Tuesday 25 June 2013

Cerbung: Dia (Ilusi) Part 5

Aku tau dia berlari akan menghampiriku. Aku tetep saja pura-pura cuek dan bermain basket.  Aku tidak ingin terlihat betapa girangnya ketika dia dengan berkeringat menelusuri lapangan mencari pintu masuk ke arena lapangan. Walaupun wajahnya terlihat panic tetapi ku lihat pancaran sumeringah, seperti anak kecil yang berhasil mendapatkan mainan.  Aku harus tenang, dan tampil cool di depannya. 
Dentuman sepatunya menggema dilapangan semakin lama terdengar semakin mendekat. Dia ada dibelakang ku  dengusan nafasnya terdengar ditelinga semakin menggairahkan ketika setiap helaan nafas rasa pengorbanan yang akan dirasakan bersama. Ku mengendus bau parfumnya, dia tepat ada dibelakang ku.  
Aku harus bagaimana? Apa aku membalik dan menatapnya sembari menanti jawaban. Kalau dia menerima sih betapa girangnya aku, tetapi kalau tidak diterima rasanya aku mati? Oh tidak aku belum ingin mati, aku masih ingin terus  dekat dengannya.  Meskipun di tolak? Aku ingin tetap dekat denganya bisa terus memperhatikannya walau dia tidak memperhatikan ku. Ah jangan berfikir seperti itu. aku yakin dia pasti menerimaku. 
Aku melemparkan bola kedalam ring sambil agak loncat. Begitu mendaratkan kaki di lapangan bersemen tiba-tiba tubuh ku terasa hangat. Bau parfum bercampur keringat menusuk hidungku. Ada tangan yang melingkar di badan ku, kaitan tangan itu erat sekali ada di dada. Apa dia sedang memeluku? Aku tidak berani menengok. Aku mersakan beratnya kepala yang bersandar dibahu. Jantungku berdegub kencang. Kejutan apa yang akan ku terima? Semoga aku tidak terkapar terkena serangan jantung.
 “AKU SAYANG KAMU” sebuah bisikan lembut mendarat ditelingaku. 
Bulu kuduk ku berdiri, merinding mendengarkan 3 kata itu. Aku masih belum yakin apakah itu dia? Tetapi dari suaranya sepertinya aku telah mengenalnya selama tiga tahun ini. Bau parfumnya juga selama tiga tahun ini menyeruak di hidung ku. Tangan yang memeluk ku ini seperti cengkraman rantai yang erat seakan tidak tergoyahkan sayangnya  pada ku. Aku tau ini pasti dia.
Perlahan kuberani menengok kepala ini ke belakang, dugaan ku benar ternyata benar dia. Matanya yang sipit mencoba menusuk kan cinta pada mataku. Wajahnya yang bersih tanpa bulu kumis atau jenggot tampak senyum berseri. Nafasnya masih terengah namun sudah teratur, rambutnya basah oleh keringat begitu juga denga leher dahinya. Dia terlihat berbeda, pancaran cinta itu menyeruak diangara kita. 
Aku membalikan badan menghadap dia, tangan kita saling menggandeng dan aku mentapnya tajam mentransferkan cintaku pada dia. Ini memang klise seperti adegan dalam sinetron tapi ini adalah reaksi apa adanya. Betapa senangnya aku sampai bingung untuk mengungkapkan satu patah kata saja. Nampaknya dia sama seperti itu. Bibir kita seperti mau berbicara tapi terkunci, hanya mengatup. Kepala kita semakin medekat, terus mendekat dan menempelah bibir ku degan bibirnya. 
Gila!! Ini masih disekolah kita asik berciuman. Tapi ini aksi sepontan kita sama-sama meluapakan kesenangan. Cinta ku yang terpendam selama tiga tahun ini terbalaskan denga kata “AKU SAYANG KAMU” dari bibirnya. Mungkin dia juga merasakan hal sama betapa bahagianya kode-kode yang dia kirimkan dapat terbaca dan ku membalasnya dengan cara ini. 
Sekolah sudah sangat sepi hanya ada beberapa siswa yang ada di ruangan ekstrakulikuler. Sebagian lagi didepan kelas sambil mengerjakan tugas kelompok. Aku dan dia berjalan masuk ke area dalam sekolah. Kita memilih teras lantai dua untuk mengobrol lebih intim agar tidak ada orang yang mendengar pembicaraan ini. Sekalian untuk terakhir kalinya melihat sekolah beserta isinya. Kita duduk didepan kelas dia.
“Kenapa baru sekarang?” Kata dia memulai pembicaraan, nadanya sedih dan matanya sayu mentap ku. 
“Aku baru berani sekarang.” Aku mengatakan sambil tertunduk malu.
“Sejak kapan?” Dia beratanya lagi nadanya masih sama.
“Pertama kali bertemu di MOS, aku sudah suka senyum kamu. Lalu kita bersahabat aku merasa nyaman. Sejak kelas dua aku suka kamu. Kelas tiga aku tidak bisa melupakan mu dan sekarang aku tidak ingin kehilangan mu.” Semoga penjelasaku ini bisa diterimanya. Aku baru berani menengok ke hadapan dia setelah kalimat selesai. 
“Aku benci kamu.” Dian mendadak menjadi bengis, dahinya juga ikut mengernyit.
Aku tersentak kaget, dan menerka apa yang dipikirkannya. Apa mungkin dia akan mengungkit kejadian kelas dua?. Aku bingunng. Aku hanya bisa diam, menunggu respon lanjutannya dia.
“Aku benci kenapa nggak dari dulu kamu bilang semua ini? Aku benci sekarang kamu baru bilang ketika kita sudah tidak satu sekolah lagi?” Dia menggelontorkan pertanyaan yang sulit ku jelaskan. Mimiknya semakin sedih.
Sekali lagi kudiam aku nggak tau harus mengatakan apa. Aku hanya bisa bergumam.
“Baru sekarang aku berani.” Aku bernani menjelaskannya walaupun tidak yakin dengan jawab ini. “Mungkin ini akhir dari masa sekolah kita. Tapi bisa menjadi awal hubungan yang lebih erat lagi untuk hari ini dan seterusnya. Kita buka lebaran baru bila kemarin bersahabat besok berbeda lagi.” Aku berusaha meyakinkan dia.
Dia menarik nafas seperti ingin menyemburkan rentetan pertanyaan lagi. Lalu jari telunjuk ku ke bibir dia menyuruhnnya diam karena aku belum selesai berbicara. 
“Meskipun kita berbeda kota lagi, tapi cinta kita satu. Sudah terbukti tiga tahun ini walau kita pernah beratem atau kita pernah berpisah lama tapi kita tetap saja menjadi dekat lagi, apa lagi dulu hanya sebatas sahabat. Sekarang kita sudah lebih dari sahabat. Aku percaya kita bisa laluinya.” Kata ku dengan serius dengan menggenggam sebelah tangannya.
Dia menahan tangin, disudut matanya tersempil titik air mata. Taganya memegang erat tangan ku. 
“Aku percaya sama kamu.” Kata dia  tegar. “Kita jalani saja dulu hubungan ini.” Tetapi sedetik kemudia terasa ada keraguan darinya. 
“Kamu masih ragu?” Tanya ku juga ragu keseriusan dia.
“Kalau aku ragu sama kamu, aku nggak nerima kamu jadi pacar ku. Kalau aku ragu dengan mu aku tidak sudi berbaikan lagi dengan mu. Aku sudah terlalu sayang sama kamu.” Di awal nadanya naik karena tidak terima tuduhan ku, namun di akhir kalimat dia melunak dan memberikan senyum pada ku. 
Aku semakin mengencangkan genggaman ini. Yakin dengan perkataannya bahwa dia memang serius bersama ku. 
“Aku tidak ingin menyakitimu yang kedua kali.” Menengok lagi ke dia sambil tersenyum. 
Dia memeluk ku lagi dengan erat. Tetapi kenapa semakin berat badan ini, rasanya tulang ini semakin remuk. Apa ada yang patah tadi main basket atau patah karena dipeluk dia. Ini berat sekali seperti gajah menimpa ku. Nafas ku sesak rasanya sulit menghirup udara, semakin lama tercekik. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuh. Ada apa ini?
Seketika itu juga mata ku terbelalak. Gelap tidak  ada cahaya, pekat apa yang kulihat. Ah ternyata aku masih di kamar dan langit sudah gelap aku terlalu lelah memikirkan sehingga terlelap tidur untuk melupakannya. Jadi semua itu tadi hanyalah mimpi dan ilusi? 

No comments: