Thursday 23 July 2015

Coming Out

pic dari screen shoot serial Conq

Kuliah siang ini gue semangat banget karena bakal ketemu lagi sama dosen kece macam mas Jajang. Kita panggil mas emang maunya dia yang masih sok berjiwa muda. Sebenernya dia beneran masih muda, kelihatan lakik dengan potongan rambut cepak, jelana denim sedikit sobek di lutut dan kemeja pas bada, bisa bayanginkan niple dia tercetak jelas. Dia emang dosen Antropologi yang suka bertualang di pedalaman Indonesia. Setiap gue masuk kelas yang ada gue ngebayangin ikut bertualang bareng dia, bisa mandi di kali kecil yang jernih, tidur berdua di tenda yang sempit, dan aktifitas “outdoor” lainnya. Kelas ini pula membuat gue melupakan sejenak kegagahan aa Iw.

Setelah ngikutin kelas yang bikin horny dan butung (kenyang akibat minum) nelen air ludah gara-gara liat niple mas Jajang gue dan Bin mampir kantin. Nggak cuma berdua sih, ada pula Nad sahabat pere (perempuan) kita yang sudah anoying dengan kehomoan kita. Gue nggak ngerti dia antara menerima atau nggak, abisnya dia suka kelewat kepo tentang aktifitas homo dia juga doyan ngejudge kalo homo itu bla bla, sudahlah biarkan Nad berkreasi. Sebenernya masih ada 3 pere yang jadi sahabat kita lagi tetapi mereka nggak ikut gabung karena sedang sibuk filtring mas Jajang. Ban juga hadir loh, dia udah di kantin dari tadi karena tadi dia abis nemuin HTS (hubungan tanpa status)annya.

Seperti biasa gue langsung pesan tempe dan telor penyet tambah nasi dan air putih, maklum akhir bulan, perlu penghematan ektra ketat. Siang ini kantin cukup penuh diisi oleh mahasiswa yang sedang kelaparan dan kegantengan macam Bin yang terbar pesona senyum sana sini. 

“Eh ada gosip hot fresh from biang gosip Mada,” ucap Nad dengan suara lirih. Membuat kita saling mendekat agar bisa mendengar berita lebih jelas. “Kalian tau Dee kan? Anak kelas B.” Nad memberi prolog terlebih dahulu. Gue dan Bin langsung mengangguk sedang Ban menggeleng karena dia emang nggak kenal. “Dia ternyata gay!” bisik Nad tetapi dengan ekspresi dihebohkan.

Gue dan Bin langsung menjauh lagi kembali pada posisi duduk normal. Itu adalah berita basi, sumpah nggak update banget. Ban masih saja melekat pada wajah Nad karena dia masih interest sama gosip yang menurut Nad itu masih fresh. Sebeneranya Ban lebih tertarik siapa itu si Dee, cowok macam apakah? Bisa diprospek untuk jadi pacar atau nggak.

“Itu kabar kadaluarsa Nad,” ucap gue dengan santai sambil menyomot tempe panas.
“Dari pertama gue masukpun gue udah tau dia jenis lekong sekong,” cibir Bin dengan bangga gaydarnya yang kuat.
 “Tapi kalian belum tau kan kalau tadi pagi dia coming out,” Nad memberikan suatu berita yang emang hot. Gue dan Bin kembali mendekati Nad yang kali ini tampak puas membuat kita penasaran. “Dia bikin status “I’am a Gay” di Facebook, Path, Insta dan Twitter.”
“Gila juga ya tuh anak secara gamblang ngakuin kalau dirinya gay,” cetus Ban agak terpesona dengan keberanian Dee.
 “Terus sekarang Dee mana? gue jadi pengen introgasi,” kali ini Bin jadi antusias untuk melengkapi gosip ang setengah matang.
“Eh iya kenapa dia bisa coming out ya?” Ban masih terpesona atas keberanian Dee.

Biar gue jelasin dulu apa makna dari coming out, yaitu elo mendeklarasikan “I’Am A Gay” kehadapan khalayak umum. Intinya adalah elu sudah nggak malu-malu atau menyembunyikan kehomoan elu di masyarakat atau dari orang sekitar elu. Caranya bisa bikin pengumuman di sosmed yang  elu punya. Mau lebih ekstrim juga boleh elu pakai TOA terus berorasi kalau elu bangga jadi gay di perempatan jalan, dijamin elu bisa rajam sama ormas anarkis. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani coming out.

“Terus kalian kapan mau coming out?” tanya Nad dengan enteng
“Nggak usah coming outpun sebenernya orang-orang sudah tahu kalau Bin itu homo,” gue nyentil Bin dengan nada mengejek.
“Bener banget tuh, elu tuh ya Bin diem aja orang sudah ngira elu homo,” tuduh Nad  dengan senyum puas. “Coba aja elu tanya siapa aja yang disekitar elu, pasti merekapun akan menebak emang gay.”
“Gaya mu loh yang so binan,” tambah Nad cuek sambil nyeruput jus apel.
“Emang ada yang salah ya sama gaya gue?” Bin memperhatikan badan sendiri, wajahnyapun ikut bingung.
“Dari baju aja sudah rainbow gitu warna warni cetar. Belum lagi pakai tas besar dicangklong dengan ketiak elo kayak ibu-ibu sedang ngempit dompet jalan-jalan di pasar.” Gue menunjuk apa yang melekat pada diri Bin. Ban dan Nad cuma senyum-senyum geli.
“Elu kalau ngomong sudah heboh,” imbuh Nad sambil bergaya ngondek.
“ Koq jadi gue yang objek penderita,” keluh Bin kesal pada gue dan Nad.

Kalau elu perhatikan Bin lagi diem aja deh pasti yang punya gaydar kenceng sudah langsung menebak kalau Bin itu homo. Orang-orang straightpun bisa mengaggap kalau Bin itu homo walau masih ada keraguan. Gue nggak perlu jelasinkan gimana cowok bisa keliatan so gay, karena gue tau kalian semua homo expert yang bisa menilai tuh lakik homo atau bukan. Sekarang lupakan sejenak mengenai Bin yang kelihatan homonya.

“Gue masih belum ada kepikirian buat coming out,” cetus Ban sambil bergindik membayangkan dirinya di bully. “Gue aja belum yakin kalau gue itu homo.”
“Belum yakin homo tapi malah ketagihan ngewek sama lakik,” celetuk Bin dengan sengit.
“Gue nggak ketagihan, tapi emang dapet rejekinnya gitu masa gue tolak,” kilah Ban dengan tangkas. “Masih mending gue donk belum ngeluarin steatment gue bukan gay. Dari pada elu kalau ditanya orang ngakunya bukan gay tapi gonta ganti lakik,” 
“Gue nggak berani nanggung resikonya kalau terang-terangan pengakuan dosa gue gay,” balas Bin pada Ban dengan lirih.
 “Masyarakat belum banyak yang menerima gay ditengah-tengah mereka,” Ban menyuarakan isi hatinya. “Pasti akan ada bully dari masyarakat normal atau gay yang pura-pura normal. Gue nggak sanggup menghadapi itu.”
“Elu bisa lihat sendiri kan? Bully itu terjadi pada Dee,” gue menunjuk kasus bully terhadap gay yang coming out. “Barusan gue cek di Facebook-nya banyak banget yang ngata-ngatain dengna kasar.”

Beginilah tinggal di Indonesia yang masih belum bisa menerima keberadaan gay. Kita yang gay, kalian aja dech  yang gay guekan bukan, gue hanyalah lakik yang mencintai aa Iw dan terpesona pada lelaki setengah mateng, never mind. Para homo di sini belum begitu berani mengungkapkan jati dirinya yang suka sesama jenis di masyarakat karena mereka nggak tahan gunjingan yang bakal dihadapi bertubi-tubi sepanjang hidupnya. Elu bisa bayanginkan dibully sejam aja bisa nangis kejer, apalagi bertahun-tahun.

Kenapa bisa dibenci masyarakat? Kerena gay punya sterotype negative dibenak masyarakat. Gay adalah suatu yang menjijikan bagi masyarakat normal, gimana bisa sesama jenis berhubungan badan. Kalau mau dicermati masyarakat itu bodoh, ya wajar donk berhubungan sesama jenis, manusia berhubungan dengan manusia nggak salah kan? Masih dalam satu jenis manusia. Lelaki juga adalah bagian dari manusia yang diberkahi kenti dan buah zakar. Jadi apasalahnya jika ada gay. Sungguh sangat menjijikan dan diluar kewajaran jika manusia berhubungan dengan kuda yang merupakan beda jenis alias hewan.

Masyarakat juga menganggap gay sebagai penyakit masyarakat, dimana prostitusi juga banyak dikalangan gay dengan menjadi kucing. Belum lagi dengan acara pembantaian yang dilakukan oleh kaum gay psikopat. Ada pula orang gay dianggap membawa kutukan di tengah masyarakat. Semua itu berasal dari media yang membuat pemberitaan negatif. Coba aja kita liat di berita mana aja, gay itu pelaku kriminal. Agenda setting seperti itu membentuk opini public bahwa gay adalah otak kriminal.

“Kalau gue belum siap aja, gue masih mikirin keluarga,” ucap gue merana. “Pasti donk keluarga bakal kecewa banget. Gue belum siap jika mereka nggak menerima gue yang gay.” Gue jadi membayangkan adegan ala sinetron ada pengusiran yang dilakukan oleh orang tua karena anaknya homo.
“Bener banget tuh. Gue nggak bisa bayangin kalau bokap ngusir gue,” Bin menyetuji pernyataan gue.
“Lah bukannya elu sudah dibuang ke Jogja itu bentuk pengusiran, Bin,” kelakar Ban menggoda Bin yang tampak serius. Gue dan Nad ikut tergelak mendengarnya.
“Maksud gue itu. Gue diputus kontrak sebagai anaknya bokap. Belum lagi nama gue dicoret dari daftar waris,” Bin mendengus kesal.
“Gue anak lakik satu-satunya. Gue adaalah harapan mereka untuk menurunkan trah kebangsawanan. Kalau gue ngaku gay bisa aja bokap nyokap nangis-nangis darah meratapi anaknya yang gay dan nggak bisa melanjutkan nama kebangsawanannya.” Suara Ban terdengar pilu saat mengutarakan ceritanya. Pasti suatu yang berat menggendong tanggung jawab yang besar dengan membawa nama besar keluarga.
“Itu baru dari keluarga inti. Kita hidup komunal dengan keluarga besar. Apa jadinya kalau orang segambreng itu tau kita adalah gay. Penghujatan bukan untuk diri kita yang sudah siap tapi akan berlaku juga pada orang tua kita. Pasti keluarga besar akan lebih menitik beratkan pada orang tua kita yang dianggapnya nggak becus dalam mendidik anaknya sehingga menjadi homo.” Gue menjelaskan panjang lebar, kegelisahan yang akan gue hadapi jika sampai keluarga besar tahu kalau gue adalah gay.

Keluarga adalah orang terdeat kita, terutama orang tua pasti akan merasa bersalah sekaligus kecewa. Mereka menganggap dirinya gagal mendidik anaknya. Jika mereka belum siap menerima kenyataan pasti akan akan terjadi hal buruk menimpa sianak yang gay. Anak itu juga pasti belum siap jika orang tuanya murka. Nggak mau jugakan elo dicoret dari daftar waris?

“Selain itu pasti kita akan menerima diskriminasi dari lingkungan terdekat kita entah di sekolah, kampus atau tempat kerja,” Bin menambahkan lagi dampak jika gay melakukan coming out.
“Dosen akan lebih sering menggunjing mahasiswanya yang gay. anak sekolahan juga akan memperlakukan yang sama jika ada temannya yang gay malah lebih parah dengan membully,” Ban juga ikut menyuarkan pendapatnya.
“Di tempat kerja bila ada yang pengakuan gitu mereka jadi bahan pergunjingan dari mulut-mulut nyinyir. Belum lagi jika ada isu negatif bisa membuat karir hancur,”

Ada satu lingkungan kita yang perlu diperhatikan jika memutuskan coming out. Likungan terdekat kita selain keluarga adalah teman-teman kita sendir yang setiap harinya berinteraksi entah itu di kantor, kampus, sekolah atau di mana saja. Dari sekian banyak emang pasti ada yang homopobhia mereka yang amat sangat nggak suka dengan keberadaan gay. merekapun akan dengan berbagai cara mengintimidasi orang-orang gay.

“Eh ada Dee tuh.....” Bin menunjuk lelaki ganteng yang sedang jalan menuju kantin.
“Oh itu ya namanya Dee. Ganteng.” Mata Ban berbinar-binar melihat Dee yang berjalan dengan gagah.
“Panggil gih... gue penasaran,” saran gue kepada siapa saja yang ada di hadapan gue.
“Dee.....” Nad memanggil cowok yang sedang bingung memilih meja yang akan ditempati. Hampir semua orang memandang tidak ramah pada pada Dee terutama cewek yang hopeless dan para homo sok discreet yang lahannya bakal direbut oleh Dee. Pasti don cowok pada pilih Dee yang ganteng. Hukum GAY RASIS 
masih tetap berlaku.

Dee langsung menoleh ke sumber suara lalu tersenyum pada kita. Dia berjalan menuju ke arah kita. Gue ngeliat Bin rada nggak suka dengan kehadiran Dee. Gue tahu kalau Bin juga minder ada yang lebih ganteng dan menarik dari pada dirinya. Jelas lah Dee lebih unggul kemana-mana dari Bin. Dengan postur badan bagus setengah six pack bergaya maskulin belum lagi otak cerdasnya menambah kesempurnaan manusia berkelamin jantan yang menyukai pejantan lainnya ini.

“Hai....nggak keberatan kan aku duduk sini?” sapa Dee dengan ramah sekaligus minta izin untuk ikut bergabung.
“Nggak donk,” jawab kita berbarengan dengan nada yang berbeda-beda. Gue menggunakan nada rada semangat. Nad antusias lebih pada akan ada diskusi yang menarik. Suara Ban terdengar lebih renyah dan girang. Sedangkan Bin menjawab dengana terpaksa dan sedikit malas.
“Duduk di paha gue juga nggak keberatan koq,” gumam Ban lirih.  
“Yang ada elo girang Ban,hahaha,” celetuk gue diikuti gelak oleh yang lainnya. “Apa kabar?” tanya gue basa-basi.
“Kabar baik,” jawab Dee, senyum tulus masih mengembang dari bibirnya.
“Cuma agak berat ya melewati hari ini?” tanya Bin dengan ketus. Ucapan Bin menyindir pada peristiwa coming out yang dilakukan Dee.
“Begitulah....,” balas Dee dengan pasrah.
Sory hear that,” secara reflek Ban menggenggam tangan Dee sebagai wujud dukungan dan memperkuat hati Dee. Mata Dee menatap aneh sama Ban yang, gue tau dalam benak Dee, ini ada cowok macam apa nggak kenal langsung pegang-pegang. Tangan Ban langsung terlepas ketika sadar dirinya ditatap Dee. “Sory, gue Arga. Temennya Arya dan Entong.” Ban memperkenalkan diri dengan nama sebeneranya kita bertiga.
Sory, sebenernya dari tadi kita lagi ngomongin elu yang coming out.” Nad memecah keheningan dari suasan yang beku akibat ulang Ban yang terlalu girang berhadapan cowok ganteng.
“Oh, nggak apa-apa koq,” Dee masih saja tersenyum dengan enteng, seperti tidak terjadi apa-apa. “Gue udah siap menerima bully atau apalah-apalah sejenisnya,” Dee menanggapi dengan tenang.
“Koq elu bisa sih coming out gitu?” tanya Ban yang pensaran banget.
“Gue ingin memerdekakan diri gue sendiri,” jawab Dee memulai penjelesannya sambil makan somay yang tadi dibeli.
“Indonesia udah merdeka juga keleus 70 tahun lalu,” celetuk Bin basi, tapi tetap disambut tawa oleh yang lainnya.
“Kemarin gue ngerasa tertekan menjadi orang lain yang pura-pura suka sama cewek, gue menahan agar nggak berkata kasar atau tindakan kasar terhadap cewek yang terlalu agresif, hal itu yang membuat gue frustasi.” Dee berhenti sejenak lalu mulai ngoceh lagi. “Gue juga capek berkilah ketika orang tua tanya mana ceweknya.”

Gue dan lainnya cuma manggut-manggut mendengar penjelasan Dee yang mencoba menjadi diri sendiri tanpa harus menjadi munafik. Dee juga sadar dirinya yang ganteng membuat cewek menjadi obsesif  dan agresif pada dirinya, hal itu mebuat risih tetapi apa daya wanita adalah makhluk yang katanya lemah dan harus dijaga dengan baik-baik hatinya sehingga Dee tidak tega untuk bertindak kasar.

“Cuma itu aja yang melatar belakangi elu buat coming out?” tanya Bin yang masih penasaran juga sebab Dee membuka diri.
“Nggak itu aja. Gue ingin mendidik masyarakat tentang sikap saling menghargai sesama manusia. Gue nggak minta untuk dihormati tetapi bisa nggak sih kalau gue gay dan baik diterima oleh mereka,” Dee masih saja berbiacara dengan santai. Padahal baru sehari aja dia sudah mendapat cacian dan cibiran dari ratusan manusia khususnya di dunia maya.
“Hasilnya?” tanya Ban ingin mendapat penjelasan lebih dari Dee.
“Hari ini mungkin belum ada hasilnya. Kaliankan yang membaca steatment orang di sosmed. Gue sendiri ngerasa sebagai orang istimewa, bukan maksud gue sombong tapi istimewa dalam hal banyak orang yang meperhatikan kita. Positife thinkingnya adalah mereka sebenarnya mereka aware tetapi mereka masih memandang gay negatif belum memandang siapa gue. Let it flow aja buat menghadapinya.” Dee menggungapkan asumsi menurut dirinya sendiri yang merasa orang-orang bukan mencibir melainkan memeperhatikan dirinya. “Gini ya dengan cibiran dari orang itu samakin membangkitkan gairah ke diri gue sendiri untuk membuktikan gay itu nggak seburuk apa yang mereka pikir.”
“Koq elu bisa tenang banget sih?” tanya Nad yang heran dengan sikap Dee yang kalem tidak tampak marah diperlakukan “istimewa”.
“Gue melakukan coming out punya banyak pertimbangan dan persiapan. Gue juga nggak serta merta bikin pengumuman haloo gue gay. Persiapan gue ya ke psikolog, konsultasi sama dia apa yang harus gue perbuat setelah coming out. Semua itu gue lakukan bayar psikolog mahal biar gue lebih mantap dan siap,” Dee menjelaskan proses sebelum coming out.
“Keluarga kamu gimana?” tanya gue. Inilah bagian yang penting gimanapun juga kita memang nggak terpisahkan dari keluarga.
“Bokap sama nyokpa gue ajak ke psikolog juga. Kita semua satu keluarga termasuk kakak dan adek gue ikut konseling secara bergantian. Tujuannya adalah biar semuanya siap,” Dee mengakhiri dengan senyum bahawa semuanya baik-baik saja.

Bener juga apa kata Dee bahwa kita pasti punya batasan diri untuk menahan gejolak yang membebani jiwa dan pikiran. Kita harus bisa jujur pada diri sendiri bahwa I’am a gay yang pada akhirnya berkehidupan dimasyarakat, bisa nggak sih masyarakat  lebih tolerean.

Pelajaran yang gue dapat coming out nggak semudah apa yang gue bayangin. Tepat banget dengan menggunakan jasa psikolog untuk membantu proses coming out. Keluargapun turut wajib diikut sertakan selama proses coming out. Kita jangan bersikap egois dengan mementikangkan diri sendiri. Keluarga pasti akan terseret juga pada arus kelakuan kita. Kalau hidup di barat mungkin hal itu biasa aja, tapi ini Indonesia yang bisa belum menerima gay.

“Elu kan orang kaya jadi gampang aja konsultasi sama psikolog. Gimana yang orang pas-pasan?” tanya gue yang ngerasa sebagai orang berkucukupan.
“Pertama elu siapin diri. Bilang sama keluarga elu pelan-pelan elu nggak usah langsung bilang “mah aku gay”, klo elu lakuin itu dijamin ulekkan langsung mendarat di jidat elu. Elu ngobrol baik-baik sama mereka pertama coba tanya pendapat mereka tentang gay, gimana seandainya punya anak gay. Setelah elu udah tau jawaban mereka jika mereka menanggapi positif cobalah terbuka sekalian uraikan penyebabnya. Jika mereka mengeluarkan dalil agama tahan dulu sebentar. Kamu bisa membuka diri menunggu mood mereka baik.” Secara runut Dee memberi cara untuk coming out.
“Pasti donk orang tua kita pasti marah dan kecewa,” Bin menanggapi omongan Dee. Nampaknya Bin jadi tertarik juga.
“Pastilah mereka shock. Bokap aja nggak mau ngomong sama gue berhari-hari. Mereka nggak marah tapi lebih pada kecewa. Mereka menganggap dirinya gagal. Tapi gue hubungan antara orang tua dan anaknya itu erat banget, mereka pasti nggak tega untuk menelantarkan anaknya begitu saja. Hubungan batin itu yang kembali mengakrabkan kita. Susah untuk dijelaskan, yang jelas mereka juga butuh waktu untuk menerima diri kalau anaknya adalah gay,” Dee menjelaskan dengan hati-hati, karena sadar nggak semua orang tua bisa menerima anaknya gay begitu saja.

Kita emang perlu membaca situasi untuk coming out  ke orang tua. Jangan bilang elu gay ke orang tua pas mereka baru pulang jadi saksi pernikahan sepupu elo, yang ada elu disambit palu ke jidat. Utarakan apa yang elu rasakan disaat yang tepat ketika mood orang tua kamu lagi baik, saat beban mereka berkurang, elu sendiri yang bisa mengukur saat itu.

“Terus elu sudah siap menerima perlakuan buruk terhadap elu?” tanya gue pada Dee yang pastinya bakal menerima sesuatu yang buruk lebih dari cibiran dan makian.
“Ya sekarang sudah terjadi juga kan gue dicibir dan dimaki. Apapun resikonya gue sudah siap. Siap untuk didiskriminasi, diintimidasi, diapalah-apalah itu,” balas Dee dengan mantap. “Gue percaya orang sekarang itu cerdas walau nggak semuanya. Tetapi setidaknya ada orang yang berfikir menilai seseorang bukan berdasarkan orientasi seksnya aja.” Tambh Dee kalem. “Sekarang gini dech, kenapa tadi elu manggil gue untuk bergabung?”
“Gue penasaran aja kenapa elo coming out, jawab Nad bingung sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Kita berani manggil elu selain alasan tadi. Karena kita emang temen elu juga kan? Kita sering dapat kelas bareng,” timpal Bin ngasal.
“Karena nggak ada yang perlu ditakutukin sama elu, meskipun elu gay,” imbuh gue membuktikan seorang teman nggak perlu menjadi takut ketika ada temannya yang coming out.
“Bukannya kalian itu gay juga?” tanya Dee dengan tuduhan yang menohok. Emang ya sesama homo itu gaydarnya kuat banget. Sejaim apapun elu lakukan bakal ketahuan juga.“Sory, never mind,” ralat Dee. “Gini dech menurut elu Nad yang cewek, koq masih berani manggil gue selain alasan tadi?”
“Gue memandang elo sebagai temen bukan sebagai gay. Elu orangnya baik, ramah, rajin menabung,” Nad bercanda dengan candaan basi, gelak kitapun pura-pura jadi tambah basi lagi. “Intinya elu itu orang baik-baik aja.”
Dee menjentikkan jempolnya, “Itu pointnya. Gue percaya kalau elu itu baik dan tulus sama orang pasti orang itu baik sama kita. Jika pun dia ternyata tidak menerim kita dengan baik, jangan berkecil hati postive thinking aja berarti dia bukang orang yang baik untuk kita, tinggalkan saja,” Dee menjabarkan lugas sekali dan percaya diri. “Gue cabut dulu ya, siap-siap ketemu Dekan urusan penelitian.”

Gue suka banget penjabaran dari Dee. Emang bener banget sih kalau kita baik sama orang, pasti orang itu baik sama kita ya meskipun kadang mereka baik karena ada maunya. Setidaknya mereka tetep mau deket sama kita jugakan? Kebaikan itu membuat orang percaya bahwa kita emang tidak berbahaya, meskipun kita homo. Kebaikan kita bisa menghapus stereotype negative dari para homo-homo begajulan.
“Gue sih pikir untuk kasusnya Dee suatu keburuntungan dia aja,” ujar Bin sinis. “Nggak semua homo bisa seberuntung itu.”
“Bener banget. Coming out itu bisa ada dua cara, karena emang sadar diri untuk coming out ada pulang yang by acident to coming out,” Gue nambahin omongan Bin, ada orang-orang yang apes ketahauan kalau dia gay.
“Maksudnya?” dahi Ban  mengernyit tanda tidak paham.
“Ada beberapa orang ketahuan dia homo pas lagi ngewek di kebon terus digrebeg sama warga,” kita semua tergelak keras membuat orang-orang sekitar memperhatikan.
“Adapula mereka ketahuan homo karena ada gosip dari mulut-mulut homo yang comel buat pengumuman kalau temennya itu homo,” Bin nambahi pendapat gue.
“Bisa juga dasar kecerobohan kita sendiri, nyimpen dildo dan DVD bokep homo di laci eh ketahuan bokap, eh malah bokap make juga,” canda Ban yang endingnya garing, kita pun terpaska untuk tergelak.hahahha.

Ini yang perlu elu waspadai dari coming out by acident. Dari elu sendiri sebenernya sama sekali nggak siap untuk coming out yang ada elu bisa sakit jiwa beneran karena elu terus-terusan dibully apalagi elu sadis banget coming outnya pakai acara “dimeriahkan” oleh masyarakat. Sebenernya waktu elu sudah mulai berani show up diranah perhomoan mau nggak mau elu harus siap seandainya keluarga atau temen-temen tau kalau elu itu gay dari mulut-mulut homo nyinyir yang suka bikin gosip (padahal itu fakta). Jadi intinya elu sebenernya harus sudah siap coming out. tinggal nunggu waktunya aja, semoga beruntung.

“Eh bukannya kalian itu secara nggak langsung udah coming out?” tanya Nad dengan wajah yang jahil.
“Nggak donk gue kan GAY DISCREET,” jawab Bin dimaskulinin.
“Kaliankan sudah mendeklarasikan diri sebagai trio BBB, Bencong, Banci,  Bincung,” Nad langsung tergelak keras dan puas memperolok kita.
“Siapa yang berani menertawakan pacar gue?” suara gahar dan berbisik itu membuat Nad tercekat dan salah tingkah.
“Oh.....aa Iw datang disaat yang tepat, melindungin gue.” Gue tersenyum saja melihat kedatangan aa Iw. Kita belum coming out  jadi perlu jaim untuk menyambut kedatangan pacar.
“Oh ya Nad, ini aa Iw, pacar gue.” Gue coming out ke Nad bahwa gue punya pacar ganteng dan gagah.
“Oh......tidaaaakkkkkkk,” pekik Nad histeris. “Gue mau banget punya pacar kayak aa Iw.”

Bersambung

TELAH TERBIT BUKU BERTEMA GAY JUDULNYA #KAMUFLASE. BISA KALIAN BELI MELAUI ON LINE http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase . TEMUKANN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE




No comments: