Mada termenung di tepi
tebing Uluwatu, yang dibatasi tembok setinggi setengah meter. Matanya memandang
luas samudera tetapi fikiran melayang kemana-mana. Terlalu banyak masalah yang
sedang dihadapi. Mada mengira jika kesini bisa berfikir segar melihat pemandangan,
ahhh itu hanya harapan belaka Mada saja. Kenyataan terbalik, yang ada Mada
malah memikirkan yang lain.
Mada mulai naik tembok
yang tidak terlalu tinggi. Lalu duduk di atasnya. Gelisah menyergap perasaan
Mada. Kaki sudah teruncang-uncang di luar tembok, 300 meter di bawah kaki ada
deburan ombak yang menghantam tebih. Rupanya biru langit dan samudera tidak
bisa menentramkan hati dan fikiran Mada. Suasana hati Mada semakin keruh, nafas
tidak beraturan.
“Bli, loncat saja,”
seorang pria yang berdiri mematung yang dari tadi memerhatikan Mada menyuruh
segera loncat.
Mada menengok pria
tersebut dengan heran. “Kenapa kamu bilang seperti itu?” Mada bingung sendiri
sebenernya yang waras dia atau dirinya. Ada orang mau bunuh diri malah di
semangati
“Tidak usah ragu-ragu
untuk mengakhiri hidup. Masalahmu bisa cepat selesai,” pria itu menjelaskan
alasan menyuruh Mada untuk segera loncat. “Tetapi karena kamu bunuh diri akan
timbul masalah lain bagi orang lain dan buat kamu sendiri di akhirat.”
Kali ini Mada
membalikkan tubuh menghadap pria tersebut. Pria itu menyuruh loncat namun dia
menjelaskan akan ada masalah baru lagi. Mada langsung memikirkan keluarga yang
masih bertumpu pada dirinya. Belum lagi ada Surya, lelaki yang selama ini
dipacari beberapa tahun.
Memang benar, tadi
Mada berencana bunuh diri dan sekarang fikiran itu masih mengendap. Buat Mada
masalah yang membelit terlalu menyiksa dan menekan syaraf fikiran. Mada
merasakan sudah tidak tahan dengan himpitan hidup yang kejam. Orang tua masih
mengejar Mada untuk segera menikah. Belum lagi Surya diam-diam berhubungan
dengan pria lain.
Mada kembali ke posisi
semula menghadap luas samudera. Orang yang di sebelah diacuhkan saja, toh dia
juga bukan siapa-siapa. Ini adalah urusan hidup Mada, bukan orang lain.
Bayangan Surya kembali berkelebat di ilusi Mada, dengan mata kepala sendiri
melihat Surya sedang berciuman dengan bule di cafe daerah Seminyak. Dalam
pandangan Mada mereka terlihat begitu mesra. Memori Mada beralih pada bayangan
ibu yang selalu mengomel mengenai pernikahan, sudah ratusan kali ibu menyindir
dari ingin punya mantulah, ingin punya cucu, yang jelas kata ibu ingin melihat
Mada bahagia.
“Bli nggak usah ragu
untuk loncat,” orang tersebut mengulang menyuruh Mada, nadanya dan tampangnya
dasar saja.
“Kenapa bli menyuruh
tiyang loncat?” tanya Mada sambil menengok orang itu lagi.
“Itu yang bli mau
kan?” dia malah membalik tanya.
“Kata siapa itu yang saya
mau?” Mada tidak menjawab, malah bertanya lagi. Mada fikir ini orang sok tau
banget.
Mada mencoba
menyangkal apa yang dituduhkan orang asing. Penyangkalan tersebut merupakan
bagian dari keraguan Mada untuk mengakhiri hidup. Masih perlu difikirkan ulang
untuk bunuh diri. Orang asing tersebut masih berdiri sekitar dua meter di
hadapan Mada. Dia mengenakan udeng, kemeja dan sarung semua serba putih, menandakan
habis ibadah di Pura.
“Kenapa Tuhan memberi
cobaan berat sama hambanya?” tanya Mada frustasi pada orang asing tersebut.
Mada bertanya pada dia karena setidaknya dia masih percaya Tuhan meskipun
berbeda keyakinan dengan Mada, siapa tahu bisa menjawab.
“Karena Tuhan ingin
bli lebih dekat denganNya,” jawab orang asing dengan tenang.
“Tiyang sudah dekat
dengan Tuhan, setiap hari sholat, ngaji dan lain-lain,” Mada tidak terima
dengan pendapat orang asing itu.
“Berarti Tuhan sedang
meningkatkan kualitas spiritual bli,” orang asing masih menjawab dengan tenang.
“Cobaan diberikan untuk kita belajar bersyukur dan ikhlas.”
“Kenapa cobaan ini
berat yang saya terima?” Mada masih saja memprotes pada orang yang tidak
mengerti permasalahan yang Mada hadapi.
“Mungkin itu menurut
bli berat. Coba fikir pelan dan positif
thinking pasti tidak terasa berat,” orang asing tersebut masih menenangan
Mada yang sedang kalut. “Apa yang tiyang rasa masalah ini berat, mungkin buat
bli biasa saja. Masalah berat atau tidak itu relatif bli.”
“Ah kamu bisa saja
ngomong seperti itu karena kamu tidak pernah mengalaminya,” Mada menatap lekat
orang itu dengan jengkel.
“Mau minum kopi sama
saya bli?” orang asing itu tidak mengubris omongan Mada malah mengajak minum
kopi. “Oh ya nama saya Jero Hanyom, panggil saja Hanyom.” Hanyom segera
mengenalkan diri agar Mada percaya pada dirinya. Tangannya menjulur untuk
salaman.
“Mada.” Mada ikut
mengenalkan diri tetapi mengacuhkan jabatan tangan Hanyom.
Mada terdiam sejenak
memikirkan ajakan Hanyom. Orang yang tidak kenal sebelumnya malah mengajak
ngopi bareng. Mada ragu untuk mengikuti Hanyom karena enggan menceritakan
cerita sebenarnya, buat Mada, dirinya yang gay adalah sebuah aib. Apalagi
cerita cintanya yang terancam kandas. Mada mengalihkan pandangannya ke luas
samudera lagi. Kemudian berbalik, kakinya menyentuh tanah sisi dalam tembok.
Hanyom bernafas lega, Mada mengikuti ajakannya.
Sepanjang jalan mereka
terdiam. Hanyom tidak mengajak ngobrol agar Mada tenang. Hanyom melihat wajah
Mada yang kusut dan tampak frustasi. Sesekali Hanyong tersenyum pada Mada yang
curi-curi pandang. Hanyom mengendarai mobilnya Mada menuju ke rumah Hanyom yang
tidak jauh dari Pura Uluwatu. Entah kenapa Mada percaya begitu saja pada
Hanyom, memberikan kunci mobil saat Hanyom mengajukan diri untuk jadi supir.
Fikiran Mada sudah lelah, sangat berhaya bila mengendarai kendaraan.
Mada percaya mengikuti
Hanyom. Senyum Hanyom terlihat teduh dan menyakinkan bahwa dia orang yang
bersahabat. Sewaktu turun dari tembok Hanyom juga ikut memegangi Mada yang
sedang ringkih. Genggaman tangan Hanyom memberi kehangatan dan menyalurkan kasih
sayang, itu yang dirasakan oleh Mada. Mungkin yang dibutuhkan Mada adalah teman
cerita, meski tidak untuk diselesaikan tetapi Mada butuh orang yang mau
mendengarkan kisah pilu.
Lima belas menit
perlajan terasa singkat, akhirnya mereka sampai di rumah tradisonal Bali yang
terlihat megah dengan gapura yang menjulang tinggi. Mereka sudah sampai di
rumahnya Hanyom yang memang keturunan bangsawan kerajaan Badung. Ada beberapa banten berserak depan gapura.
“Di dalam saja. Kalau
malam tumbuhan mengeluarkan karbondioksida, nanti kamu keracunan dan berubah
fikiran lagi,” canda Hanyom sambil mengajak Mada masuk ke dalam paviliun yg di
tempati khusus untuk Hanyom.
Mada hanya membalas
dengan senyum. Sebenarnya Mada sudah sedikit lega, jauh dari tebing Uluwatu.
Mada juga merasa hangat, aman dan nyaman ditemani oleh Hanyom. Aroma dupa
menusuk hidung Mada yang tidak terbiasa dengan wangi-wangi dupa yang menyengat.
Paviliun terbagi ruang tidur, dapur kecil dan kamar mandi.
Mada duduk di karpet
depan televisi yang besar sekali. Dia atas televisi ada foto Hanyom setengah
badan namun tidak mengenakan baju dengan pose
yang menggiurkan. Ruangan tersebut tertata rapi dan dekorasi yang artistik.
“Ini kopinya.” Hanyom
menyerahkan secangkir kopi kepada Mada yang masih celingak-celinguk melihat
dekorasi kamar.
“Terima kasih.” Mada
mengambil kopi, lalu menyeruput sedikit. “Enak sekali,” Mada mengomentari kopi
buatan Hanyom.
“Terima kasih, tapi
tiyang rasa ini biasa saja,” Hanyom merendahkan diri.
Mereka kambali pada
suasana beku. Hanyom menunggu reaksi Mada selanjutnya, apakah akan bercerita
masalahnya atau tidak. Mada sendiri
sedang mempertimbangkan untuk bercerita atau tidak. Rasanya tidak pantas saja
menceritakan aib. Tetapi disisi lain tidak enak jika terjebak dalam keheningan.
Mada pun tidak tahu untuk membuat topik apa.
“Tidak usah cerita
masalah bli kepada tiyang,” Hanyom memecah keheningan. Hanyom merasakan gelagat
canggung dari Mada.
“Terima kasih tadi
sudah mencegah saya untuk bunuh diri.” Secara reflek Mada menggenggam tangan
Hanyom. Senyum manis mengembang dari bibir Hanyom yang dibingkai kumis tipis.
“Tiyang tidak
mencegah, tiyang cuma mengajak bli untuk minum kopi bersama, siapa tahu bisa
jadi sahabat.” Kali ini Hanyom yang berbalik menggenggam tangan Mada.
Mada jadi semakin
tidak enak pada Hanyom yang sudah berbaik hati. Hanyom tidak sekedar menawarkan
minum kopi. Persahabatan, yang ditawarkan oleh Hanyom. Fikir Mada sudah jarang
ada orang baru pertama kenal ingin menjalin perahabat. Apalagi Hanyom bertemu Mada
saat kondisi yang tidak baik, dengan rambut acak-acakkan, baju kumal dan
fikiran kacau, terlebih pada saat Mada punya fikiran untuk bunuh diri.
“Saya gay,” ucap Mada
begitu saja. Mada menoleh ke Hanyom untuk melihat reaksinya menjadi jijik atau
tidak.
“Lalu kenapa?” tanya
Hanyom, wajahnyapun datar saja.
“Kamu tidak jijik atau
marah atau apa gitu setelah mendengar penyataan saya?” tanya Mada keheranan.
Baru ada cowok straight yang biasa
saja mengetahui cowok di sebelahnya adalah gay, itu yang ada di benak Mada.
“Kenapa harus jijik?
Kita sama punya lolok (penis). Kalau
tiyang jijik, berarti tiyang jijik juga sama diri sendiri,” kelakar Hanyom
dengan sedikit gelak.
Mada manggut-manggut
saja. Terseralah apa kata Hanyom, benak Mada. Setidaknya Hanyom masih bereaksi
biasa saja. Kadang ada lelaki normal langsung menghindar jika mengetahui lelaki
di sebelahnya adalah gay. Sebenernya itu adalah rasis dalam kalangan pria itu
sendiri.
“Aku dipaksa menikah
oleh ibu dan ayah,” lanjut Mada menceritakan kisah pilu.
“Pasti hal itu sangat
menganggu kamu ya?” tanya Hanyom hati-hati.
“Sangat menganggu.
Saya sampai bingung memberi alasan apa lagi, padahal saya tidak tertarik dengan
wanita,” balas Mada jadi frustasi lagi.
“Sudah mencoba
berhubungan wanita?” tanya Hanyom lagi, dia sedang akan menalisa permasalahan
Mada.
Mada mengangguk lemah,
tanda sudah pernah berpacaran dengan wanita. “Tetapi sama saja saya tidak ada
cinta. Bagimana mau cinta, nafsupun tidak. Seorang cowok biasanya dari nafsu
jadi cinta.” Kali ini Mada bukan lagi
frustasi melainkan merana.
Sudah berapa kali Mada
mencoba berpacaran dengan wanita. Hal itu dilkukan untuk menyangkal bahawa
dirinya bukan gay. Semakin berusaha mencintai semakin hampa rasanya. Mada tidak
menerima rangsangan itu. Sentuhan wanita tidak bisa membuat dirinya bergairah,
malah menjadi jijik. Bukan itu saja, tetapi Mada merasa dirinyalah yang harus
dilindungi. Mada tidak mau repot melindungi orang, apalagi wanita yang dalam
benaknya adalah makhluk lemah.
“Kenapa bli tidak coming out saja ke orang tua?” tanya
Hanyom dengan enteng sambil menyeruput kopi.
“Mending saya bunuh
diri saja tadi kalau itu,” Mada sedikit berjingkat kaget atas pertanyaan Hanyom
sesuatu yang mengerikan. “Saya bisa diusir, dimarah-marah, atau bisa juga
dicabut hak waris. Saya nggak siap itu semua.”
“Kata siapa mereka
akan bereaksi seperti itu?” tanya Hanyom lagi dengan senyum manis. “Itukan
hanya asumsi bli saja.”
Mada jadi ragu apa
yang telah diucapkan. Apa yang dikatakan Hanyom benar, itu Cuma fikiran Mada
saja yang terlalu paranoid dengan reaksi orang tua murka. Mada sudah teracuni
oleh film dan ocehan kawan-kawan yang menakut-takuti jika coming out kepada orang tua.
“Belum tentu reaksi
orang tua seperti itu,” Hanyom mencoba menenangkan Mada lagi. “Orang tua pasti
kecewa tau anaknya gay. Mereka lebih kecewa lagi jika anaknya tidak jujur.”
“Tapi aku takut mereka
jadi tidak bahagia,” Mada menimpal dengan cepat.
“Memang bli tahu apa
yang membuat mereka bahagia?” tanya Hanyom dengan tangkas memuata Mada tidak
berkutik.
“Mungkin mereka bisa
bahagia kalau saya menikah,” jawab Mada terbata-bata yang menandakan ragu atas
jawabannya.
“Bli sudah tanya sama
mereka?” Hanyom kembali bertanya untuk mencari kepastian.
Mada menggelengkan
kepala tanda tidak pernah menanyakan. Saat itu pula Mada tersadar jika selama
ini Mada seperti jauh dari orang tua padahal tinggal satu atap. Mada terlalu
sibuk dengan pekerjaannya. Setiap pulang kantor langsung masu ke kamar, keluar
oada pagi hari untuk sarapan lalu langsung pergi. Mada hanya tau omelan ibu
atau ayah yang ingin Mada segera menikah, jadi Mada cuma tau jika pernikahan
adalah suatu yang membahagikan orang tuanya.
“Cobalah bli jelaskan
pelan-pelan tentang keadaan bli kepada mereka,” ucap Hanyom setelah menarik
nafas untuk persiapan penjelasan. “Setelah penjelasan itu bisa saja mereka
tidak mengungkit pernikahan lagi.
“Bagaimana sebaliknya
jika mereka semakin mengejar saya untuk menikah?” tanya Mada ragu dengan saran
yang Hanyom berikan.
“Kamu jelaskan lagi
kalau tidak bisa menikah. Bli jelaskan dampak dari pada pernikahan kamuflase
akan lebih menyiksa.”
“Apa itu pernikahan
kamuflase?” tanya Mada memotong pembicaraan Hanyom.
“Pernikahan hanya
untuk menutupi gay,” Hanyom pun membalas dengan cepat. “Bli jelaskan bahwa
pernikahan kamuflase pada akhirya tidak sehat secara fisik dan mental. Bli
merasa tertekan karena membohongi diri dan orang lain. Gairah sekspun akan
berbeda pula, bli melakukan seks karena terpaksa. Bli harus kerja keras untuk
“berdiri”,” lanjut Hanyom menjelasan pernikahan kamuflase.
“Saya juga sempat
berfikir seperti itu. Saya fikir ulang bukan solusi yang terbaik,” Mada
menyetujui penjelasan Hanyom.
Mada memang pernah
berfikir untuk menikah kamuflase. Berkali-kali Mada mencoba mendakati cewek
yang lesbian yang punya tujuan menikah kamuflase. Tetapi lubuk hatinya
mengatakan ini tidak bisa dilakukan karena bagaimanapun juga pernikahan bukan
untuk main-main. Sekali memainkan pernikahan sama seperti mempermainkan Tuhan.
Menikah kamuflase bagaikan mengingkari janji atas nama Tuhan untuk hidup
bersatu dengan tulus, nyatanya pernikahan itu terpaksa dan untuk kepentingan
ego sendiri.
“Jadi lebih baik saya
jujur?” tanya Mada untuk minta pendapat. Mada memandang lekat Hanyom untuk
menyakinkan diri jika keputusannya adalah yang terbaik.
“Kalau menurut bli
lebih baik seperti itu ya lakukan saja,” balas Hanyom sambil menggenggam tangan
Mada untuk memberi kekuatan.
“Saya nggak tahu ini bisa
menjadi lebih baik atau tidak. Setidaknya orang tua tahu keadaan saya,” Mada
memang tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi dari kejujuran orang tuanya
jadi mengetahui apa yang dirasakan Mada, dari tahu menjadi paham apa yang Mada
rasakan, itu yang Mada harapkan.
“Tiyang percaya orang
tua bahagia karena melihat anaknya bahagia,” senyum tulus mengembang dari bibir
Hanyom, menambah keyakinan untuk Mada untuk melakukan coming out pada orang tua. Mada membalas dengan senyuman. “Bli bisa
membahagikan orang tua dengan cara lain, tidak mesti dengan pernikahan,” tambah
Hanyom.
Pada akhirnya Mada
memang harus coming out kepada orang
tuanya. Mada sudah pasrah apa yang akan terjadi. Lebih menyiksa seperti ini,
menyembunyikan jati diri dan terus-menerus berbohong. Kata orang kejujuran itu
menyakitkan untuk di dengar dan dilihat. Tetapi akan indah pada saatnya ketika
sudah ikhlas menerima kenyataan. Tentunya akan menjadi lega.
“Ada satu lagi yang
membuat saya frustasi,” ucap Mada setelah menyeruput kopi yang sudah tidak
terlalu panas.
“Ceritakan saja lah,”
Hanyom masih antusias akan menengaran kisah nestapa Mada.
“Bli tidak bosan?”
tanya Mada, karena menurutnya dari tadi sudah teralalu banyak berkeluh kesah.
“Tidak. Mada. Bli
perlu menceritakan semunya. Tiyang takut nanti di tengah jalan bli belok ke
Uluwatu lagi,” canda Hanyom dibumbui sedikit gelak agar suasana jadi santai.
Mada pun ikut tergelak
mendengar canda Hanyom. Sebenarnya Mada juga menertawakan dirinya sendri,
begitu bodoh sampai berniat bunuh diri apalagi hanya masalah pernikahan dan di
khianati oleh lelaki. Mada merasa sebagai pengecut tidak bisa menyelesaikan
masalah, malah melarikan diri.
“Surya mengkhianati
cinta saya. Dia berselingkuh dengan lelaki lain,” Mada mememulai curhat sesi
dua. “Surya itu pacar saya. Kita sudah jadian selama lima tahun. Lalu saya
minta putus”
“Kamu sudah
mendengarkan penjelasan dia?” tanya Hanyom. Wajahnya serius meyimak cerita
Mada.
“Sudah,” nada Mada
semakin pilu. “Kata dia, saya orang yang membosankan,” kali ini bukan sekedar
pilu namun jadi merana. Suatu alasan yang menyakitkan.
“Jadi jodoh kamu sama
Surya Cuma sampai disitu saja,” Hanyom menanggapi dengan enteng. “Nggak usah
disesali atau ditangisi toh dia juga tidak menangisi kamu.”
Mada semakin merasa
bodoh lagi. Mada merasa sudah menyia-nyiakan air mata hanya untuk Surya yang
sudah tidak perduli lagi dengan dirinya. Mada berfikir apa yang dikatakan
Hanyom benar, jika waktu kebersamaan Surya sudah habis. Mada cuma belum terima
akhir cinta menjadi menyakitkan.
“Tapi kenapa akhirnya
menjadi seperti ini? Saya melihat dengan kepala sendiri dia bermesraan dengna
cowok lain,” Mada menceritakan sedikit emosi, karena kembali mengingat kejadian
pahit.
“Positif thinking saja, hal itu untuk mempercepat bli meninggalkan
dia. Tidak ada gunanya lagi mempertahankan orang yang telah menyia-nyiakan
kita,” ujar Hanyom untuk menenangkan
Mada. “Ada banyak cara Tuhan untuk mengakhiri hubungan hambanya, meski dengan
cara menyakitkan. Tetapi pada akhirnya kita menerima bahwa dia memang bukan
yang terbaik untuk kita.”
“Tapi.......” Mada
siap memprotes lagi.
Hanyom segera mencegah
protesan Mada. “Nggak ada tetapi.” Telunjuk Hanyom menyentuh bibir Mada yang
masih menganga karena omongannya terhenti. “Tuhan sedang mempersiapkan orang
yang lebih baik dari Surya untuk kamu,” tandas Hanyom sambil memberikan senyum
terbaiknya.
Apakah orang itu
Hanyom? Itu yang ada di dalam benak Mada. Hanyom begitu hangat menerima Mada.
Belum lagi Hanyom orang yang tenang dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah.
Mada menyukai sikap Hanyom yang mampu menjadi pendengar setia. Hanyom yang
berkulis eksotis, meski tidak cakep tetapi punya kharisma yang membuat menarik.
Ketenangan dan kenyaman itu yang dirasakan Mada saat ini berada di dekat
Hanyom.
Mada kembali
menyeruput kopi yang sudah adem. Mada sudah jauh merasa lebih tenang dan siap
untuk menghadapi hari esok. Segelas kopi dan teman cerita yang menyenangkan
sudah Mada dapatkan.
Mada menjadi kikuk
ketika Hanyom lekat-lekat mengamati Mada. Tatapan Hanyom membuat Mada salah
tingkah. Mada jadi celingak-celingkuk mengamati dirinya barang kali ada yang
salah.
“Kamu minumnya
belepotan, ini jadi hitam.” Jari-Jari Hanyom menempel bibir untuk menyeka ampas
kopi. Setelah itu pandangan Hanyom masih belum beranjak menatap Mada yang
semakin salah tingkah. Tanpa membuang waktu lagi bibir Hanyom melumat bibir
Mada.
Mada tidak berkutik.
Mada menikmati sentuhan antar bibir. Semoga ini menjadi awal yang baik, batin
Mada.