Friday 21 June 2013

Perpisahan 2 (Penjelasan)

“Papah cerai?” Kata itu meluncur dari Afan langsung menuju sasaran dengan tatapan menusuk pandangan Hans.
Pertanyaan itu begitu telak dan menohok hati Hans. Kagetnya luar biasa, sampai jari Hans teriris pisau. Hans tidak menyangka Afan yang berusia 7 tahun telah mengerti arti kata cerai. Entah dari mana belajar kata seperti  itu. Risma yang asik mengupas menjadi mematung tampaknya Risma juga telah mamahami arti kata cerai.
Hans tak berkutik lagi tetapi bagaimanapun juga masalah ini harus diselesaikan. Otak Hans mulai berputar mencai istilah yang tepat untuk menjelaskan perpisahan ini kepada anak yang masih berumur 5 dan 7 tahun. Darah juga masih keluar dari jarinya, tetapi Hans tidak memperdulikannya. Suasana hening menyelimuti rumah, Risma hanya bisa tertunduk, Afan terus menatap tajam Hans berusaha bertahan meminta jawaban dari papahnya. Sedangan Hans, berusaha tegar untuk menjelaskan semuanya.
“Sebentar, nanti papah jelaskan. Papah mau ambil bersihin luka ini dulu sama ambil plester.” Hans segera beranjak dari tempat duduknya sambil mengulur waktu agar bisa berfikir lebih jernih lagi.
“Papah nggak berusaha untuk kabur kan?” celetuk Risma, yang ternyata diam-diam ikut mengintimidasi Hans.
Hampir saja Hans terjatuh karena kaget. Ternyata Risma pun sudah dewasa karena bisa membaca pikiran papahya. Sebenarnya Hans punya fikiran untuk menyudahi pembicaraan ini sepihak karena suasanya sudah tidak nyaman lagi diluar dari rencana Hans.
Beberapa saat kemudian Hans kembali duduk jari telunjuknya sudah dipleseter dan Hans sudah siap menghadapi kedua hakim yang gregetan untuk mencecar Hans yang seakan-akan jadi terdakwa.
“Ok, papah jelasakan. Papah sama Mamah sudah tidak ada kecocokan lagi.” Hans mencoba menjawab pertanyaan Afan dengan lugas.
“Ich emang Papah itu artis??” Tanya Afan yang matanya masih menghunus Hans. Hans pun tak memahami maksud perkataan Afan. “Kan artis kalo ditanya cerai jawabannya seperti itu.” Afan menlanjtukan perkataanya agar Hans mengerti apa yang di maksudnya.
“Ouhh ya ya ya sekarang papah tau. Pasti kalian “belajar” dari infotaiment ya? hahahaha” Hans tertawa karena lucu melihat polah tingkah anaknya bukan seperti hakim yang ada di benaknya melainkan jadi wartawan infotaiment.
Afan hanya bisa mengangguk, tetapi dia masih antusias untuk mendengarkan penjelasan dari Hans menganai perceraian.
“Papah sama mamah sudah berbeda misi dan visi dalam membangun rumah tangga ini, hhmm,” Hans tidak yakin penjelasannya bisa di pahami anaknya dan segera meralatnya. “Begini, papah ingin A tetapi mamah ingin B jadi kita berbeda pedapat.”
“Ouh gitu….tapikan kenapa papah sama mamah nggak tanya pendapat kita?” Tanya Risma polos, mungkin dipikirnya ini masalah tersebut hanya memilih baju mana yang bagus.
“Ayo lanjutin lagi Risma ngupas wortel, Afan motong brokoli.” Hans menyuruh kedua anaknya untuk membantu masak agar suasana kembali cair.
“Afan sama Risma lebih senang papah mamah bertengkar terus tapi satu rumah atau lebih suka kita akur tetapi beda rumah?” Hans kembali mendiskusikan perceraian ini.
“Lebih suka akur.” Jawab Risma ragu “Tapi…..” Risma enggan menyelesaikan masalahnya karena masih berfikir.
“Nggak dua-duanya.” Jawab Afan ketus.
“Afan dan Risma, mamah Dania dan Papah Hans kita semua masih keluarga walau nanti mamah sama papah nggak serumah.” Hans mencoba menjelas dengan hati-hati. Hans menghentikan kegiatanya. “Risma tetap jadi adeknya Afan, Afan juga tetap jadi adeknya Risma. Dan kalian tetap jadi anak mamah papah.”
Hans beranjak dari tempat duduknya lalu bernjalan mengitari meja makan menuju Risma da Afan yang duduk bersebelahan. Lalu di peluknya Afan dan Risma sembagai tanda kita semua masih keluarga sampai kapan pun.
“Pah nanti adek sama kakak tinggal sama siapa dan dimana?” Tanya Risma memelas.
Masih memeluk, Hans menjawab pertanyaan. “Kalian bebas mau tinggal sama siapa, bisa seminggu sama papah lalu gentian sama mamah. Terserah kalian juga.” Hans berhati-hati barang kali salah ucap. Hans juga bersikap netral tidak membujuk anaknya untuk tinggal bersama. Hans yakin Dania juga akan bersikap sama, karena tidak ingin semakin mengoyak perasaan anaknya yang menjadi rebutan.
“Pah kenapa sih berpisah?” Ternyata Afan masih belum puas jawaban dari Hans.
“Tadi kan papah udah jelasin.” Hans melepas pelukan dan beralih jongkok di sebelah Afan. “Afan, kalau diterusin lagi nanti kan menyakiti hati kita semua.  Afan nggak mau juga kan liat mamah papah berantem terus?” Hans berusaha memberi pengertian kepada Afan.
“Lalu yang salah siapa?”  Tanya Risma ikutan menjadi wartawan infotaiment.
Hans mengernyitkan dahi, pikirannya kembali melayang mencari jawaban yang tepat. “Nggak ada yang salah dan nggak ada yang benar. Papah sama mamah punya pendapat sendiri-sendiri dan semuanya ada kekurangannya dan kelebihan.”  Hans berharap semoga cepat berakhir diskusi ini.
“Papah sama mamah nggak ada yang selingkuh kan?” Hans teperanjat mendapat pertanyaan dari Afan. Ternyata Afan lebih dewasa dari dugaannya.
“Kenapa Afan menduga seperti itu?” Hans masih meredam emosinya menanggapi Afan tetapi sudah ada rasa gregetan.
“Kan biasanya artis-artis gitu pah, alasan cerai karena ketidak cocokan eh tau-tau dia selingkuh.”  Jawab Risma polos.
“hahahahaha” Hans sekali lagi tertawa karena kepolosan anaknya yang tadinya sudah geram menjadi rileks lagi. “Nggak lah dek, gak ada orang ketiga atau orang ke empat atau orang-orang lain yang ikut nimbrung.”
“Terus kalau kita pengen jalan-jalan gimana?” Risma melanjutkan lagi pertanyaan yang ada dibenaknya,
“Kita masih bisa jalan berempat, yang bedakan papah sama mamah nggak serumah lagi.” Hans mulai bosan dengan diskusi ini. Pasti akan ada banyak pertanyaan kritis dari Afan dan pertanyaan polos dari Risma.
“Papah masih sayang sama mamah?” Afan bertanya dengan raut memelas.
“Pastinyalah sayan sama mamah.”
“Tapi kenapa kalian berpisah? Katanya tadi saling menyakiti? Berartikan nggak sayang.” Afan menembekan serentetan kata yang sekali lagi membuat Hans tidak berkutik.
“Kakak sayang adek nggak?” Tanya Hans pada Afan.
Afan hanya bisa menganggukan kepala tetapi masih tidak paham maksud dari Hans.
Hans bersiap melanjutkan penejelsannya. Dia berpindah posisi kini kembali ketempat duduknya semula. Hans juga menyadari cara menjelaskan sambil memask ternyata tidak efektif karena jadi terbengkalai.
“Kakak sama Adek saling sayang kenapa sering berantem?” Hans mencoba memancing pendapat dari Afan.
Afan diam sejenak, memikirkan jawabannya. “Hhmmm abisnya adek nyebelin sih, kakak minta apa adek gak kasih atau adek juga suka ngerebut mainan kakak.” Afan menjawab dengan semangat.
“Ye…. Nggak ya….Kak Afan juga nyebelin suka nyuruh-nyuruh adek padahal kakak kan bisa sendiri.” Risma nggak mau kalah dari Afan dan membuat tuduhan lain tetang tabiat kakaknya.
“Tuh kan baru sebentar kalian sudah berantem. Iya begitulah mamah sama papah saling sayang tapi suka berantem juga. Tetapi masalah mamah sama papah sudah berbeda sama kalian.
“Tapi pah…….” Afan ingin melanjutkan pertanyaan lainnya tetapi telunjuk Hans mengarahkanke bibir Afan tanda agar diam.
“Papah mau lanjutin masak lagi, kalian laparkan? Nanti kalian pas kalian dewasa akan mengerti tentang perceran dan papah sangat mengharapkan jangan sampai terjadi.” Hans mengakhiri pembicaraan ini sebelum semakin panjang dan pertanyaan menyodok keluar dari Afan.

Bersambung

No comments: