuk menjaga privacy,” ujar gue yang
masih ragu.
“Kamu tau nggak Insta,
Path, Facebook, atau Twitter dia?” tanya Ban.
Gue jawab dengan
menggeleng, artinya gue nggak tau sama sekali sosmed dia apa. Kan kenalannya
waktu itu secara langsung. “Gue pernah tapi nggak dikasih yang ada gue
dimarah-marahin karena mengganggu privacy
orang.”
“Sebenernya dia
macarin elu emang beneran cinta atau buat partner
ngewe elu?” tanya Ban dengan wajah lempeng tanpa dosa tapi intonasinya
tajam.
Sebelum gue jawab
pertanyaan Bin, gue membuka pintu kamar karena ada yang mengetuk, ternyata ibu
kost membawa kotak paket. Gue langsung terima saja, dan ngeliat nama
pengerimnya aa Iw. Ban dan Bin langsung ngerubungin gue karena penasaran isi
paketan itu. Tanpa buang waktu lagi gue buka isi paketan itu. Isinya ada
amplop, lalu gue keluarkan isinya, ternyata tiket pesawat jurusan Jogja –
Pangkal Pinang (Bangka), bolak balik. Hhuaaaaaa gue dapet tiket liburan. Nggak
lama kemudia ada telpon dari aa Iw.
“Halo dek,” sapa aa
Iw. Seblum gue balas aa Iw sudah ngomong lagi, “Paketnya udah sampai?”
“Udah A. Ini maksudnya
apa?” tanya gue bingung dengan nada ketus. Siang bolong tiba-tiba dapet paket
isinya tiket, tanpa ada konfirmasi dulu. Gue juga heran aa Iw dapat nomer KTP
gue dari mana.
“Ya itu liburan kita
dek. Aa ingin kita liburan berdua ketempat yang adek pengen,” jawab aa Iw dengan
tenang. “Maap juga aa udah lancang buka dompet waktu itu untuk liat KTP adek.
Aa emang udah niat lama mau liburan sama adek,” aa menjelaskan dengan
hati-hati. Tadinya gue udah mau marah-marah langsung luruh juga.
“Tapi a.,” kata gue
terpotong.
“Nggak usah tapi-tapi
dek. Oh ya ntar kita ketemunya langsung di sana, buat jaga-jaga biar nggak ada
yang liat kita di air port. Love you.” Aa Iw langsung matiin telpon.
Gue langsung nengok ke
Bin yang sedang mukanya ditekuk, sedangkan tampang gue sumeringah pakai banget.
“Jadi elu, bisa
ngartiin kan dengan bukti ini? Aa Iw emang discreet
tapi dia cinta gue beneran.” Gue menyeringai sinis penuh dengan kemenangan. Tiket
yang ada ditangan gue tampar-tamparin ke pipi Bin dan Ban.
“Huaaaaaaa. Dasar
Bencong sundal......!” kedua temen gue yang homo histeris.
Tamat
Telah terbit buku bertema LGBT berjudul #Kamuflase. penjualan secara on line, pemesanan KLIK SINI. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASET