Monday 13 July 2015

Cerpen: Anyversary 10th

Pic dari serial Like Love

Matahari baru saja terbenam, semburat jingga masih membekas di cakrawala. Kafa baru saja menyelesaikan tugas rumah tangga, memasak makan untuk orang yang dicintai. Ini menjadi makan malam spesial, karena hari ini tepat peringatan hari jadian. Wajah Kafa sedari tadi terlihat sumeringah.

Sudah 10 tahun Kafa menjalin hubungan dengan Harlan, itu baru dihitung tanggal jadian. Sebelum itu, mereka sudah mengenal sejak SMA. Namun baru setelah lulus sekolah Kafa merasakan cinta itu tumbuh apalagi setelah keduanya tinggal satu atap di kostan kota Bandung. Mereka berbeda kampus tetapi kampus mereka berdekatan sehingga mereka memutuskan untuk tinggal satu kamar untuk menghemat biaya.

Berapa kali Kafa menengok halaman lewat balik jendela ruang tamu. Kafa tau memang saat ini belum waktunya pulang tetapi Harlan juga sudah janji untuk pulang cepat. Mungkin karena terlalu antusias Kafa sudah tidak sabar menunggu kedatangan Harlan sehingga bolak balik menengok halaman. Kafa juga berapa kali melihat meja makan memastikan masakan masih mengepul asap, tanda masih hangat.

Kafa memutuskan duduk depan televisi untuk mengusir kegelisahan. Kini Harlan sudah telat satu jam dari jadwal semestinya. Kafa juga sudah lelah bolak balik. Makanan di meja makan pun dibiarkan mendingin. Ini baru pertama kali Harlan ingkar janji dihari spesial. Biasanya dia tepat waktu. Kafa makin gelisah karena Harlan tidak bisa dihubungi.

“Kaf......Kafa.....” suara bas lembut memanggil Kafa yang terlelap di sofa. Pria berkulit putih langsat dan sedikit jambang nampak kelelahan di sofa. Handphone masih tergenggam di tangan kanan. 
Mata Kafa langsung melek setelah mendengar suara Harlan yang setengah berbisik di telinga. “Koq baru pulang sih?” tanya Kafa merajuk pada Harlan yang masih membungkuk menghadap Kafa.
“Maaf sayang........,” ucap pria berbadan tegap pada kekasihnya. “Tadi aku habis pulang sebentar ketemu ibu.” Harlan memindahkan tubuhnya, duduk di samping Kafa.
“Sayang kan bisa telpon aku dulu,” Kafa masih saja merajuk. “Tuh makanan kesukaan mu sudah dingin.”
Happy Anyversary honey.” Harlan mengecup bibir Kafa agar tidak megeluaran pertanyaan dan protes lagi. Kafa langsung melumat bibir Harlan yang dibingkai dengan kumis.

Harlan sudah hafal benar bagaimana cara menakluklan amarah kekasihnya. Harlan mengenal Kafa bulat-bulat. Sejak menjadi teman sebangku, Harlan sudah mulai tertarik dengan Kafa yang menurutnya sangat lembut tetapi tidak ngondek, tidak pernah marah dan selalu melayani dengan tulus. Meski teman-teman menyebut Kafa itu aneh tetapi bagi Harlan terlihat unik.

Harlan menerima Kafa apa adanya, begitu juga dengan Kafa menerima Harlan yang mempunyai peringai keras dan tidak mau kalah. Kafa mencintainya karena Harlan sosok yang melindungi Kafa yang ringkih. Kafa adalah orang yang paling bisa meredam amarah Harlan. Bila Kafa mulai menggalau dan meracau tidak jelas, Harlan orang paling sabar menghadapi. Mereka mencintai karena perbedaan yang saling melengkapi.

Kafa mendorong Harlan untuk menyudahi cumbu sebelum berkembang menjadi semakin panas. Kafa memandang lekat-lekat wajah Harlan yang tampak lusuh. Kafa mencari pandangan cinta yang tulus dari Harlan, apakah Harlan masih mencitai atau sudah pupus semua rasa itu. Kafa merasakan ada yang berbeda dari ciuman bibir itu. Selama 10 tahun Kafa pastinya sudah hafal cumbu dari Harlan.

“Ayo kita makan.” Harlan beranjak dari sofa menuju meja makan. Harlan tau Kafa sedang berusaha menyelidik, maka dari itu menghindar sebelum ada racauan.

Kafa mendengus kesal, telah gagal melihat ketulusan cinta. Kafa segera mengambilkan makanan untuk kekasihnya. Lalu duduk berhadapan. Sekali lagi Kafa mencoba menyelidiki perilaku Harlan yang aneh malam ini.

“Ada apa Kaf?” tanya Harlan lembut. Dirinya sadar dari tadi Kafa memandangi tanpa henti.
“Hari ini ada masalah apa?” Kafa balik bertanya, bahkan langsung pada titik permasalahan.
“Tadi aku pulang ke rumah,” Harlan mulai bercerita. Segala sesuatunya memang harus segera dibicarakan. “Ibu menyuruhku menikah.” Harlan berusaha bersikap tenang agar tidak memperkeruh suasana.
“Kamu telah merusak malam ini,” gerutu Kafa. Meski tenang tetapi nada suaranya terdengar jengkel.
“Kaf...tadi kamu sendiri yang bertanya, ya saya jawab.” Meski sedikit terpancing emosi, Harlan masih meredam gejolak amarahnya.

Mereka makan malam dengan hening, hanya terdengar sara detingan sendok beradu dengan piring. Biasanya makan malam ada adalah acara paling menyenangkan, keduanya bisa berceloteh tentang apa saja yang terjadi seharian. Acara makan malam telah rusak, ini baru permulaan pertengkaran. Keduanya sadar setelah makan malam akan ada diskusi yang sengit. Sebenarnya ini bukan masalah baru, sudah kesekian kalinya masalah ini muncul ke permukaan tapi menguap begitu saja tanpa penyelesaian.

“Tadi mamah juga datang kesini,” Kafa bersuara dengan lirih ketika sudah menyelesaikan makan. “Sama seperti ibu kamu membicarakan tentang pernikahan.”
“Lalu kamu bilang apa sama mamah?” tanya Harlan datar sambil menyeka nasi yang menempel di bibir Kafa.
“Aku bingung,” Kafa menghembus nafas kuat-kuat, seperti orang yang sedang putus asa. “Mamah sudah tahu kita adalah pasangan. Ibumu pun juga tahu kalau kita adalah sepasang kekasih. Tetapi kenapa masih mempertanyakan pernikahan?” Kafa menekankan pada kata pernikahan, seoang-olah itu sebagai kata yang tabu untk diucapkan.

Harlan tidak langsung menjawab karena bingung akan dijawab dengan penjelasan seperti apa. Waktu ibu mececar dengan pertanyaan itu pula Harlan tidak berkutik. Sekarang dihadapkan sama Kafa dengan pertanyaan yang sama pula. Kondisinya sama-sama sulit.

“Wajar saja orang tua menanyakan itu kembali,” ucap Harlan mencoba menanggapi pertanyaan Kafa. “Orang tua pasti mengharapkan kehidupan anaknya normal.”
“Apa kita nggak normal?” tanya Kafa dengan kesal.
“Itu normal untuk diri kita seniri. Belum tentu pemikiran orang lain,” jawab Harlan lagi. “Apalagi kita tinggal di Indonesia, masih sangat tabu dua orang lelaki yang saling mencintai tinggal serumah.” Harlan dengan hati-hati mencoba menjelaskan apa yang terjadi dilingkungan sekitar.
“Ah..... apa kita sehina itu,” gerutu Kafa kesal. “Padahal mereka pun lebih hina, berselingkuh sana sini, menabur benih di rahim wanita lalu ditinggalkan begitu saja,” Kafa merutuk pada pria-pria hidung belang. Pernyataan itu sangat dalam karena Kafa menjadi salah satu korbannya. Sampai detik ini Kafa tidak mengetahui siapa ayahnya.
“Setidaknya mereka masih dianggap normal oleh masyarakat kita. Kodratnya lelaki itu “mencampuri” wanita.” Harlan menimpal dengan cepat.

Kafa tidak bisa berkutik. Memang itulah yang semestinya terjadi, bahwa lelaki itu bersenggama dengan wanita untuk kepuasan sex dan menghasilkan keturunan. Masyarkat memang belum bisa menerima ikatan apalagi hubunga badan antara lelaki dengan lekaki juga.

“Persetanlah apa kata orang. Toh kita hidup untuk sendiri,” ucap Kafa yang semakin kesal.
“Dari dulu kita sudah persetan apa kata orang. Kita sudah kebal,” balas Harlan yang sudah sedikit terpancing emosinya. “Tetapi belum tentu dengan orang sekitar kita. Terutama ibu. Beliau juga punya kehidupan sendiri di masyarakat. Bisa saja sekarang beliau tidak tahan gunjingan orang luar.”

Kafa terdiam lagi, mencerna omongn Harlan yang ada benarnya. Kafa juga tersadar selama ini telah egois hanya memikirkan dirinnya sendiri. Ibu yang sudah membesarkan telah diabaikan perasaanya. Ibu dengan tegar pasti akan membela anaknya dipergunjingkan oleh orang-orang yang hobi bergosip. Tetapi Kafa tiak memperdulikannya.

“Ibu atau mungkin mamah kamu juga mengalami hal yang sama dibully oleh masyarakat kita, bahwa anaknya gay.” Sebenarnya Harlan tidak tega waktu mengatakan gay, ini adalah realitanya kalau dirinya memang gay yang sudah coming out. “Seorang ibu atau ayah pasti akan terpukul hebat ketika mengetahui anaknya gay. Apalagi sampai orang lain mengetahuinya, cobaan mereka bertambah akibat bully.”
“Menuruti perintah orang tua pun tidak menyelesaikan masalah, kita semua tetap kena bully bahkan tamah satu lagi korban yaitu isitri kita. Masyarakat akan memperolok istri yang menikahi lelaki gay,” Kafa mennyambar dengan cepat sebelum Harlan menyelesaikan kalimatnya.
“Setidaknya kita sedikit berbakti sama orang tua dengan menuruti permintaannya,” Harlan tidak mau kalah.
“Kalau itu yang terjadi kenapa mereka tidak melarang kita sebelum melangkah lebih jauh?” tanya Kafa lagi yang belum siap menerima keadaan seperti ini, keadaan yang renatang untuk perpisahan. “Mungkin dulu tidak akan merasakan sesakit sekarang ketika harus dipisahkan.”
“Mereka tidak tega melihat anaknya tidak bahagia karena cintanya dipisahkan.” Harlan menggenggam tangan Kafa untuk menguatkan hati Kafa yang rapuh. “Mungkin saat ini mereka sudah tidak kuat lagi menahan serangan itu. Mereka sudah semakin tua, letih untuk terus menghadapi cibiran. Mereka juga pasti ingin menggedong cucu dari anak laki-lakinya.”

Air mata Kafa meleleh. Kafa membayangkan mamahnya menghadapi cibiran orang-orang sewaktu arisan. Bisa saja mamah terus menguatkan diri sendiri kalau anaknya memang gay. terlebih lagi anaknya tidak lagi tinggal bersama melainkan bersama lelaki yang dicintai. Mamah selalu memendam rasa itu seorang diri, demi kebahagiaan anaknya.

Harlan berjalan ke arah Kafa lalu memeluk dari belakang.  Kafa menerima pelukkan itu dengan hangat. Sekali lagi Harlan memang tahu caranya untuk meredam kekalutan dan kegalauan yang menghinggapi Kafa. Harlan orang yang pertama memeluk ketika Kafa merasa kacau.

“Ibu dan mamah kita adalah orang yang paling tegar,” bisik Harlan dengan lembut. Tangis Kafa semaking menjadi. Harlan pun semakin erat memeluknya.

Sebenarnya Harlan pun butuh penguat. Memeluk Kafa adalah penguatan untuk dirinya. Bahwa masih ada orang yang sayang dan mencitai dirinya. Kafa yang tidak pernah dimintai tolong akan sadar diri menemani Harlan jika sedang galau. Kafa pula orang yang selalu bisa meredam emosinya, jika melihat Kafa yang tersenyum manis luluh semua amarah. Kafa memang smiling face siapa saja yang melihatnya pasti tidak tega untuk bertindak kasar padanya.

Setelah memebereskan dan mencuci piring, mereka duduk di sofa ruang televisi. Kafa bersender di bahu Harlan yang bertelanjang dada karena merasa kegerahan. Aroma kelakiannya merebak menusuk hidung. Kafa menyukai aroma ini karena membuat tenang, bahwa dirinya jatuh di pelukan pada lelaki yang tepat.

“Sayang lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Harlan lembut pada Kafka untuk kembali mendiskusikan masalah tadi yang belum selesai.
“Aku bingun honey,” jawab Kafa cuek.
“Aku juga bingung. Sudah puluhan kali kita membahas ini dan tidak ada ujungnya.” Harlan pun tidak tahu harus bagaimana. “Tapi ini harus diselesaikan. Apalagi ini permintaan ibu.”
“Jangan bawa-bawa ibu.” Kafa menegakan badannya.
“Kalau nggak bawa ibu masalah ini tidak akan selesai,” timpal Harlan dengan ketus.

 Kafa terdiam. Harlan memang lihai dalam bersilat lidah. Selalu ada saja untuk suatu jawaban. Meskipun begitu tidak pernah sepatah kata pun keluar kata-kata kasar dari mulutnya. Harlan memang selalu menjaga perasaan Kafa yang rapuh.

“Tadi aku pun sudah menanyakan ini kepada kamu. Jika kamu bertanya kembali pada aku. Lalu aku melimpahkan pada siapa?” Kafa putus asa. Fikirannya kacau.
“Tanyakan pada hati kamu paling dalam. Kita sudah sama dewasa pasti ada jalan keluarnya.” Tangan Harlan menempel pada dada Kafa dengan lembut.
“Tetap saja hati ku mengatakan aku sangat cinta kamu,” sahut Kafa dengan cepat.

Harlan tersenyum sambil menengok Kafa. Menatap Kafa, hasilnya sama seperti yang sudah terjadi. Harlan masih menemukan cinta yang tulus dari Kafa karena Kafa tidak memalingkan wajahnya ketika ditatap Harlan. Cinta yang tulus yang tidak bisa dipungkiri.

“Itu yang aku katakan sama mamah,” Kafa melengkapi omongannya yang tadi terputus. “Bahwa aku memang sudah terlanjur mencintai mu Harlan, bahkan sangat mencintai mu.” Kali ini Kafa pandangan Kafa yang melekat pada mata Harlan.
“Lalu apa kata mamah?” tanya Harlan menghiraukan omongan Kafa yang menyatakan sangat mecintai Harlan.
“Secara tidak langsung mamah bilang menyuruh meninggalkan kamu,” jawab Kafa ragu. Kafa takut perkataannya menyinggung Harlan. “Lalu kamu jawab apa ketika ibu menyuruh kamu menikah?” tanya Kafa mengalihkan perhatian.
“Aku jawab, iya aku bersedia menikahi Kafa,” Harlan menjawab dengan datar tetapi tangannya menggenggam Kafa. Seulas senyum manis mengembang dari bibir Kafa yang dikelilingi kumis tipis.
“Lalu ibu menanggapinya bagaimana?” tanya Kafa lagi.
“Ibu malah mengajukan beberapa nama calon mempelai wanita.” Harlan membanting tubuhnya ke sandaran sofa, kecewa. Ibunya Harlan tidak menanggapi kalau Harlan hanya ingn menikahi Kafa.
“Kamu memilih salah satu atau dua dari nama itu?”
Harlan menggelengkan kepala. “Aku tetap memilihmu Kaf,” ucap Harlan penuh keyakinan. “Meski ada seribu wanita, kamu pria yang selalu kucintai. Kamu cinta pertama dan terakhirku.”

Kafa merupakan orang yang pertama yang membuat hati Harlan berbunga-bunga. Kafa juga menjadikan hari-hari Harlan selalu bahagia. Kafa orang yang pertama menjamah tubuh Harlan dan tidak ada lagi orang lain yang bisa melakukan itu. Cinta Harlan sudah tertambat permanen pada Kafa.

Mendengar pernyataan seperti itu secara reflek melumat bibir Harlan. Kafa merasa senang dirinya tetap menjadi orang nomor satu dalam kehidupan Harlan. Tidak sia-sia selama ini Kafa memasung hasrat dengan lelaki lain, karena percaya Harlan adalah orang paling bisa mencintai dirinya dengan tulus.

“Ketakukan terbesarku adalah mengecewakan ibu dan ditinggalkan atau meninggalakn kamu.” Tanpa sadar air mata Harlan menetes. “Sekarang aku berada dipersimpangan itu.”
“Aku tidak meninggalkan kamu Harlan.” Kafa memeluk Harlan. Ini adalah Kafa melihat kali kedua Harlan menangis. Pertama wakatu ayahnya meninggal.
“Jika aku menikah memang akan membahagikan ibu. Disisi lain aku meninggalkanmu dan aku ditinggalkan kamu.” Tangis Harlan terisak. Terdengar pilu.

Harlan mersa di ujung persimpangan. Omongan tadi siang waktu bertemu dengan ibu telah membawa perasaan yang dalam dalam diskusi malam ini. Harlan merasa tidak ada yang bisa dipilih apakah ibunya atau Kafa, keduanya adalah orang yang sangat diciintai meskipun dalam kapasitas yang berbeda.

“Kaf apa yang harus aku lakukan?” tanya Harlan putus asa.
“Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan sepertimu,” bisik Kafa dengan lembut. Harlan masih ada di pelukkan Kafa. “Memang saat ini adalah ujung dari memutuskan itu. Kita sudah tidak muda lagi Har.” Kafa bukan menyelesaikan masalah tetapi semakin membuat rumit.
“Iya aku tahu itu Kaf. Tapi harus bagaimana?”   

Keduanya bingung, nggak tau harus berbuat apa. Belum ada ide yang tersebesti di otak Kafa dan Harlan. Mereka terdiam, memikirkan apa yang harus dilakukan.

“Kita menikah saja,” cetus Kafa semangat.
“Aku sama kamu?” tanya Harlan bingung. “Atau kita menikah sama perempuan?”
“Kita menikah sama perempuan,” jawab Kafa cepat.
“Lalu hubungan kita?” tanya Harlan masih bingung.
“Kita masih tetap sebagai pasangan,” ujar Kafa lagi. “Mereka tidak menyuruh kita putuskan? “

Harlan tidak langsung menjawab. Masih terpekur mempertimbangkan ide Kafa yang terdengar konyol. Kalau bukan karena mencintai Kafa mungkin sudah dari dulu Harlan menikah.

“Ini bukan masalah buku nikah saja Kaf,” Harlan mencoba menguraikan solusi yang Kafa ajukan. “Apa kamu tega aku dijamah orang lain?”

Bibir Kafa monyong, cemberut, membayangkan Harlan yang selama ini miliknya tiba-tiba harus bercampur dengan perempuan. Kafa menggelengkan kepala dengan keras mencoba menghilangkan bayangan Harlan sedang bersenggama dengna wanita.

“Ini bukan suatu permainan anak kecil yang dimulai dengan mudah dan diakhiri begitu saja.” Harlan memegang pundak Kafa dengan kedua tangannya. Harlan sedang memberi pengertian pada Kafa. “Ini urusan hati Kaf. Kita nggak bisa membohongi orang lain terutama diri kita sendiri.”
“Itu penyelesaian masalah kita Har......” Kafa mengatakan dengan lugas. “Aku nggak merasa ditinggalkan kamu selama kita masih bertemu. Permintaan orang tua kita hanya menikah dengan perempuan.”
“Apa jadinya kalau aku cinta beneran sama istriku?” tanya Harlan dengan ketus. “Lambat laun kamu akanku tinggalkan tanpa aku sadari.”
“Aku ikhlas Har,” ucap Kafa ragu. “Apa kamu bisa ikhlas jika aku nantinya mencintai istriku?” tanya Kafa balik.
“Aku belum menyetujui rencana ini. Jadi aku nggak bisa jawab apa aku ikhlas atau tidak. Sudah jelaskan aku tidak mau berpisah,” ucapan Harlan keras dan tegas. “
“Kita tidak berpisah Harlan,” ulang Kafa dengan ceria seakan memberi harpan menikahpun tidak akan terjadi masalah apapun dalam hubungan percintaan sejenis.”Kalau kamu nggak setuju lalu apa yang kita lakukan?” tanya Kafa lagi.
“Aku akan bawa kamu pergi ke Amerika Serikat kita menikah di sana,” kali ini Harlan menjawab dengan ragu dan sedikit bercanda.
“Setelah kita kembali ke Indonesia, kertas akta pernikahan itu sama aja menjadi sampah,” nada Kafa ketus sekali. Kafa sama sekali tidak menyetujui ide gila Harlan.

Harlan terdiam, kelakarnya untuk mencairkan suasana tidak disambut baik oleh Kafa. Harlan sudah penat dan buntuk untuk membahas masalah ini lagi. Kafa pun tampaknya sudah memuncak emosinya karena dari tadi hanya memutar-mutar saja, tidak ada perkembangan berarti. 

“Ok. Kita sudahi saja diskusi ini,” ujar Harlan sambil membelai lembut rambut Kafa agar tidak marah lagi.
“Masalah ini belum selesai,” timpal Kafa dengan ketus. “Masalah ini masih tetap pending.”

Mereka sepakat untuk menunda ambil keputusan. Mereka sudah merasa mentok tidak tahu harus berbuat apalagi. Pilihan yang sulit tidak bisa diputuskan dalam satu malam saja. Masih ada hari lain untuk dipikirkan.

Harlan menarik Kafa untuk kembali bersandar di bahunya. Tangannya membelai rambut Kafa yang lembut. Kafa pun merasa nyaman seperti in, hanya ada kemesraan tidak adalagi perdebatan. Seharunya malam ini dilalui seperti ini. Hangat. Romantis. Penuh cinta.

“Kaf apa yang kamu rasakan selama 10 tahun ini?” tanya Harlan berbisik.
“Aku merasa bahagia,” jawab Kafa cepat.
“Bahagia seperti apa?” tanya Harlan lagi.
Kafa memengang pergelangan tangan Harlan yang sudah melingkar di perut Kafa untuk lebih kencang. “Aku merasa lebih nyaman karena kamu setelah melindungiku.”
Harlan merasa senang mendengar pernyataan seperti itu. Harlan semakin mengeratkan pelukan. Kumisnya menusuk-nusuk pipi Kafa saat mencium mesra. “Kamu adalah orang yang kucinta jadi pantas saja aku menjaga mu.”
“Lalu apa yang kamu rasakan selama 10 tahun ini terhadap ku?” Kafa tanya balik ke Harlan.
“Aku merasa dihargai sebagai manusia. Kamu membalas amarahku dengan tenang tidak balik menyerang. Kamu menjadi pendengar setia ketika aku sedang menghadapi masalah. Kamu orang yang paling tulus menciumku.”

Keduanya kembali berpagutan mesra, mengungkapkan rasa cinta. Memang untuk menjalin suatu hubungan yang lama adalah saling menghargai dan melengkapi. Mereka sudah banyak melewati masa-masa susah, 10 tahun bukan waktu yang sebentar. Cinta mereka memang sudah mengakar.

“Mau berapa tahun lagi kita akan merayakan anyversary?” tanya Kafa mengehentikan acara cumbu mesra.
“Sampai....... habis cintaku pada mu. Tetapi itu tidak mungkin karena stoknya masih banyak,” canda Harlan kembali memagut bibir Kafa.
“Ada rencan apa kedepan?” tanya Kafa menyudahi ciuman.
“Rencanaku terus mencintaimu,” Harlan tersenyum manis.
“Bukan itu maksudku.” Kafa mendengus kesal. “Apa kamu nggak mau anak?”

Harlan terdiam sejenak memikirkan omongan Kafa, bukan sesuatu yang menohok tetapi itu pertanyaan menggelitik hati. Bersama dengan Kafa pastinya tidak akan menghasilkan anak. Bisa sih punya anak tetapi lewat adopsi, sedangankan di Indonesia belum diperbolehkan adopsi anak dari pasangan Gay.

“Jadi kamu pilih aku atau orang ibumu?” tanya Kafa kembali membahas masalah yang tadi belum terselesaikan.


No comments: