Sudah satu bulan lalu
liburan ke Bali bersama kawan-kawannya termasuk dengan Roro yang sekarang jadi
tunangannya. Sampai detik ini Tri masih belum percaya melakukan hal konyol,
bisa jadi itu adalah kelakuan paling gila yang pernah Tri lakukan. Kemarin di
Bali Tri melamar Roro yang sudah lama dipacarin.
Ide gila itu terbesit
begitu saja, tanpa sengaja Tri melihat liputan di program traveling mengenai paralayang di pantai Pandawa, Bali. Abi yang
pertama kali mencetuskan ide tersebut. Abi menyarankan agar acara lamaran
berskesan, jadi bisa lebih awet kelak dalam pernikahan. Abi punya teori sendiri
dalam menjalani hubungan, semakin banyak peristiwa berkesan semakin sayang pula
orang yang kita cintai. Setiap pengorbanan pasti akan diingat pasangan,
pengorbanan itu bisa menadi pertimbangan tersendiri untuk melangkah dalam biduk
rumah tangga.
Awalnya Tri menolak
mentah-mentah ide ekstrim itu karena dirinya pobhia ketinggian. Tetapi dengan
tekad yang kuat demi sebuah cinta, akhirnya Tri memberanikan diri. Seorang
cowok harus berani melawan ketakutannya untuk melangkah lebih jauh dalam
kehidupannya, itu merupakan prinsip dari Tri.
Waktu sampai Bali, Tri
dan Abi langsung berangkat ke tempat paralayang tersebut. Namun sungguh kecewa
karena pantai Pandawa tempat untuk melihat sunrise.
Setelah dinegosiasi mereka menyanggupi untuk terbang sampai pantai Dreamland,
pantai untuk acara pertunangan yang diiringi matahari terbenam.
Sekarang Tri sedang
duduk di beranda kostnya Roro, masih ada yang perlu dibicarakan mengenai
kelanjutan setelah lamaran.
“Mas, segera loh
ngomong sama bapak,” cetus Roro yang duduk disamping Tri.
“Kamu udah bilang sama
bapak dan ibu?” tanya Tri gugup. Tri nggak mengira Roro langsung melaporkan
acara lamaran tersebut.
“Roro sih ngomong sama
ibu, tapi ibu malah keceplosan sam bapak.” Roro tersenyum salah tingkah. “Bapak
pengen cepet-cepet ketemu sama kamu mas,” tambah Roro.
“hhhmmm” Tri
menggumam, belum tahu menanggapi bagaimana. Bingung karena belum siap bertemu
dengan bapaknya Roro.
“Bapak ingin secara
formal lamaran itu,” ucap Roro untuk memancing Tri untuk segera melaksanakan
perintah ayahnya.
“Iya aku tahu, tapi
aku belum bilang ke ibu acara pertunangan kemarin,” Tri mengutarakan alasan,
secara tidak langsung agar tidak terburu-buru menemui orang tua Roro.
“Kapan mas?” Roro
masih mengejar. “Kemarin sebenarnya bapak juga marah. Koq lancang mau ngelamar
nggak bilang-bilang,” imbuh Roro yang masih memancing agar mendapat jawaban
pasti dari Tri.
“Kan aku sudah bilang,
masih perlu rembugan sama keluarga ku dulu. Apalagi masih ada mbak Dwi yang
belum menikah,” Tri menimpali agak gregetan karena merasa didesak terus.
Semuanya terdiam.
Keduanya jadi canggung. Roro terdiam karena tau Tri agak jengkel dikejar-kejar
terus, dari pada dilanjtukan lagi suasana akan semakin tidak enak, bi. Roro
juga sebenarnya merasa rikuh karena dikejar-kejar oleh bapaknya yang sering
menanyakan kapan Tri akan melamar secara langsung. Hal itu membuat Roro
berputar-putar mencari alasan kenapa Tri tidak kunjung datang. Pertama memberi
alasan kalau Tri sibuk. Lalu mengatakan Tri sedang sakit. Tri sedang ada dinas
luar kota, dan masih ada alasan lainnya. Sampai Tri kena diare dan muntaber,
alasan yang konyol.
Tri terdiam karena
nggak enak hati sudah lancanng melamar Roro tanpa sepengetahuan orang tuanya,
buat orang Jawa itu kualat. Tri juga belum ngomong sama ibu kalau dirinya sudah
melamar gadis. Rencananya minggu depan Tri pulang ke Jogja untuk memberitahu
ibu. Tri berfikir lebih sopan mengabarkan kabar gembira itu secara langsung.
Sebenarnya Tri juga
megenal dekat dengan keluarganya Roro, karena beberapa kali ikut menghadiri
acara keluarga. Sesekali Roro mengajak Tri ke acara pernikahan sepupunya. Tri
juga sering mengantar Roro pulang ke Solo, saat itu pula sering
berbincang-bincang dengan bapaknya. Tri juga malah akrab dengan Bramasta,
adikna Roro. Mereka sering main futsal bareng.
“Tri,” Roro memanggil
pacarnya dengan lembut. “Kita juga perlu ngomongin kehidupan kita setelah
menikah.” Roro membuka topik baru. Meski Roro tau ini bukan waktu yang tepat
tetapi ini perlu dibicarakan sebelum pertemuan keluarga kedua belah pihak.
“Emang maunya kamu
gimana?” tanya Tri ketus.
“Tri.... bisa nggak
sih nggak jutek gitu?” Roro jadi kesal, setiap perkataan Tri terdengar ketus.
“Kita ngomong baik-baik dengan fikiran dingin.”
“Iya aku tenang dech.”
Tri kembali menyenderkan badanny ke kursi, berusaha santai. “Setelah kita
menikah ya nggak gimana-gimana.” Sejujurnya Tri masih belum mengerti arah
pembicaraan ini.
“Gini loh mas,” Roro
ikut santai juga apalagi dengan memanggil mas pada Tri, panggilan kesayangan.
“Masalah keuangan, anak, tempat tinggal, dan rumah tangga kita mau seperti
apa?” Roro membeberan beberapa permasalahan yang perlu dibahas.
Tri tidak langsung
menjawab. Masih perlu berfikir apa yang harus dikatakan. Tri tahu ini hal
penting yang perlu dibahas sebelum pernikahan agar nanti setelah jadi suami
istri tidak ada pertengakaran membahas beginian. Komitmen ini harus dibuat dari
sekarang.
“Pertama. Keuangan,
aku kan sebagai kepala keluarga jadi wajib untuk menafkahi kamu. Kalau kamu mau
sambil bekerja nggak apa-apa,” satu persatu Tri mulai menjawab pertanyaan Roro.
“Kedua. Tempat tinggal, kita bisa mengontrak rumah dulu. Aku sudah mulai menabung
untuk membeli rumah. Kalau kamu mau nambahin juga nggak apa-apa,heheheeh.” Tri
senyum untuk membujuk Roro sapa tau mau bantu cicilan rumah.
“Kamu kan kepala rumah
tangga jadi wajib memberikan papan untuk istri dan anak mu, week,” balas Roro
sambil melet, meledek Tri. Hanya sekedar mengingatkan pernyataan Tri
sebelumnya.
Tri tidak menggubris
omongan Roro. Tri melanjutkan lagi dengan tenang. “Urusan anak nantilah, kan
kita juga belum nikah.”
“Ini penting dari
sekarang mas,” dengan tangkas Roro menampik omongan Tri. Bagi Roro ini penting
karena anak adalah bagian dari keluarga kecil dan tanggung jawab orang tua.
“Pendidikan moral dari
kita berdua. Terserah kamu mau pakai baby
sitter atau kamu pegang sendiri,” tukas Tri terbata-bata karena belum punya
pemikiran sejauh itu. “Tetapi kalau kamu kerja nggak mungkin kamu pegang
sendiri,” Tri melengkapi lagi omongannya.
Kini giliran Roro yang
terbungkam, terjebak topik diskusi yang dibuat sendiri. Roro belum siap menjadi
seorang ibu. Setiap pernikahan pasti mendambakan anak, mau nggak mau Roro harus
menyiapkan diri sebagai ibu. Masalahnya adalah Roro sedang menapaki karir
kerjaannya. Dilema yang berat untuk difikirkan dan dilakukan pada nantinya.
“Aku siap untuk keluar
dari kerjaan kalau itu perlu,” Roro membuka suara tetapi terdengar lemah dan
ragu. “Seorang istri wajib menjaga anak dan rumah tangganya,” lanjut Roro yang
berusaha tegar dan menyakinkan.
Sayangnya Tri lebih
percaya pada nada keraguan Roro. “Lihat saja nanti,” ucap pelan Tri. “Kita
nggak perlu memaksakan kehendak, pada akhirnya kita bisa menemukan
penyelesainnya pada waktunya kalau kita sudah punya anak.”
“Kalau kamu sendiri
maunya gimana?” tanya Roro yang masih bingung dengan jawaban Tri.
“Setiap suami pasti
ingin istrinya jadi ibu rumah tangga yang kuat. Bisa menjaga rumah tangga,
mengasuh anak dan menyenangan suaminya,” Tri menuturkan dengan lembut sambil
senyum agar Roro nggak salah pengertian.
“Jadi, aku ibu rumah
tangga donk yang mendekam di rumah.”
“Tadi kamu tanyakan?
Ya aku jawab gitu, jika kamu nggak setuju juga nggak apa-apa.” Tri jadi sebal
sama Roro, tadi menanyakan keinginannya tetapi sudah dijawab malah merajuk.
Mereka terdiam,
memikirkan solusinya. Memang terlalu dini untuk membahas ini, meskipun begitu
ini juga demi kelanggenngan rumah tangga yang akan dijalani. Roro belum bisa
memutuskan harus bagaimana. Tri juga nggak bisa memaksa keinginannya, karena
sadar betul pasti Roro punya mimpi yang perlu dikejar.
“Aku belum bisa
menjawabnya,” kata Roro lemah, menyerah dengan fikiran yang buntu.
“Iya nggak apa-apa. Kita jalani saja dulu yang
ada. Kita bisa bersama-sama meraih mimpi pernikahan yang abadi,” Tri menanggapi
dengan bijak.
Roro secara reflek
memeluk Tri. Roro merasa takjub dengan apa yang barusan dikatakan Tri yang
begitu bijak dalam diskusi. Tanpa sadar air mata Roro berlinang. Roro menyadari bahawa Tri memang serius untuk
mengajak menikah.
“Ini lah yang membuat
aku yakin mau menikah dengan mu,” bisik Roro.
Tri tidak bisa
menanggapi karena malu mendengar pernyataan dari Roro seperti itu. pipinya
memerah antara senang, malu, dan bangga.
“Aku pulang dulu ya,”
suara Tri yang ngebas memecah keheningan.
“Iya.” Roro mengangguk
sambil berdiri bersiap mengantar kepergian Tri. Roro juga merasa malu sendiri.
“Jangan lupa, dijadwalkan untuk mengunjugi bapak di Solo,” sekali lagi Roro
mengingatkan Tri.
“Iya,” jawab Tri
singkat dengan nada kesal. Lalu meninggalkan Roro begitu saja.
@@@
Kamar Abi masih berantakan
sekali. Abi cuma ada waktu untuk beres-beres kamar setiap Sabtu, tetapi Minggu
malam sudah berantakan lagi sampai Sabtu berikutnya, jadi kamar Abi dalam
kondisi rapih hanya dalam 24 jam saja. Malam ini Tri terpaksa bertandang ke
kostnya Abi, untuk melepas unek-uneknya.
Meski Tri dan Abi
sudah nggak satu kost lagi tetapi mereka masih sering mampir hanya sekedar main
PS bareng, atau untuk curhat. Abi yang paling sering ke kost Tri yang rapih dan
banyak cemilan. Kejadian langka Tri bisa mampir ke kost Abi tanpa undangan.
“Tumben banget kamu
datang ke sini? Biasanya kamu paling ogah,” tanya Abi sambil merebahkan
badannya di sofa udara.
“Lagi pusing sob.” Tri
mengacak-acak rambutnya sendiri. Sudah terlalu pusing untuk memikirkannya.
“Lah kenapa? Bukannya
kamu harusnya seneng bentar lagi mau nikah,”
“Harusnya gitu. Roro
ngejar-ngejar aku terus untuk ketemu keluarga. Tunangan secara resmi
gitulah.hhhmmmm,” diakhir kalimat Tri membuang nafas, tanda sedikit frustasi.
“Kamu seriuskan mau
nikahin Roro?” Dahi Abi mengernyit karena heran dengan pernyataan Tri.
“Kalau aku nggak
serius, aku nggak mungkin ngelakun hal segila kemarin,” nada suara Tri agak
meninggi, lebih tepatnya tersinggung.
Abi segera bangkit
dari tempat duduknya. Dia mencium gelagat kurang enak dari sahabatnya, jadi
lebih baik didiamkan saja dulu dari pada ikut kepancing emosi. Abi mengambil
segelas air putih yang diambilnya dari kulkas kecil di pojok ruangan.
“Kamu kenapa sob? Koq
jadi emosian gitu. Nih minum air putih dulu biar adem.” Abi memberikan gelas
tersebut pada Tri. Tanpa basa basi pula Tri meneguk habis isinya.
“Gini....” Tri memulai
cerita, tapi sebelumnya mengatur nafas dulu. “Aku sudah siap untuk menikah.”
“Tapi......,” Abi
memotong omongan Tri. Sepertinya akan suatu penyangkalan.
“Nggak ada tapi!!”
jawab Tri ketus. “Aku belum ngomong sama ibu dan mbak Dwi. Pasti mereka kaget.”
“Itu nggak penting
bro. Mereka sudah tau kamu pacaran sama Roro. Mereka pasti akan ngerti pada
waktunya kamu akan menikah sama Roro,” Abi mementahkan penjelasan Tri.
“Sekarang gini dech. Apa kamu sudah siap menikah?”
“Mungkin itu yang jadi
permasalahannya,” timpal Tri lesu.
Abi tidak langsung
menanggapi, sedang mengumpulkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan pada
sahabatnya. Meski belum siap menikah tetapi sudah melakukan kecerobohan yaitu
dengan melamar.
“Apa yang kamu
beratkan, sob?” tanya Abi lembut.
“Aku takut nggak bisa
apa yang dia harapkan Bi. Dia ingin aku menjadi imam yang sempurna. Aku sadar
sholatku aja masih sering bolong-bolong.”
“Kamu tinggal
membulatkan tekad untuk rajin sholat dan ngaji. Dekatkan diri sama Allah
sering-sering,” Abi menanggapi dengan bijak. “Ada lagi?”
“Aku belum siap secara
materi.” Nada suara Tri masih terdengar lesu.
“Kamu kerja di BUMN
dengan jabatan lumayan. Lambat laun kekayaan mu akan menumpuk kalau kamu rajin
nabung. Kamu juga sudah nabung untuk beli rumahkan? Lagian Roro juga kerja
pasti bisa saling mencukupi lah.” Abi kembali mematahkan kegudahan Tri.
Tri bergeming
mendengar jawaban dari Abi. Di otaknya kembali mencari-cari alasan untuk
menunda bertemu dengan orang tuanya Roro. Sebenarnya masih ada ganjalan namun
masih belum tahu apa yang mengganggu fikirannya. Ada sesuatu yang belum bisa meyakini
menikah dengan Roro.
“Nggak usah cemas
gitulah bro!!” Abi menepuk-nepuk punggung Tri untuk memberi ketenangan. “Hal
itu biasa koq kalau sudah akan menikah. Ketakukan-ketakutan itu muncul karena
kita yang terlalu mengkhawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Iya.... mungkin aku
yang terlalu parno,” ujar Tri lemah. “Tapi.......”
“Nggak usah pakai
tapi-tapi lagi,” pekik Abi yang gemas melihat kegundahan Tri. “Atau
jangan-jangan kamu gay?! Hahahaaha,” canda Abi, tawanya juga terdengar
mengejek.
“Sembarangan!!” Tri
meninju lengan Abi yang masih terpingkal. Pada akhirnya Tri ikut tergelak oleh
lelucon Abi.
Setelah curhat dengan
Abi dan diakhiri dengan lelucon konyol Tri merasa lebih lega hatinya.
Fikirannya jelek karena terpengaruh bayang-bayang hitam mas Aka yang sudah
bertahun-tahun menikah tetapi kondisinya tida kunjung membaik. Setiap kali
datang ke rumah mas Aka pasti ada saja keributan.
“Sob... jalani saja
apa yang sudah terjadi. Percayakan pada diri kita untuk mampu menjalani itu.
Nggak usah terpengaruh dan pandangan orang lain, ini adalah hidup kamu,” seulas
senyum mengambang dari Abi yang tampak serius menasehati Tri yang sedang risau.
“Makasih ya bro!” Tri
membalas dengan senyum yang tampaknya sudah lebih tenang.
Keduanya kembali terdiam.
Tri sibuk membalas pesan instan dari Roro. Wajah Tri juga sumeringah kadang
tersenyum. Mereka sedang membahas impian pernikahan mereka. Sebuah impian yang
ada di dongen, kehidupan yang sempurna. Menghapus semua kegundaha Tri tentang
sebuah pernikahan yang mengerikan. Abi sendiri asik main game di smartphone.
bersambung
No comments:
Post a Comment