Friday 10 July 2015

Kejutan Dari Kamu

BAB 3

Dari pagi Tri sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Solo untuk menemui bapaknya Roro. Tri bukan mempersiapkan barang bawaan. Tri lebih mempersiapkan hati dan pikirannya supaya tenang jika nanti bertemu dengan keluarganya Roro. Meskipun sudah lama kenal dan bertemu, tapi kali ini pertemuan yang berbeda, extra ordinary. Tri sudah siap melamar secara langsung.

Tri sudah capek didesak Roro untuk segera menemui bapaknya. Tri juga sudah kehabisan alasan untuk menghindar. Memang mau nggak mau dan segera pula Tri harus bertemu dengan bapaknya Roro. Kali ini Tri sudah siap, lebih tepatnya memaksakan untuk siap.

Rencananya Tri akan berangkat bersama Abi, sahabat terdekatnya yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri. Tri belum belum bicara secara langsung sama keluarga yang di Jogja. Baru ibunya saja yang dikasih tau lewat telpon akan melamar Roro secara langsung. Tri juga sekalian meminta restu dan doa agar semuanya lancar.

Ibunya Tri yang bernama Lastri sebenarnya ingin ikut menemui secara langsung ke keluarganya Roro. Selama ini belum pernah bertemu bapaknya Roro. Sebagai pihak dari lelaki, Lastri merasa bertanggung jawab untuk meminta izin putranya akan mempersunting putri orang lain. Namun ada yang nggak bisa ditinggal, Lastri dapat titipan dua anaknya mas Aka.

“Tri, beneran kamu udah siap?” tanya Abi yang belum yakin dengan keputusan Tri.
“Mau nggak mau. Siap nggak siap. Hal ini akan terjadi, seperti yang kamu bilang,” jawab Tri tenang saat pantatnya menempel jok mobil.
“Iya aku tahu itu.” Abi menghela nafas. Abi tahu ini keputusan yang terburu-buru. “Tetapi kenapa kamu bawa aku. Kamu kan masih punya keluarga.” Abi juga masih belum paham jelas kenapa dirinya diseret Tri untuk turut serta bertemu keluarganya Roro.
“Ibu lagi sibuk ngurus anak-anaknya mas Aka. Sedangkan Mas Aka sendiri sedang sibuk dengan masalah keluarganya sendiri,” Tri memberikan alasan.

Abi masih belum puas dengan jawaban Tri yang terkesan mengada-ada. Misalpun sibuk masih ada lain hari agar bisa berangkat semua. Abi memilih diam saja, enggan mengorek lagi, Abi tahu sahabatnya sedang emosian. Dilain sisi Abi berfikir ini adalah salah satu acara sakral juga. Kedua keluarga saling mengenal, keluarga lelaki meminta izin dan keluarga perempuan memberi kepercayaan putrinya akan diberikan kepada lelaki yang bertanggung jawab.

Mobil Tri sudah meluncur di jalan Tol Semarang-Bawen dengan kecepatan sedang. Tri memang nggak ingin cepat sampai rumah Roro. Tri seperti ada firasat, sesuatu yang buruk akan menimpanya. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Tri tidak mengajak keluarganya turut serta. Biar Tri sendiri dulu yang menghadapi.

 “Aku seperti ada firasat nggak enak,” ujar Tri pada sahabatnya. “Mengenai aku sama Roro, tetapi aku nggak tau.”
“Kamu masih wedding jiter?” tanya Abi sambil menengok ke arah Tri. Abi mersa khawatir dengan keadaan mental Tri yang sedang drop.
 “Aku nggak tau itu bagian dari wedding jiter atau bukan. Ada sesuatu yang membuat aku antara yakin dan nggak,” balas Tri yang sedang berkosentrasi menyetir.
“Ya itu mungkin bagian dari wedding jiter. Biasanya kalau mau ambil keputusan berat tentang pernikahan seperti itu. Sudahlah, nggak usah khawatir.” Abi berusaha menenangkan sahabatnya.
“Apa kamu terjebak pada ketakutan pernikahan?” tanya Tri. Wajar saja Tri menanyakan seperti itu karena Abi sudah usia matang untuk menikah, ketika didesak sama pacarnya malah mengelak terus.
“Mungkin juga,” Abi ragu dengan jawabannya. “Kamu jangan seperti aku, jadi lelaki pengecut berani pacarin orang tetapi nggak berani melamarnya.”

Mereka kembali terdiam. Abi memikirkan kelanjutan kisah percintaan, apakah akan jadi bujang tua atau memiliki keluarga yang perjalanannya tidak diketahui akan sampai mana. Tri sendiri sedang memikirkan rencana apa yang akan dilakukan setelah bertemu dengan keluarganya Roro. Tri mencob menghalau firasat buruk dengan merancang kehidupan bahagia bersama Roro.

@@@

Tanpa terasa Tri dan Abi sudah sampai di kediaman bapak Tejo, ayahnya Roro. Rumah bangsawan Jawa yang sederhana tetapi tetap terlihat elegan. Halaman yang luas dan rimbun dengan berbagai macam pohon buah. Terlihat ada beberapa mobil terpakir di carport.

Mobil Tri masih terhenti di bahu jalan. Ada keraguan untuk masuk ke dalam rumah atau melaju pergi, membatalkan acara pertemuan ini. Bukan hanya sekedar wedding jitter ada sesuatu yang lain yang akan dihadapi oleh Tri. Saat ini adalah penentuannya.

“Kenapa nggak langsung masuk?” tanya Abi  heran. Matanya lekat melihat Tri yang sedang gundah.
Tri menarik nafas dalam-dalam. “Akan ada suatu ujian lagi yang harus aku hadapi.”
“Setiap hari kita akan melewati ujian yang berbeda. Itu yang membuat kita terus belajar,” balas Abi bijak. “Aku tahu ini bukan ketakutan pernikahan aja, ada sesuatu yang lain. Jadi tenang saja, semuanya akan baik-baik saja.” Abi menepuk-nepuk punggung Tri untuk memberi ketenangan.

Tri kembali menyalakan mesin mobil, lalu meluncur ke halaman rumah. Tri merasa lebih tenang setelah sahabatnya memberi wejangan agar lebih siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

“Bapaknya sudah tahu kalau kamu datang sendiri?” tanya Abi.
“Sudah koq,” jawab Tri. “Makasih ya sob, buat segalanya.” Kali ini Tri yang menepuk punggung sahabatnya. Tidak ketinggalan senyumnya mengembang dengan tulus.

Mereka keluar dari mobil dan segera mengetuk pintu rumah. Meskipun udara sedikit sejuk, tetapi keringat yang keluar di dahi Tri sebesar jagung. Rasa gugup menghinggap kembali pada Tri.

Tidak lama kemudian, seorang ibu paruh baya membuka pintu kaca yang sebagian tertutup gorden. Senyum ramah membingkai dari bibir itu tersebut. Tri mengenalnya ibu Rukmini, wanita yang telah melahirkan Roro lebih dari dua dekade silam.
“Nak Tri sudah datang, gimana perjalanannya lancar?” sambut Rukmini dengan hangat pada calon mantunya. “Pak......bapak, nak Tri sudah datang nih,” teriak Rukmini ke arah dalam rumah. “Ayo masuk dulu.”

Tri dan Abi masuk ke ruang tamu yang adem, meskipun tidak ada penyejuk ruangan. Di dinding ada foto besar menggambarkan kehangatan keluarga Tejo. Di bawahnya ada meja antik yang di atasnya ditaruh beberapa foto anak-anaknya Tejo dari waktu kecil sampai dewasa. Ada pula guci antik untuk tempat menaruh payung.

 Tri duduk dekat pintu masuk, di sampingnya ada Abi yang duduk di pojokkan. Tri sengaja duduk dekat pintu karena punya fikiran jika terjadi apa-apa bisa langsung kabur. Fikiran Tri memang sedang sesat, karena khawatir yang tidak beralasan.

Yang ditunggu Tri tiba juga, Tri dan Abi segera bangkit. Tejo masuk ke ruang tamu. Badannya yanng tegap membuat Tri semakin gugup. Tampagnya sangat berwibawa dengan kumis. Meskipun begitu Tejo orang yang ramah. Senyumnya tersungging diantara lebatnya kumis. Tejo menjabat tangan Tri dengan kencang.

Tri kembali duduk setelah Rukmini dan Tejo duduk. Sesekali Tri mencoba melongok kearah ruang keluarga. Tri sedang mengharapkan bidadarinya segera hadir di hadapannya. Tanpa kehadiran Roro rasa gelisah Tri belum bisa terobati.

“Eehhheemm” Tejo berdeham untuk memecah keheningan, sekaligus membuyarkan aktifitas Tri yang seperti maling mau melakukan kejahatan.

Reflek Tri menghentikan aktifitasnya. Badannya kembali tegap. Matanya juga berusaha menjaga komunikasi dengan Tejo.

“Roronya mana pak?” tanya Tri dengan gelisah. Abi yang segera menyenggol Tri yag menurutnya nggak sopan.
“Gimana kabarnya bapak sama ibu?” Abi segera mengambil alih untuk menetralisir keadaan.  “Oh ya, nama saya Abi sahabatnya Tri sekaligus sepupunya.” Abi berkilah, untuk menghormati keluarga Tejo. Bagaimanapun ini adalah sebenarnya acara keluarga.

Tetapi sebelum Tejo dan Rukmini menjawab malah disabotase sama Tri. Abi hanya menggeleng kepala melihat kelakuan sahabatnya yang suka lepas kendali jika sudah gugup.

“Oh ya pak. Sebelumnya saya minta maaf.” Tri segera menyadari apa yang harus diperbuat diacara ini. “Saya telah lancang melamar Roro terelebih dahulu waktu di Bali.”
“Nggak apa-apa, namanya juga anak muda suka spontanitas. Waktu Roro cerita sama ibunya terlihat senang sekali,” Tejo menanggapi dengan biasa saja.
“Ibu seneng loh ngeliat Roro matanya berbinar-binar gitu. Ibu juga liat rekamannya,” tambah Rukmini. “Nggak nyangka nak Tri bisa romantis juga.”

Tri menanggapi dengan senyum senang dan puas. Usahanya menaklukan takut ketinggan membuahkan hasil, yaitu menyenangkan Roro sekaligus orang tuanya. Tri juga bisa bernafas sedikit lega karena Tejo tidak marah karena anaknya dilamar tanpa sepengetahuannya

“Jadi maksud kedatangan Tri ke sini mau apa?” tanya Tejo to the point dengan nada tegas. Bagi Tri ini adalah pertanyaan introgasi.

Suasaa yang sudah sedikit cair kembali menegang dengan pertanyaan itu. Rasa gugup kembali menghantui Tri. Sebagai lelaki jantan harus siap, meski ada rasa canggung untuk melamar secara resmi.

“Sebelumya saya minta maaf lagi karena tidak membawa keluarga. Ibu saya sedang menjaga cucunya karena mas saya sedang dinas luar kota sedangkan istrinya sibuk bekerja. Mbak saya juga kerja di Jakarta, dia tidak bisa pulang.” Tri terlebih dahulu mengatakan alasa kenapa keluarganya tidak turut hadir pada acara ini.
“Iya nggak apa-apa,” jawab Tejo dengan hangat.
“Maksud kedatangan saya kesini kali ini....” tiba-tiba lidah Tri menjadi kelu. Tenggorokannya tercekat seperti ada yang menahan untuk tidak mengatakan kelanjutannya. Rasa haus menyerang kerongkongan Tri, namun tidak ada minuman di depannya.

Abi kembali menyonggol Tri agar segera menuntaskan perkataannya yang terputus. Tejo dan Rukmini dengn serius menyimak dan memperhatikan Tri yang sudah setengah ngomong maksud tujuan datang ke Solo.

“Maaf, saya jadi gugup.” Tri senyum kecut.
Tejo, Rukmini dan Abi tertawa mendengar kejujuran Tri yang benar-benar sedang gugup.
Rukmini segera sadar, ada yang kurang di meja. Rukmini bangkit dari duduk, di ambang pintu ruang keluarga teriak memanggil asisten rumah tangga. “Inayah......minuman buat tamunya mana?”

Tri sedikit kecewa karena kenapa yang dipanggil Inayah? Seharusnya Roro yang perlu diundang. Tri sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Roro, sang pujaan hati yang sebentar lagi akan di nikahi.

Setelah minum Tri sudah siap melanjutkan lagi. “Maksud kedatangan saya,” Tri kembali mengulang dan terhenti. “Saya mau meminta izin sama bapak Tejo untuk meminang putri bapak yang bernama Roro.”  Lanjut Tri denga satu hembusan nafas. Abi juga ikut bernafas lega.

Tri sudah merasa plong telah mengucapkan izin akan menikahi Roro. Sekarag Tri sedang bersiap menunggu jawaban dari Tejo apakah mengizinkan atau tidak. Tri sudah percaya diri permintaannya akan dikabulkan oleh Tejo.

Namun apa yang dilihat Tri berbeda apa yang dibayangkan. Tejo memang tidak langsung menjawab tetapi wajahnya berubah menjadi serius, sedangkan Rukmini terlihat lebih gelisah. Apa mungkin firasat buruk Tri akan terjawab sekarang? Dengan cemas Tri menunggu jawaban dari Tejo.

“Maaf sebelumnya,” akhirnya Tejo bersuara. Tetapi nadanya sumbang, terdengar
“Kenapa pak?” tanya Tri tidak mengerti maksud Tejo yang mengatakan seperti itu nada orang antara menolak atau memberi pengunguman.
“Apa sebelumnya nak Tri sudah mengetahui tentang kesehatan Roro?” tanya Tejo pelan dan hati-hati.
“Iya tahu. Roro ada sakit asma, kadang suka batuk pilek. Sakit yang umum saja. Selebihnya saya tidak tahu,” balas Tri serampangan, karena masih belum tahu ada gerangan apa.
“Bukan itu saja. Berarti Tri belum mengetahui semuanya,” tukas Rukmini agak terisak.
Tri semakin gugup dan bingung. Akan ada kejujuran apa lagi? sepertinya ini suatu yang mengerikan. “Ada apa bu? Katakan saja, saya siap mendengarkan.” Tri bersikap seolah-olah tenang, padahal perasaan sedang berkecambuk.
Tejo menghembuskan nafas dalam-dalam, siap untuk mengatakan rahasia besar yang selama ini Roro sembunyikan. “Waktu SMA, Roro menjalani kemoterapi.” Tejo mengatakan itu dengan tenang. Sebaliknya Rukmini sedang terisak.

Seperti ada petir yang menyambar relung hati Tri, namun Tri berusaha bersikap tenang mendengarkan perkataan Tejo selanjutnya yang belum tuntas. Saat ini Tri belum bisa berfikir apa-apa.

“Roro pernah terekena kanker saluran rahim. Meskipun sekarang sudah dinyatakan bersih tetapi ada kemungkinan dia tidak bisa hamil. Atau kemungkinan kecil saja Roro bisa hamil,” lanjut Tejo menuntaskan permasalahan yang dihadapi Roro.

Tri kembali seperti disambar petir. Fikirannya kacau, hatinya remuk, kecewa, dan rasanya sedih. Rasanya ingin segera keluar dari rumah ini dan lari entah kemana. Bukan pria sejati bila lari dari permasalah. Tri menjadi merana di rumah pacarnya yang semestinya akan segera di nikahi. Otaknya segera tersadar dan kembli mengkumulasi keputusan yang harus diambil.

Tri melihat Rukmini menangis sesenggukan. Di sudut mata Tejo tersembul titik air mata yang sedang berusaha ditahan agar tidak menetes. Sungguh berat mengatakan kenyataan ini. Tri pun merasa terbebani mendapati kebenaran yang menghenyakkan sanubarinya.

Tri segera megambil keputusan saat ini juga.

Bersambung.



No comments: