Gue baru aja pulang
kuliah, lalu langsung meluncur ke rumah Ban dengan menggunakan bus kota jalur
9. Bus kota yang lewat depan kost cuma jalur 9, untungnya trayek melewati
kawasan Tamsis. Gue nggak perlu repot-repot pindah-pindah angkot untuk ke rumah
Ban. Kali ini gue ke rumah Ban sekedar
nebeng ngadem, lumayan bisa tidur pake AC,hehehhe.
Saat gue sampai di
kamar Ban, gue terkesima dengan kamar berantakan banget. Kamar berantakan itu
biasa, tapi ini yang berantakan adalah tisu tercecer di mana-mana. Ajaibnya
tisu itu berisikan ledir berbau anyir. Nah loh pasti udah pada tau kan itu apa?
Tisu ini bagaikan jebakan batman dech, kalau nggak hati-hati kamu nginjek, dudukin
bahkan nidurin. Emang beneran Ben super jorok. Herannya dia masih aja betah
dengan kamar berantakan kaya gini.
“Ich....jorok banget
sih kaya gini.” Gue masuk kamar sambil berjinjit untuk menghindari ranjau.
“Hehehehe,” Ben cuma
terkekeh. Tubuhnya masih dibalut pakaian lengkap, tampaknya dia juga baru
pulang kuliah. “Iya nanti gue beresin,”
“Sekarang bego.....
gue kagak mau nginjek pejong kamu,” gue mendengus kesal.
Tanpa diperintah lagi,
mungkin dia juga menyadari betapa jijiknya jika menginjak gituan. Ban segera
mengambil tisu yang tercecer di lantai, kasur, karpet bahkan ada yang di kolong
lemari. Gue heran semaniak itu kah, pantesan aja tangan kanannya kekar.
Setelah kamar beres
semua gue tiduran sambil nonton televisi, sedangkan Ban asik sendiri
berselancar dalam dunia maya lewat smarthphone.
Aplikasi pertama yang dibuka pasti Grindr. Gue sekilas ngeliatin dia, tampaknya
kesal. Selepas Grindr berlanjut ke Planet Romeo, mungkin hasil sama saja, bibir
Ban tambah monyong aja karena kecewa. Nampaknya masih peasaran lalu dibuka
kembali Manjam. Ban membuka semua aplikasi pertemanan dunia homo.
Gue tau pasti Ban
sedang mencari mangsa. Mangsanya buat dijadiin partner ngewe, tapi berdalih
untuk cari temenan. Biasanya gitu kelakuan gay jaman sekarang. Kalau udah ngewe
bisa jadi teman, atau malah dicampakkan begitu saja kalau nggak udah ngewe,
tergantung dari service yang didapat. Tapi nggak semua homo gitu ya. Mencari
teman lebih baik di forum terbuka atau dari pertemanan secara langsung lewat
acara gathering.
Kalau jaman dulu kita
temenan dari pertemuan langsung, biasanya ada suatu gathering, di tiap kota pasti ada tempat ngumpul khusus para gay.
Jika masih malu-malu dalam dunia nyata, alternatif lainnya lewat dunia maya, chating di MIRC. Aplikasi yang paling
ngetren di tahun 90an sampai akhir 2010an sebelum tergusur oleh sosmed khusus
homo. Sekarang udah banyak sosmed yang khusus untuk gay, gue udah dijelasin di
atas macam-macamnya.
“Elu kenapa Ban
monyong gitu?” gue basa-basi nanya gitu. “Pasti nggak ada yang respon elu
ya?hehehe,” gue meringis melihat ekspresi Ban yang bibirnya makin monyok.
“Ichhh... sotoy,” Ban
menanggapi dengan kesal. Sejurus kemudian melempar smarthphone ke kasur.
“Tapi benerkan?” gue
mendesak agar Ban buat pengakuan.
Ban nggak menjawab
pertanyaan gue. Mungkin dia pikir tanpa dijawab pun sudah tau kebenarannya. Ban
hanya terlentang, sesekali menghembuskann nafas kuat-kuat untuk menghilangkan
kekesalannya.
“Kenapa sih dunia homo
pun masih ada aja rasis?” Ban mulai menceritakan keluhannya. “Mereka banyak
yang memandang fisiknya saja atau penampilan, atau sesuatu yang dianggapnya
keren.” Ban membalikkan badannya pada gue. Suaranya terdengar putus asa.
Gue memandang iba pada
sahabat yang sedang HBL akut. “Pertama, kita pasti lebih pilih berteman yang
ada wujudnya. Elu juga nggak mau kan temenan sama makhluk astral.”
“Emang gue temanan
sama elu bukan teman yang mistis? Gue heran bisa temenan sama makhluk gaib
macam elu Ben,hahaha.” Ban sukses menyemprot gue.hahaha.
“Setidaknya gue nerima
elu apadanya sebagai teman,” balas gue.
“Gue cuma kasihan sama
elo, anak rantau yang merana,hahahah.”
“Back to topic,”gue mengalihkan perhatian lagi. Serangan berbalik,
gue yang kalah. “Jadi intinya elu juga orang yang merana. Gay seantero Grindr
nggak ada yang pilih elu.” Skakmat!
Ban tambah mencelos
aja, meringkuk tak berdaya atas penderitaan tak dianggap oleh homo Jogja. Gue
sadar kata-kata yang keluar dari mulut gue dalem banget menusuk, tapi kenytaan
seperti itu.
“Bukan gitu, intinya
rasis nggak dicuma ada di dunia normal aja. Gay juga bisa aja rasis, yang cakep
sama cakep, yang manly sama yang manly, gagah sama gagah.”
“Terus yang ngondek
sama yang jelek sama siapa?” Gue memotorng omongan Ban. “Nah elo bagian dari
mana?” lanjut gue.
“Ahh..... sial, jangan
dipotong donk.” Ban terlihat tambah kesal.
“Itulah pilihan
mereka. Elo juga maunya sama yang ganteng juga kan? Tapi sayangnya elo jaduh
dibawah standar yang emang ganteng beneran,” gue balik nanya ke Ban tentang
masalahnya.
“Hhhmmmm.” Ban nggak
bisa berkutik, dia sedang cari alasan. “Gue sih nggak mandang fisik. Gue maksud
rasis itu, kalau mereka malah ngomongin bahkan mencemooh homo-homo yang nggak
“selevel” sama mereka.” Ban mengangkat dua jari terlunjuk dan tengan dari kedua
tangan untuk memberi tanda kutip pada kata selevel. “Nggak cuma pas ngumpul aja
tapi postingan mereka di sosmed juga, pakai ngata-ngatain lah.”
Gue nggak langsung
jawab. Gue berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan Ban. Apa benar di dunia
gay pun ada “rasis”, maksudnya bukan ras, agama, budaya dll. Tetapi lebih
kepada bentuk wujud gay yang bermacam-macam rupa.
“Emang ada yang salah
dengan orang ngondek dan jelek?” lanjut Ban sambil tanya ke gue. “Nggak perlu
jelek-jelekkin gitu lah. Harusnya dirinya juga ngaca juga donk,” omelan Ban
semakin menjadi.
“Ban..... gue nggak tau ya harus jawab gimana.
Tapi gue percaya nggak semua homo seperti itu.” Gue menepuk-nepuk punggung Ban
agar sedikit tenang. “Kalau gue pikir sih orang-orang kayak gitu cuma kurang
pendidikan aja.”
“Eh mereka banyak yang
sarjana dan S2 atau lebih cerdas,” Ban menampik omangan ku dengan tangkas.
“Maksud gue pendidikan
moralnya. Nilai PMP (Pendidikan Moral Pancasila) mereka merah kali waktu
sekolah dulu,” gue ngeles aja,heheheh. Tapi jadul banget ya pelajaran PMP.
Kita terdiam lagi.
Bener juga apa yang diomongin Ban, kalau pelaku itu dari mana saja yang mulai
dari “S3” samapai sarjana strata tiga. Mungkin mereka kecerdasannya numpuk di
otak. Sedangkan kecerdasan nuraninya lupa diisi. Nggak semua homo kayak gini
loh. Masih banyak gay yang baik dan nggak sombong nggak lupa rajin menabung.
“Jadi kesimpulannya
antara yang rasis sama pilih-pilih itu beda tipis.” Ban menyimpulkan obrolan
kita.
“Bedanya apa?” tanya
gue bingung.
“Kalau yang rasis itu
pakai acara bully kalau yang
pilih-pilih lebih ke diem aja atau cukup dengan negasi nggak pakai kata-kata
sarkastik,” jawab Ban. Suaranya masih terdengar lesu sedikit kecewa.
“Hhhhmmm gini sih ya
Ban. Secara nggak langsung mungkin kita juga ngelakuin rasis itu koq. coba elu
panggil gue Bencoooooong, nah gue panggil elu Banciiiiiiii,waakakakka.” Gue
berusaha menghibur Ban. Sebagai sahabat wajib donk menghibur teman yang lagi
dalam titik nadir.
“Eh bener juga ya,
kita hobi ngomongin Waria Maualana (salah satu sahabat kita juga). kita sering
nyindir kalau dia ngondek, dia inilah itulah. Padahal kita juga nggak kalah
ngondek,wakakkaka.” Ban jadi ketawa terpingkal-pingkal. Syukurlah dia sudah
rada membaik dan sadar sebagai pelaku rasis.
Ok. Jadi gue
berasumsi. Siapa saja bisa “rasis”, termasuk gue dan mungkin juga elo. Bukannya
nggak apa-apa, tapi asal nggak keterlaluan dan menyinggung. Rasisnya cukup
dalam hati kita,hehehhe. Rasis gay nggak cuma dalam individu juga, tetapi bisa
juga dalam kelompok.
“Rasis juga nggak
dalam individu kita aja. Coba aja kalau kita ngumpul sosialita homo pasti ada
aja yang rasis. Apalagi kelompok khusus “inilah itulah” diluar itu nggak boleh
masuk.” Ban duduk tegak kembali, lalu mengambil bantal.
“Nah tuh kan..... coba
dech kalau kita ngumpul ngomongin si ini ngondek terus ujung-ujungnya mereka
nggak mau temen lagi sama dia.” Gue ngomongin contoh dari rarsis dalam kelompok.
“Rasisnya mereka nggak cuma soal ngondek juga tapi bisa banyak hal, jelek atau
ganteng, gedong atau kelinci, fetish, dan lain sebagainya.”
“Iya tuh.... pasti ada
aja kelompok nggak nerima homo baru untuk gabung dengan alasan yang elo sebut
tadi. Itu sama aja bentuk rasis.”
“Nah orang-orang yang
tersingkir tadi akhirnya membentuk kelompok baru yang senasib dan
sepernderitaan. Akhirnya tambah lagi kelompok homo rasis baru. Kalau kayak gini
emang nggak ada akhirnya,” gue nambahin pendapat Ban.
Gue dan Ban kembali
terdiam, memikirkan nasib dunia pergay-an yang begitu rasis juga, malah nggak
kalah dengan dunia normal. Tapi buat gue rasis dalam dunia gay nggak se ekstrim
dunia normal sana. Dalam dunia gay banyak hal tapi tidak serumit dunia luar.
“Gimana mau diakui
atau dihargai sama orang “luar”, kalau orang dalam aja rasis,” Ban menggumam.
Tetapi suaranya masih terdengar ke telinga gue.
“Kadang mereka itu
nggak sadar antara pendapat pribadi itu sebagai bentuk rasis. Mungkin kata gue
sih ya, mereka nggak peka aja atau kurang bisa menghargai dan meghormati apa
yang sudah tercipta.” Gue menimpali omongan Ban sambil ngemil onde-onde.
“Tapi biarlah orang
kayak gitu, nggak usah dipikirin,” Ban menganggap hal ini kasus yang sepele.
“Nggak bisa gitu
jugalah..... kita harusnya bisa menghormati apa yang ada di diri seseorang itu.
Dia ngondek atau jelek, cacat, waria punya hak yang sama dalam bersosialisasi.
Toh ganteng, pinter, muscle dan “kesempurnaan” lainnya nggak menjamin mereka
seorang yang perfect. Tiap homo itu
pasti saling melengkapi dan mewarnai dunia perhomoan.” Gue nyamber omongan Ban
dengan semangat.
Kita diciptakan memang
berbeda. Tapi perbedaan itu jangan dijadikan sebagai jurang pemisah dan
dipisahkan. Perbedaan itu untuk saling melengkapi dengan potensi yang dimiliki
seseorang. Bertemanlah dengan siapa saja tanpa memandang dia “siapa dan apa”,
karena setiap teman pada dasarnya baik. Tapi kita punya pilihan untuk”
mengikuti” jejak teman itu atau tidak mana yang baik untuk kita tau tidak.
Kalau kamu dijahatin temen berarti namanya apes, dan dia nggak mengaggap kamu
sebagai teman.
“Ben.....sini dech ada
yang cucok.” Ban kembali memperlihatkan foto cowok yang ada di Grindr. “Tapi
nggak deh.....dia orang....... pasti kasar mainnya, udah gitu pelit.”
“Nah lohhhhhhh.....” Gue
tepok jidat sendiri.
Telah terbit buku bergenre Gay berjudul #Kamuflase. bisa buat refrensi diskusi atau obrolan menarik. Dijual secara on line, unuk pemesanan klik sini. TEMUKAN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE
No comments:
Post a Comment