Saturday 25 July 2015

Cerpen: Kamu atau Dia?

pic dari serial Like Love

Halim dari tadi heran melihat Utari bolak-bali dihadapannya. Wajah Utari pun tampak gelisah. Halim punya firasat buruk jadi untuk lebih aman Halim lebih memilih tidak menghiraukan kelakuan Utari.

Sudah lebih dari sejam Utari tanpa bicara melakukan hal aneh, duduk depan Halim lalu memandang lekat ingin mengatakan sesuatu tetapi membatalkan kemudian pergi menyibukkan diri. Tidak lama kemudian datang lagi dengan kelakuan yang sama pula, berulang-ulang kali.

Halim tidak mau menegur karena sekalinya menyapa, ocehan Utari akan merepet kemana-mana belum lagi volume suaranya bisa sampai lima oktaf dengan suara yang sumbang membuat kepala serasa akan pecah. Halim sudah hafal betul kebiasaan istrinya bila sedang senewen. Jika masalah yang dibahas fokus tidak mengapa, seringnya akan menjadi panjang lebar.

“Kenapa kamu Utari?” akhirnya Halim melontar pertanyaan itu karena sudah jengah dengan tatapan Utari yang tampak menuduh.
“Nggak ada apa-apa,” balas Utari sambil ngeloyor.

Halim kembali sibuk dengan kerjaannya menulis naskah. Tidak ada waktu lagi untuk mengurusi Utari yang sedang gelisah. Deadline sudah menunggu apalagi produser sudah mengejar-ngejar. Akan tetapi kelakuan Utari juga membuat kosentrasi Halim buyar.

“Dari tadi bolak-balik terus ada apa?” Halim menanyakan kembali ketika Utari duduk di depannya.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Utari ragu dengan gelengan yang lemah. Matanya masih menatap Halim dengan lekat.
“Jangan bohong. Ngomong aja,” desak Halim yang sudah menghentikan aktifitas ngetik. “Bilang saja jika ada masalah.”

Utari hanya mendengus kesal lalu meninggalkan Halim yang melongo atas tingkah Utari. Di kamar Utari mengambil beberapa foto dari kardus yang diterima dari pak Pos. Utari terpekur memandang foto itu, hatinya terhenyak melihat kenyaatan pahit. Waktu ini yang tepat untuk menuntaskan masalah.

Utari sudah di hadapan Halim lagi sibuk mengetik. Hembusan nafas kuat dari Utari untuk membeluatkan tekat. Plak....suara selembar foto yang sengaja dilempar Utari di meja.

“Ini siapa?” tanya Utari dengan nada menyelidik dan galak.

Halim melongok ke arah foto yang tergeletak di meja. Meski terkejut Halim berusaha tenang seakan bukan masalah besar, padahal ini adalah ancam rumah tangga. Ada gambar dirinya dan seorang pria ganteng tampak seumuran. Halim mengenal dia.

“Kamukan tahu dia,” jawab tenang Halim tanpa menoleh Utari.
“Iya. Aku tahu dia adalah Bara, artis, aku penggemar sinetronnya.
“Nah tuh tau....jadi ngapain kamu tanya lagi.” Halim kembali berkutat dengan kesibukannya.
“Yang aku maksud, hubungan kamu dengan Bara itu apa?” tanya Utari masih galak.
“Teman,” Halim membalas dengan singkat dan berusaha datar agar Utari tidak menebak-nebak lagi.

Plakk!! Suara foto yang menyentuh meja terdengar lagi. Tangan Utari masih menindih gambar. Halim tidak bisa melihat gambar itu dengan jelas. Halim sudah pasrah apa yang akan terjadi.

“Ini yang nama teman?” Tangan Utari terangkat sehingga terlihat jelas foto Halim sedang bersandar di bahu Bara degan mesra. “Mana ada cowok sama cowok yang ngakunya teman tetapi terlihat mesra seperti itu,” ucap Utari sinis, matanya melotot.
“Sahabat,” ralat Halim yang sudah berkeringat dingin. Halim melihat di tangan Utari masih ada foto lagi. itu pasti senjata utamanya.
Mimik Utari semakin sinis ada seulas senyum mengejek, matanyapun seakan memandang rendah suaminya. “Sahabat?” tanya Utari mencari penegasan.

Foto terakhir sebagai pamungkas melayang dan jatuh tepat di hadapan Halim. Begitu tergeletak di meja, Halim tercenung melihat foto itu bergambar adegan mesra ciuman bibir. Halim dan Bara sedang selfie berciuman setengah bugil di depan cermin. Halim tidak dapat berkutik lagi melihat foto itu, Halim pun tidak berani memandang Utari sudah pasti sedang membara hatinya.

“Kamu dapat dari mana?” tanya Halim pelan dan hati-hati.
“Tadi siang ada pak pos datang kesini kasih paket ini,” jawab Utari ketus.

Halim kembali diam karena sudah merasa terpojok dan sudah jelas jadi tersangka kasus perselingkuhan. Halim bukan selingkuh dengan wanita melainkan dengan pria bisa dikatakan Halim adalah gay. Diamnya Halim  membuat Utari geram suaminya tidak berusa menyangkal atau mencoba meluruskan permasalahan. Utari penasaran apa yang akan diucapkan Halim sebagai pembelaan.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Utari penasaran sambil duduk di seberang Halim.
“Hhhmmmm,” Halim menggumam ingin mengatakan sesuatu tetapi masih ragu. “Aku lagi bingung.”
“Bingung kenapa?” Utari jadi ikut bingung. Halim yang biasanya langsung bisa menjelesakan permasalahan malah bingung.
“Ya..... Rese aja tukang posnya. Koq bisa ember banget gitu. Sudah tau itu rahasia orang koq dibeberin juga. Maunya apa coba dia?” cerocos Halim mengkambing hitamkan tukang pos yang tidak salah apa-apa. Belum lagi gaya ngomongnya macam ibu-ibu di pasar yang sedang ngedumel sama penjual sayur.

Gubrag!! Utari terperanjat kaget, dagu yang disangga tangan sampai lemas sehingga menjadi limbung, hampir saja terjatuh. Utari mencoba bersikap tenang, mungkin ini hanyalah strategi Halim untuk mengacaukan jalan pikiran. Maklum saja Halim adalah script writer pasti dia pandai berkilah, membuat jalan cerita yang diinginkan.

“Jadi sejak kapan kamu berhubungan dengan Bara?” Utari membuat topik baru dan tidak menghiraukan lagi Halim yang menuduh tukang pos sebagai biang onar.
Halim menggaruk kepala yang tidak gatal. Mencoba mengingat awal mula perjumpaan dengan Bara. “Kira-kira empat tahun lalu sih.”
“Itu kamu sudah jadian empat tahun lalu itu?” Utari kembali fokus mengintrogasi Halim.
“Empat tahun lalu ketemunya. Tahu kan pas aku garap proyek filmnya dia yang judulnya Teman Pria mencintai Lelaki,” Halim mulai menjelaskan awal pertemuannya. “Pas ketemu dia OMG ganteng banget si Bara.”
“Emang ganteng,” timpal Utari sambil membayangkan paras Bara yang blasteran Arab dan Bule.
“Awalnya aku cuek aja. Eh dia malah deketin aku terus, katanya aku manis dan lucu.” Halim senyum dengan bangga.
“Lanjutin lagi donk, skip langsung kamu jadian,” ujar Utari layaknya ibu-ibu rumpik.
“Setelah proyek itu kita masih sering ketemu karena PH ku sama dia sama. Eh tau-tau dia nembak pas tiga tahun lalu.” Mata Halim semakin berbinar-binar.
“Icchhh bego dech....koq mau-maunya dia sih pacaran sama orang jelek kayak kamu.” Mulut Utari monyong karena iri suaminya mendapatkan lelaki yang terlihat sempurna secara fisik.
 “Kamu lebih bego, sudah tahu aku jelek tapi masih mau dinikahin juga,” celetuk Halim pelan tetapi terdengar juga oleh Utari.

Mendengar ucapan Halim membuat Utari sadar akan pokok permasalahan. Utari jadi meradang karena selama ini Halim sudah selingkuh terlebih dulu dengan Bara. Dua tahun penrnikahan, Halim bermain cumbu dengan Bara. Sempurna sekali Halim menutupi kebejatannya. Utari pun jadi semakin terlihat bodoh, selama masa pacaran tidak mengetahui kelakuan Halim.

“Selama ini kamu selingkuh?” gertak Utari, matanya melotot. “Kamu tega Halim!!!” Utari berang melihat Halim yang tampangnya lempeng saja.
“Aku nggak selingkuh Utari,” bela Halim tenang. “Bara itu bukan selingkuhanku,” Halim mengatakan tegas pada kata bukan.
“Lantas apa? Selama ini kamu diam-diam berhubungan sama Bara. Apa itu bukan selingkuhan?” Utari tidak memahami apa yang dikatakan suaminya. Apalagi dengan tegas menampik kalau Halim tidak selingkuh.
Halim mengambil nafas panjang untuk persiapan penjelasan yang lebih jelas. “Aku berhubungan dengan Bara sebelum kita menikah. Jadi kamu yang jadi selingkuhan.” Tangan Halim menunjuk-tunjuk ke arah Utari. Kali ini Halim berbalik ketus.

Bagi Halim, Utari merupakan benalu hubungan antara Halim dengan Bara. Sekuat tenaga dan secerdik akal Halim berusaha menutupi hubungannya dengan Bara di mata Utari dan lainnya. Utari hadir disaat Halim bingung atas desakan orang tua yang menginginkan cepat menikah.

“Kamu tega Halim!!” pekik Utari frustasi. “Kamu mempermainkan aku dan memperalat ku!!” Derai air mata membasahi pipi.
“Siapa yang tega?” Halim ikut terpancing emosinya. “Kamu sendiri yang meminta untuk aku menikahimu.”
“Gitu ya?” Utari malah bingung sendiri mencoba mengingat kejadian lampau. “Mungkin waktu itu aku khilaf.” Utari masih menjaga gengsinya.
“Waktu itu kamu datang ke kostku sambil nangis abis dicampakkan oleh Naraya. Tiba-tiba saja kamu malah melamar aku,” jelas Halim dengan santai. “Tadinya aku nggak yakin kamu serius. Aku juga mikir nggak ada salahnya juga sih nikahin cewek mumpung ada yang mau dan datang dengan sendirinya.”
Utari menghela nafas panjang. Memikirkan kebodohannya di masa silam. Waktu itu memang fikirannya sedang kacau tetapi sekarang baru menyadari ulahnya waktu lampau malah membuat petaka kehidupan saat ini dan masa depan. Utari menghempaskan diri kepada lelaki homo yang sekarang sudah jadi suaminya. Benar-benar bodoh dalam benak Utari.

“Tetap saja kamu memanfaatkan aku,” Utari menangis putus asa. Ucapannya juga terputus-putus.
“Aku tidak memanfaatkan kamu Utari,” Halim mencoba berkilah kembali, dalam lubuk hatinya juga merasa menyesal. “Aku menyukaimu juga tetapi maaf aku belum bisa mencintaimu.”
“Gimanapun juga kamu memperalatku, demi statusmu!” Meski sudah tidak melelehkan air mata. Suara Utari masih terdengar tersendat.
“Terserah kamulah, aku tidak mau mendebat. Meski terlihat kamuflase tetapi aku ikhlas menikahimu Utari. Aku tidak tega melihat kamu terluka oleh lelaki brengsek itu,” Halim mencoba menenangkan Utari dengan kata manis. “Semua lelaki itu sama, brengsek. Aku juga pernah digutiun. Tingkahnya aja manis kayak kucing ke majikannya jika ingin sesuatu,” gaya biacara Halim berubah kembali layaknya ibu-ibu sedang rumpik di arisan. “Tapi aku malah didepak gitu aja kalau dia udah nggak mau lagi.”
“Iya tuh bener. Aku pikir Naraya bakal berebeda ternyata dia sama aja penjahatnya seperti Trianto, Vabi dan lain-lain,” pandangan Utari kosong mengingat deretan nama mantan-mantannya.
“Jadi aku lelaki yang keberapa?” tanya Halim santai. “Aku inget, kalau kamu putus selalu aja larinya ke aku. Meski Naraya yang terakhir aku inget ada Kiki, Jimah, Ian terus siapa itu yang banyak jerawatnya?”
“Hhhmmm Alinski? Nggak tau dech kamu keberapa. Tetapi kamu yang baik mau menerima aku apa adanya. Kamu juga selalu bersedia jadi tempat sampahku dikala aku sedih. Kamu juga berani langsung mengiyakan ketika aku minta dinakahin.” Utari memeluk Halim layaknya seperti persahabatan antara kedua cewek. “Sayangnya kamu gay Hal.”
“Gini ya cinnn,” gaya Halim berubah menjadi genit seperti para gay sedang rumpik, hebohnya ngelebihin ibu-ibu arisan. “Ada ungkapan kalau cewek dan cowok sahabatan yang terbaik adalah cowoknya gay karena nggak bakal cemburuan malah jadi kompak waktu ngerumpiin cowok dan menggalau ria. Tapi bisa jambak-jambakkan juga sih rebutan lakik”

Utari kembali teringat masalah yang sekarang dihadapi. Pelukan hangat disudahi dengan paksa. Utari melempr Halim begitu saja dan segera mengusap badannya seakan jijik telah dipeluk oleh lelaki jorok. Arrgghhh!!! Utari masih merasa nggak habis fikir telah dinikahi oleh lelaki gay macam Halim. Memang Halim baik tetapi hanya sebagai sahabat saja.

“Aku nggak rela Hal. Kamu selingkuhnya sama cowok.” Utari mengembalikan lagi pada pembahasan selingkuh.
“Terserah kamu mau menganggap aku selingkuh atau tidak,” Halim sudah merasa kesal permasalah ini pasti akan memutar terus, sesuai dengan dugaannya.
“Aku rela diselingkuhin sama cewek. Masa aku saingan sama cowo juga. Apa aku perlu operasi plastik biar bisa ganteng macam dia?” Utari mendengus kesal.
“Aku mencintai dia bukan karena ganteng,” jawab Halim enteng, hal itu untuk mengelabuhi Utari. Padahal kegantengan Bara salah satu daya pikat yang membuat Halim suka. Ya iyalah namanya juga aktor laga pasti ganteng dan gagah, nggak mungkin donk disia-siakan begitu saja.
“Kamu jangan naif Halim, orang begopun mau sama dia karena kegantengannya. Apalagi kamu masih waras,” Utari masih nyerocos nggak jelas dan menganggap Halim telah berbohong, mana ada cowo ganteng gitu disia-siakan.
“Kalau aku orang pintar aku ke dukun buat pelet dia, puas!!” Halim menggentak Utari. Emosi Halim sudah di puncak ubun-ubun.

Bagi Utari mending Halim berslingkuh dengan cewek hal itu akan menjadi persaingan sehat. Utari bisa termotifasi untuk tampil lebih cantik lagi. Selain itu Utari juga bisa bisa lebih “menservice” Halim. Tetapi ini malah saingan sama cowok, masa Utari mau dibikin ganteng, nggak mungkin gitu juga kan.

“Aku nggak habis fikir. Kamu pasti menyukai lelaki. Aku nggak tau harus bagaimaa bersaingnya, dari rasa lubangnya juga sudah berbeda.” Utari makin frustasi.
“Siapa bilang aku nyicipin lubangnya dia, salah!!! Aku itu bottom.” Telunjuk Halim goyang kanan kiri di depan muka Utari, wajahnya juga penuh kemenangan dan bangga. “Tau gak? Aku yang “dicucus” sama dia,” bisik Halim seperti sedang bergosip dibumbui senyum bangga.
“Gitu ya?” Utari hanya mangangguk. “Terus sakit gak?” Dahi Utari mengernyit membayangkan betapa sakitnya bila yang dibelakang “ditusuk”.
“Awalnya aja sakit. Lama-lama jadi enak banget.” Mata Halim berbinar-binar membayangkan saat “bergumul” dengan Bara. Halim dan Utari cekikian bersama.
“Punya dia besar ya?” tanya Utari penasaran. Sekarang malah jadi acara tukar informasi macam acara bergosip ria.
“Nggak besar sih tapi service dia memuaskan banget. So hot!!” umbar Halim yang masih terpesona dengan Bara yang pintar “bermain di ranjang”. Halim mengekspresikan gregetan, tangannya mengepal dan matanya terperjap-perjap.
“Aduh jadi pengen dech.....,” Utari merajuk sambil ngusel-ngusel Halim.
“Heh itu pacar gue!!” Halim menepis Utari dengan galak.
Utari kembali tersadar bahwa ini bukan acara gosip dengna kawan-kawannya. “Emang kamu siapa? Kamu juga suami saya!! Jadi yang berhak pakai kamu adalah saya!” Nada suara Utari kembali meninggi, terpancing kembali emosinya.

Sebenarnya Utari sudah putus asa mengetahui ternyata suami yang sudah dua tahun dinikahi bukan “lelaki sejati”. Bagi Utari yang orang awam menganggap role sex bottom tidak ada bedanya dengan dirinya yang wanita tulen. Sungguh hati Utari tersayat-sayat, telah dinikahi oleh pria yang salah.

“Sudahlah aku tidak ingin meneruskan lagi, aku capek” Utari menyerah pada diskusi yang menguras tenaga dan emosi.
“Lalu mau kamu apa?” tanya Halim untuk mengakhiri perdebatan. Halim sudah lega karena telah coming out pada istri bahwa dirinya gay.
“Entahlah.... bagiamanpun juga kamu masih suamiku, meskipun kamu lelaki gay.” ucap Utari sangat merana.
“Nggak apa-apa aku gay yang pentingkan nafkah lahir batin terpenuhi,” bisik Halim pelan. Halim pikir perkataan itu bakal membuat Utari semakin tenang.
“Nafkah lahir memang aku dapatkan. Tapi nafkah batin nggak tuh,” ujar Utari dengan nada mengejek.
“Setiap kali kita bercinta kamu selalu oragasm kan? Apa itu tidak memuaskan?” Halim membela diri bahwa dirinya bisa menjadi lelaki sejati.
“Pura-pura. Aku capek ngeliat kamu berusaha biar “on”, jadi mending cepat disudahi saja.” Ternyata Utari punya argument sendiri untuk menampik omongan Halim.

Permasalahan rumah tangga tidak hanya urusan komitmen, bisa lebih dari itu termasuk urusan ranjang. Sampai saat ini Halim dan Utari belum dikaruniai anak. Meski terdengar sepele padahal ini sangat penting, gimana punya anak urusan ranjang aja nggak becus. Selama ini Halim terpaksa melayani hasrat seks istrinya yang besar. Tanpa sepengetahuan Utari, Halim meminum obat-obatan agar bisa “bangun”. Sungguh nestapa menjadi pria gay.

Halim dan Utari duduk terdiam sambil memikirkan rumah tangganya yang diambang kehancuran. Halim memikirkan tidak bisa dijalani terus seperti ini, menjadi orang yang palsu menyukai perempuan. Halim merasa sudah lelah terus berpura-pura. Tetapi Halim juga tidak ingin mengakhiri pernikahannya, demi status pria sejati. Halim sudah ikhlas ketika Bara minta putus, dan itu keputusan yang tepat untuk memulai membangun rumah tangga yang normal.  Utaripun sama memikirkan pernikahannya yang telah teramat kecewa suaminya bukanlah “lelaki sejati”. Pernikahannya telah berantakan tetapi tidak ingin diakhir begitu saja. Demi status wanita sempurna punya keluarga kecil bahagia.

Bunyi bel tanda ada tamu berkumandang dengan nyaring memecahkan keheningan, rumah yang suram. Halim segera beranjak menemui tamu. Untunglah ada penyelamat tamu bisa sejenak melupakan masalah yang sedang membelit, itu fikir Halim.

Halim membuka pintu dan terkejut di hadapannya ada Bara. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Halim dengan berbisik agar Utari tidak mendengarkan.
“Aku mau minta maaf,” ucap Bara dengan tulus.  “Aku nggak mau putus sama kamu.” Bara memohon dengan menggenggam kedua tangan Halim.
“Sudahlah.... kamu sendiri yang minta seperti itu putus. Kamu beralasan ingin menjaga reputasi, aku hargai itu.” Halim mencoba jual mahal tidak ingin dianggap sebagai  gay gampangan. Sikap itu juga ditunjukkan sebagai rasa serius untuk menyelamatkan pernikhannya.
“Ternyata aku salah. You only one for me, aku tidak bisa menemukan pria sebaik kamu Halim,” ucap Bara dengan iba.

Belum lama ini Bara memutuskan Halim untuk menyelamatkan reputasinya sebagai aktor terkenal. Infotaiment sudah mulai mengendus bahwa Bara adalah homoseksual. Demi karirnya Bara mencampakkan Halim. Awalnya Halim tidak mau tetapi setelah dipikirkan kembali mungkin itu keputusan yang baik untuk suatu perubahan besar bagi dirinya.

“Ada siapa Halim?” tanya Utari sambil mendekat. Belum sempat Halim menjawab, Utari sudah mengetahui siapa yang datang.

Utari sempat tercenung melihat kehadiran Bara di rumahnya. Halim segera menghempas genggaman tangan Bara. Keduanyapun membeku melihat apa yang dilakukan Utari selanjutnya. Mereka menyiapkan diri jika Utari menjadi kesetanan marah-marah. Mata Utari terlihat garang, nafasnya juga tidak teratur, wajahnya merah padam seperti orang sedang murka.

“Huaa......ada Bara.....” Utari histeris sambil buru-buru menghampiri Bara. “Aku ngefans banget loh sama mas Bara. Hampir semua sinetron aku tonton yang ada mas Bara. Aslinya ganteng banget ya.” Utari menyubit pipi bara yang tepinya ditumbuhi jenggot tipis.

Halim dan Bara tercenung melihat tingkah Utari. Perkiraan mereka meleset, Utari malah girang melihat kedatangan artis pujaannya. Utari merasa eksklusif karena ada artis yang datang ke rumah meskipun artis itu yang menghancurkan rumah tangganya.

Acara terkagum-kagum berakhir ketika Bara tersadar untuk menyelesaikan masalah. Bara menepiskan tangan Utari yang masih meraba pipinya. “Halim.....jangan putuskan aku.” Bara kembali mohon. “Empat tahun sudah kita lewat kamu tega mengakhiri begitu saja.”
“Tapi Bar...... kenapa kamu melakukan itu disaat aku sudah mengikhlaskan kamu. Sekarang kamu hadir lagi,” Halim mulai goyah pendiriannya.

Utari jadi sadar kembali yang dihadapannya bukan lagi artis yang digemari melainkan lelaki yang merebut suaminya. Wajah Utari kembali menjadi bengis siap mencabik-cabik Bara.

“Halim ini suamiku!!” Utari menyela diantara Halim dan Bara tangannya terbentang seperti memberi perlindungan pada Halim.
“Halim itu pacarku!!” Bara jorogin Utari ke samping hingga Utari hampir terjatuh.
“Bukan!!! Dia itu suamiku. Kamu tidak berhak mendapatkannya.” Utari menarik satu tangan Halim yang terdekat.
“Aku lebih dulu memacarinya jadi aku yang berhak mendapatkannya!!” Bara pun menarik tangan Halim salah satunya.

Halim merasa terjebak pada skenario yang pernah ditulis untuk sebuah sinetron. Saat ini memang sedang terjadi adegan khas sinetron. Bila di layar kaca adegan dua wanita merebutkan satu pria. Namun sekarang adegan itu wanita dan pria merebutkan satu pria. Halim jadi bingung sendiri. Bara pria yang dicintai selama empat tahun, sudah banyak kenangan indah yang dilewatkan. Sedangkan Utari adalah masa depannya. Badan Halim terhuyung ke kanan dan ke kiri mengikuti tarikan Utari dan Bara.

Tangan Halim menghempaskan cekalan Bara dan Utari. Kedua orang itu terpaku melihat mimik Halim yang terlihat murka. Baru kali ini mereka melihat Halim pasang muka horor.  “Sudahlah kalian nggak usah ribut terus,” pekik Halim semakin mengaggetkan Bara dan Utari.
“Kamu harus pilih?” desak Bara.
“Aku atau dia?” tambah Utari sambil menunjuk Bara.
“Arrghhh aku pusing.” Halim menepuk keningnya sendiri bingung memilih diantara keduanya. “Terseraah kalianlah kalau mau berantem. Aku pusing kerjaan belum kelar.” Halim ngeloyor masuk ke dalam rumah untuk kembali menyelesaikan pekerjaan.

Utari dan Bara hanya bisa bengong melihat Halim yang meninggalkan keputusan untuk memilih salah satu diantara Utari dan Halim. Fikiran Halim melayang sebenarnya sinetron yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, atau kehidupan sehari-hari yang mencontek sinetron?


TAMAT

No comments: