Saturday 9 May 2015

Wedding Jitters


Sudah satu bulan lalu liburan ke Bali bersama kawan-kawannya termasuk dengan Roro yang sekarang jadi tunangannya. Sampai detik ini Tri masih belum percaya melakukan hal konyol, bisa jadi itu adalah kelakuan paling gila yang pernah Tri lakukan. Kemarin di Bali Tri melamar Roro yang sudah lama dipacarin.

Ide gila itu terbesit begitu saja, tanpa sengaja Tri melihat liputan di program traveling mengenai paralayang di pantai Pandawa, Bali. Abi yang pertama kali mencetuskan ide tersebut. Abi menyarankan agar acara lamaran berskesan, jadi bisa lebih awet kelak dalam pernikahan. Abi punya teori sendiri dalam menjalani hubungan, semakin banyak peristiwa berkesan semakin sayang pula orang yang kita cintai. Setiap pengorbanan pasti akan diingat pasangan, pengorbanan itu bisa menadi pertimbangan tersendiri untuk melangkah dalam biduk rumah tangga.

Awalnya Tri menolak mentah-mentah ide ekstrim itu karena dirinya pobhia ketinggian. Tetapi dengan tekad yang kuat demi sebuah cinta, akhirnya Tri memberanikan diri. Seorang cowok harus berani melawan ketakutannya untuk melangkah lebih jauh dalam kehidupannya, itu merupakan prinsip dari Tri.

Waktu sampai Bali, Tri dan Abi langsung berangkat ke tempat paralayang tersebut. Namun sungguh kecewa karena pantai Pandawa tempat untuk melihat sunrise. Setelah dinegosiasi mereka menyanggupi untuk terbang sampai pantai Dreamland, pantai untuk acara pertunangan yang diiringi matahari terbenam.

Sekarang Tri sedang duduk di beranda kostnya Roro, masih ada yang perlu dibicarakan mengenai kelanjutan setelah lamaran.
“Mas, segera loh ngomong sama bapak,” cetus Roro yang duduk disamping Tri.
“Kamu udah bilang sama bapak dan ibu?” tanya Tri gugup. Tri nggak mengira Roro langsung melaporkan acara lamaran tersebut.
“Roro sih ngomong sama ibu, tapi ibu malah keceplosan sam bapak.” Roro tersenyum salah tingkah. “Bapak pengen cepet-cepet ketemu sama kamu mas,” tambah Roro.
“hhhmmm” Tri menggumam, belum tahu menanggapi bagaimana. Bingung karena belum siap bertemu dengan bapaknya Roro.
“Bapak ingin secara formal lamaran itu,” ucap Roro untuk memancing Tri untuk segera melaksanakan perintah ayahnya.
“Iya aku tahu, tapi aku belum bilang ke ibu acara pertunangan kemarin,” Tri mengutarakan alasan, secara tidak langsung agar tidak terburu-buru menemui orang tua Roro.
“Kapan mas?” Roro masih mengejar. “Kemarin sebenarnya bapak juga marah. Koq lancang mau ngelamar nggak bilang-bilang,” imbuh Roro yang masih memancing agar mendapat jawaban pasti dari Tri.
“Kan aku sudah bilang, masih perlu rembugan sama keluarga ku dulu. Apalagi masih ada mbak Dwi yang belum menikah,” Tri menimpali agak gregetan karena merasa didesak terus.

Semuanya terdiam. Keduanya jadi canggung. Roro terdiam karena tau Tri agak jengkel dikejar-kejar terus, dari pada dilanjtukan lagi suasana akan semakin tidak enak, bi. Roro juga sebenarnya merasa rikuh karena dikejar-kejar oleh bapaknya yang sering menanyakan kapan Tri akan melamar secara langsung. Hal itu membuat Roro berputar-putar mencari alasan kenapa Tri tidak kunjung datang. Pertama memberi alasan kalau Tri sibuk. Lalu mengatakan Tri sedang sakit. Tri sedang ada dinas luar kota, dan masih ada alasan lainnya. Sampai Tri kena diare dan muntaber, alasan yang konyol.

Tri terdiam karena nggak enak hati sudah lancanng melamar Roro tanpa sepengetahuan orang tuanya, buat orang Jawa itu kualat. Tri juga belum ngomong sama ibu kalau dirinya sudah melamar gadis. Rencananya minggu depan Tri pulang ke Jogja untuk memberitahu ibu. Tri berfikir lebih sopan mengabarkan kabar gembira itu secara langsung.

Sebenarnya Tri juga megenal dekat dengan keluarganya Roro, karena beberapa kali ikut menghadiri acara keluarga. Sesekali Roro mengajak Tri ke acara pernikahan sepupunya. Tri juga sering mengantar Roro pulang ke Solo, saat itu pula sering berbincang-bincang dengan bapaknya. Tri juga malah akrab dengan Bramasta, adikna Roro. Mereka sering main futsal bareng.

“Tri,” Roro memanggil pacarnya dengan lembut. “Kita juga perlu ngomongin kehidupan kita setelah menikah.” Roro membuka topik baru. Meski Roro tau ini bukan waktu yang tepat tetapi ini perlu dibicarakan sebelum pertemuan keluarga kedua belah pihak.
“Emang maunya kamu gimana?” tanya Tri ketus.
“Tri.... bisa nggak sih nggak jutek gitu?” Roro jadi kesal, setiap perkataan Tri terdengar ketus. “Kita ngomong baik-baik dengan fikiran dingin.”
“Iya aku tenang dech.” Tri kembali menyenderkan badanny ke kursi, berusaha santai. “Setelah kita menikah ya nggak gimana-gimana.” Sejujurnya Tri masih belum mengerti arah pembicaraan ini.
“Gini loh mas,” Roro ikut santai juga apalagi dengan memanggil mas pada Tri, panggilan kesayangan. “Masalah keuangan, anak, tempat tinggal, dan rumah tangga kita mau seperti apa?” Roro membeberan beberapa permasalahan yang perlu dibahas.

Tri tidak langsung menjawab. Masih perlu berfikir apa yang harus dikatakan. Tri tahu ini hal penting yang perlu dibahas sebelum pernikahan agar nanti setelah jadi suami istri tidak ada pertengakaran membahas beginian. Komitmen ini harus dibuat dari sekarang.

“Pertama. Keuangan, aku kan sebagai kepala keluarga jadi wajib untuk menafkahi kamu. Kalau kamu mau sambil bekerja nggak apa-apa,” satu persatu Tri mulai menjawab pertanyaan Roro. “Kedua. Tempat tinggal, kita bisa mengontrak rumah dulu. Aku sudah mulai menabung untuk membeli rumah. Kalau kamu mau nambahin juga nggak apa-apa,heheheeh.” Tri senyum untuk membujuk Roro sapa tau mau bantu cicilan rumah.
“Kamu kan kepala rumah tangga jadi wajib memberikan papan untuk istri dan anak mu, week,” balas Roro sambil melet, meledek Tri. Hanya sekedar mengingatkan pernyataan Tri sebelumnya.
Tri tidak menggubris omongan Roro. Tri melanjutkan lagi dengan tenang. “Urusan anak nantilah, kan kita juga belum nikah.”
“Ini penting dari sekarang mas,” dengan tangkas Roro menampik omongan Tri. Bagi Roro ini penting karena anak adalah bagian dari keluarga kecil dan tanggung jawab orang tua.
“Pendidikan moral dari kita berdua. Terserah kamu mau pakai baby sitter atau kamu pegang sendiri,” tukas Tri terbata-bata karena belum punya pemikiran sejauh itu. “Tetapi kalau kamu kerja nggak mungkin kamu pegang sendiri,” Tri melengkapi lagi omongannya.

Kini giliran Roro yang terbungkam, terjebak topik diskusi yang dibuat sendiri. Roro belum siap menjadi seorang ibu. Setiap pernikahan pasti mendambakan anak, mau nggak mau Roro harus menyiapkan diri sebagai ibu. Masalahnya adalah Roro sedang menapaki karir kerjaannya. Dilema yang berat untuk difikirkan dan dilakukan pada nantinya.
“Aku siap untuk keluar dari kerjaan kalau itu perlu,” Roro membuka suara tetapi terdengar lemah dan ragu. “Seorang istri wajib menjaga anak dan rumah tangganya,” lanjut Roro yang berusaha tegar dan menyakinkan.
Sayangnya Tri lebih percaya pada nada keraguan Roro. “Lihat saja nanti,” ucap pelan Tri. “Kita nggak perlu memaksakan kehendak, pada akhirnya kita bisa menemukan penyelesainnya pada waktunya kalau kita sudah punya anak.”
“Kalau kamu sendiri maunya gimana?” tanya Roro yang masih bingung dengan jawaban Tri.
“Setiap suami pasti ingin istrinya jadi ibu rumah tangga yang kuat. Bisa menjaga rumah tangga, mengasuh anak dan menyenangan suaminya,” Tri menuturkan dengan lembut sambil senyum agar Roro nggak salah pengertian.
“Jadi, aku ibu rumah tangga donk yang mendekam di rumah.”
“Tadi kamu tanyakan? Ya aku jawab gitu, jika kamu nggak setuju juga nggak apa-apa.” Tri jadi sebal sama Roro, tadi menanyakan keinginannya tetapi sudah dijawab malah merajuk.

Mereka terdiam, memikirkan solusinya. Memang terlalu dini untuk membahas ini, meskipun begitu ini juga demi kelanggenngan rumah tangga yang akan dijalani. Roro belum bisa memutuskan harus bagaimana. Tri juga nggak bisa memaksa keinginannya, karena sadar betul pasti Roro punya mimpi yang perlu dikejar.

“Aku belum bisa menjawabnya,” kata Roro lemah, menyerah dengan fikiran yang buntu.
 “Iya nggak apa-apa. Kita jalani saja dulu yang ada. Kita bisa bersama-sama meraih mimpi pernikahan yang abadi,” Tri menanggapi dengan bijak.

Roro secara reflek memeluk Tri. Roro merasa takjub dengan apa yang barusan dikatakan Tri yang begitu bijak dalam diskusi. Tanpa sadar air mata Roro berlinang.  Roro menyadari bahawa Tri memang serius untuk mengajak menikah.

“Ini lah yang membuat aku yakin mau menikah dengan mu,” bisik Roro.

Tri tidak bisa menanggapi karena malu mendengar pernyataan dari Roro seperti itu. pipinya memerah antara senang, malu, dan bangga.

“Aku pulang dulu ya,” suara Tri yang ngebas memecah keheningan.
“Iya.” Roro mengangguk sambil berdiri bersiap mengantar kepergian Tri. Roro juga merasa malu sendiri. “Jangan lupa, dijadwalkan untuk mengunjugi bapak di Solo,” sekali lagi Roro mengingatkan Tri.
“Iya,” jawab Tri singkat dengan nada kesal. Lalu meninggalkan Roro begitu saja.

@@@

Kamar Abi masih berantakan sekali. Abi cuma ada waktu untuk beres-beres kamar setiap Sabtu, tetapi Minggu malam sudah berantakan lagi sampai Sabtu berikutnya, jadi kamar Abi dalam kondisi rapih hanya dalam 24 jam saja. Malam ini Tri terpaksa bertandang ke kostnya Abi, untuk melepas unek-uneknya.

Meski Tri dan Abi sudah nggak satu kost lagi tetapi mereka masih sering mampir hanya sekedar main PS bareng, atau untuk curhat. Abi yang paling sering ke kost Tri yang rapih dan banyak cemilan. Kejadian langka Tri bisa mampir ke kost Abi tanpa undangan.

“Tumben banget kamu datang ke sini? Biasanya kamu paling ogah,” tanya Abi sambil merebahkan badannya di sofa udara.
“Lagi pusing sob.” Tri mengacak-acak rambutnya sendiri. Sudah terlalu pusing untuk memikirkannya.
“Lah kenapa? Bukannya kamu harusnya seneng bentar lagi mau nikah,”
“Harusnya gitu. Roro ngejar-ngejar aku terus untuk ketemu keluarga. Tunangan secara resmi gitulah.hhhmmmm,” diakhir kalimat Tri membuang nafas, tanda sedikit frustasi.
“Kamu seriuskan mau nikahin Roro?” Dahi Abi mengernyit karena heran dengan pernyataan Tri.
“Kalau aku nggak serius, aku nggak mungkin ngelakun hal segila kemarin,” nada suara Tri agak meninggi, lebih tepatnya tersinggung.

Abi segera bangkit dari tempat duduknya. Dia mencium gelagat kurang enak dari sahabatnya, jadi lebih baik didiamkan saja dulu dari pada ikut kepancing emosi. Abi mengambil segelas air putih yang diambilnya dari kulkas kecil di pojok ruangan.

“Kamu kenapa sob? Koq jadi emosian gitu. Nih minum air putih dulu biar adem.” Abi memberikan gelas tersebut pada Tri. Tanpa basa basi pula Tri meneguk habis isinya.
“Gini....” Tri memulai cerita, tapi sebelumnya mengatur nafas dulu. “Aku sudah siap untuk menikah.”
“Tapi......,” Abi memotong omongan Tri. Sepertinya akan suatu penyangkalan.
“Nggak ada tapi!!” jawab Tri ketus. “Aku belum ngomong sama ibu dan mbak Dwi. Pasti mereka kaget.”
“Itu nggak penting bro. Mereka sudah tau kamu pacaran sama Roro. Mereka pasti akan ngerti pada waktunya kamu akan menikah sama Roro,” Abi mementahkan penjelasan Tri. “Sekarang gini dech. Apa kamu sudah siap menikah?”
“Mungkin itu yang jadi permasalahannya,” timpal Tri lesu.

Abi tidak langsung menanggapi, sedang mengumpulkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan pada sahabatnya. Meski belum siap menikah tetapi sudah melakukan kecerobohan yaitu dengan melamar.

“Apa yang kamu beratkan, sob?” tanya Abi lembut.
“Aku takut nggak bisa apa yang dia harapkan Bi. Dia ingin aku menjadi imam yang sempurna. Aku sadar sholatku aja masih sering bolong-bolong.”
“Kamu tinggal membulatkan tekad untuk rajin sholat dan ngaji. Dekatkan diri sama Allah sering-sering,” Abi menanggapi dengan bijak. “Ada lagi?”
“Aku belum siap secara materi.” Nada suara Tri masih terdengar lesu.
“Kamu kerja di BUMN dengan jabatan lumayan. Lambat laun kekayaan mu akan menumpuk kalau kamu rajin nabung. Kamu juga sudah nabung untuk beli rumahkan? Lagian Roro juga kerja pasti bisa saling mencukupi lah.” Abi kembali mematahkan kegudahan Tri.

Tri bergeming mendengar jawaban dari Abi. Di otaknya kembali mencari-cari alasan untuk menunda bertemu dengan orang tuanya Roro. Sebenarnya masih ada ganjalan namun masih belum tahu apa yang mengganggu fikirannya. Ada sesuatu yang belum bisa meyakini menikah dengan Roro.

“Nggak usah cemas gitulah bro!!” Abi menepuk-nepuk punggung Tri untuk memberi ketenangan. “Hal itu biasa koq kalau sudah akan menikah. Ketakukan-ketakutan itu muncul karena kita yang terlalu mengkhawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Iya.... mungkin aku yang terlalu parno,” ujar Tri lemah. “Tapi.......”
“Nggak usah pakai tapi-tapi lagi,” pekik Abi yang gemas melihat kegundahan Tri. “Atau jangan-jangan kamu gay?! Hahahaaha,” canda Abi, tawanya juga terdengar mengejek.
“Sembarangan!!” Tri meninju lengan Abi yang masih terpingkal. Pada akhirnya Tri ikut tergelak oleh lelucon Abi.

Setelah curhat dengan Abi dan diakhiri dengan lelucon konyol Tri merasa lebih lega hatinya. Fikirannya jelek karena terpengaruh bayang-bayang hitam mas Aka yang sudah bertahun-tahun menikah tetapi kondisinya tida kunjung membaik. Setiap kali datang ke rumah mas Aka pasti ada saja keributan.

“Sob... jalani saja apa yang sudah terjadi. Percayakan pada diri kita untuk mampu menjalani itu. Nggak usah terpengaruh dan pandangan orang lain, ini adalah hidup kamu,” seulas senyum mengambang dari Abi yang tampak serius menasehati Tri yang sedang risau.
“Makasih ya bro!” Tri membalas dengan senyum yang tampaknya sudah lebih tenang.

Keduanya kembali terdiam. Tri sibuk membalas pesan instan dari Roro. Wajah Tri juga sumeringah kadang tersenyum. Mereka sedang membahas impian pernikahan mereka. Sebuah impian yang ada di dongen, kehidupan yang sempurna. Menghapus semua kegundaha Tri tentang sebuah pernikahan yang mengerikan. Abi sendiri asik main game di smartphone.

bersambung


No comments: