![]() |
Pic dari serial Like Love |
Matahari baru saja terbenam, semburat jingga masih membekas di cakrawala. Kafa baru saja menyelesaikan tugas rumah tangga, memasak makan untuk orang yang dicintai. Ini menjadi makan malam spesial, karena hari ini tepat peringatan hari jadian. Wajah Kafa sedari tadi terlihat sumeringah.
Sudah 10 tahun Kafa
menjalin hubungan dengan Harlan, itu baru dihitung tanggal jadian. Sebelum itu,
mereka sudah mengenal sejak SMA. Namun baru setelah lulus sekolah Kafa
merasakan cinta itu tumbuh apalagi setelah keduanya tinggal satu atap di kostan
kota Bandung. Mereka berbeda kampus tetapi kampus mereka berdekatan sehingga
mereka memutuskan untuk tinggal satu kamar untuk menghemat biaya.
Berapa kali Kafa
menengok halaman lewat balik jendela ruang tamu. Kafa tau memang saat ini belum
waktunya pulang tetapi Harlan juga sudah janji untuk pulang cepat. Mungkin
karena terlalu antusias Kafa sudah tidak sabar menunggu kedatangan Harlan
sehingga bolak balik menengok halaman. Kafa juga berapa kali melihat meja makan
memastikan masakan masih mengepul asap, tanda masih hangat.
Kafa memutuskan duduk
depan televisi untuk mengusir kegelisahan. Kini Harlan sudah telat satu jam
dari jadwal semestinya. Kafa juga sudah lelah bolak balik. Makanan di meja
makan pun dibiarkan mendingin. Ini baru pertama kali Harlan ingkar janji dihari
spesial. Biasanya dia tepat waktu. Kafa makin gelisah karena Harlan tidak bisa
dihubungi.
“Kaf......Kafa.....”
suara bas lembut memanggil Kafa yang terlelap di sofa. Pria berkulit putih
langsat dan sedikit jambang nampak kelelahan di sofa. Handphone masih tergenggam di tangan kanan.
Mata Kafa langsung
melek setelah mendengar suara Harlan yang setengah berbisik di telinga. “Koq
baru pulang sih?” tanya Kafa merajuk pada Harlan yang masih membungkuk
menghadap Kafa.
“Maaf sayang........,”
ucap pria berbadan tegap pada kekasihnya. “Tadi aku habis pulang sebentar
ketemu ibu.” Harlan memindahkan tubuhnya, duduk di samping Kafa.
“Sayang kan bisa
telpon aku dulu,” Kafa masih saja merajuk. “Tuh makanan kesukaan mu sudah
dingin.”
“Happy Anyversary honey.”
Harlan mengecup bibir Kafa agar tidak megeluaran pertanyaan dan protes lagi. Kafa
langsung melumat bibir Harlan yang dibingkai dengan kumis.
Harlan sudah hafal
benar bagaimana cara menakluklan amarah kekasihnya. Harlan mengenal Kafa
bulat-bulat. Sejak menjadi teman sebangku, Harlan sudah mulai tertarik dengan
Kafa yang menurutnya sangat lembut tetapi tidak ngondek, tidak pernah marah dan
selalu melayani dengan tulus. Meski teman-teman menyebut Kafa itu aneh tetapi
bagi Harlan terlihat unik.
Harlan menerima Kafa
apa adanya, begitu juga dengan Kafa menerima Harlan yang mempunyai peringai
keras dan tidak mau kalah. Kafa mencintainya karena Harlan sosok yang
melindungi Kafa yang ringkih. Kafa adalah orang yang paling bisa meredam amarah
Harlan. Bila Kafa mulai menggalau dan meracau tidak jelas, Harlan orang paling
sabar menghadapi. Mereka mencintai karena perbedaan yang saling melengkapi.
Kafa mendorong Harlan
untuk menyudahi cumbu sebelum berkembang menjadi semakin panas. Kafa memandang
lekat-lekat wajah Harlan yang tampak lusuh. Kafa mencari pandangan cinta yang
tulus dari Harlan, apakah Harlan masih mencitai atau sudah pupus semua rasa
itu. Kafa merasakan ada yang berbeda dari ciuman bibir itu. Selama 10 tahun
Kafa pastinya sudah hafal cumbu dari Harlan.
“Ayo kita makan.”
Harlan beranjak dari sofa menuju meja makan. Harlan tau Kafa sedang berusaha
menyelidik, maka dari itu menghindar sebelum ada racauan.
Kafa mendengus kesal,
telah gagal melihat ketulusan cinta. Kafa segera mengambilkan makanan untuk
kekasihnya. Lalu duduk berhadapan. Sekali lagi Kafa mencoba menyelidiki
perilaku Harlan yang aneh malam ini.
“Ada apa Kaf?” tanya
Harlan lembut. Dirinya sadar dari tadi Kafa memandangi tanpa henti.
“Hari ini ada masalah
apa?” Kafa balik bertanya, bahkan langsung pada titik permasalahan.
“Tadi aku pulang ke
rumah,” Harlan mulai bercerita. Segala sesuatunya memang harus segera
dibicarakan. “Ibu menyuruhku menikah.” Harlan berusaha bersikap tenang agar
tidak memperkeruh suasana.
“Kamu telah merusak
malam ini,” gerutu Kafa. Meski tenang tetapi nada suaranya terdengar jengkel.
“Kaf...tadi kamu
sendiri yang bertanya, ya saya jawab.” Meski sedikit terpancing emosi, Harlan
masih meredam gejolak amarahnya.
Mereka makan malam
dengan hening, hanya terdengar sara detingan sendok beradu dengan piring.
Biasanya makan malam ada adalah acara paling menyenangkan, keduanya bisa
berceloteh tentang apa saja yang terjadi seharian. Acara makan malam telah
rusak, ini baru permulaan pertengkaran. Keduanya sadar setelah makan malam akan
ada diskusi yang sengit. Sebenarnya ini bukan masalah baru, sudah kesekian
kalinya masalah ini muncul ke permukaan tapi menguap begitu saja tanpa
penyelesaian.
“Tadi mamah juga datang
kesini,” Kafa bersuara dengan lirih ketika sudah menyelesaikan makan. “Sama
seperti ibu kamu membicarakan tentang pernikahan.”
“Lalu kamu bilang apa
sama mamah?” tanya Harlan datar sambil menyeka nasi yang menempel di bibir
Kafa.
“Aku bingung,” Kafa
menghembus nafas kuat-kuat, seperti orang yang sedang putus asa. “Mamah sudah
tahu kita adalah pasangan. Ibumu pun juga tahu kalau kita adalah sepasang
kekasih. Tetapi kenapa masih mempertanyakan pernikahan?” Kafa menekankan pada
kata pernikahan, seoang-olah itu sebagai kata yang tabu untk diucapkan.
Harlan tidak langsung
menjawab karena bingung akan dijawab dengan penjelasan seperti apa. Waktu ibu
mececar dengan pertanyaan itu pula Harlan tidak berkutik. Sekarang dihadapkan
sama Kafa dengan pertanyaan yang sama pula. Kondisinya sama-sama sulit.
“Wajar saja orang tua
menanyakan itu kembali,” ucap Harlan mencoba menanggapi pertanyaan Kafa. “Orang
tua pasti mengharapkan kehidupan anaknya normal.”
“Apa kita nggak
normal?” tanya Kafa dengan kesal.
“Itu normal untuk diri
kita seniri. Belum tentu pemikiran orang lain,” jawab Harlan lagi. “Apalagi
kita tinggal di Indonesia, masih sangat tabu dua orang lelaki yang saling
mencintai tinggal serumah.” Harlan dengan hati-hati mencoba menjelaskan apa
yang terjadi dilingkungan sekitar.
“Ah..... apa kita
sehina itu,” gerutu Kafa kesal. “Padahal mereka pun lebih hina, berselingkuh
sana sini, menabur benih di rahim wanita lalu ditinggalkan begitu saja,” Kafa
merutuk pada pria-pria hidung belang. Pernyataan itu sangat dalam karena Kafa
menjadi salah satu korbannya. Sampai detik ini Kafa tidak mengetahui siapa
ayahnya.
“Setidaknya mereka
masih dianggap normal oleh masyarakat kita. Kodratnya lelaki itu “mencampuri”
wanita.” Harlan menimpal dengan cepat.
Kafa tidak bisa
berkutik. Memang itulah yang semestinya terjadi, bahwa lelaki itu bersenggama
dengan wanita untuk kepuasan sex dan menghasilkan keturunan. Masyarkat memang
belum bisa menerima ikatan apalagi hubunga badan antara lelaki dengan lekaki
juga.
“Persetanlah apa kata
orang. Toh kita hidup untuk sendiri,” ucap Kafa yang semakin kesal.
“Dari dulu kita sudah
persetan apa kata orang. Kita sudah kebal,” balas Harlan yang sudah sedikit
terpancing emosinya. “Tetapi belum tentu dengan orang sekitar kita. Terutama
ibu. Beliau juga punya kehidupan sendiri di masyarakat. Bisa saja sekarang
beliau tidak tahan gunjingan orang luar.”
Kafa terdiam lagi,
mencerna omongn Harlan yang ada benarnya. Kafa juga tersadar selama ini telah
egois hanya memikirkan dirinnya sendiri. Ibu yang sudah membesarkan telah
diabaikan perasaanya. Ibu dengan tegar pasti akan membela anaknya
dipergunjingkan oleh orang-orang yang hobi bergosip. Tetapi Kafa tiak
memperdulikannya.
“Ibu atau mungkin
mamah kamu juga mengalami hal yang sama dibully
oleh masyarakat kita, bahwa anaknya gay.” Sebenarnya Harlan tidak tega waktu
mengatakan gay, ini adalah realitanya kalau dirinya memang gay yang sudah coming out. “Seorang ibu atau ayah pasti
akan terpukul hebat ketika mengetahui anaknya gay. Apalagi sampai orang lain
mengetahuinya, cobaan mereka bertambah akibat bully.”
“Menuruti perintah
orang tua pun tidak menyelesaikan masalah, kita semua tetap kena bully bahkan tamah satu lagi korban
yaitu isitri kita. Masyarakat akan memperolok istri yang menikahi lelaki gay,”
Kafa mennyambar dengan cepat sebelum Harlan menyelesaikan kalimatnya.
“Setidaknya kita
sedikit berbakti sama orang tua dengan menuruti permintaannya,” Harlan tidak
mau kalah.
“Kalau itu yang
terjadi kenapa mereka tidak melarang kita sebelum melangkah lebih jauh?” tanya
Kafa lagi yang belum siap menerima keadaan seperti ini, keadaan yang renatang
untuk perpisahan. “Mungkin dulu tidak akan merasakan sesakit sekarang ketika
harus dipisahkan.”
“Mereka tidak tega
melihat anaknya tidak bahagia karena cintanya dipisahkan.” Harlan menggenggam
tangan Kafa untuk menguatkan hati Kafa yang rapuh. “Mungkin saat ini mereka
sudah tidak kuat lagi menahan serangan itu. Mereka sudah semakin tua, letih
untuk terus menghadapi cibiran. Mereka juga pasti ingin menggedong cucu dari
anak laki-lakinya.”
Air mata Kafa meleleh.
Kafa membayangkan mamahnya menghadapi cibiran orang-orang sewaktu arisan. Bisa
saja mamah terus menguatkan diri sendiri kalau anaknya memang gay. terlebih
lagi anaknya tidak lagi tinggal bersama melainkan bersama lelaki yang dicintai.
Mamah selalu memendam rasa itu seorang diri, demi kebahagiaan anaknya.
Harlan berjalan ke
arah Kafa lalu memeluk dari belakang.
Kafa menerima pelukkan itu dengan hangat. Sekali lagi Harlan memang tahu
caranya untuk meredam kekalutan dan kegalauan yang menghinggapi Kafa. Harlan
orang yang pertama memeluk ketika Kafa merasa kacau.
“Ibu dan mamah kita
adalah orang yang paling tegar,” bisik Harlan dengan lembut. Tangis Kafa
semaking menjadi. Harlan pun semakin erat memeluknya.
Sebenarnya Harlan pun
butuh penguat. Memeluk Kafa adalah penguatan untuk dirinya. Bahwa masih ada
orang yang sayang dan mencitai dirinya. Kafa yang tidak pernah dimintai tolong
akan sadar diri menemani Harlan jika sedang galau. Kafa pula orang yang selalu
bisa meredam emosinya, jika melihat Kafa yang tersenyum manis luluh semua
amarah. Kafa memang smiling face
siapa saja yang melihatnya pasti tidak tega untuk bertindak kasar padanya.
Setelah memebereskan
dan mencuci piring, mereka duduk di sofa ruang televisi. Kafa bersender di bahu
Harlan yang bertelanjang dada karena merasa kegerahan. Aroma kelakiannya
merebak menusuk hidung. Kafa menyukai aroma ini karena membuat tenang, bahwa
dirinya jatuh di pelukan pada lelaki yang tepat.
“Sayang lalu apa yang
harus kita lakukan?” tanya Harlan lembut pada Kafka untuk kembali mendiskusikan
masalah tadi yang belum selesai.
“Aku bingun honey,” jawab Kafa cuek.
“Aku juga bingung.
Sudah puluhan kali kita membahas ini dan tidak ada ujungnya.” Harlan pun tidak
tahu harus bagaimana. “Tapi ini harus diselesaikan. Apalagi ini permintaan
ibu.”
“Jangan bawa-bawa
ibu.” Kafa menegakan badannya.
“Kalau nggak bawa ibu
masalah ini tidak akan selesai,” timpal Harlan dengan ketus.
Kafa terdiam. Harlan memang lihai dalam
bersilat lidah. Selalu ada saja untuk suatu jawaban. Meskipun begitu tidak
pernah sepatah kata pun keluar kata-kata kasar dari mulutnya. Harlan memang
selalu menjaga perasaan Kafa yang rapuh.
“Tadi aku pun sudah
menanyakan ini kepada kamu. Jika kamu bertanya kembali pada aku. Lalu aku
melimpahkan pada siapa?” Kafa putus asa. Fikirannya kacau.
“Tanyakan pada hati
kamu paling dalam. Kita sudah sama dewasa pasti ada jalan keluarnya.” Tangan
Harlan menempel pada dada Kafa dengan lembut.
“Tetap saja hati ku
mengatakan aku sangat cinta kamu,” sahut Kafa dengan cepat.
Harlan tersenyum
sambil menengok Kafa. Menatap Kafa, hasilnya sama seperti yang sudah terjadi.
Harlan masih menemukan cinta yang tulus dari Kafa karena Kafa tidak memalingkan
wajahnya ketika ditatap Harlan. Cinta yang tulus yang tidak bisa dipungkiri.
“Itu yang aku katakan
sama mamah,” Kafa melengkapi omongannya yang tadi terputus. “Bahwa aku memang
sudah terlanjur mencintai mu Harlan, bahkan sangat mencintai mu.” Kali ini Kafa
pandangan Kafa yang melekat pada mata Harlan.
“Lalu apa kata mamah?”
tanya Harlan menghiraukan omongan Kafa yang menyatakan sangat mecintai Harlan.
“Secara tidak langsung
mamah bilang menyuruh meninggalkan kamu,” jawab Kafa ragu. Kafa takut
perkataannya menyinggung Harlan. “Lalu kamu jawab apa ketika ibu menyuruh kamu
menikah?” tanya Kafa mengalihkan perhatian.
“Aku jawab, iya aku
bersedia menikahi Kafa,” Harlan menjawab dengan datar tetapi tangannya
menggenggam Kafa. Seulas senyum manis mengembang dari bibir Kafa yang
dikelilingi kumis tipis.
“Lalu ibu
menanggapinya bagaimana?” tanya Kafa lagi.
“Ibu malah mengajukan
beberapa nama calon mempelai wanita.” Harlan membanting tubuhnya ke sandaran
sofa, kecewa. Ibunya Harlan tidak menanggapi kalau Harlan hanya ingn menikahi
Kafa.
“Kamu memilih salah
satu atau dua dari nama itu?”
Harlan menggelengkan
kepala. “Aku tetap memilihmu Kaf,” ucap Harlan penuh keyakinan. “Meski ada
seribu wanita, kamu pria yang selalu kucintai. Kamu cinta pertama dan
terakhirku.”
Kafa merupakan orang
yang pertama yang membuat hati Harlan berbunga-bunga. Kafa juga menjadikan
hari-hari Harlan selalu bahagia. Kafa orang yang pertama menjamah tubuh Harlan
dan tidak ada lagi orang lain yang bisa melakukan itu. Cinta Harlan sudah
tertambat permanen pada Kafa.
Mendengar pernyataan
seperti itu secara reflek melumat bibir Harlan. Kafa merasa senang dirinya
tetap menjadi orang nomor satu dalam kehidupan Harlan. Tidak sia-sia selama ini
Kafa memasung hasrat dengan lelaki lain, karena percaya Harlan adalah orang
paling bisa mencintai dirinya dengan tulus.
“Ketakukan terbesarku
adalah mengecewakan ibu dan ditinggalkan atau meninggalakn kamu.” Tanpa sadar
air mata Harlan menetes. “Sekarang aku berada dipersimpangan itu.”
“Aku tidak
meninggalkan kamu Harlan.” Kafa memeluk Harlan. Ini adalah Kafa melihat kali
kedua Harlan menangis. Pertama wakatu ayahnya meninggal.
“Jika aku menikah
memang akan membahagikan ibu. Disisi lain aku meninggalkanmu dan aku
ditinggalkan kamu.” Tangis Harlan terisak. Terdengar pilu.
Harlan mersa di ujung
persimpangan. Omongan tadi siang waktu bertemu dengan ibu telah membawa
perasaan yang dalam dalam diskusi malam ini. Harlan merasa tidak ada yang bisa
dipilih apakah ibunya atau Kafa, keduanya adalah orang yang sangat diciintai
meskipun dalam kapasitas yang berbeda.
“Kaf apa yang harus
aku lakukan?” tanya Harlan putus asa.
“Aku pun merasakan apa
yang kamu rasakan sepertimu,” bisik Kafa dengan lembut. Harlan masih ada di
pelukkan Kafa. “Memang saat ini adalah ujung dari memutuskan itu. Kita sudah tidak
muda lagi Har.” Kafa bukan menyelesaikan masalah tetapi semakin membuat rumit.
“Iya aku tahu itu Kaf.
Tapi harus bagaimana?”
Keduanya bingung,
nggak tau harus berbuat apa. Belum ada ide yang tersebesti di otak Kafa dan
Harlan. Mereka terdiam, memikirkan apa yang harus dilakukan.
“Kita menikah saja,”
cetus Kafa semangat.
“Aku sama kamu?” tanya
Harlan bingung. “Atau kita menikah sama perempuan?”
“Kita menikah sama
perempuan,” jawab Kafa cepat.
“Lalu hubungan kita?”
tanya Harlan masih bingung.
“Kita masih tetap
sebagai pasangan,” ujar Kafa lagi. “Mereka tidak menyuruh kita putuskan? “
Harlan tidak langsung
menjawab. Masih terpekur mempertimbangkan ide Kafa yang terdengar konyol. Kalau
bukan karena mencintai Kafa mungkin sudah dari dulu Harlan menikah.
“Ini bukan masalah
buku nikah saja Kaf,” Harlan mencoba menguraikan solusi yang Kafa ajukan. “Apa
kamu tega aku dijamah orang lain?”
Bibir Kafa monyong,
cemberut, membayangkan Harlan yang selama ini miliknya tiba-tiba harus
bercampur dengan perempuan. Kafa menggelengkan kepala dengan keras mencoba
menghilangkan bayangan Harlan sedang bersenggama dengna wanita.
“Ini bukan suatu
permainan anak kecil yang dimulai dengan mudah dan diakhiri begitu saja.”
Harlan memegang pundak Kafa dengan kedua tangannya. Harlan sedang memberi
pengertian pada Kafa. “Ini urusan hati Kaf. Kita nggak bisa membohongi orang lain
terutama diri kita sendiri.”
“Itu penyelesaian
masalah kita Har......” Kafa mengatakan dengan lugas. “Aku nggak merasa
ditinggalkan kamu selama kita masih bertemu. Permintaan orang tua kita hanya
menikah dengan perempuan.”
“Apa jadinya kalau aku
cinta beneran sama istriku?” tanya Harlan dengan ketus. “Lambat laun kamu
akanku tinggalkan tanpa aku sadari.”
“Aku ikhlas Har,” ucap
Kafa ragu. “Apa kamu bisa ikhlas jika aku nantinya mencintai istriku?” tanya
Kafa balik.
“Aku belum menyetujui
rencana ini. Jadi aku nggak bisa jawab apa aku ikhlas atau tidak. Sudah
jelaskan aku tidak mau berpisah,” ucapan Harlan keras dan tegas. “
“Kita tidak berpisah
Harlan,” ulang Kafa dengan ceria seakan memberi harpan menikahpun tidak akan
terjadi masalah apapun dalam hubungan percintaan sejenis.”Kalau kamu nggak
setuju lalu apa yang kita lakukan?” tanya Kafa lagi.
“Aku akan bawa kamu
pergi ke Amerika Serikat kita menikah di sana,” kali ini Harlan menjawab dengan
ragu dan sedikit bercanda.
“Setelah kita kembali
ke Indonesia, kertas akta pernikahan itu sama aja menjadi sampah,” nada Kafa
ketus sekali. Kafa sama sekali tidak menyetujui ide gila Harlan.
Harlan terdiam, kelakarnya
untuk mencairkan suasana tidak disambut baik oleh Kafa. Harlan sudah penat dan
buntuk untuk membahas masalah ini lagi. Kafa pun tampaknya sudah memuncak
emosinya karena dari tadi hanya memutar-mutar saja, tidak ada perkembangan
berarti.
“Ok. Kita sudahi saja
diskusi ini,” ujar Harlan sambil membelai lembut rambut Kafa agar tidak marah
lagi.
“Masalah ini belum
selesai,” timpal Kafa dengan ketus. “Masalah ini masih tetap pending.”
Mereka sepakat untuk
menunda ambil keputusan. Mereka sudah merasa mentok tidak tahu harus berbuat
apalagi. Pilihan yang sulit tidak bisa diputuskan dalam satu malam saja. Masih
ada hari lain untuk dipikirkan.
Harlan menarik Kafa
untuk kembali bersandar di bahunya. Tangannya membelai rambut Kafa yang lembut.
Kafa pun merasa nyaman seperti in, hanya ada kemesraan tidak adalagi
perdebatan. Seharunya malam ini dilalui seperti ini. Hangat. Romantis. Penuh
cinta.
“Kaf apa yang kamu
rasakan selama 10 tahun ini?” tanya Harlan berbisik.
“Aku merasa bahagia,”
jawab Kafa cepat.
“Bahagia seperti apa?”
tanya Harlan lagi.
Kafa memengang
pergelangan tangan Harlan yang sudah melingkar di perut Kafa untuk lebih
kencang. “Aku merasa lebih nyaman karena kamu setelah melindungiku.”
Harlan merasa senang
mendengar pernyataan seperti itu. Harlan semakin mengeratkan pelukan. Kumisnya
menusuk-nusuk pipi Kafa saat mencium mesra. “Kamu adalah orang yang kucinta
jadi pantas saja aku menjaga mu.”
“Lalu apa yang kamu
rasakan selama 10 tahun ini terhadap ku?” Kafa tanya balik ke Harlan.
“Aku merasa dihargai
sebagai manusia. Kamu membalas amarahku dengan tenang tidak balik menyerang.
Kamu menjadi pendengar setia ketika aku sedang menghadapi masalah. Kamu orang
yang paling tulus menciumku.”
Keduanya kembali berpagutan
mesra, mengungkapkan rasa cinta. Memang untuk menjalin suatu hubungan yang lama
adalah saling menghargai dan melengkapi. Mereka sudah banyak melewati masa-masa
susah, 10 tahun bukan waktu yang sebentar. Cinta mereka memang sudah mengakar.
“Mau berapa tahun lagi
kita akan merayakan anyversary?”
tanya Kafa mengehentikan acara cumbu mesra.
“Sampai....... habis
cintaku pada mu. Tetapi itu tidak mungkin karena stoknya masih banyak,” canda
Harlan kembali memagut bibir Kafa.
“Ada rencan apa
kedepan?” tanya Kafa menyudahi ciuman.
“Rencanaku terus
mencintaimu,” Harlan tersenyum manis.
“Bukan itu maksudku.”
Kafa mendengus kesal. “Apa kamu nggak mau anak?”
Harlan terdiam sejenak
memikirkan omongan Kafa, bukan sesuatu yang menohok tetapi itu pertanyaan
menggelitik hati. Bersama dengan Kafa pastinya tidak akan menghasilkan anak. Bisa
sih punya anak tetapi lewat adopsi, sedangankan di Indonesia belum
diperbolehkan adopsi anak dari pasangan Gay.
“Jadi kamu pilih aku
atau orang ibumu?” tanya Kafa kembali membahas masalah yang tadi belum
terselesaikan.
No comments:
Post a Comment