BAB 3
Dari pagi Tri sibuk
mempersiapkan keberangkatan ke Solo untuk menemui bapaknya Roro. Tri bukan
mempersiapkan barang bawaan. Tri lebih mempersiapkan hati dan pikirannya supaya
tenang jika nanti bertemu dengan keluarganya Roro. Meskipun sudah lama kenal
dan bertemu, tapi kali ini pertemuan yang berbeda, extra ordinary. Tri sudah siap melamar secara langsung.
Tri sudah capek
didesak Roro untuk segera menemui bapaknya. Tri juga sudah kehabisan alasan
untuk menghindar. Memang mau nggak mau dan segera pula Tri harus bertemu dengan
bapaknya Roro. Kali ini Tri sudah siap, lebih tepatnya memaksakan untuk siap.
Rencananya Tri akan
berangkat bersama Abi, sahabat terdekatnya yang sudah dianggap sebagai
keluarganya sendiri. Tri belum belum bicara secara langsung sama keluarga yang
di Jogja. Baru ibunya saja yang dikasih tau lewat telpon akan melamar Roro
secara langsung. Tri juga sekalian meminta restu dan doa agar semuanya lancar.
Ibunya Tri yang
bernama Lastri sebenarnya ingin ikut menemui secara langsung ke keluarganya
Roro. Selama ini belum pernah bertemu bapaknya Roro. Sebagai pihak dari lelaki,
Lastri merasa bertanggung jawab untuk meminta izin putranya akan mempersunting
putri orang lain. Namun ada yang nggak bisa ditinggal, Lastri dapat titipan dua
anaknya mas Aka.
“Tri, beneran kamu
udah siap?” tanya Abi yang belum yakin dengan keputusan Tri.
“Mau nggak mau. Siap
nggak siap. Hal ini akan terjadi, seperti yang kamu bilang,” jawab Tri tenang
saat pantatnya menempel jok mobil.
“Iya aku tahu itu.”
Abi menghela nafas. Abi tahu ini keputusan yang terburu-buru. “Tetapi kenapa
kamu bawa aku. Kamu kan masih punya keluarga.” Abi juga masih belum paham jelas
kenapa dirinya diseret Tri untuk turut serta bertemu keluarganya Roro.
“Ibu lagi sibuk ngurus
anak-anaknya mas Aka. Sedangkan Mas Aka sendiri sedang sibuk dengan masalah
keluarganya sendiri,” Tri memberikan alasan.
Abi masih belum puas
dengan jawaban Tri yang terkesan mengada-ada. Misalpun sibuk masih ada lain
hari agar bisa berangkat semua. Abi memilih diam saja, enggan mengorek lagi,
Abi tahu sahabatnya sedang emosian. Dilain sisi Abi berfikir ini adalah salah
satu acara sakral juga. Kedua keluarga saling mengenal, keluarga lelaki meminta
izin dan keluarga perempuan memberi kepercayaan putrinya akan diberikan kepada
lelaki yang bertanggung jawab.
Mobil Tri sudah
meluncur di jalan Tol Semarang-Bawen dengan kecepatan sedang. Tri memang nggak
ingin cepat sampai rumah Roro. Tri seperti ada firasat, sesuatu yang buruk akan
menimpanya. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Tri tidak mengajak
keluarganya turut serta. Biar Tri sendiri dulu yang menghadapi.
“Aku seperti ada firasat nggak enak,” ujar Tri
pada sahabatnya. “Mengenai aku sama Roro, tetapi aku nggak tau.”
“Kamu masih wedding jiter?” tanya Abi sambil
menengok ke arah Tri. Abi mersa khawatir dengan keadaan mental Tri yang sedang drop.
“Aku nggak tau itu bagian dari wedding jiter atau bukan. Ada sesuatu
yang membuat aku antara yakin dan nggak,” balas Tri yang sedang berkosentrasi
menyetir.
“Ya itu mungkin bagian
dari wedding jiter. Biasanya kalau
mau ambil keputusan berat tentang pernikahan seperti itu. Sudahlah, nggak usah
khawatir.” Abi berusaha menenangkan sahabatnya.
“Apa kamu terjebak
pada ketakutan pernikahan?” tanya Tri. Wajar saja Tri menanyakan seperti itu
karena Abi sudah usia matang untuk menikah, ketika didesak sama pacarnya malah
mengelak terus.
“Mungkin juga,” Abi
ragu dengan jawabannya. “Kamu jangan seperti aku, jadi lelaki pengecut berani
pacarin orang tetapi nggak berani melamarnya.”
Mereka kembali
terdiam. Abi memikirkan kelanjutan kisah percintaan, apakah akan jadi bujang
tua atau memiliki keluarga yang perjalanannya tidak diketahui akan sampai mana.
Tri sendiri sedang memikirkan rencana apa yang akan dilakukan setelah bertemu
dengan keluarganya Roro. Tri mencob menghalau firasat buruk dengan merancang
kehidupan bahagia bersama Roro.
@@@
Tanpa terasa Tri dan
Abi sudah sampai di kediaman bapak Tejo, ayahnya Roro. Rumah bangsawan Jawa
yang sederhana tetapi tetap terlihat elegan. Halaman yang luas dan rimbun
dengan berbagai macam pohon buah. Terlihat ada beberapa mobil terpakir di carport.
Mobil Tri masih
terhenti di bahu jalan. Ada keraguan untuk masuk ke dalam rumah atau melaju
pergi, membatalkan acara pertemuan ini. Bukan hanya sekedar wedding jitter ada sesuatu yang lain
yang akan dihadapi oleh Tri. Saat ini adalah penentuannya.
“Kenapa nggak langsung
masuk?” tanya Abi heran. Matanya lekat
melihat Tri yang sedang gundah.
Tri menarik nafas
dalam-dalam. “Akan ada suatu ujian lagi yang harus aku hadapi.”
“Setiap hari kita akan
melewati ujian yang berbeda. Itu yang membuat kita terus belajar,” balas Abi
bijak. “Aku tahu ini bukan ketakutan pernikahan aja, ada sesuatu yang lain.
Jadi tenang saja, semuanya akan baik-baik saja.” Abi menepuk-nepuk punggung Tri
untuk memberi ketenangan.
Tri kembali menyalakan
mesin mobil, lalu meluncur ke halaman rumah. Tri merasa lebih tenang setelah
sahabatnya memberi wejangan agar lebih siap menghadapi apapun yang akan
terjadi.
“Bapaknya sudah tahu
kalau kamu datang sendiri?” tanya Abi.
“Sudah koq,” jawab
Tri. “Makasih ya sob, buat segalanya.” Kali ini Tri yang menepuk punggung
sahabatnya. Tidak ketinggalan senyumnya mengembang dengan tulus.
Mereka keluar dari mobil
dan segera mengetuk pintu rumah. Meskipun udara sedikit sejuk, tetapi keringat
yang keluar di dahi Tri sebesar jagung. Rasa gugup menghinggap kembali pada
Tri.
Tidak lama kemudian, seorang
ibu paruh baya membuka pintu kaca yang sebagian tertutup gorden. Senyum ramah
membingkai dari bibir itu tersebut. Tri mengenalnya ibu Rukmini, wanita yang
telah melahirkan Roro lebih dari dua dekade silam.
“Nak Tri sudah datang,
gimana perjalanannya lancar?” sambut Rukmini dengan hangat pada calon mantunya.
“Pak......bapak, nak Tri sudah datang nih,” teriak Rukmini ke arah dalam rumah.
“Ayo masuk dulu.”
Tri dan Abi masuk ke
ruang tamu yang adem, meskipun tidak ada penyejuk ruangan. Di dinding ada foto
besar menggambarkan kehangatan keluarga Tejo. Di bawahnya ada meja antik yang di
atasnya ditaruh beberapa foto anak-anaknya Tejo dari waktu kecil sampai dewasa.
Ada pula guci antik untuk tempat menaruh payung.
Tri duduk dekat pintu masuk, di sampingnya ada
Abi yang duduk di pojokkan. Tri sengaja duduk dekat pintu karena punya fikiran
jika terjadi apa-apa bisa langsung kabur. Fikiran Tri memang sedang sesat,
karena khawatir yang tidak beralasan.
Yang ditunggu Tri tiba
juga, Tri dan Abi segera bangkit. Tejo masuk ke ruang tamu. Badannya yanng
tegap membuat Tri semakin gugup. Tampagnya sangat berwibawa dengan kumis.
Meskipun begitu Tejo orang yang ramah. Senyumnya tersungging diantara lebatnya
kumis. Tejo menjabat tangan Tri dengan kencang.
Tri kembali duduk
setelah Rukmini dan Tejo duduk. Sesekali Tri mencoba melongok kearah ruang
keluarga. Tri sedang mengharapkan bidadarinya segera hadir di hadapannya. Tanpa
kehadiran Roro rasa gelisah Tri belum bisa terobati.
“Eehhheemm” Tejo
berdeham untuk memecah keheningan, sekaligus membuyarkan aktifitas Tri yang
seperti maling mau melakukan kejahatan.
Reflek Tri
menghentikan aktifitasnya. Badannya kembali tegap. Matanya juga berusaha
menjaga komunikasi dengan Tejo.
“Roronya mana pak?”
tanya Tri dengan gelisah. Abi yang segera menyenggol Tri yag menurutnya nggak
sopan.
“Gimana kabarnya bapak
sama ibu?” Abi segera mengambil alih untuk menetralisir keadaan. “Oh ya, nama saya Abi sahabatnya Tri
sekaligus sepupunya.” Abi berkilah, untuk menghormati keluarga Tejo.
Bagaimanapun ini adalah sebenarnya acara keluarga.
Tetapi sebelum Tejo dan
Rukmini menjawab malah disabotase sama Tri. Abi hanya menggeleng kepala melihat
kelakuan sahabatnya yang suka lepas kendali jika sudah gugup.
“Oh ya pak. Sebelumnya
saya minta maaf.” Tri segera menyadari apa yang harus diperbuat diacara ini.
“Saya telah lancang melamar Roro terelebih dahulu waktu di Bali.”
“Nggak apa-apa,
namanya juga anak muda suka spontanitas. Waktu Roro cerita sama ibunya terlihat
senang sekali,” Tejo menanggapi dengan biasa saja.
“Ibu seneng loh
ngeliat Roro matanya berbinar-binar gitu. Ibu juga liat rekamannya,” tambah
Rukmini. “Nggak nyangka nak Tri bisa romantis juga.”
Tri menanggapi dengan
senyum senang dan puas. Usahanya menaklukan takut ketinggan membuahkan hasil,
yaitu menyenangkan Roro sekaligus orang tuanya. Tri juga bisa bernafas sedikit
lega karena Tejo tidak marah karena anaknya dilamar tanpa sepengetahuannya
“Jadi maksud
kedatangan Tri ke sini mau apa?” tanya Tejo to
the point dengan nada tegas. Bagi Tri ini adalah pertanyaan introgasi.
Suasaa yang sudah
sedikit cair kembali menegang dengan pertanyaan itu. Rasa gugup kembali
menghantui Tri. Sebagai lelaki jantan harus siap, meski ada rasa canggung untuk
melamar secara resmi.
“Sebelumya saya minta
maaf lagi karena tidak membawa keluarga. Ibu saya sedang menjaga cucunya karena
mas saya sedang dinas luar kota sedangkan istrinya sibuk bekerja. Mbak saya
juga kerja di Jakarta, dia tidak bisa pulang.” Tri terlebih dahulu mengatakan
alasa kenapa keluarganya tidak turut hadir pada acara ini.
“Iya nggak apa-apa,”
jawab Tejo dengan hangat.
“Maksud kedatangan
saya kesini kali ini....” tiba-tiba lidah Tri menjadi kelu. Tenggorokannya
tercekat seperti ada yang menahan untuk tidak mengatakan kelanjutannya. Rasa
haus menyerang kerongkongan Tri, namun tidak ada minuman di depannya.
Abi kembali menyonggol
Tri agar segera menuntaskan perkataannya yang terputus. Tejo dan Rukmini dengn
serius menyimak dan memperhatikan Tri yang sudah setengah ngomong maksud tujuan
datang ke Solo.
“Maaf, saya jadi
gugup.” Tri senyum kecut.
Tejo, Rukmini dan Abi
tertawa mendengar kejujuran Tri yang benar-benar sedang gugup.
Rukmini segera sadar,
ada yang kurang di meja. Rukmini bangkit dari duduk, di ambang pintu ruang
keluarga teriak memanggil asisten rumah tangga. “Inayah......minuman buat
tamunya mana?”
Tri sedikit kecewa
karena kenapa yang dipanggil Inayah? Seharusnya Roro yang perlu diundang. Tri
sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Roro, sang pujaan hati yang sebentar
lagi akan di nikahi.
Setelah minum Tri
sudah siap melanjutkan lagi. “Maksud kedatangan saya,” Tri kembali mengulang
dan terhenti. “Saya mau meminta izin sama bapak Tejo untuk meminang putri bapak
yang bernama Roro.” Lanjut Tri denga
satu hembusan nafas. Abi juga ikut bernafas lega.
Tri sudah merasa plong
telah mengucapkan izin akan menikahi Roro. Sekarag Tri sedang bersiap menunggu
jawaban dari Tejo apakah mengizinkan atau tidak. Tri sudah percaya diri
permintaannya akan dikabulkan oleh Tejo.
Namun apa yang dilihat
Tri berbeda apa yang dibayangkan. Tejo memang tidak langsung menjawab tetapi
wajahnya berubah menjadi serius, sedangkan Rukmini terlihat lebih gelisah. Apa
mungkin firasat buruk Tri akan terjawab sekarang? Dengan cemas Tri menunggu
jawaban dari Tejo.
“Maaf sebelumnya,”
akhirnya Tejo bersuara. Tetapi nadanya sumbang, terdengar
“Kenapa pak?” tanya
Tri tidak mengerti maksud Tejo yang mengatakan seperti itu nada orang antara
menolak atau memberi pengunguman.
“Apa sebelumnya nak
Tri sudah mengetahui tentang kesehatan Roro?” tanya Tejo pelan dan hati-hati.
“Iya tahu. Roro ada
sakit asma, kadang suka batuk pilek. Sakit yang umum saja. Selebihnya saya
tidak tahu,” balas Tri serampangan, karena masih belum tahu ada gerangan apa.
“Bukan itu saja.
Berarti Tri belum mengetahui semuanya,” tukas Rukmini agak terisak.
Tri semakin gugup dan
bingung. Akan ada kejujuran apa lagi? sepertinya ini suatu yang mengerikan.
“Ada apa bu? Katakan saja, saya siap mendengarkan.” Tri bersikap seolah-olah
tenang, padahal perasaan sedang berkecambuk.
Tejo menghembuskan
nafas dalam-dalam, siap untuk mengatakan rahasia besar yang selama ini Roro
sembunyikan. “Waktu SMA, Roro menjalani kemoterapi.” Tejo mengatakan itu dengan
tenang. Sebaliknya Rukmini sedang terisak.
Seperti ada petir yang
menyambar relung hati Tri, namun Tri berusaha bersikap tenang mendengarkan
perkataan Tejo selanjutnya yang belum tuntas. Saat ini Tri belum bisa berfikir
apa-apa.
“Roro pernah terekena
kanker saluran rahim. Meskipun sekarang sudah dinyatakan bersih tetapi ada
kemungkinan dia tidak bisa hamil. Atau kemungkinan kecil saja Roro bisa hamil,”
lanjut Tejo menuntaskan permasalahan yang dihadapi Roro.
Tri kembali seperti
disambar petir. Fikirannya kacau, hatinya remuk, kecewa, dan rasanya sedih.
Rasanya ingin segera keluar dari rumah ini dan lari entah kemana. Bukan pria
sejati bila lari dari permasalah. Tri menjadi merana di rumah pacarnya yang
semestinya akan segera di nikahi. Otaknya segera tersadar dan kembli
mengkumulasi keputusan yang harus diambil.
Tri melihat Rukmini
menangis sesenggukan. Di sudut mata Tejo tersembul titik air mata yang sedang
berusaha ditahan agar tidak menetes. Sungguh berat mengatakan kenyataan ini.
Tri pun merasa terbebani mendapati kebenaran yang menghenyakkan sanubarinya.
Tri segera megambil
keputusan saat ini juga.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment