Wednesday 24 July 2013

ONE NITE STAND

Sepulang kerja setelah mandi paling enak itu malas-malasan di kost sambil nonton televisi atau dvd. Kadang ditemani secangkir kopi hitam bila harus melanjutkan pekerjaan yang di bawa pulang. Itulah keseharian yang dilakukan oleh Tama sepulang kerja.

Kebetulan hari ini nggak ada kerjaan yang di bawa pulang, jadi Tama lebih memilih menonton film masih ada setumpuk dvd yang tergeletak di meja televisi. Saat ini Tama ingin menonton  film remaja buatan dalam negeri jadilah yang di pilih berjudul Radio Gaul FM, film yang sangat ringan. Tama sudah terlalu pusing dengan urusan kerjaan dan tidak mau tambah puyeng menonon film yang harus membuatnya berfikir lagi.

Disaat lagi asik nonton film, handphone Tama berdering . “Siapa sih malam-malam gini yang telpon,” gerutu Tama sambil beranjak dari kasurnya untuk  mengambil handphonenya yang ada tergeletak di samping televise. Dilihatnya dilayar tertulis nama Romi, teman kerjanya.  Sebenarnya Tama malas untuk mengangkatnya tetapi barangkali panggilan ini penting soal kerjaan.

“Halo Rom, ada apa?” Tanya Tama pada Romi. “Ah aku udah makan, lagian aku juga malas keluar lagi lagian udah jam 10 malem,” Tama diam sejenak mendengarkan ocehan Romi di telpon. “Iya, aku keluar sekarang, bukain gerbang.”

Tama jadi menyesal mengangkat telpon dari Romi. Tadi di telpon Romi mengajak makan tetapi kayaknya ada tujuan lain selain makan. Lebih mengesalkan ternyata dia udah ada di gerbang kost, mau nggak mau Tama mempersilahkan sahabatnya masuk ke kost. Ini bukan yang pertama kali Romi melakakuan seperti ini. Kelakuan kayak gini yang sering buat Tama kesal.

Begitu masuk kamar, Romi langsung menjatuhkan bandannya di sofa. Terlihat pakaian kerja masih melekat di tubuhnya tetapi wajah segar masih terpancar. Tama hanya menduga pasti Romi habis ketemu client malam ini pulangnya langsung ke sini. Dari gelagatnya akan muncul nggak enak.

“Hari ini kan Rabu,” Romi mulai berbasa basi melancarkan rencananya.
“So?” Tama menanggapi dengan singkat, matanya masih terpana pada layar terlevisi. “To the poin aja dech.”
“Okey. sekarng Rabu Gaul, yuk cabut ke Legian,”  Romi mengedipkan mata dengan genit ke arah Tama sebagai tanda rayuan.
“Ich jijik tau mata kamu.” Tama melemparkan bantal ke arah Romi namun dapat di tangkisnya.  “Ogah ah dugem gitu-gitu yang ada tepar.”

Tama segera menolak ajakan dari Romi. Memang sih Tama sudah lama nggak dugem tapi malam ini rasanya malas banget ke tempat seperti itu meskipun besok adalah hari libur.

“Ayolah….” Romi terus berjuang mengajak Tama. “Gwe bayarin minum dech,” serangan rayuan kedua dari Romi.

Tama tetap saja cuek apa yang di katakana oleh Romi. Matanya masih terpusat pada televisi. Lagian Tama sudah berhenti merokok apalagi minum. Kalau sampai minum alcohol dietnya bisa berantakan lagi. Alcoholkan bisa mengakibatkan perut buncit apalagi sekarang Tama sudah berumur 30 sudah masanya perut membuncit bila kelebihan berat badan.

Romi sudah siap malancarkan jurus berikutnya. “DJ-nya seru loh male mini gwe denger dari Ausie. “ Romi sekarang beralih duduk di kasur bersebelahan dengan Tama. “Nanti juga banyak yang mau gabung koq.”

“Siapa saja” Tanya Tama, sepertinya ada sedikit ketertarikan mengikuti ajakan Romi.
Denga cekatan Romi segera menjawab. “Tadi sih Dina sama Mita minta di jemput mereka kan satu kost. Frans sama Piter nanti nyusul. Bastian sam Indri kayaknya udah nyampe dech.”
“Wih gokil……seru tuh. Ayo gih kamu berangkat sana kasian Mita sama Dina udah nunggu.” Tama mendorong Rm sebagai tanda pengusiran. 

Tama masih tidak tertarik ajakan dari Romi apalagi dengan sederet nama teman tongkrongannya ada diantara mereka sebagai ratu dan raja clubbing.

“Ayo lah Tam…ikut…..” Romi masih tetep bertahan di kamar Tama.

Handphone Romi berbunyi. “Dari Mita,” kata Romi menunjukan nama di layar handphone kepada Tama. Tama hanya melihatnya sekilas.

“Iye Mit, ni gwe masih di kost Tama sabar ye… ni Tama susah banget di ajak. Bentar.” Romi memberikan handphonenya kepada Tama.

“Ogah ah ngomong sama Mita, aku gak ikut titik.” Tama semakin kesal pada ulah temannya yang masih memaksa ikutan dugem.
“Bentar aja……ngomong dulu sama Mita kalo loe gak ikut.”
Terpaksa Tama berbicara dengan Mita di handphone. “Apa Mit?Hmmm, yaa……” Tama hanya menggumam mendengarkan ocehan Mita.  “Beneran ya…..janji….ok aku ikut.”
“Yes!!!” Romi bersorak gembira akhirnya Tama luluh juga oleh rayuan Mita. Sebenarnya Romi penasaran juga sih apa yang di omongin Mita, Tama bis berubah pikiran.

Tama segera mengganti pakaiannya. Pilihan Tama pada kemeja biru gelap dipadukn dengan jins hitam ketat. Tidak ketinggalan rambutnya dilumuri dengan gel agar tegak berdiri. Bubuhan parfum mengharumkan seluruh badan dan bajunya. Malam ini agar tidak terlalu formal tama lebih memakai snekers warna putih.

“Ayo berangkat,” Tama menarik Romi yang masih rebahan di kasur.
“Koq sekarang kamu jadi yang semangat sih?” Tanya Romi keheran sambil berdiri dan berjalan ke pintu.
“Udah ah gak usah cerewet.”  Tama malas membahasnya dan segera bergegas ke keluar dari kamar berjalan menuju mobil Romi yang terparkir di depan kamar.

Mobil Romi meluncur di jalanan mulus Kota Denpasar, tujuan berikutnya ke daerah Panjer tempat kostnya Mita dan Dina. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kost Tama yang ada di daerah Renon. Cukup dengan 5 menit sampai di kost Mita dan Dina, ternyata mereka sudah siap bahkan sudah nangkring di denpan pagar kost. Rute berikutnya mereka menyusuri jalan Sesetan dan By Pass Ngurah Rai menuju daerah Legian.

Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak ngegosipin salah satu teman mereka yang ketahuan selingkuh dan biang gosipnya adalah Dina. Tama lebih memilih diam dan asik dengan game di smartphonenya. Sesekali Mita berkaca mengawasi make up-nya dan bila ada dirasa kurang segera di rapihkan. Mita lebih terliha glamour dengan mini dress ungu, sepatu hak tinggi hitam mengkilat dipadu dengan tas tangan berwarna ungu. Dina kebalikan dari Mita terlihat lebih simpel, hanya mengunakan calana jins ketat, kaos berawarna pink ketat dengan belahan dada dipadu dengan kemben putih tidak ketinggalan pakai sepatu hak tinggi.

Berhubung sudah malam dan jalanan lengan. Hanya membutuhkan 15 menit perjalanan dari Panjer ke Legian. Suasana tampak sangat jauh berbeda antara Legian dengan Denpasar dimalam hari. Di sepanjang Legian suara hingar bingar di tempat hiburan membahana khsusnya sekitar monument bom Bali. Tujuan Tama dan teman-temannya ke pub sekitar monument Bom Bali.

Tama dan teman-teman segera memasuki pub yang penuh dengan orang dari berbagai Negara, sebagian besar besar tetapi banyak juga orang Indonesianya.  Dentuman musik menyeruak ke seantero ruangan termasuk menusuk telinga para pengunjung. Sebagian pengunjung hanya duduk sambil minum bir ada juga yang berdisko ria mengikuti alunan music di dekat bar. Ada juga pasangan yang sedang bermesraan.

“Eh itu Bastian,” Mitha menunjuk cowok gendut yang sedang duduk di bar.
“Ya udah panggil aja dia kita duduk di sana yang tempatnya lebih besar jadi bisa nampung kita semua.” Ucap Romi sambil menunjuk sebuah tempat dipojok ruangan dengan meja besar dikelilingi sofa.

Tama mengikuti langkah Romi sedangkan Mitha berjalan ke Bastian untuk mengajaknya bergabung dengan yang lain. Tama lebih memilih duduk  paling pinggir biar lebih leluasa kalau tiba-tiba ingin meninggalkan café. Buat Tama ini merupakan tempat yang paling tidak nyaman, kalau bukan karena terpaksa tidak mungkin ikut ajakan Romi dan Mitha.

Tak lama setelah kedatangan mereka pelayan menyuguhkan beberapa minuman berakohol dengan kadar yang tinggi. Langsung saja Dina menyeduhkan minuman tersebut ke gelas. Romi, Mitha, Bastian, Indri menyambut mengambail gelas yang berisi alcohol.

“Nih buat lo,” Dina memberikan satu gelas ke Tama, terpaksa juga Tama menerimanya karena nggak enak juga sama tema-temanya yang sudah antusias untuk berpesta. Semua orang sudah memegang gelas.

“Cheeerrrssss” Teriak Dina lalu disambut dengan yang lainnya. Gelas mereka berdeting akibat saling beradu.

Bastian langsung menengguk habis minuman padahal terisi penuh. Tama sendiri hanya berpura-pura meminumnya. Pesta sudah dimulai acara minum-minum segera berlanjut. Romi lebih memilih berdisko di lantai dansa. Untuk menghilangkan rasa suntuk Tama merokok dan asik dengan gadgetnya. Sebenarnya sudah tidak sabar ingin meninggalkan tempat ini tetapi masih belum bisa menunggu janji dari Mita.

Sekarang sudah tengah malam, pesta mereka semakin meriah apa lagi Piter dan Frans sudah bergabung. Dina dan Romi sudah setengah mabuk, omongan mereka sudah agak melantur. Meskipun suasana ramai Tama merasa bosan karena memang tidak minat pada acara seperti ini. Saat Tama akan memutuskan pergi dari sekumpulan pemabuk ini muncul cowok ngondek dan seorang wanita yang luamayan cantik wajahnya manis tubuhnya terlihat seksi. Kedua orang ini menghampiri Mita. Mungkin inilah orang yang ditunggu Tama dari tadi.
“Woy Tam, kenalin ini Raisa yang tadi aku omongin di telpon.” Mitha memperkenalkan cewek itu kepada Tama.

Raisa langsung menghampiri Tama. Tama bangkit dari duduknya lalu menjabat tangan Raisa dengan senyum.

“Hai….salam kenal,” ucap Tama bersahabat. 

Lalu mereka duduk bersebelahan. Tama segera menyeduhkan minuman berakohol itu ke gelas yang masih kosong tanpa ad yang punya. Gelas tersebut terisi setengah, sebagai tanda perkenalan mereka berdua cheers lalu menenggak minuman tersebut. Sebenarnya Tama males banget sampai minum alcohol tetapi ini demi sesuap nasi.

“GImana liburan di Bali?” Tanya Tama basa basi, dan terpaksa agak setengah berteriak agar suaranya bisa mengalahkan dentuman music.
“Seru, maka dari itu aku lagi cari rumah di sini. Biar bisa nggak repot kalau ke Bali.” Raisa membalasnya dengan berteriak juga.

Selanjutnya mereka bercengkrama sambil teriak-teriak karena musik mengalahkan suara mereka. Tidak membutuhkanlama untuk megakrabkan diri karena keduanya sama-sama lues dalam berteman. Mereka juga semakin menghangat karena minuman.

“Pindah ajah yuk ke hotel ku, capek disini ngomongnya teriak terus.” Ajak Raisa pada Tama.
“Jauh gak hotelnya?”
“Nggak koq deket sini tinggal nyebrang situ.”
“Oke lah,” Tama mennyetujui ajakan Riasa. “Eh aku cabut duluan sama Riasa,” Tama berpamitan kepada kawan-kawannya.
“Jangan lupa pake ini.” Romi menaruh sebutir pil berwarna pink dan kondom. “Have fun ya….”

Tama langsung saja pergi tanpa mengambil barang yang diberikan oleh Romi. Suasana diluar pub masih saja ramai padahal sudah lewat tengah malam. Sebagian dari mereka khususnya para bule jalan sempoyongan karena mabok. Gadis-gadis cantik berpakaian minim berdiri depan café sambil member salam mengajak wisataan yang lewat masuk ke dalam ada juga yang membagikan selebaran.

Hotelnya Raisa memang cukup dekat dari café tempat tadi berkumpul. Mereka berdua masuk kamar hotel. Tama duduk diatas sofa yang empuk. Raisa sendiri begitu masuk langsung melepas sepatu hak tingginya mungkin sudah terlalu capek tumitnya. Lalu ke kulkas mengambil sebotol minuman alkhol tentunya langsug dituangkan ke gelas. Raisa memberikan satu untuk Tama.

Raisa duduk di sebelah Tama, dekat sekali. Sepertinya Raisa tertarik dengan Tama. Begitu pula dengan Tama siapa sih yang nggak suka sama Raisa, cewek cantik dengan badan aduhai pasti setiap pria normal nafsu sama dia.

“Oh ya kata Mitha kamu mau rekomendasikan rumah,” Raisa memulai obrolan.
“Kalo saya rekomendasikan pasti ditempat ku lah daerah Nusa Dua kalau nggak ya di Denpasar.”
“Menurut kamu lebih baik dimana?”
“Di Denpasar karena banyak kehidupan disitu. Kalau di Nusa Dua sepi gitulah tapi buat menenangkan diri atau liburan cocok sih.”
“Ouh gitu,” Raisa mengangguk. “Ayo donk di minum jangan di pegang saja.”

Tama meneguk sedikit minumannya tanda menghormati tuan rumah. Bagi Tama ini sudah memasuki sesi pekerjaan. Tama memang bekerja sebagai agen property, kerjaannya mencari orang yang bersedia membeli rumah. Sejak pindah di Denpasar Tama menekuni profesi ini. Sebelumnya di Semarang pekerja kantoran. Tama merasa bosa setiap hari aktifitasnya Cuma dikantor. Lalu Tama mendapat tawaran pekerjaan di Denpasar, tanpa pikir panjang Tama langsung menyetujuinya. Sekarang sudah hampir setahun tinggal di Denpasar.

Entah disengaja atau tanpa sengaja minuman yang di pegang Raisa tumbah di baju Tama.
“Eh maaf tumpah,” ucap Raisa sambil mengusap tangannya di dada Tama untuk mengeringkan air. Sebeneranya tidak ada gunanya juga melakukan seperti itu karena baju Tama basah seluruhnya di bagian depan.

“Gak apa-apa koq.”
“Lepas aja bajunya, aku ada kaos cowok koq tadi sore baru beli.”

Tama mengangguk lalu segera melepaskan bajunya. Sekaran terpangpang sebidang dada yang agak kekar dan perut rata tetapi tidak kotak-kotak karena sudah lama sekali Tama tidak fitness. Raisa masih saja duduk disebelah dan terkesima dengan badan Tama. Mata Raisa berbinar-binar seperti menemukan permata.

Tama menjadi salah tingkah Raisa menatapnya seperti itu. Di samping Tama ada bantal sofa lalu diambilnya untuk menutupi dadanya. Tetapi Riasa menepisnya, “Dada kamu bagus kenapa harus malu.” Raisa meraba dada Tama dengan jarinya, kukunya sangat indah panjang dan bercat ungu.

Saat akan menepis tangan Raisa, tiba-tiba saja bibir Tama dilumat oleh bibir Raisa. Tama tak berdaya mendapat rangsang seperti itu. Tidak ada tenaga untuk menolaknya. Pikiran sehatnya hilang sekejap, yang ada dibenaknya bersyukur mendapatkan wanita secantik Raisa.

Permainan liar itu berlanjut, ditariknya Riasia oleh Tama lalu di banting ke kasur yang empuk. Posisi mereka sekarang bertindihan. Bibir mereka masih saja beradu. Keduanya terhanyut oleh bisikan setan yang durjana. Dengan sigap Raisa melepas gaun, begitu pula dengan Tama. Kini dua manusia tersebut hanya mengenakan pakaian dalam.

Saat Rasia akan mempelorotkan celana dalam Tama. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba merasuk Tama dan menjadi sadar seketika. Tangan Tama berusaha menahan usaha Raisa. Mata terbelalak dan seketika itu juga mencabut bibirnya yang sedang di lumat Raisa. Tama segera bangkit tapi posisinya masih menduduki Raisa dan mematung, rasa shock menjalar keseluruh tubuh. Masih belum percaya apa yang telah diperbuatnya.

“Kenapa Tam?” Tanya Raisa. Tama langsung terbangun dari lamunannya.
“Maaf aku nggak bisa.” Ada rasa bersalah dan penyesalan dalam nada suara Tama.

Tama menyesal telah melakukan hal bodoh dan akan lebih merasa bersalah bila bersenggama tersebut dilanjutkan. Tidak seharusnya Tama melakukan seperti itu, karena Tama sudah mempunyai Fitri.

Tama bangkit dari kasur dan segera memungut celana panjang dan bajunya yang berserakan dilantai. Raisa sendiri masih tergeletak di kasur dan masih ada rasa tidak percaya dirinya dicampakan oleh Tama. Ada rasa marah berkecambuk di dada Raisa.

“Kenapa?” Raisa menanyakan kembali karena penasaran kenapa tiba-tiba Tama menghentikan aktifitas itu.
“Aku tidak bisa,” jawab Tama tanpa menjelaskan alasan.
“Iya tapi kenapa?” Raisa terus mendesak.
“Aku sudah punya istri dan kamu juga sudah punya suami kan?”
“Nggak usah munafik dech, kamu juga “butuh” kan? ” Kata Raisa berang.

Sambil memakai celana menghadap Raisa .”Aku memang “butuh” tapi aku bisa lakukan dengan istriku. Mungkin Romi yang lebih membutuhkan itu semua sex dan uang.” Tama berusa mengontrol emosi yang siap meledak.
“Jadi tujuan mu minta ketemu aku buat ml bukan untuk beli rumah?” Tanya Tama sinis.

Raisa hanya diam karena tidak bisa menjawab pertanyaan Tama. Namun didalam otak sedang berputar mencari sesuatu untuk menyerang Tama dengan perkataan.

“Memang seberapa hebat apa istrimu di ranjang,” desis Raisa dengan tatapan murka.
“Mungkin dia tidak sehebat kamu, tapi dia bisa lebih mengerti aku.Apa kamu tidak memikirkan suami mu dirumah yang sedang mencemaskan mu menunggu kedatangan mu.” Suara Tama sedikit dipelankan tetapi setajam silet menyayat hati Raisa.  

Mendapat penjelasan seperti itu Raisa membumkam. Mungkin ada rasa penyeselannya juga telah menghianati pernikhannya itu. Raisa menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Tama sendiri sudah berpakaian meskipun masih terlihat acak-acakan.

“Maaf aku pulang dulu, terim kasih” Tama berpamitan pada Raisa. Segera meninggalkan kamar hotel.

Saat itu sudah pukul 3, jalanan agak lengang suara hingar bingar musik dugem sudah tidak seberisik waktu Tama datang di kawasan Legian. Tama memberhentikan Taxi yang sedang lewat.

“Ke air port pak.” Pinta Tama kepada supir Taxi tersebut.

Kepada : Mita
Dari        : Tama
Pesan    : Mit, Sory aku resign dari kerjaan besok aku kirim surat pengunduran diri.

Kepada : Romi
Dari        : Tama
Pesan    : Makasih buat malam ini. Aku dapat kebahagiaan hidup.

Tama mengirimkan dua pesan tersebut untuk kedua temannya. Hidup ini adalah suatu pilihan dan Tama menyadari pilihannya bekerja di Bali tanpa di damping istri suatu kesalahan fatal tetapi tidak menyesalinya karea ini adalah pengalaman hidup. Berkat Romi juga Tama mendapatkan pelajaran hidup di mala mini.

Tama akan pulang ke Semarang pakai pesawat paling pagi, meskipun belum membeli tiket pesawat dan tanpa persiapan lainnya. Tama masih menyesal pada perbuatannya, perasaan itu membawanya ingin segera pulang dan bertemu dengan keluarganya. Sepanjang perjalanan itu memikirkan akan meninggalkan pekerjaanya di Bali. Ternyata dekat dengan keluarga itu lebih baik, itu yang ada di benak Tama saat ini.  



No comments: