![]() |
pic dari screen shoot serial Conq |
Kuliah siang ini gue
semangat banget karena bakal ketemu lagi sama dosen kece macam mas Jajang. Kita
panggil mas emang maunya dia yang masih sok berjiwa muda. Sebenernya dia
beneran masih muda, kelihatan lakik dengan potongan rambut cepak, jelana denim
sedikit sobek di lutut dan kemeja pas bada, bisa bayanginkan niple dia tercetak jelas. Dia emang
dosen Antropologi yang suka bertualang di pedalaman Indonesia. Setiap gue masuk
kelas yang ada gue ngebayangin ikut bertualang bareng dia, bisa mandi di kali
kecil yang jernih, tidur berdua di tenda yang sempit, dan aktifitas “outdoor” lainnya. Kelas ini pula membuat
gue melupakan sejenak kegagahan aa Iw.
Setelah ngikutin kelas
yang bikin horny dan butung (kenyang
akibat minum) nelen air ludah gara-gara liat niple mas Jajang gue dan Bin mampir kantin. Nggak cuma berdua sih,
ada pula Nad sahabat pere (perempuan) kita yang sudah anoying dengan kehomoan kita. Gue nggak ngerti dia antara menerima
atau nggak, abisnya dia suka kelewat kepo tentang aktifitas homo dia juga doyan
ngejudge kalo homo itu bla bla,
sudahlah biarkan Nad berkreasi. Sebenernya masih ada 3 pere yang jadi sahabat
kita lagi tetapi mereka nggak ikut gabung karena sedang sibuk filtring mas Jajang. Ban juga hadir loh,
dia udah di kantin dari tadi karena tadi dia abis nemuin HTS (hubungan tanpa
status)annya.
Seperti biasa gue
langsung pesan tempe dan telor penyet tambah nasi dan air putih, maklum akhir
bulan, perlu penghematan ektra ketat. Siang ini kantin cukup penuh diisi oleh
mahasiswa yang sedang kelaparan dan kegantengan macam Bin yang terbar pesona
senyum sana sini.
“Eh ada gosip hot fresh
from biang gosip Mada,” ucap Nad dengan suara lirih. Membuat kita saling
mendekat agar bisa mendengar berita lebih jelas. “Kalian tau Dee kan? Anak
kelas B.” Nad memberi prolog terlebih dahulu. Gue dan Bin langsung mengangguk
sedang Ban menggeleng karena dia emang nggak kenal. “Dia ternyata gay!” bisik
Nad tetapi dengan ekspresi dihebohkan.
Gue dan Bin langsung
menjauh lagi kembali pada posisi duduk normal. Itu adalah berita basi, sumpah
nggak update banget. Ban masih saja
melekat pada wajah Nad karena dia masih interest
sama gosip yang menurut Nad itu masih fresh.
Sebeneranya Ban lebih tertarik siapa itu si Dee, cowok macam apakah? Bisa
diprospek untuk jadi pacar atau nggak.
“Itu kabar kadaluarsa
Nad,” ucap gue dengan santai sambil menyomot tempe panas.
“Dari pertama gue
masukpun gue udah tau dia jenis lekong sekong,” cibir Bin dengan bangga
gaydarnya yang kuat.
“Tapi kalian belum tau kan kalau tadi pagi dia
coming out,” Nad memberikan suatu
berita yang emang hot. Gue dan Bin
kembali mendekati Nad yang kali ini tampak puas membuat kita penasaran. “Dia
bikin status “I’am a Gay” di
Facebook, Path, Insta dan Twitter.”
“Gila juga ya tuh anak
secara gamblang ngakuin kalau dirinya gay,” cetus Ban agak terpesona dengan
keberanian Dee.
“Terus sekarang Dee mana? gue jadi pengen
introgasi,” kali ini Bin jadi antusias untuk melengkapi gosip ang setengah
matang.
“Eh iya kenapa dia
bisa coming out ya?” Ban masih
terpesona atas keberanian Dee.
Biar gue jelasin dulu
apa makna dari coming out, yaitu elo
mendeklarasikan “I’Am A Gay”
kehadapan khalayak umum. Intinya adalah elu sudah nggak malu-malu atau
menyembunyikan kehomoan elu di masyarakat atau dari orang sekitar elu. Caranya
bisa bikin pengumuman di sosmed yang elu
punya. Mau lebih ekstrim juga boleh elu pakai TOA terus berorasi kalau elu
bangga jadi gay di perempatan jalan, dijamin elu bisa rajam sama ormas anarkis.
Hanya orang-orang tertentu saja yang berani coming
out.
“Terus kalian kapan
mau coming out?” tanya Nad dengan enteng
“Nggak usah coming outpun sebenernya orang-orang
sudah tahu kalau Bin itu homo,” gue nyentil Bin dengan nada mengejek.
“Bener banget tuh, elu
tuh ya Bin diem aja orang sudah ngira elu homo,” tuduh Nad dengan senyum puas. “Coba aja elu tanya siapa
aja yang disekitar elu, pasti merekapun akan menebak emang gay.”
“Gaya mu loh yang so binan,” tambah Nad cuek sambil
nyeruput jus apel.
“Emang ada yang salah
ya sama gaya gue?” Bin memperhatikan badan sendiri, wajahnyapun ikut bingung.
“Dari baju aja sudah rainbow gitu warna warni cetar. Belum
lagi pakai tas besar dicangklong dengan ketiak elo kayak ibu-ibu sedang ngempit
dompet jalan-jalan di pasar.” Gue menunjuk apa yang melekat pada diri Bin. Ban
dan Nad cuma senyum-senyum geli.
“Elu kalau ngomong sudah
heboh,” imbuh Nad sambil bergaya ngondek.
“ Koq jadi gue yang
objek penderita,” keluh Bin kesal pada gue dan Nad.
Kalau elu perhatikan
Bin lagi diem aja deh pasti yang punya gaydar kenceng sudah langsung menebak
kalau Bin itu homo. Orang-orang straightpun
bisa mengaggap kalau Bin itu homo walau masih ada keraguan. Gue nggak perlu
jelasinkan gimana cowok bisa keliatan so
gay, karena gue tau kalian semua homo expert
yang bisa menilai tuh lakik homo atau bukan. Sekarang lupakan sejenak mengenai
Bin yang kelihatan homonya.
“Gue masih belum ada
kepikirian buat coming out,” cetus
Ban sambil bergindik membayangkan dirinya di bully. “Gue aja belum yakin kalau gue itu homo.”
“Belum yakin homo tapi
malah ketagihan ngewek sama lakik,” celetuk Bin dengan sengit.
“Gue nggak ketagihan,
tapi emang dapet rejekinnya gitu masa gue tolak,” kilah Ban dengan tangkas.
“Masih mending gue donk belum ngeluarin steatment
gue bukan gay. Dari pada elu kalau ditanya orang ngakunya bukan gay tapi
gonta ganti lakik,”
“Gue nggak berani
nanggung resikonya kalau terang-terangan pengakuan dosa gue gay,” balas Bin
pada Ban dengan lirih.
“Masyarakat belum banyak yang menerima gay
ditengah-tengah mereka,” Ban menyuarakan isi hatinya. “Pasti akan ada bully dari masyarakat normal atau gay
yang pura-pura normal. Gue nggak sanggup menghadapi itu.”
“Elu bisa lihat
sendiri kan? Bully itu terjadi pada
Dee,” gue menunjuk kasus bully
terhadap gay yang coming out.
“Barusan gue cek di Facebook-nya banyak banget yang ngata-ngatain dengna kasar.”
Beginilah tinggal di
Indonesia yang masih belum bisa menerima keberadaan gay. Kita yang gay, kalian
aja dech yang gay guekan bukan, gue
hanyalah lakik yang mencintai aa Iw dan terpesona pada lelaki setengah mateng, never mind. Para homo di sini belum
begitu berani mengungkapkan jati dirinya yang suka sesama jenis di masyarakat
karena mereka nggak tahan gunjingan yang bakal dihadapi bertubi-tubi sepanjang
hidupnya. Elu bisa bayanginkan dibully
sejam aja bisa nangis kejer, apalagi bertahun-tahun.
Kenapa bisa dibenci
masyarakat? Kerena gay punya sterotype
negative dibenak masyarakat. Gay adalah suatu yang menjijikan bagi
masyarakat normal, gimana bisa sesama jenis berhubungan badan. Kalau mau
dicermati masyarakat itu bodoh, ya wajar donk berhubungan sesama jenis, manusia
berhubungan dengan manusia nggak salah kan? Masih dalam satu jenis manusia.
Lelaki juga adalah bagian dari manusia yang diberkahi kenti dan buah zakar.
Jadi apasalahnya jika ada gay. Sungguh sangat menjijikan dan diluar kewajaran
jika manusia berhubungan dengan kuda yang merupakan beda jenis alias hewan.
Masyarakat juga
menganggap gay sebagai penyakit masyarakat, dimana prostitusi juga banyak
dikalangan gay dengan menjadi kucing. Belum lagi dengan acara pembantaian yang
dilakukan oleh kaum gay psikopat. Ada pula orang gay dianggap membawa kutukan
di tengah masyarakat. Semua itu berasal dari media yang membuat pemberitaan
negatif. Coba aja kita liat di berita mana aja, gay itu pelaku kriminal. Agenda
setting seperti itu membentuk opini public bahwa gay adalah otak kriminal.
“Kalau gue belum siap
aja, gue masih mikirin keluarga,” ucap gue merana. “Pasti donk keluarga bakal
kecewa banget. Gue belum siap jika mereka nggak menerima gue yang gay.” Gue
jadi membayangkan adegan ala sinetron ada pengusiran yang dilakukan oleh orang
tua karena anaknya homo.
“Bener banget tuh. Gue
nggak bisa bayangin kalau bokap ngusir gue,” Bin menyetuji pernyataan gue.
“Lah bukannya elu sudah
dibuang ke Jogja itu bentuk pengusiran, Bin,” kelakar Ban menggoda Bin yang
tampak serius. Gue dan Nad ikut tergelak mendengarnya.
“Maksud gue itu. Gue
diputus kontrak sebagai anaknya bokap. Belum lagi nama gue dicoret dari daftar
waris,” Bin mendengus kesal.
“Gue anak lakik
satu-satunya. Gue adaalah harapan mereka untuk menurunkan trah kebangsawanan.
Kalau gue ngaku gay bisa aja bokap nyokap nangis-nangis darah meratapi anaknya
yang gay dan nggak bisa melanjutkan nama kebangsawanannya.” Suara Ban terdengar
pilu saat mengutarakan ceritanya. Pasti suatu yang berat menggendong tanggung
jawab yang besar dengan membawa nama besar keluarga.
“Itu baru dari
keluarga inti. Kita hidup komunal dengan keluarga besar. Apa jadinya kalau
orang segambreng itu tau kita adalah gay. Penghujatan bukan untuk diri kita
yang sudah siap tapi akan berlaku juga pada orang tua kita. Pasti keluarga
besar akan lebih menitik beratkan pada orang tua kita yang dianggapnya nggak
becus dalam mendidik anaknya sehingga menjadi homo.” Gue menjelaskan panjang
lebar, kegelisahan yang akan gue hadapi jika sampai keluarga besar tahu kalau
gue adalah gay.
Keluarga adalah orang
terdeat kita, terutama orang tua pasti akan merasa bersalah sekaligus kecewa.
Mereka menganggap dirinya gagal mendidik anaknya. Jika mereka belum siap
menerima kenyataan pasti akan akan terjadi hal buruk menimpa sianak yang gay.
Anak itu juga pasti belum siap jika orang tuanya murka. Nggak mau jugakan elo
dicoret dari daftar waris?
“Selain itu pasti kita
akan menerima diskriminasi dari lingkungan terdekat kita entah di sekolah,
kampus atau tempat kerja,” Bin menambahkan lagi dampak jika gay melakukan coming out.
“Dosen akan lebih
sering menggunjing mahasiswanya yang gay. anak sekolahan juga akan
memperlakukan yang sama jika ada temannya yang gay malah lebih parah dengan membully,” Ban juga ikut menyuarkan
pendapatnya.
“Di tempat kerja bila
ada yang pengakuan gitu mereka jadi bahan pergunjingan dari mulut-mulut
nyinyir. Belum lagi jika ada isu negatif bisa membuat karir hancur,”
Ada satu lingkungan
kita yang perlu diperhatikan jika memutuskan coming out. Likungan terdekat kita selain keluarga adalah
teman-teman kita sendir yang setiap harinya berinteraksi entah itu di kantor,
kampus, sekolah atau di mana saja. Dari sekian banyak emang pasti ada yang homopobhia mereka yang amat sangat nggak
suka dengan keberadaan gay. merekapun akan dengan berbagai cara mengintimidasi
orang-orang gay.
“Eh ada Dee tuh.....”
Bin menunjuk lelaki ganteng yang sedang jalan menuju kantin.
“Oh itu ya namanya
Dee. Ganteng.” Mata Ban berbinar-binar melihat Dee yang berjalan dengan gagah.
“Panggil gih... gue
penasaran,” saran gue kepada siapa saja yang ada di hadapan gue.
“Dee.....” Nad
memanggil cowok yang sedang bingung memilih meja yang akan ditempati. Hampir
semua orang memandang tidak ramah pada pada Dee terutama cewek yang hopeless dan para homo sok discreet yang lahannya bakal direbut
oleh Dee. Pasti don cowok pada pilih Dee yang ganteng. Hukum GAY RASIS
masih
tetap berlaku.
Dee langsung menoleh ke
sumber suara lalu tersenyum pada kita. Dia berjalan menuju ke arah kita. Gue
ngeliat Bin rada nggak suka dengan kehadiran Dee. Gue tahu kalau Bin juga
minder ada yang lebih ganteng dan menarik dari pada dirinya. Jelas lah Dee
lebih unggul kemana-mana dari Bin. Dengan postur badan bagus setengah six pack bergaya maskulin belum lagi
otak cerdasnya menambah kesempurnaan manusia berkelamin jantan yang menyukai
pejantan lainnya ini.
“Hai....nggak
keberatan kan aku duduk sini?” sapa Dee dengan ramah sekaligus minta izin untuk
ikut bergabung.
“Nggak donk,” jawab
kita berbarengan dengan nada yang berbeda-beda. Gue menggunakan nada rada
semangat. Nad antusias lebih pada akan ada diskusi yang menarik. Suara Ban
terdengar lebih renyah dan girang. Sedangkan Bin menjawab dengana terpaksa dan
sedikit malas.
“Duduk di paha gue
juga nggak keberatan koq,” gumam Ban lirih.
“Yang ada elo girang
Ban,hahaha,” celetuk gue diikuti gelak oleh yang lainnya. “Apa kabar?” tanya
gue basa-basi.
“Kabar baik,” jawab
Dee, senyum tulus masih mengembang dari bibirnya.
“Cuma agak berat ya
melewati hari ini?” tanya Bin dengan ketus. Ucapan Bin menyindir pada peristiwa
coming out yang dilakukan Dee.
“Begitulah....,” balas
Dee dengan pasrah.
“Sory hear that,” secara reflek Ban menggenggam tangan Dee sebagai
wujud dukungan dan memperkuat hati Dee. Mata Dee menatap aneh sama Ban yang,
gue tau dalam benak Dee, ini ada cowok macam apa nggak kenal langsung
pegang-pegang. Tangan Ban langsung terlepas ketika sadar dirinya ditatap Dee. “Sory, gue Arga. Temennya Arya dan
Entong.” Ban memperkenalkan diri dengan nama sebeneranya kita bertiga.
“Sory, sebenernya dari tadi kita lagi ngomongin elu yang coming out.” Nad memecah keheningan dari
suasan yang beku akibat ulang Ban yang terlalu girang berhadapan cowok ganteng.
“Oh, nggak apa-apa
koq,” Dee masih saja tersenyum dengan enteng, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Gue udah siap menerima bully atau
apalah-apalah sejenisnya,” Dee menanggapi dengan tenang.
“Koq elu bisa sih coming out gitu?” tanya Ban yang
pensaran banget.
“Gue ingin
memerdekakan diri gue sendiri,” jawab Dee memulai penjelesannya sambil makan
somay yang tadi dibeli.
“Indonesia udah
merdeka juga keleus 70 tahun lalu,” celetuk Bin basi, tapi tetap disambut tawa
oleh yang lainnya.
“Kemarin gue ngerasa
tertekan menjadi orang lain yang pura-pura suka sama cewek, gue menahan agar
nggak berkata kasar atau tindakan kasar terhadap cewek yang terlalu agresif,
hal itu yang membuat gue frustasi.” Dee berhenti sejenak lalu mulai ngoceh
lagi. “Gue juga capek berkilah ketika orang tua tanya mana ceweknya.”
Gue dan lainnya cuma
manggut-manggut mendengar penjelasan Dee yang mencoba menjadi diri sendiri
tanpa harus menjadi munafik. Dee juga sadar dirinya yang ganteng membuat cewek
menjadi obsesif dan agresif pada
dirinya, hal itu mebuat risih tetapi apa daya wanita adalah makhluk yang
katanya lemah dan harus dijaga dengan baik-baik hatinya sehingga Dee tidak tega
untuk bertindak kasar.
“Cuma itu aja yang
melatar belakangi elu buat coming out?”
tanya Bin yang masih penasaran juga sebab Dee membuka diri.
“Nggak itu aja. Gue
ingin mendidik masyarakat tentang sikap saling menghargai sesama manusia. Gue nggak
minta untuk dihormati tetapi bisa nggak sih kalau gue gay dan baik diterima
oleh mereka,” Dee masih saja berbiacara dengan santai. Padahal baru sehari aja
dia sudah mendapat cacian dan cibiran dari ratusan manusia khususnya di dunia
maya.
“Hasilnya?” tanya Ban
ingin mendapat penjelasan lebih dari Dee.
“Hari ini mungkin
belum ada hasilnya. Kaliankan yang membaca steatment
orang di sosmed. Gue sendiri ngerasa sebagai orang istimewa, bukan maksud gue
sombong tapi istimewa dalam hal banyak orang yang meperhatikan kita. Positife thinkingnya adalah mereka
sebenarnya mereka aware tetapi mereka
masih memandang gay negatif belum memandang siapa gue. Let it flow aja buat menghadapinya.” Dee menggungapkan asumsi
menurut dirinya sendiri yang merasa orang-orang bukan mencibir melainkan
memeperhatikan dirinya. “Gini ya dengan cibiran dari orang itu samakin
membangkitkan gairah ke diri gue sendiri untuk membuktikan gay itu nggak
seburuk apa yang mereka pikir.”
“Koq elu bisa tenang
banget sih?” tanya Nad yang heran dengan sikap Dee yang kalem tidak tampak
marah diperlakukan “istimewa”.
“Gue melakukan coming out punya banyak pertimbangan dan
persiapan. Gue juga nggak serta merta bikin pengumuman haloo gue gay. Persiapan
gue ya ke psikolog, konsultasi sama dia apa yang harus gue perbuat setelah coming out. Semua itu gue lakukan bayar
psikolog mahal biar gue lebih mantap dan siap,” Dee menjelaskan proses sebelum coming out.
“Keluarga kamu
gimana?” tanya gue. Inilah bagian yang penting gimanapun juga kita memang nggak
terpisahkan dari keluarga.
“Bokap sama nyokpa gue
ajak ke psikolog juga. Kita semua satu keluarga termasuk kakak dan adek gue
ikut konseling secara bergantian. Tujuannya adalah biar semuanya siap,” Dee
mengakhiri dengan senyum bahawa semuanya baik-baik saja.
Bener juga apa kata
Dee bahwa kita pasti punya batasan diri untuk menahan gejolak yang membebani
jiwa dan pikiran. Kita harus bisa jujur pada diri sendiri bahwa I’am a gay yang pada akhirnya
berkehidupan dimasyarakat, bisa nggak sih masyarakat lebih tolerean.
Pelajaran yang gue
dapat coming out nggak semudah apa
yang gue bayangin. Tepat banget dengan menggunakan jasa psikolog untuk membantu
proses coming out. Keluargapun turut
wajib diikut sertakan selama proses coming
out. Kita jangan bersikap egois dengan mementikangkan diri sendiri. Keluarga
pasti akan terseret juga pada arus kelakuan kita. Kalau hidup di barat mungkin
hal itu biasa aja, tapi ini Indonesia yang bisa belum menerima gay.
“Elu kan orang kaya
jadi gampang aja konsultasi sama psikolog. Gimana yang orang pas-pasan?” tanya
gue yang ngerasa sebagai orang berkucukupan.
“Pertama elu siapin
diri. Bilang sama keluarga elu pelan-pelan elu nggak usah langsung bilang “mah
aku gay”, klo elu lakuin itu dijamin ulekkan langsung mendarat di jidat elu.
Elu ngobrol baik-baik sama mereka pertama coba tanya pendapat mereka tentang
gay, gimana seandainya punya anak gay. Setelah elu udah tau jawaban mereka jika
mereka menanggapi positif cobalah terbuka sekalian uraikan penyebabnya. Jika
mereka mengeluarkan dalil agama tahan dulu sebentar. Kamu bisa membuka diri
menunggu mood mereka baik.” Secara runut Dee memberi cara untuk coming out.
“Pasti donk orang tua
kita pasti marah dan kecewa,” Bin menanggapi omongan Dee. Nampaknya Bin jadi
tertarik juga.
“Pastilah mereka shock. Bokap aja nggak mau ngomong sama
gue berhari-hari. Mereka nggak marah tapi lebih pada kecewa. Mereka menganggap
dirinya gagal. Tapi gue hubungan antara orang tua dan anaknya itu erat banget,
mereka pasti nggak tega untuk menelantarkan anaknya begitu saja. Hubungan batin
itu yang kembali mengakrabkan kita. Susah untuk dijelaskan, yang jelas mereka
juga butuh waktu untuk menerima diri kalau anaknya adalah gay,” Dee menjelaskan
dengan hati-hati, karena sadar nggak semua orang tua bisa menerima anaknya gay
begitu saja.
Kita emang perlu
membaca situasi untuk coming out ke orang tua. Jangan bilang elu gay ke orang
tua pas mereka baru pulang jadi saksi pernikahan sepupu elo, yang ada elu
disambit palu ke jidat. Utarakan apa yang elu rasakan disaat yang tepat ketika mood orang tua kamu lagi baik, saat
beban mereka berkurang, elu sendiri yang bisa mengukur saat itu.
“Terus elu sudah siap
menerima perlakuan buruk terhadap elu?” tanya gue pada Dee yang pastinya bakal
menerima sesuatu yang buruk lebih dari cibiran dan makian.
“Ya sekarang sudah
terjadi juga kan gue dicibir dan dimaki. Apapun resikonya gue sudah siap. Siap
untuk didiskriminasi, diintimidasi, diapalah-apalah itu,” balas Dee dengan
mantap. “Gue percaya orang sekarang itu cerdas walau nggak semuanya. Tetapi
setidaknya ada orang yang berfikir menilai seseorang bukan berdasarkan
orientasi seksnya aja.” Tambh Dee kalem. “Sekarang gini dech, kenapa tadi elu
manggil gue untuk bergabung?”
“Gue penasaran aja
kenapa elo coming out, jawab Nad
bingung sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Kita berani manggil
elu selain alasan tadi. Karena kita emang temen elu juga kan? Kita sering dapat
kelas bareng,” timpal Bin ngasal.
“Karena nggak ada yang
perlu ditakutukin sama elu, meskipun elu gay,” imbuh gue membuktikan seorang
teman nggak perlu menjadi takut ketika ada temannya yang coming out.
“Bukannya kalian itu
gay juga?” tanya Dee dengan tuduhan yang menohok. Emang ya sesama homo itu
gaydarnya kuat banget. Sejaim apapun elu lakukan bakal ketahuan juga.“Sory, never mind,” ralat Dee. “Gini dech
menurut elu Nad yang cewek, koq masih berani manggil gue selain alasan tadi?”
“Gue memandang elo
sebagai temen bukan sebagai gay. Elu orangnya baik, ramah, rajin menabung,” Nad
bercanda dengan candaan basi, gelak kitapun pura-pura jadi tambah basi lagi.
“Intinya elu itu orang baik-baik aja.”
Dee menjentikkan
jempolnya, “Itu pointnya. Gue percaya kalau elu itu baik dan tulus sama orang
pasti orang itu baik sama kita. Jika pun dia ternyata tidak menerim kita dengan
baik, jangan berkecil hati postive
thinking aja berarti dia bukang orang yang baik untuk kita, tinggalkan
saja,” Dee menjabarkan lugas sekali dan percaya diri. “Gue cabut dulu ya,
siap-siap ketemu Dekan urusan penelitian.”
Gue suka banget
penjabaran dari Dee. Emang bener banget sih kalau kita baik sama orang, pasti
orang itu baik sama kita ya meskipun kadang mereka baik karena ada maunya.
Setidaknya mereka tetep mau deket sama kita jugakan? Kebaikan itu membuat orang
percaya bahwa kita emang tidak berbahaya, meskipun kita homo. Kebaikan kita
bisa menghapus stereotype negative
dari para homo-homo begajulan.
“Gue sih pikir untuk
kasusnya Dee suatu keburuntungan dia aja,” ujar Bin sinis. “Nggak semua homo
bisa seberuntung itu.”
“Bener banget. Coming out itu bisa ada dua cara, karena
emang sadar diri untuk coming out ada
pulang yang by acident to coming out,”
Gue nambahin omongan Bin, ada orang-orang yang apes ketahauan kalau dia gay.
“Maksudnya?” dahi
Ban mengernyit tanda tidak paham.
“Ada beberapa orang
ketahuan dia homo pas lagi ngewek di kebon terus digrebeg sama warga,” kita
semua tergelak keras membuat orang-orang sekitar memperhatikan.
“Adapula mereka
ketahuan homo karena ada gosip dari mulut-mulut homo yang comel buat pengumuman
kalau temennya itu homo,” Bin nambahi pendapat gue.
“Bisa juga dasar
kecerobohan kita sendiri, nyimpen dildo dan DVD bokep homo di laci eh ketahuan
bokap, eh malah bokap make juga,” canda Ban yang endingnya garing, kita pun
terpaska untuk tergelak.hahahha.
Ini yang perlu elu
waspadai dari coming out by acident.
Dari elu sendiri sebenernya sama sekali nggak siap untuk coming out yang ada elu bisa sakit jiwa beneran karena elu
terus-terusan dibully apalagi elu
sadis banget coming outnya pakai
acara “dimeriahkan” oleh masyarakat. Sebenernya waktu elu sudah mulai berani show up diranah perhomoan mau nggak mau
elu harus siap seandainya keluarga atau temen-temen tau kalau elu itu gay dari
mulut-mulut homo nyinyir yang suka bikin gosip (padahal itu fakta). Jadi
intinya elu sebenernya harus sudah siap coming
out. tinggal nunggu waktunya aja, semoga beruntung.
“Eh bukannya kalian
itu secara nggak langsung udah coming out?”
tanya Nad dengan wajah yang jahil.
“Nggak donk gue kan GAY DISCREET,” jawab Bin dimaskulinin.
“Kaliankan sudah
mendeklarasikan diri sebagai trio BBB, Bencong, Banci, Bincung,” Nad langsung tergelak keras dan puas
memperolok kita.
“Siapa yang berani
menertawakan pacar gue?” suara gahar dan berbisik itu membuat Nad tercekat dan
salah tingkah.
“Oh.....aa Iw datang
disaat yang tepat, melindungin gue.” Gue tersenyum saja melihat kedatangan aa
Iw. Kita belum coming out jadi perlu jaim untuk menyambut kedatangan
pacar.
“Oh ya Nad, ini aa Iw,
pacar gue.” Gue coming out ke Nad
bahwa gue punya pacar ganteng dan gagah.
“Oh......tidaaaakkkkkkk,”
pekik Nad histeris. “Gue mau banget punya pacar kayak aa Iw.”
TELAH TERBIT BUKU BERTEMA GAY JUDULNYA #KAMUFLASE. BISA KALIAN BELI MELAUI ON LINE http://nulisbuku.com/books/view_book/7100/kamuflase . TEMUKANN IDENTITASMU DENGAN KAMUFLASE
No comments:
Post a Comment