Friday 31 July 2015

Cerpen: Bertemu Denganmu

Mada termenung di tepi tebing Uluwatu, yang dibatasi tembok setinggi setengah meter. Matanya memandang luas samudera tetapi fikiran melayang kemana-mana. Terlalu banyak masalah yang sedang dihadapi. Mada mengira jika kesini bisa berfikir segar melihat pemandangan, ahhh itu hanya harapan belaka Mada saja. Kenyataan terbalik, yang ada Mada malah memikirkan yang lain.

Mada mulai naik tembok yang tidak terlalu tinggi. Lalu duduk di atasnya. Gelisah menyergap perasaan Mada. Kaki sudah teruncang-uncang di luar tembok, 300 meter di bawah kaki ada deburan ombak yang menghantam tebih. Rupanya biru langit dan samudera tidak bisa menentramkan hati dan fikiran Mada. Suasana hati Mada semakin keruh, nafas tidak beraturan.

“Bli, loncat saja,” seorang pria yang berdiri mematung yang dari tadi memerhatikan Mada menyuruh segera loncat.
Mada menengok pria tersebut dengan heran. “Kenapa kamu bilang seperti itu?” Mada bingung sendiri sebenernya yang waras dia atau dirinya. Ada orang mau bunuh diri malah di semangati
“Tidak usah ragu-ragu untuk mengakhiri hidup. Masalahmu bisa cepat selesai,” pria itu menjelaskan alasan menyuruh Mada untuk segera loncat. “Tetapi karena kamu bunuh diri akan timbul masalah lain bagi orang lain dan buat kamu sendiri di akhirat.”

Kali ini Mada membalikkan tubuh menghadap pria tersebut. Pria itu menyuruh loncat namun dia menjelaskan akan ada masalah baru lagi. Mada langsung memikirkan keluarga yang masih bertumpu pada dirinya. Belum lagi ada Surya, lelaki yang selama ini dipacari beberapa tahun.

Memang benar, tadi Mada berencana bunuh diri dan sekarang fikiran itu masih mengendap. Buat Mada masalah yang membelit terlalu menyiksa dan menekan syaraf fikiran. Mada merasakan sudah tidak tahan dengan himpitan hidup yang kejam. Orang tua masih mengejar Mada untuk segera menikah. Belum lagi Surya diam-diam berhubungan dengan pria lain.

Mada kembali ke posisi semula menghadap luas samudera. Orang yang di sebelah diacuhkan saja, toh dia juga bukan siapa-siapa. Ini adalah urusan hidup Mada, bukan orang lain. Bayangan Surya kembali berkelebat di ilusi Mada, dengan mata kepala sendiri melihat Surya sedang berciuman dengan bule di cafe daerah Seminyak. Dalam pandangan Mada mereka terlihat begitu mesra. Memori Mada beralih pada bayangan ibu yang selalu mengomel mengenai pernikahan, sudah ratusan kali ibu menyindir dari ingin punya mantulah, ingin punya cucu, yang jelas kata ibu ingin melihat Mada bahagia.

“Bli nggak usah ragu untuk loncat,” orang tersebut mengulang menyuruh Mada, nadanya dan tampangnya dasar saja.
“Kenapa bli menyuruh tiyang loncat?” tanya Mada sambil menengok orang itu lagi.
“Itu yang bli mau kan?” dia malah membalik tanya.
“Kata siapa itu yang saya mau?” Mada tidak menjawab, malah bertanya lagi. Mada fikir ini orang sok tau banget.

Mada mencoba menyangkal apa yang dituduhkan orang asing. Penyangkalan tersebut merupakan bagian dari keraguan Mada untuk mengakhiri hidup. Masih perlu difikirkan ulang untuk bunuh diri. Orang asing tersebut masih berdiri sekitar dua meter di hadapan Mada. Dia mengenakan udeng, kemeja dan sarung semua serba putih, menandakan habis ibadah di Pura.

“Kenapa Tuhan memberi cobaan berat sama hambanya?” tanya Mada frustasi pada orang asing tersebut. Mada bertanya pada dia karena setidaknya dia masih percaya Tuhan meskipun berbeda keyakinan dengan Mada, siapa tahu bisa menjawab.
“Karena Tuhan ingin bli lebih dekat denganNya,” jawab orang asing dengan tenang.
“Tiyang sudah dekat dengan Tuhan, setiap hari sholat, ngaji dan lain-lain,” Mada tidak terima dengan pendapat orang asing itu.
“Berarti Tuhan sedang meningkatkan kualitas spiritual bli,” orang asing masih menjawab dengan tenang. “Cobaan diberikan untuk kita belajar bersyukur dan ikhlas.”
“Kenapa cobaan ini berat yang saya terima?” Mada masih saja memprotes pada orang yang tidak mengerti permasalahan yang Mada hadapi. 
“Mungkin itu menurut bli berat. Coba fikir pelan dan positif thinking pasti tidak terasa berat,” orang asing tersebut masih menenangan Mada yang sedang kalut. “Apa yang tiyang rasa masalah ini berat, mungkin buat bli biasa saja. Masalah berat atau tidak itu relatif bli.”
“Ah kamu bisa saja ngomong seperti itu karena kamu tidak pernah mengalaminya,” Mada menatap lekat orang itu dengan jengkel.
“Mau minum kopi sama saya bli?” orang asing itu tidak mengubris omongan Mada malah mengajak minum kopi. “Oh ya nama saya Jero Hanyom, panggil saja Hanyom.” Hanyom segera mengenalkan diri agar Mada percaya pada dirinya. Tangannya menjulur untuk salaman.
“Mada.” Mada ikut mengenalkan diri tetapi mengacuhkan jabatan tangan Hanyom.

Mada terdiam sejenak memikirkan ajakan Hanyom. Orang yang tidak kenal sebelumnya malah mengajak ngopi bareng. Mada ragu untuk mengikuti Hanyom karena enggan menceritakan cerita sebenarnya, buat Mada, dirinya yang gay adalah sebuah aib. Apalagi cerita cintanya yang terancam kandas. Mada mengalihkan pandangannya ke luas samudera lagi. Kemudian berbalik, kakinya menyentuh tanah sisi dalam tembok. Hanyom bernafas lega, Mada mengikuti ajakannya.

Sepanjang jalan mereka terdiam. Hanyom tidak mengajak ngobrol agar Mada tenang. Hanyom melihat wajah Mada yang kusut dan tampak frustasi. Sesekali Hanyong tersenyum pada Mada yang curi-curi pandang. Hanyom mengendarai mobilnya Mada menuju ke rumah Hanyom yang tidak jauh dari Pura Uluwatu. Entah kenapa Mada percaya begitu saja pada Hanyom, memberikan kunci mobil saat Hanyom mengajukan diri untuk jadi supir. Fikiran Mada sudah lelah, sangat berhaya bila mengendarai kendaraan.

Mada percaya mengikuti Hanyom. Senyum Hanyom terlihat teduh dan menyakinkan bahwa dia orang yang bersahabat. Sewaktu turun dari tembok Hanyom juga ikut memegangi Mada yang sedang ringkih. Genggaman tangan Hanyom memberi kehangatan dan menyalurkan kasih sayang, itu yang dirasakan oleh Mada. Mungkin yang dibutuhkan Mada adalah teman cerita, meski tidak untuk diselesaikan tetapi Mada butuh orang yang mau mendengarkan kisah pilu.

Lima belas menit perlajan terasa singkat, akhirnya mereka sampai di rumah tradisonal Bali yang terlihat megah dengan gapura yang menjulang tinggi. Mereka sudah sampai di rumahnya Hanyom yang memang keturunan bangsawan kerajaan Badung. Ada beberapa banten berserak depan gapura.

“Di dalam saja. Kalau malam tumbuhan mengeluarkan karbondioksida, nanti kamu keracunan dan berubah fikiran lagi,” canda Hanyom sambil mengajak Mada masuk ke dalam paviliun yg di tempati khusus untuk Hanyom.

Mada hanya membalas dengan senyum. Sebenarnya Mada sudah sedikit lega, jauh dari tebing Uluwatu. Mada juga merasa hangat, aman dan nyaman ditemani oleh Hanyom. Aroma dupa menusuk hidung Mada yang tidak terbiasa dengan wangi-wangi dupa yang menyengat. Paviliun terbagi ruang tidur, dapur kecil dan kamar mandi.

Mada duduk di karpet depan televisi yang besar sekali. Dia atas televisi ada foto Hanyom setengah badan namun tidak mengenakan baju dengan pose yang menggiurkan. Ruangan tersebut tertata rapi dan dekorasi yang artistik.

“Ini kopinya.” Hanyom menyerahkan secangkir kopi kepada Mada yang masih celingak-celinguk melihat dekorasi kamar.
“Terima kasih.” Mada mengambil kopi, lalu menyeruput sedikit. “Enak sekali,” Mada mengomentari kopi buatan Hanyom.
“Terima kasih, tapi tiyang rasa ini biasa saja,” Hanyom merendahkan diri.

Mereka kambali pada suasana beku. Hanyom menunggu reaksi Mada selanjutnya, apakah akan bercerita masalahnya atau tidak.  Mada sendiri sedang mempertimbangkan untuk bercerita atau tidak. Rasanya tidak pantas saja menceritakan aib. Tetapi disisi lain tidak enak jika terjebak dalam keheningan. Mada pun tidak tahu untuk membuat topik apa.

“Tidak usah cerita masalah bli kepada tiyang,” Hanyom memecah keheningan. Hanyom merasakan gelagat canggung dari Mada.
“Terima kasih tadi sudah mencegah saya untuk bunuh diri.” Secara reflek Mada menggenggam tangan Hanyom. Senyum manis mengembang dari bibir Hanyom yang dibingkai kumis tipis.
“Tiyang tidak mencegah, tiyang cuma mengajak bli untuk minum kopi bersama, siapa tahu bisa jadi sahabat.” Kali ini Hanyom yang berbalik menggenggam tangan Mada.

Mada jadi semakin tidak enak pada Hanyom yang sudah berbaik hati. Hanyom tidak sekedar menawarkan minum kopi. Persahabatan, yang ditawarkan oleh Hanyom. Fikir Mada sudah jarang ada orang baru pertama kenal ingin menjalin perahabat. Apalagi Hanyom bertemu Mada saat kondisi yang tidak baik, dengan rambut acak-acakkan, baju kumal dan fikiran kacau, terlebih pada saat Mada punya fikiran untuk bunuh diri.

“Saya gay,” ucap Mada begitu saja. Mada menoleh ke Hanyom untuk melihat reaksinya menjadi jijik atau tidak.
“Lalu kenapa?” tanya Hanyom, wajahnyapun datar saja.
“Kamu tidak jijik atau marah atau apa gitu setelah mendengar penyataan saya?” tanya Mada keheranan. Baru ada cowok straight yang biasa saja mengetahui cowok di sebelahnya adalah gay, itu yang ada di benak Mada.
“Kenapa harus jijik? Kita sama punya lolok (penis). Kalau tiyang jijik, berarti tiyang jijik juga sama diri sendiri,” kelakar Hanyom dengan sedikit gelak.

Mada manggut-manggut saja. Terseralah apa kata Hanyom, benak Mada. Setidaknya Hanyom masih bereaksi biasa saja. Kadang ada lelaki normal langsung menghindar jika mengetahui lelaki di sebelahnya adalah gay. Sebenernya itu adalah rasis dalam kalangan pria itu sendiri.

“Aku dipaksa menikah oleh ibu dan ayah,” lanjut Mada menceritakan kisah pilu.
“Pasti hal itu sangat menganggu kamu ya?” tanya Hanyom hati-hati.
“Sangat menganggu. Saya sampai bingung memberi alasan apa lagi, padahal saya tidak tertarik dengan wanita,” balas Mada jadi frustasi lagi.
“Sudah mencoba berhubungan wanita?” tanya Hanyom lagi, dia sedang akan menalisa permasalahan Mada.
Mada mengangguk lemah, tanda sudah pernah berpacaran dengan wanita. “Tetapi sama saja saya tidak ada cinta. Bagimana mau cinta, nafsupun tidak. Seorang cowok biasanya dari nafsu jadi cinta.”  Kali ini Mada bukan lagi frustasi melainkan merana.

Sudah berapa kali Mada mencoba berpacaran dengan wanita. Hal itu dilkukan untuk menyangkal bahawa dirinya bukan gay. Semakin berusaha mencintai semakin hampa rasanya. Mada tidak menerima rangsangan itu. Sentuhan wanita tidak bisa membuat dirinya bergairah, malah menjadi jijik. Bukan itu saja, tetapi Mada merasa dirinyalah yang harus dilindungi. Mada tidak mau repot melindungi orang, apalagi wanita yang dalam benaknya adalah makhluk lemah.

“Kenapa bli tidak coming out saja ke orang tua?” tanya Hanyom dengan enteng sambil menyeruput kopi.
“Mending saya bunuh diri saja tadi kalau itu,” Mada sedikit berjingkat kaget atas pertanyaan Hanyom sesuatu yang mengerikan. “Saya bisa diusir, dimarah-marah, atau bisa juga dicabut hak waris. Saya nggak siap itu semua.”
“Kata siapa mereka akan bereaksi seperti itu?” tanya Hanyom lagi dengan senyum manis. “Itukan hanya asumsi bli saja.”

Mada jadi ragu apa yang telah diucapkan. Apa yang dikatakan Hanyom benar, itu Cuma fikiran Mada saja yang terlalu paranoid dengan reaksi orang tua murka. Mada sudah teracuni oleh film dan ocehan kawan-kawan yang menakut-takuti jika coming out kepada orang tua.

“Belum tentu reaksi orang tua seperti itu,” Hanyom mencoba menenangkan Mada lagi. “Orang tua pasti kecewa tau anaknya gay. Mereka lebih kecewa lagi jika anaknya tidak jujur.”
“Tapi aku takut mereka jadi tidak bahagia,” Mada menimpal dengan cepat.
“Memang bli tahu apa yang membuat mereka bahagia?” tanya Hanyom dengan tangkas memuata Mada tidak berkutik.
“Mungkin mereka bisa bahagia kalau saya menikah,” jawab Mada terbata-bata yang menandakan ragu atas jawabannya.
“Bli sudah tanya sama mereka?” Hanyom kembali bertanya untuk mencari kepastian.

Mada menggelengkan kepala tanda tidak pernah menanyakan. Saat itu pula Mada tersadar jika selama ini Mada seperti jauh dari orang tua padahal tinggal satu atap. Mada terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Setiap pulang kantor langsung masu ke kamar, keluar oada pagi hari untuk sarapan lalu langsung pergi. Mada hanya tau omelan ibu atau ayah yang ingin Mada segera menikah, jadi Mada cuma tau jika pernikahan adalah suatu yang membahagikan orang tuanya.

“Cobalah bli jelaskan pelan-pelan tentang keadaan bli kepada mereka,” ucap Hanyom setelah menarik nafas untuk persiapan penjelasan. “Setelah penjelasan itu bisa saja mereka tidak mengungkit pernikahan lagi.
“Bagaimana sebaliknya jika mereka semakin mengejar saya untuk menikah?” tanya Mada ragu dengan saran yang Hanyom berikan.
“Kamu jelaskan lagi kalau tidak bisa menikah. Bli jelaskan dampak dari pada pernikahan kamuflase akan lebih menyiksa.”
“Apa itu pernikahan kamuflase?” tanya Mada memotong pembicaraan Hanyom.
“Pernikahan hanya untuk menutupi gay,” Hanyom pun membalas dengan cepat. “Bli jelaskan bahwa pernikahan kamuflase pada akhirya tidak sehat secara fisik dan mental. Bli merasa tertekan karena membohongi diri dan orang lain. Gairah sekspun akan berbeda pula, bli melakukan seks karena terpaksa. Bli harus kerja keras untuk “berdiri”,” lanjut Hanyom menjelasan pernikahan kamuflase.
“Saya juga sempat berfikir seperti itu. Saya fikir ulang bukan solusi yang terbaik,” Mada menyetujui penjelasan Hanyom.

Mada memang pernah berfikir untuk menikah kamuflase. Berkali-kali Mada mencoba mendakati cewek yang lesbian yang punya tujuan menikah kamuflase. Tetapi lubuk hatinya mengatakan ini tidak bisa dilakukan karena bagaimanapun juga pernikahan bukan untuk main-main. Sekali memainkan pernikahan sama seperti mempermainkan Tuhan. Menikah kamuflase bagaikan mengingkari janji atas nama Tuhan untuk hidup bersatu dengan tulus, nyatanya pernikahan itu terpaksa dan untuk kepentingan ego sendiri.

“Jadi lebih baik saya jujur?” tanya Mada untuk minta pendapat. Mada memandang lekat Hanyom untuk menyakinkan diri jika keputusannya adalah yang terbaik.
“Kalau menurut bli lebih baik seperti itu ya lakukan saja,” balas Hanyom sambil menggenggam tangan Mada untuk memberi kekuatan.
“Saya nggak tahu ini bisa menjadi lebih baik atau tidak. Setidaknya orang tua tahu keadaan saya,” Mada memang tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi dari kejujuran orang tuanya jadi mengetahui apa yang dirasakan Mada, dari tahu menjadi paham apa yang Mada rasakan, itu yang Mada harapkan.
“Tiyang percaya orang tua bahagia karena melihat anaknya bahagia,” senyum tulus mengembang dari bibir Hanyom, menambah keyakinan untuk Mada untuk melakukan coming out pada orang tua. Mada membalas dengan senyuman. “Bli bisa membahagikan orang tua dengan cara lain, tidak mesti dengan pernikahan,” tambah Hanyom.

Pada akhirnya Mada memang harus coming out kepada orang tuanya. Mada sudah pasrah apa yang akan terjadi. Lebih menyiksa seperti ini, menyembunyikan jati diri dan terus-menerus berbohong. Kata orang kejujuran itu menyakitkan untuk di dengar dan dilihat. Tetapi akan indah pada saatnya ketika sudah ikhlas menerima kenyataan. Tentunya akan menjadi lega.

“Ada satu lagi yang membuat saya frustasi,” ucap Mada setelah menyeruput kopi yang sudah tidak terlalu panas.
“Ceritakan saja lah,” Hanyom masih antusias akan menengaran kisah nestapa Mada.
“Bli tidak bosan?” tanya Mada, karena menurutnya dari tadi sudah teralalu banyak berkeluh kesah.
“Tidak. Mada. Bli perlu menceritakan semunya. Tiyang takut nanti di tengah jalan bli belok ke Uluwatu lagi,” canda Hanyom dibumbui sedikit gelak agar suasana jadi santai.

Mada pun ikut tergelak mendengar canda Hanyom. Sebenarnya Mada juga menertawakan dirinya sendri, begitu bodoh sampai berniat bunuh diri apalagi hanya masalah pernikahan dan di khianati oleh lelaki. Mada merasa sebagai pengecut tidak bisa menyelesaikan masalah, malah melarikan diri.

“Surya mengkhianati cinta saya. Dia berselingkuh dengan lelaki lain,” Mada mememulai curhat sesi dua. “Surya itu pacar saya. Kita sudah jadian selama lima tahun. Lalu saya minta putus”
“Kamu sudah mendengarkan penjelasan dia?” tanya Hanyom. Wajahnya serius meyimak cerita Mada.
“Sudah,” nada Mada semakin pilu. “Kata dia, saya orang yang membosankan,” kali ini bukan sekedar pilu namun jadi merana. Suatu alasan yang menyakitkan.
“Jadi jodoh kamu sama Surya Cuma sampai disitu saja,” Hanyom menanggapi dengan enteng. “Nggak usah disesali atau ditangisi toh dia juga tidak menangisi kamu.”

Mada semakin merasa bodoh lagi. Mada merasa sudah menyia-nyiakan air mata hanya untuk Surya yang sudah tidak perduli lagi dengan dirinya. Mada berfikir apa yang dikatakan Hanyom benar, jika waktu kebersamaan Surya sudah habis. Mada cuma belum terima akhir cinta menjadi menyakitkan.

“Tapi kenapa akhirnya menjadi seperti ini? Saya melihat dengan kepala sendiri dia bermesraan dengna cowok lain,” Mada menceritakan sedikit emosi, karena kembali mengingat kejadian pahit.
Positif thinking saja, hal itu untuk mempercepat bli meninggalkan dia. Tidak ada gunanya lagi mempertahankan orang yang telah menyia-nyiakan kita,”  ujar Hanyom untuk menenangkan Mada. “Ada banyak cara Tuhan untuk mengakhiri hubungan hambanya, meski dengan cara menyakitkan. Tetapi pada akhirnya kita menerima bahwa dia memang bukan yang terbaik untuk kita.”
“Tapi.......” Mada siap memprotes lagi.
Hanyom segera mencegah protesan Mada. “Nggak ada tetapi.” Telunjuk Hanyom menyentuh bibir Mada yang masih menganga karena omongannya terhenti. “Tuhan sedang mempersiapkan orang yang lebih baik dari Surya untuk kamu,” tandas Hanyom sambil memberikan senyum terbaiknya.

Apakah orang itu Hanyom? Itu yang ada di dalam benak Mada. Hanyom begitu hangat menerima Mada. Belum lagi Hanyom orang yang tenang dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Mada menyukai sikap Hanyom yang mampu menjadi pendengar setia. Hanyom yang berkulis eksotis, meski tidak cakep tetapi punya kharisma yang membuat menarik. Ketenangan dan kenyaman itu yang dirasakan Mada saat ini berada di dekat Hanyom.

Mada kembali menyeruput kopi yang sudah adem. Mada sudah jauh merasa lebih tenang dan siap untuk menghadapi hari esok. Segelas kopi dan teman cerita yang menyenangkan sudah Mada dapatkan.

Mada menjadi kikuk ketika Hanyom lekat-lekat mengamati Mada. Tatapan Hanyom membuat Mada salah tingkah. Mada jadi celingak-celingkuk mengamati dirinya barang kali ada yang salah.
“Kamu minumnya belepotan, ini jadi hitam.” Jari-Jari Hanyom menempel bibir untuk menyeka ampas kopi. Setelah itu pandangan Hanyom masih belum beranjak menatap Mada yang semakin salah tingkah. Tanpa membuang waktu lagi bibir Hanyom melumat bibir Mada.

Mada tidak berkutik. Mada menikmati sentuhan antar bibir. Semoga ini menjadi awal yang baik, batin Mada.


No comments: