pic dari serial Like Love |
Halim dari tadi heran
melihat Utari bolak-bali dihadapannya. Wajah Utari pun tampak gelisah. Halim
punya firasat buruk jadi untuk lebih aman Halim lebih memilih tidak
menghiraukan kelakuan Utari.
Sudah lebih dari sejam
Utari tanpa bicara melakukan hal aneh, duduk depan Halim lalu memandang lekat
ingin mengatakan sesuatu tetapi membatalkan kemudian pergi menyibukkan diri.
Tidak lama kemudian datang lagi dengan kelakuan yang sama pula, berulang-ulang
kali.
Halim tidak mau
menegur karena sekalinya menyapa, ocehan Utari akan merepet kemana-mana belum
lagi volume suaranya bisa sampai lima oktaf dengan suara yang sumbang membuat
kepala serasa akan pecah. Halim sudah hafal betul kebiasaan istrinya bila
sedang senewen. Jika masalah yang dibahas fokus tidak mengapa, seringnya akan
menjadi panjang lebar.
“Kenapa kamu Utari?” akhirnya
Halim melontar pertanyaan itu karena sudah jengah dengan tatapan Utari yang
tampak menuduh.
“Nggak ada apa-apa,”
balas Utari sambil ngeloyor.
Halim kembali sibuk
dengan kerjaannya menulis naskah. Tidak ada waktu lagi untuk mengurusi Utari
yang sedang gelisah. Deadline sudah
menunggu apalagi produser sudah mengejar-ngejar. Akan tetapi kelakuan Utari
juga membuat kosentrasi Halim buyar.
“Dari tadi bolak-balik
terus ada apa?” Halim menanyakan kembali ketika Utari duduk di depannya.
“Nggak ada apa-apa,”
jawab Utari ragu dengan gelengan yang lemah. Matanya masih menatap Halim dengan
lekat.
“Jangan bohong.
Ngomong aja,” desak Halim yang sudah menghentikan aktifitas ngetik. “Bilang saja
jika ada masalah.”
Utari hanya mendengus
kesal lalu meninggalkan Halim yang melongo atas tingkah Utari. Di kamar Utari
mengambil beberapa foto dari kardus yang diterima dari pak Pos. Utari terpekur
memandang foto itu, hatinya terhenyak melihat kenyaatan pahit. Waktu ini yang
tepat untuk menuntaskan masalah.
Utari sudah di hadapan
Halim lagi sibuk mengetik. Hembusan nafas kuat dari Utari untuk membeluatkan
tekat. Plak....suara selembar foto yang sengaja dilempar Utari di meja.
“Ini siapa?” tanya Utari
dengan nada menyelidik dan galak.
Halim melongok ke arah
foto yang tergeletak di meja. Meski terkejut Halim berusaha tenang seakan bukan
masalah besar, padahal ini adalah ancam rumah tangga. Ada gambar dirinya dan
seorang pria ganteng tampak seumuran. Halim mengenal dia.
“Kamukan tahu dia,”
jawab tenang Halim tanpa menoleh Utari.
“Iya. Aku tahu dia
adalah Bara, artis, aku penggemar sinetronnya.
“Nah tuh tau....jadi
ngapain kamu tanya lagi.” Halim kembali berkutat dengan kesibukannya.
“Yang aku maksud,
hubungan kamu dengan Bara itu apa?” tanya Utari masih galak.
“Teman,” Halim
membalas dengan singkat dan berusaha datar agar Utari tidak menebak-nebak lagi.
Plakk!! Suara foto
yang menyentuh meja terdengar lagi. Tangan Utari masih menindih gambar. Halim
tidak bisa melihat gambar itu dengan jelas. Halim sudah pasrah apa yang akan
terjadi.
“Ini yang nama teman?”
Tangan Utari terangkat sehingga terlihat jelas foto Halim sedang bersandar di
bahu Bara degan mesra. “Mana ada cowok sama cowok yang ngakunya teman tetapi
terlihat mesra seperti itu,” ucap Utari sinis, matanya melotot.
“Sahabat,” ralat Halim
yang sudah berkeringat dingin. Halim melihat di tangan Utari masih ada foto
lagi. itu pasti senjata utamanya.
Mimik Utari semakin
sinis ada seulas senyum mengejek, matanyapun seakan memandang rendah suaminya.
“Sahabat?” tanya Utari mencari penegasan.
Foto terakhir sebagai
pamungkas melayang dan jatuh tepat di hadapan Halim. Begitu tergeletak di meja,
Halim tercenung melihat foto itu bergambar adegan mesra ciuman bibir. Halim dan
Bara sedang selfie berciuman setengah
bugil di depan cermin. Halim tidak dapat berkutik lagi melihat foto itu, Halim
pun tidak berani memandang Utari sudah pasti sedang membara hatinya.
“Kamu dapat dari
mana?” tanya Halim pelan dan hati-hati.
“Tadi siang ada pak
pos datang kesini kasih paket ini,” jawab Utari ketus.
Halim kembali diam
karena sudah merasa terpojok dan sudah jelas jadi tersangka kasus
perselingkuhan. Halim bukan selingkuh dengan wanita melainkan dengan pria bisa dikatakan
Halim adalah gay. Diamnya Halim membuat
Utari geram suaminya tidak berusa menyangkal atau mencoba meluruskan
permasalahan. Utari penasaran apa yang akan diucapkan Halim sebagai pembelaan.
“Kenapa kamu diam
saja?” tanya Utari penasaran sambil duduk di seberang Halim.
“Hhhmmmm,” Halim
menggumam ingin mengatakan sesuatu tetapi masih ragu. “Aku lagi bingung.”
“Bingung kenapa?”
Utari jadi ikut bingung. Halim yang biasanya langsung bisa menjelesakan
permasalahan malah bingung.
“Ya..... Rese aja tukang
posnya. Koq bisa ember banget gitu. Sudah tau itu rahasia orang koq dibeberin
juga. Maunya apa coba dia?” cerocos Halim mengkambing hitamkan tukang pos yang
tidak salah apa-apa. Belum lagi gaya ngomongnya macam ibu-ibu di pasar yang
sedang ngedumel sama penjual sayur.
Gubrag!! Utari
terperanjat kaget, dagu yang disangga tangan sampai lemas sehingga menjadi limbung,
hampir saja terjatuh. Utari mencoba bersikap tenang, mungkin ini hanyalah
strategi Halim untuk mengacaukan jalan pikiran. Maklum saja Halim adalah script writer pasti dia pandai berkilah,
membuat jalan cerita yang diinginkan.
“Jadi sejak kapan kamu
berhubungan dengan Bara?” Utari membuat topik baru dan tidak menghiraukan lagi
Halim yang menuduh tukang pos sebagai biang onar.
Halim menggaruk kepala
yang tidak gatal. Mencoba mengingat awal mula perjumpaan dengan Bara.
“Kira-kira empat tahun lalu sih.”
“Itu kamu sudah jadian
empat tahun lalu itu?” Utari kembali fokus mengintrogasi Halim.
“Empat tahun lalu
ketemunya. Tahu kan pas aku garap proyek filmnya dia yang judulnya Teman Pria
mencintai Lelaki,” Halim mulai menjelaskan awal pertemuannya. “Pas ketemu dia
OMG ganteng banget si Bara.”
“Emang ganteng,”
timpal Utari sambil membayangkan paras Bara yang blasteran Arab dan Bule.
“Awalnya aku cuek aja.
Eh dia malah deketin aku terus, katanya aku manis dan lucu.” Halim senyum
dengan bangga.
“Lanjutin lagi donk, skip langsung kamu jadian,” ujar Utari
layaknya ibu-ibu rumpik.
“Setelah proyek itu
kita masih sering ketemu karena PH ku sama dia sama. Eh tau-tau dia nembak pas
tiga tahun lalu.” Mata Halim semakin berbinar-binar.
“Icchhh bego dech....koq
mau-maunya dia sih pacaran sama orang jelek kayak kamu.” Mulut Utari monyong
karena iri suaminya mendapatkan lelaki yang terlihat sempurna secara fisik.
“Kamu lebih bego, sudah tahu aku jelek tapi
masih mau dinikahin juga,” celetuk Halim pelan tetapi terdengar juga oleh
Utari.
Mendengar ucapan Halim
membuat Utari sadar akan pokok permasalahan. Utari jadi meradang karena selama
ini Halim sudah selingkuh terlebih dulu dengan Bara. Dua tahun penrnikahan,
Halim bermain cumbu dengan Bara. Sempurna sekali Halim menutupi kebejatannya.
Utari pun jadi semakin terlihat bodoh, selama masa pacaran tidak mengetahui
kelakuan Halim.
“Selama ini kamu
selingkuh?” gertak Utari, matanya melotot. “Kamu tega Halim!!!” Utari berang
melihat Halim yang tampangnya lempeng saja.
“Aku nggak selingkuh
Utari,” bela Halim tenang. “Bara itu bukan selingkuhanku,” Halim mengatakan
tegas pada kata bukan.
“Lantas apa? Selama
ini kamu diam-diam berhubungan sama Bara. Apa itu bukan selingkuhan?” Utari
tidak memahami apa yang dikatakan suaminya. Apalagi dengan tegas menampik kalau
Halim tidak selingkuh.
Halim mengambil nafas
panjang untuk persiapan penjelasan yang lebih jelas. “Aku berhubungan dengan
Bara sebelum kita menikah. Jadi kamu yang jadi selingkuhan.” Tangan Halim
menunjuk-tunjuk ke arah Utari. Kali ini Halim berbalik ketus.
Bagi Halim, Utari
merupakan benalu hubungan antara Halim dengan Bara. Sekuat tenaga dan secerdik
akal Halim berusaha menutupi hubungannya dengan Bara di mata Utari dan lainnya.
Utari hadir disaat Halim bingung atas desakan orang tua yang menginginkan cepat
menikah.
“Kamu tega Halim!!”
pekik Utari frustasi. “Kamu mempermainkan aku dan memperalat ku!!” Derai air
mata membasahi pipi.
“Siapa yang tega?”
Halim ikut terpancing emosinya. “Kamu sendiri yang meminta untuk aku
menikahimu.”
“Gitu ya?” Utari malah
bingung sendiri mencoba mengingat kejadian lampau. “Mungkin waktu itu aku
khilaf.” Utari masih menjaga gengsinya.
“Waktu itu kamu datang
ke kostku sambil nangis abis dicampakkan oleh Naraya. Tiba-tiba saja kamu malah
melamar aku,” jelas Halim dengan santai. “Tadinya aku nggak yakin kamu serius.
Aku juga mikir nggak ada salahnya juga sih nikahin cewek mumpung ada yang mau
dan datang dengan sendirinya.”
Utari menghela nafas
panjang. Memikirkan kebodohannya di masa silam. Waktu itu memang fikirannya
sedang kacau tetapi sekarang baru menyadari ulahnya waktu lampau malah membuat
petaka kehidupan saat ini dan masa depan. Utari menghempaskan diri kepada
lelaki homo yang sekarang sudah jadi suaminya. Benar-benar bodoh dalam benak
Utari.
“Tetap saja kamu
memanfaatkan aku,” Utari menangis putus asa. Ucapannya juga terputus-putus.
“Aku tidak
memanfaatkan kamu Utari,” Halim mencoba berkilah kembali, dalam lubuk hatinya
juga merasa menyesal. “Aku menyukaimu juga tetapi maaf aku belum bisa
mencintaimu.”
“Gimanapun juga kamu
memperalatku, demi statusmu!” Meski sudah tidak melelehkan air mata. Suara
Utari masih terdengar tersendat.
“Terserah kamulah, aku
tidak mau mendebat. Meski terlihat kamuflase tetapi aku ikhlas menikahimu
Utari. Aku tidak tega melihat kamu terluka oleh lelaki brengsek itu,” Halim
mencoba menenangkan Utari dengan kata manis. “Semua lelaki itu sama, brengsek.
Aku juga pernah digutiun. Tingkahnya aja manis kayak kucing ke majikannya jika
ingin sesuatu,” gaya biacara Halim berubah kembali layaknya ibu-ibu sedang
rumpik di arisan. “Tapi aku malah didepak gitu aja kalau dia udah nggak mau
lagi.”
“Iya tuh bener. Aku
pikir Naraya bakal berebeda ternyata dia sama aja penjahatnya seperti Trianto,
Vabi dan lain-lain,” pandangan Utari kosong mengingat deretan nama
mantan-mantannya.
“Jadi aku lelaki yang
keberapa?” tanya Halim santai. “Aku inget, kalau kamu putus selalu aja larinya
ke aku. Meski Naraya yang terakhir aku inget ada Kiki, Jimah, Ian terus siapa
itu yang banyak jerawatnya?”
“Hhhmmm Alinski? Nggak
tau dech kamu keberapa. Tetapi kamu yang baik mau menerima aku apa adanya. Kamu
juga selalu bersedia jadi tempat sampahku dikala aku sedih. Kamu juga berani
langsung mengiyakan ketika aku minta dinakahin.” Utari memeluk Halim layaknya
seperti persahabatan antara kedua cewek. “Sayangnya kamu gay Hal.”
“Gini ya cinnn,” gaya
Halim berubah menjadi genit seperti para gay sedang rumpik, hebohnya ngelebihin
ibu-ibu arisan. “Ada ungkapan kalau cewek dan cowok sahabatan yang terbaik
adalah cowoknya gay karena nggak bakal cemburuan malah jadi kompak waktu
ngerumpiin cowok dan menggalau ria. Tapi bisa jambak-jambakkan juga sih rebutan
lakik”
Utari kembali teringat
masalah yang sekarang dihadapi. Pelukan hangat disudahi dengan paksa. Utari
melempr Halim begitu saja dan segera mengusap badannya seakan jijik telah
dipeluk oleh lelaki jorok. Arrgghhh!!! Utari masih merasa nggak habis fikir
telah dinikahi oleh lelaki gay macam Halim. Memang Halim baik tetapi hanya
sebagai sahabat saja.
“Aku nggak rela Hal.
Kamu selingkuhnya sama cowok.” Utari mengembalikan lagi pada pembahasan
selingkuh.
“Terserah kamu mau
menganggap aku selingkuh atau tidak,” Halim sudah merasa kesal permasalah ini
pasti akan memutar terus, sesuai dengan dugaannya.
“Aku rela
diselingkuhin sama cewek. Masa aku saingan sama cowo juga. Apa aku perlu
operasi plastik biar bisa ganteng macam dia?” Utari mendengus kesal.
“Aku mencintai dia
bukan karena ganteng,” jawab Halim enteng, hal itu untuk mengelabuhi Utari.
Padahal kegantengan Bara salah satu daya pikat yang membuat Halim suka. Ya
iyalah namanya juga aktor laga pasti ganteng dan gagah, nggak mungkin donk
disia-siakan begitu saja.
“Kamu jangan naif
Halim, orang begopun mau sama dia karena kegantengannya. Apalagi kamu masih
waras,” Utari masih nyerocos nggak jelas dan menganggap Halim telah berbohong,
mana ada cowo ganteng gitu disia-siakan.
“Kalau aku orang
pintar aku ke dukun buat pelet dia, puas!!” Halim menggentak Utari. Emosi Halim
sudah di puncak ubun-ubun.
Bagi Utari mending
Halim berslingkuh dengan cewek hal itu akan menjadi persaingan sehat. Utari
bisa termotifasi untuk tampil lebih cantik lagi. Selain itu Utari juga bisa
bisa lebih “menservice” Halim. Tetapi
ini malah saingan sama cowok, masa Utari mau dibikin ganteng, nggak mungkin
gitu juga kan.
“Aku nggak habis
fikir. Kamu pasti menyukai lelaki. Aku nggak tau harus bagaimaa bersaingnya,
dari rasa lubangnya juga sudah berbeda.” Utari makin frustasi.
“Siapa bilang aku nyicipin
lubangnya dia, salah!!! Aku itu bottom.”
Telunjuk Halim goyang kanan kiri di depan muka Utari, wajahnya juga penuh
kemenangan dan bangga. “Tau gak? Aku yang “dicucus” sama dia,” bisik Halim
seperti sedang bergosip dibumbui senyum bangga.
“Gitu ya?” Utari hanya
mangangguk. “Terus sakit gak?” Dahi Utari mengernyit membayangkan betapa
sakitnya bila yang dibelakang “ditusuk”.
“Awalnya aja sakit.
Lama-lama jadi enak banget.” Mata Halim berbinar-binar membayangkan saat
“bergumul” dengan Bara. Halim dan Utari cekikian bersama.
“Punya dia besar ya?”
tanya Utari penasaran. Sekarang malah jadi acara tukar informasi macam acara
bergosip ria.
“Nggak besar sih tapi service dia memuaskan banget. So hot!!” umbar Halim yang masih
terpesona dengan Bara yang pintar “bermain di ranjang”. Halim mengekspresikan gregetan,
tangannya mengepal dan matanya terperjap-perjap.
“Aduh jadi pengen
dech.....,” Utari merajuk sambil ngusel-ngusel Halim.
“Heh itu pacar gue!!” Halim
menepis Utari dengan galak.
Utari kembali tersadar
bahwa ini bukan acara gosip dengna kawan-kawannya. “Emang kamu siapa? Kamu juga
suami saya!! Jadi yang berhak pakai kamu adalah saya!” Nada suara Utari kembali
meninggi, terpancing kembali emosinya.
Sebenarnya Utari sudah
putus asa mengetahui ternyata suami yang sudah dua tahun dinikahi bukan “lelaki
sejati”. Bagi Utari yang orang awam menganggap role sex bottom tidak ada bedanya dengan dirinya yang wanita tulen.
Sungguh hati Utari tersayat-sayat, telah dinikahi oleh pria yang salah.
“Sudahlah aku tidak
ingin meneruskan lagi, aku capek” Utari menyerah pada diskusi yang menguras
tenaga dan emosi.
“Lalu mau kamu apa?”
tanya Halim untuk mengakhiri perdebatan. Halim sudah lega karena telah coming out pada istri bahwa dirinya gay.
“Entahlah....
bagiamanpun juga kamu masih suamiku, meskipun kamu lelaki gay.” ucap Utari
sangat merana.
“Nggak apa-apa aku gay
yang pentingkan nafkah lahir batin terpenuhi,” bisik Halim pelan. Halim pikir
perkataan itu bakal membuat Utari semakin tenang.
“Nafkah lahir memang
aku dapatkan. Tapi nafkah batin nggak tuh,” ujar Utari dengan nada mengejek.
“Setiap kali kita
bercinta kamu selalu oragasm kan? Apa itu tidak memuaskan?” Halim membela diri
bahwa dirinya bisa menjadi lelaki sejati.
“Pura-pura. Aku capek
ngeliat kamu berusaha biar “on”, jadi
mending cepat disudahi saja.” Ternyata Utari punya argument sendiri untuk menampik omongan Halim.
Permasalahan rumah
tangga tidak hanya urusan komitmen, bisa lebih dari itu termasuk urusan
ranjang. Sampai saat ini Halim dan Utari belum dikaruniai anak. Meski terdengar
sepele padahal ini sangat penting, gimana punya anak urusan ranjang aja nggak
becus. Selama ini Halim terpaksa melayani hasrat seks istrinya yang besar.
Tanpa sepengetahuan Utari, Halim meminum obat-obatan agar bisa “bangun”.
Sungguh nestapa menjadi pria gay.
Halim dan Utari duduk
terdiam sambil memikirkan rumah tangganya yang diambang kehancuran. Halim
memikirkan tidak bisa dijalani terus seperti ini, menjadi orang yang palsu
menyukai perempuan. Halim merasa sudah lelah terus berpura-pura. Tetapi Halim
juga tidak ingin mengakhiri pernikahannya, demi status pria sejati. Halim sudah
ikhlas ketika Bara minta putus, dan itu keputusan yang tepat untuk memulai
membangun rumah tangga yang normal. Utaripun sama memikirkan pernikahannya yang
telah teramat kecewa suaminya bukanlah “lelaki sejati”. Pernikahannya telah
berantakan tetapi tidak ingin diakhir begitu saja. Demi status wanita sempurna
punya keluarga kecil bahagia.
Bunyi bel tanda ada
tamu berkumandang dengan nyaring memecahkan keheningan, rumah yang suram. Halim
segera beranjak menemui tamu. Untunglah ada penyelamat tamu bisa sejenak
melupakan masalah yang sedang membelit, itu fikir Halim.
Halim membuka pintu
dan terkejut di hadapannya ada Bara. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Halim dengan
berbisik agar Utari tidak mendengarkan.
“Aku mau minta maaf,”
ucap Bara dengan tulus. “Aku nggak mau
putus sama kamu.” Bara memohon dengan menggenggam kedua tangan Halim.
“Sudahlah.... kamu
sendiri yang minta seperti itu putus. Kamu beralasan ingin menjaga reputasi,
aku hargai itu.” Halim mencoba jual mahal tidak ingin dianggap sebagai gay gampangan. Sikap itu juga ditunjukkan
sebagai rasa serius untuk menyelamatkan pernikhannya.
“Ternyata aku salah. You only one for me, aku tidak bisa
menemukan pria sebaik kamu Halim,” ucap Bara dengan iba.
Belum lama ini Bara
memutuskan Halim untuk menyelamatkan reputasinya sebagai aktor terkenal.
Infotaiment sudah mulai mengendus bahwa Bara adalah homoseksual. Demi karirnya
Bara mencampakkan Halim. Awalnya Halim tidak mau tetapi setelah dipikirkan
kembali mungkin itu keputusan yang baik untuk suatu perubahan besar bagi
dirinya.
“Ada siapa Halim?”
tanya Utari sambil mendekat. Belum sempat Halim menjawab, Utari sudah
mengetahui siapa yang datang.
Utari sempat tercenung
melihat kehadiran Bara di rumahnya. Halim segera menghempas genggaman tangan
Bara. Keduanyapun membeku melihat apa yang dilakukan Utari selanjutnya. Mereka
menyiapkan diri jika Utari menjadi kesetanan marah-marah. Mata Utari terlihat
garang, nafasnya juga tidak teratur, wajahnya merah padam seperti orang sedang
murka.
“Huaa......ada
Bara.....” Utari histeris sambil buru-buru menghampiri Bara. “Aku ngefans
banget loh sama mas Bara. Hampir semua sinetron aku tonton yang ada mas Bara.
Aslinya ganteng banget ya.” Utari menyubit pipi bara yang tepinya ditumbuhi
jenggot tipis.
Halim dan Bara
tercenung melihat tingkah Utari. Perkiraan mereka meleset, Utari malah girang
melihat kedatangan artis pujaannya. Utari merasa eksklusif karena ada artis
yang datang ke rumah meskipun artis itu yang menghancurkan rumah tangganya.
Acara terkagum-kagum
berakhir ketika Bara tersadar untuk menyelesaikan masalah. Bara menepiskan
tangan Utari yang masih meraba pipinya. “Halim.....jangan putuskan aku.” Bara
kembali mohon. “Empat tahun sudah kita lewat kamu tega mengakhiri begitu saja.”
“Tapi Bar...... kenapa
kamu melakukan itu disaat aku sudah mengikhlaskan kamu. Sekarang kamu hadir
lagi,” Halim mulai goyah pendiriannya.
Utari jadi sadar
kembali yang dihadapannya bukan lagi artis yang digemari melainkan lelaki yang
merebut suaminya. Wajah Utari kembali menjadi bengis siap mencabik-cabik Bara.
“Halim ini suamiku!!”
Utari menyela diantara Halim dan Bara tangannya terbentang seperti memberi
perlindungan pada Halim.
“Halim itu pacarku!!”
Bara jorogin Utari ke samping hingga Utari hampir terjatuh.
“Bukan!!! Dia itu
suamiku. Kamu tidak berhak mendapatkannya.” Utari menarik satu tangan Halim
yang terdekat.
“Aku lebih dulu
memacarinya jadi aku yang berhak mendapatkannya!!” Bara pun menarik tangan
Halim salah satunya.
Halim merasa terjebak
pada skenario yang pernah ditulis untuk sebuah sinetron. Saat ini memang sedang
terjadi adegan khas sinetron. Bila di layar kaca adegan dua wanita merebutkan
satu pria. Namun sekarang adegan itu wanita dan pria merebutkan satu pria.
Halim jadi bingung sendiri. Bara pria yang dicintai selama empat tahun, sudah
banyak kenangan indah yang dilewatkan. Sedangkan Utari adalah masa depannya.
Badan Halim terhuyung ke kanan dan ke kiri mengikuti tarikan Utari dan Bara.
Tangan Halim
menghempaskan cekalan Bara dan Utari. Kedua orang itu terpaku melihat mimik
Halim yang terlihat murka. Baru kali ini mereka melihat Halim pasang muka
horor. “Sudahlah kalian nggak usah ribut
terus,” pekik Halim semakin mengaggetkan Bara dan Utari.
“Kamu harus pilih?”
desak Bara.
“Aku atau dia?” tambah
Utari sambil menunjuk Bara.
“Arrghhh aku pusing.”
Halim menepuk keningnya sendiri bingung memilih diantara keduanya. “Terseraah
kalianlah kalau mau berantem. Aku pusing kerjaan belum kelar.” Halim ngeloyor
masuk ke dalam rumah untuk kembali menyelesaikan pekerjaan.
Utari dan Bara hanya
bisa bengong melihat Halim yang meninggalkan keputusan untuk memilih salah satu
diantara Utari dan Halim. Fikiran Halim melayang sebenarnya sinetron yang
terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, atau kehidupan sehari-hari yang
mencontek sinetron?
TAMAT
No comments:
Post a Comment